“Baik, Bu,” ucap sopir taksi. Mengendarai kendaraannya ke arah yang dituju penumpang.
Hanna dibawa sampai tiba di supermarket. Dia meminta sopir taksi untuk menunggu karena dia berjanji tidak akan lama. Hanna tidak perlu mengambil keranjang karena yang dia beli hanya sedikit. Hanna menuju ke etalase roti lalu mengambil dua bungkus roti tawar tak lupa juga mengambil selai rasa cokelat. Entah kenapa, kaki Hanna membawanya menuju ke etalase yang lain. Akhirnya dia berkeliling supermarket, sekaligus saja dia melepas stres, pikir Hanna. Sampai akhirnya, kedua kaki jenjang itu berhenti di bagian yang menjajakan kapur barus, pembasmi seranga, dan sebagainya. Perhatian Hanna, terpaku ke salah satu benda yang berbentuk botol agak panjang, bungkusnya kuning. Tangan Hanna, terjulur mengambil benda itu tanpa ada rasa ragu sedikit pun. Lalu, dia beringsut menuju kasir. Teringat kalau sang sopir masih menunggu. Terlebih dia sudah berjanji tidak akan lama. Hanna celingak-celinguk, mencari kasir yang agak sepi pembelinya. Bergerak ke kasir nomor enam yang hanya tiga orang mengantre, yang lain lebih dari itu. Tak lama mengantre, sampai tiba giliran Hanna, semua barang belanjaannya di-scan. Sang kasir menyebutkan nominal yang harus Hanna bayar. “Totalnya seratus ribu rupiah.”Hanna mengeluarkan satu lembar uang merah lalu memberikannya ke kasir. Sang kasir mengucapkan terima kasih, memberikan barang belanjaan beserta struknya. Hanna pun buru-buru keluar. Di dalam taksi, meminta sopir untuk membawanya ke rumah. “Ke alamat yang sudah saya bilang dari awal, ya, Pak,” ucap Hanna yang dibalas dengan anggukan oleh sang sopir taksi. Sampai akhirnya tiba, wanita itu melangkah masuk setelah membayar ongkos yang sengaja dia lebihkan karena sang sopir sudah sabar menunggu dan mengantarkan Hanna ke berbagai tempat, dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Tubuh Hanna merosot ke lantai. Punggungnya bersandar di balik pintu. Air mata jatuh begitu deras. Hancur sudah hidup Hanna, sampai dia merasa sudah tidak ingin lagi melihat dunia. “Kurang ajar kau, Robby. Sumpah, aku benci kau!”Hanna meraung. Meluapkan emosinya kepada lelaki yang sudah menanam benih ke rahimnya. Namun, Hanna berpikir kembali, ini bukan sepenuhnya salah Robby. Hanna sendiri saja merasa kenikmatan saat bercinta dengan mantan kekasihnya itu. Hanna benci kepada lelaki tersebut, juga kepada dirinya sendiri. Inilah dampak dari perbuatannya. Namun, dia harus menanggung semuanya sendirian. Sementara Robby tidak mau bertanggung jawab. Lebih tepatnya, Hanna juga tidak menginginkan hal itu karena sudah tahu kalau Robby tidak akan bersedia.Hanna teringat dengan barang yang dia beli di supermarket. Plastiknya tergeletak begitu saja di dekat tubuhnya. Hanna meraih lalu mengambil suatu benda di dalam. Bukan roti, bukan pula selai, melainkan sebuah racun tikus. Ya, tak salah. Hanna memang membelinya. Hanna menggenggam erat botol racun tikus berbentuk sprai itu. Ditatapnya lekat-lekat. Tangan sampai gemetar kala memegangnya. Hanna menarik napas berkali-kali. Berpikir ribuan kali, apakah tindakannya ini sudah tepat. Akhirnya, Hanna pasrah, dia tidak perlu meragukan apa pun lagi sebab dia sudah tidak lagi kuat menghadapi penderitaan ini.