POV MiaBetapa damainya hati ini melihat aneka tanaman bunga yang sedang mekar. Angin semilir yang berembus menerpa wajahku menambah syahdunya suasana sore ini. Sapaan salam membuyarkan lamunanku yang sedang berangan tentang masa depan memiliki suami berwajah tampan dan kaya raya. Mia yang cantik ini akan menjadi ratu yang semua keinginannya terpenuhi. "Waalaikumsalam." Aku mengerucutkan bibir saat melihat yang datang adalah Pak RT dengan sebuah buku serta pulpen di tangannya. "Ada apa, Pak?" tanyaku tanpa mempersilakan lelaki berkumis itu duduk. "Saya mau menagih dana sosial, Mbak Mia," "Mbak Mbak. Sejak kapan aku nikah dengan kakakmu. Memangnya aku setua itu sampai harus dipanggil Mbak? Panggil nama saja. Nggak usah pakai Mbak," ucapku ketus. "Baik, Mia. Saya datang ke sini karena mau menagih dana sosial." Dahiku berkerut. "Dana sosial? Buat apa? Itu bukan urusanku." "Pak Daris masuk rumah sakit. Sesuai kesepakatan kita bersama bahwa setiap ada salah seorang warga yang diraw
PoV EllySuasana di rumah sudah mulai banyak orang. Tidak terasa hari pernikahanku dengan Rizal akan digelar besok sesuai dengan rencana awal, bukan dimajukan seperti keinginan Rizal. Di dapur ada beberapa ibu-ibu yang sedang memasak untuk acara besok. Rencananya akan ada acara sederhana dengan mengundang satu RT saja. Satu minggu sudah aku tidak bertemu dengan Rizal karena aku harus menjalani masa pingitan seperti permintaan ayah meski sebenarnya aku keberatan. Seharusnya masa pingitan ini adalah selama satu bulan, tetapi aku hanya mengajukan cuti selama satu minggu saja. Satu minggu tidak bertemu dengan Rizal nyatanya rasa rindu ini semakin membelenggu. Aku rindu senyum manis dan tawa renyah yang selalu menggodaku. Ah, dia adalah lelaki sederhana yang mampu membuatku terpesona dan tidak bisa menolak saat dia menyatakan cinta. "El, aku mau bicara, boleh?" tanya Rizal saat kami tengah makan siang bersama. Waktu itu selain kami berdua ada juga Fatma yang juga teman satu pekerjaan.
PoV AuthorDi sebuah rumah megah, Irma--suami Pras tengah menunggu kepulangan suaminya dengan gelisah. Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan sebentar lagi malam menjelang, tetapi sang suami belum juga pulang. "Sudahlah, Bu. Nggak udah dikit-dikit dilihat, dikit-dikit nengok, kalau sudah saatnya, Ayah pasti pulang," kata Venny--sang anak yang sedang asyik dengan ponselnya. Gadis itu merasa sebal melihat ibunya terus melongok ke jendela dan sesekali melihat ke jalan menunggu ayahnya pulang. "Seharusnya ayahmu itu sudah pulang. Berapa lama sih perjalanan dari sini ke rumah sakit?" Irma mengerucutkan bibir. "Mungkin masih menunggu Elly beres-beres, Bu. Sabar aja, nanti juga pulang." "Jika benar Mas Pras harus menunggu mereka beberes dulu, aku harus minta tambah ongkos. Waktu itu berharga. Seharusnya mereka menelepon minta jemput saat semua sudah selesai bukannya malah meminta Mas Pras menunggu. Dia pikir, kita nggak punya pekerjaan apa!" Wanita yang masih terlihat cantik di
Elly tertawa saat wanita yang memperkenalkan diri dengan nama Vivi itu mengatakan calon suaminya adalah seorang boss. Namun, segera ia menguasai diri. Rizal memang boss bagi wanita yang bertugas merias dirinya itu karena dia yang akan membayar atas kerja kerasnya hari ini, bukan? Vivi meminta asistennya untuk menyiapkan semua alat yang dibutuhkan. Vivi hanya bisa tepok jidat saat Elly bilang belum mandi. "Saya pikir habis mandi langsung ganti baju dan mekap lima menit, beres. Mas Rizal tidak pernah bilang kalau saya harus mekap sebelum akad." Elly nyengir. "Iya, Pak Rizal bilang ini kejutan karena dia pikir akad nikah lebih penting dari pesta itu sendiri. Karena itu dia ingin sang pengantin tampil istimewa sehingga terlihat sempurna saat difoto," kata Vivi. Gadis yang kesehariannya selalu memakai kerudung instan sehingga sering dibilang tidak gaul dan dibilang mirip emak-emak oleh Mia itu bergegas ke kamar mandi. Hanya berselang sepuluh menit, Elly sudah selesai mandi sehingga me