“Ayo, matilah bersamaku, anak yang tidak aku inginkan!” Hanna sudah membuka tutup botol racun tikus itu. Bibir botol tersebut pun sudah dekat ke bibir Hanna, nyaris menyentuh. Hanna inin mengakhiri hidupnya dengan meminum cairan racun tikus. Dia membeli itu bukanlah untuk membasmi hewan tikus di rumahnya karena tidak ada hewan tersebut yang berkeliaran. “Lebih baik aku mati daripada hidup menanggung semua ini sendirian!” Hanna yang sudah siap menenggak racun tikus itu, tiba-tiba saja botol tersebut dia lemparkan ke arah dinding. Menghasilkan bunyi yang cukup kuat. Cairan bening membasahi lantai. Dia menatap kosong dengan napas yang tersengal-sengal. Ada dorongan dalam hatinya untuk tidak melakukan hal itu. Hanna tidak sanggup. Terlalu rapuh. Hanna tidak jadi mengakhiri hidup. Rintihan lolos dari bibirnya, memegangi perut yang terasa sakit. Hanna sendiri masih tidak percaya kalau dirinya tengah hamil, sampai beli test pack. Padahal, hasil dari dokter lebih akurat. Dia ingin memastikannya besok pagi. Hanna berusaha berpikir bagaimana caranya agar kehamilannya di luar nikah ini tidak tersebar karena akan menjadi sebuah aib. Apalagi jika terdengar sampai ke telinga sang papa. Wanita itu dilanda stres yang hebat. Saking lelahnya, dia pun tertidur di lantai, tanpa bantal dan juga selimut. ***Sinar matahari menyelinap melalui ventilasi. Kesilauannya langsung menyambar wajah Hanna. Wanita itu mengerjap kecil, berusaha mengumpulkan kesadaran dirinya usai bangun tidur. Netranya pun berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Duduk bersandar di dinding kamar, dia teringat kalau hari ini waktu yang tepat untuk menggunakan test pack yang baru saja dia beli. Bangkit dengan lemas, berjalan menuju kamar mandi. Diraihnya kantong plastik berisi test pack yang berada di atas lantai. Hanna berjongkok, menampung urinenya menggunakan baskom. Setelahnya, dia membuka plastik test pack dan mencelupkan benda itu ke dalamnya. Debar jantung seirama dengan dia menunggu tanda garis di benda itu. "Aku ingin vonis dokter terbantahkan!" Namun, kenyataan adalah ada dua garis biru di test pack tersebut. Dia pun mencoba kesembilan test pack lainnya. Hasilnya tetap sama. Hanna mencoba berpikir jernih, dia harus bisa mencari solusi permasalahan ini. Dia pun jadi teringat satu hal. Hanna tidak mungkin meminta Robby untuk bertanggung jawab. Dia ingin anak dalam kandungannya memiliki status ayah meski hanya sebatas hukum. Tentu saja dia harus mencari lelaki untuk mau menikah dengannya dan menerima anak hasil hubungan nikah dengan lelaki lain, tetapi hanya sebatas kontrak saja. Tentu saja Hanna tidak ingin mencari lelaki sembarangan. Dia tidak mau kalau mendapat seorang lelaki yang seperti Robby, atau lelaki miskin yang melecehkannya waktu itu. Dia tidak mau dimanfaatkan kembali. Dia ingin lelaki itu adalah yang bisa dia kendalikan. Hanya ada satu lelaki dalam pikirannya. Itu pun penuh pertimbangan. Tak lain adalah sosok lelaki yang dia jumpai di rumah sakit kemarin. Hanna memutuskan untuk mandi agar tubuhnya kembali segar. Setelahnya, dia pun bersiap-siap ke rumah sakit. Hanna memiliki tujuan datang ke sana. Dia ingin bertemu kembali dengan lelaki tersebut.***"Dok, bagaimana hasilnya? Apakah ginjal saya cocok dengan pasien.”Bagus bertanya, penuh harap-harap cemas. Dia saat ini sedang berada di ruangan pemeriksaan bersama dengan Brata dan sang dokter. Lelaki berjas putih itu sedang memegang sebuah amplop berwarna putih. Isinya pasti selembaran hasil diagnosa, pikir Bagus. Tak hanya kakak dari Tyas yang menunggu, Brata juga tampak gugup menanti hasilnya. Pasalnya, keduanya sama-sama membutuhkan untuk orang yang mereka sayangi, tengah berada antara hidup atau mati. Dokter membuka amplop itu lalu membaca hasil pemeriksaan dalam hati. Bagus yang tidak sabaran, terus bertanya akan hasilnya. Dokter paruh baya itu menarik napas panjang lalu mengatakan sesuatu yang tidak mengenakkan telinga. “Mohon maaf, ginjal milik Pak Bagus, tidak cocok dengan kakeknya Pak Brata.”Bagus membulatkan kedua matanya. Tubuh kaku, mendengar hasil tersebut dibacakan. Pupus sudah harapan untuk bisa menolong sang ayah. “Bagaimana mungkin bisa tidak cocok, Dok? Mungkin ada yang salah.” Bagus berharap kalau hasilnya keliru. “Hasil mengatakan kalau golongan darah Bapak dan pasien tidak cocok sehingga transplantasi ginjal, tidak dapat kami lakukan,” jelas Dokter.Banyak yang menoleh. Nada bicara yang sopan, membuat mereka heran."Ya, ada apa?" tanya salah seorang dari mereka. Lelaki berbaju hitam."Saya ingin bertemu dengan pemilik atau manager di kafe ini. Katanya di sini ada lowongan pekerjaan, apakah itu benar?" tanya Bagus."Oh, benar. Sebentar, aku panggil beliau dulu. Duduk saja," jawab lelaki tersebut.Bagus celingak-celinguk. Tak tahu harus duduk di mana. Banyak para wanita yang menguasai sofa dan melirik nakal ke arah Bagus. Membuatnya risi. Sementara bergabung dengan para lelaki di hadapannya, tatapan mereka tampak tak bersahabat."Kamu yang mau bertemu denganku?"Seorang pria dengan suara yang berat, menghampiri Bagus."Iya, benar, Pak," jawab Bagus."Aku Steven. HRD di kelab ini, katanya kamu mau bekerja di sini?" tanya sang HRD, bernama Steven.
Hanna mengeluarkan sebuah dompet dari dalam tas lalu memberikan kartu ATM kepada sang pegawai.Penjaga toko itu hanya menggesek saja lalu mengatakan terima kasih karena sudah membeli di tempat tersebut dan sering-sering berlangganan.Bagus menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu benda itu namanya ATM. Cara kerjanya sangat praktis, berbelanja memakai itu, tinggal gesek sudah beres. Bagus tak bisa menebak berapa banyak uang yang Hanna miliki."Ayo, kita pulang!" ajak Hanna setengah berbisik.Bagus lagi-lagi hanya bisa mengikuti dari belakang."Cincin ini, aku saja yang pegang. Urusannya sebentar, kan? Kamu bahkan tak perlu mengeluarkan uang se peser pun. Kamu tak akan sanggup membelinya," ledek Hanna."Ya. Memang aku tak punya uang untuk membelinya. Aku tak mampu menyamai atau menandingi kehidupan mewah kamu. Sedikit saja aku tidak mampu," balas B