Dengan percaya diri, Mia menuju rumah Elly untuk tebar pesona, tetapi di ruang tamu masih sepi. Yang ramai hanya di bagian dapur oleh ibu-ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk para tamu yang akan datang sebentar lagi. Karena masih sepi, Mia memutuskan untuk pulang dulu. Hana dan Daris dapat bernapas lega setelah memastikan semua makanan sudah siap. Sementara itu, Elly masih berada di kamar untuk mekap yang akan selesai tidak lama lagi. "Masya Allah, benarkah ini aku?" kata Elly setelah selesai dandan dan Vivi memintanya untuk bercermin. "Saya tidak bohong, kan, kalau akan membuat semua orang pangling? Bahkan Mbak sendiri pun hampir tidak mengenali wajah sendiri. Gimana? Suka nggak dengan hasil kreasi tangan saya?" tanya Vivi mata berbinar. Elly mengusap pipinya dan kembali menatap ke cermin. "Iya, Mbak. Saya suka." Vivi bernapas lega. "Saya jamin Pak Rizal akan semakin cinta dengan Nona Elly.""Elly." Elly meralat. "Iya, Elly. Saya lupa, padahal tadi sudah panggil mbak." Viv
Mia terus menatap Elly yang bergandengan tangan dengan Rizal saat memasuki mobil. Bibirnya mengerucut. Rasa kesal dan iri terus merajai hatinya. Berulang kali Lasmi menggerakkan tangan di depan wajah Elly yang tidak berkedip dari tadi. "Seharusnya aku yang di sana bukan Elly." Mia bergumam sendiri. Dilema melanda hati Mia kala semua orang termasuk ayah dan ibunya siap berangkat mengikuti acara resepsi pernikahan Elly dan Rizal yang akan diadakan di hotel berbintang itu. Ingin ikut, tetapi gengsi. Tidak ikut, tetapi penasaran. Bagaimana itu? "Ayo, Mi. Yang lain sudah pada siap berangkat itu?" Lasmi menunjuk mobil-mobil yang berbaris di jalan depan rumah Elly sampai depan rumahnya. Rizal tidak membatasi siapa saja yang akan ikut ke pesta pernikahannya. Ia memberi kebebasan pada mertuanya untuk mengajak serta keluarga besarnya. Ia juga yang mengizinkan bagi tetangga Elly yang punya mobil untuk ikut dan nanti dia yang akan mengganti uang bensin. Mendengar uang bensin dapat ganti, P
Natasya uring-uringan begitu sampai di rumah. Bayangan lelaki yang tadi tersenyum bahagia di pelaminan terus terbayang di pelupuk matanya. "Kenapa Papa tidak bilang kalau anak Om Elang itu dia?" tanya Natasya pada papanya."Memangnya kenapa? Kamu sendiri yang bilang kalau sekarang bukan zamannya lagi main jodoh-jodohan. Lagi pula kamu yang bilang kalau sudah punya pilihan sendiri, kan? Kenapa harus marah?" jawab Adrian santai. Wanita cantik berjilbab ungu itu mengusap matanya yang sudah basah oleh air mata. "Seharusnya Papa bilang ke aku kalau dia itu tampan. Setidaknya kasih lihat fotonya agar aku tidak meradang kayak gini?" Natasya menjatuhkan bobotnya di sofa empuk lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lagi dan lagi senyum Rizal yang sangat manis kembali hadir begitu saja. Adrian mengusap pundak sang putri yang tengah menyembunyikan wajahnya itu. "Sudahlah.Tidak ada gunanya menyesal. Lelaki pilihan Papa itu sudah bahagia dengan pilihannya sendiri. Sekarang kasih tahu ke
"Boleh aku bantu?" tanya Rizal seraya mengulurkan tangan siap membantu Elly melepas kerudung dan perintilannya yang menghias di kepala. Kepala yang tadinya tertutup jilbab kini telah terbuka menampakkan rambut Elly yang panjang sepinggang berwarna hitam. Ini untuk pertama kalinya Rizal melihat Elly tanpa penutup kepala. Rizal terkagum-kagum melihatnya. "Ternyata kamu lebih cantik jika tidak memakai jilbab. Aku sangat beruntung bisa melihat wajah aslimu, Sayang." Tangan kanan Rizal membelai pipi Elly sementara tangan kirinya menyentuh punggung hingga membuat tubuh istrinya itu semakin mendekat padanyaRizal dan Elly kini berdiri berhadapan dalam jarak yang begitu dekat. Rizal menunduk dan men ci um kening Elly dengan bibirnya lalu turun ke hidung hingga bibir. Tubuh Elly seperti tersengat aliran listrik saat bibir Rizal menyapu bibirnya yang ranum seperti buah ceri itu. Ia membiarkan bibir keduanya menyatu beberapa saat lamanya. Namun, sebelum jantungnya semakin menggila, Elly me