"Tidak ada yang salah. Karena aku akan menikahi kamu mahar itu sebagai pemberian aku untukmu," jawab Bagus."Sekarang aku tanya, kamu punya apa? Uang sepuluh miliar, tiket liburan ke sepuluh negara, mobil Alphard, rumah mewah, apartemen, vila, saham?" tanya Hanna.Bagus tengah disindir. Dia sadar kalau dia tidak punya itu semua."Memang tidak ada. Aku bukanlah orang kaya. Aku akan berusaha memberikan mahar yang kamu inginkan," ujar Bagus."Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan ini. Cuma sebatas kertas saja. Kalau aku akan minta yang mewah, kamu tidak akan sanggup. Sadar diri sajalah! Rumah kamu kumuh, handphone tak punya, makan saja susah, kerjaan seadanya, mau menuruti kemauan aku, memberi mahar? Jangan mimpi!" ledek Hanna.Bagus menipiskan bibir. Kejam sekali perkataan Hanna menghinanya tanpa rasa kemanusiaan."Aku tahu ini adalah pernikahan
"Harusnya nanya, dong. Gitu saja mesti dikasih tahu!" bentak Hanna. Melipat kedua tangan di depan dada.Hanya saat dalam keadaan duka saja mereka saling kalem. Sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik."Berisik, Kakak ini. Kalau mau jumpa dengan Kak Bagus, tunggu saja di sini!" hardik Tyas."Ya, memang mau nunggu di sini!" Nada bicara Hanna tidak santai.Tyas memiringkan bibirnya. Mengejek Hanna.Hanna malas duduk bersebelahan dengan gadis tersebut meski sebenarnya dia merasa lelah. Dia hanya menyandarkan punggung ke dinding. Tyas bersikap biasa saja. Dia kembali membaca buku pelajaran."Berdirilah terus sampai pegel kaki! Padahal ada kursi kosong. Makan saja gengsi sampai mati," batin Tyas."Bagaimana keadaan ayah kamu?" tanya Hanna basa-basi. Mencairkan suasana yang menegang."Baik," jawab Tyas singkat tanpa berpal
Awalnya, Hanna ragu apakah ini rumah Bagus atau bukan sebab dia lupa-lupa ingat. Bagus memang pernah menyebutkan alamatnya rumahnya. Di Jalan Pukat nomor tujuh. Dia pernah menginjakkan kaki di situ karena ditolong Bagus dari kasus penculikan. Karena dalam kondisi terpuruk, tidak banyak yang Hanna ingat.Kasus penculikan? Jantung Hanna berdegup kencang."Kakak aku yang menyelamatkan kamu dari orang yang menyekapmu di samping rumah ini."Kalimat tersebut terngiang kembali di ingatan Hanna. Siapa yang bisa lupa kasus penculikan yang begitu mengerikan?"Astaga, rumah penculiknya, kan, ada di …."Hanna menggantungkan ucapannya. Kedua mata melirik ke samping kiri rumah Bagus. Sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, tetapi jauh lebih baik dari rumah Bagus, itu adalah rumah penculiknya Hanna.Seketika wanita itu berlari memasuki mobilnya dan melaju dengan ce
"Untuk 1000 orang saja," jawah Hanna."Ummm, oke. Konsepnya mau bagaimana?" tanya Sisi."Kalau soal itu, terserah kamu saja. Yang penting pestanya bagus dan mewah, oke," jawab Hanna."Oke. Catering mau makanan apa? Souvenir mau apa? Surat undangan mau model yang bagaimana?" tanya Sisi."Sisi, kalau soal itu, aku serahkan ke kamu, ya. Aku hanya bagian feeting baju pengantin dan mahar saja," jawah Hanna."Baiklah. Jadi, kapan kamu akan melaksanakan pesta pernikahan itu?" tanya Sisi."Dua Minggu lagi."Jawaban dari Hanna, membuat Sisi terkejut bukan main. "Apa? Secepat itu? Gila! Lama nggak berjumpa, nggak berkabar apa pun, sekalinya komunikasi langsung bilang nikah saja, ya," cerocos Sisi."Nggak usah berlebihan. Aku minta kau rahasiakan dulu soal pernikahanku," ucap Hanna."Ciee,