Share

Signal Pertolongan

Mataku terasa berkabut mengingat ayah di rumah yang sedang sakit sedangkan saudara kandungnya sendiri tidak mau peduli.

"Kenapa masih berdiri di situ? Kurang jelas kalau aku tidak akan mengizinkan suamiku mengantar ayahmu?" kata Bude Lasmi lagi.

Kutekan dadaku kuat-kuat untuk mengurai rasa sesak yang semakin menghimpit. Pepatah mengatakan darah lebih kental daripada air, tetapi aku tidak pernah merasakan itu dari keluarga ayah. Mereka seolah sengaja membentang jarak karena perbedaan ekonomi di antara kami.

Ayah adalah tiga bersaudara. Bude Lasmi, kakak perempuannya memiliki suami yang bekerja sebagai mandor bangunan, kakak pertamanya memiliki toko sembako yang saat ini tinggal bersama nenek. Bisa dikatakan di antara mereka bertiga hanya ayah yang keadaan ekonominya tidak melimpah seperti kakak-kakaknya.

Dengan tubuh lunglai aku berbalik. Tujuanku sekarang adalah ke rumah nenek. Di sana juga ada mobil milik Pakde Pras. Semoga anak pertama dari nenekku itu berkenan mengantar ayah ke rumah sakit.

Meski sedikit ada keraguan, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu.

"Elly?" kata nenek begitu pintu terbuka separuhnya. Wanita yang sudah tidak muda lagi itu terkejut melihat kedatanganku yang memang sangat jarang. Ia memindai tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Aku menatap ke bawah. Terlihat kakiku yang sangat kotor terkena lumpur akibat jalanan licin karena gerimis.

"Sudah kubilang kalau datang ke sini itu cuci kaki dulu dan pastikan kaki bersih agar tidak mengotori lantai seperti ini," ujar nenek sebal.

Aku meringis melihat keramik putih yang terkena jejak sandalku. Di depan rumah memang ada sebuah kran air untuk cuci kaki sebelum masuk, tetapi tadi aku buru-buru sehingga tidak sempat untuk mencucinya.

"Maafkan Elly, Nek. Paman Pras ada?" tanyaku ketakutan menatap nenek yang sama sekali tidak ramah.

"Mau apa kamu cari Pras?"

"Saya mau minta tolong Pakde untuk mengantar Ayah ke rumah sakit,"

"Apa? Daris sakit?" tanya nenek dengan dahi berkerut.

Entah kenapa aku merasa sangat senang melihat nenek terkejut mengetahui kabar ini. Terlihat ada nada kekhawatiran di sana, tetapi rasa senang yang kurasakan tidak berlangsung lama saat nenek tersenyum sinis dan berkata, "aku bilang juga apa? Daris tidak akan bahagia jika terus bersama Hana,"

"Apa maksud Nenek?"

"Dengar, ya, El. Kamu sudah tahu, kan, kalau dari dulu aku tidak pernah merestui pernikahan ayahmu dengan Hana karena itulah aku tidak menyukai ibumu itu, tetapi Daris ngeyel dan tetap mempertahankan pernikahannya dengan Hana hingga sekarang. Bahkan ia bilang kalau dia tidak butuh kami lagi. Sekarang apa? Kamu malah mau minta bantuan Pras," kata Nenek panjang lebar.

Aku menelan ludah yang terasa sangat pahit. Jadi, ini alasan nenek tidak menyukai kami? Alasan ini pula yang membuat ayah selalu melarangku minta bantuan nenek apa pun yang terjadi. Iya, dari dulu aku tidak pernah minta bantuan nenek saat dalam kesulitan, tetapi tadi aku sangat terpaksa.

Selama ini aku hanya tahu nenek tidak menyukai ayah karena ayah tidak sesukses anak-anak yang lain, tetapi nyatanya ada alasan lain yang menjadi dasar kebenciannya.

"Pergi sana!" ucap Nenek lantang sehingga sukses mengundang rasa penasaran penghuni rumah yang lain.

"Ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak?" tanya Pakde Pras menghampiri kami.

"Ini, Pras. Daris sakit dan Elly memintamu untuk mengantar ke rumah sakit. Nggak tahu diri banget, kan? Malam-malam begini minta bantuan. Tapi nggak usah khawatir. Aku sudah menolaknya dan kamu bisa istirahat. Biarkan Elly minta bantuan orang lain." Nenek menjelaskan panjang lebar.

"Apa? Elly minta bantuan untuk mengantar Daris yang sedang sakit, tetapi Ibu malah menolaknya?" tanya Pakde Pras dengan nada tinggi.

"Iya, bukankah kamu capek, ya?" tanya Nenek dengan dahi berkerut.

Lelaki yang merupakan anak pertama nenek itu mendekatiku. "Memangnya Daris sakit apa?"

Aku mendongak mendengar pertanyaannya. Ada secercah harapan di sana. "Ayah tadi pingsan, Pakde."

"Ya udah. Ayo kita bawa ke rumah sakit sekarang," ujarnya kemudian yang membuat mataku berkaca-kaca.

"Tunggu sebentar, Pakde ambil jaket dulu, ya," ujarnya seraya berbalik, tetapi tangannya ditarik oleh nenek.

"Serius kamu mau mengantar Daris ke rumah sakit demi memenuhi permintaan Elly?" tanya nenek dengan dahi berkerut. Wanita tua itu tidak suka dengan keputusan anak sulungnya.

Pakde Daris tersenyum. Ia memegang tangan nenek yang mendarat di tangannya lalu menurunkan dari sana seraya berkata. "Daris itu adikku dan aku harus menolongnya."

"Tapi, Pras__

"Aku harus menolong dia, Bu." Pakde Pras masuk ke kamarnya meninggalkan nenek yang masih bengong. Tidak lama kemudian dia ke luar dengan memulai jaket tebal berwarna hitam.

Dari ekor mata dapat kulihat kalau nenek begitu kesal, tetapi Pakde Pras tidak peduli. Ia tetap pada keputusannya mengantar ayah dan ini sukses membuatku lega. Ternyata masih ada yang peduli dengan kami.

Bude Irma muncul dan ia juga tidak setuju suaminya mau menolongku, tetapi kemudian Pakde Pras membisikkan sesuatu di telinga sang istri yang entah apa sehingga membuat wanita yang tadinya cemberut itu menjadi tersenyum dan mengizinkan suaminya pergi bersamaku.

Aku berjalan lebih dulu untuk memberi tahu ayah kalau aku sudah menemukan orang yang akan mengantarnya ke rumah sakit, tetapi belum sampai di rumah, Pakde Daris mendahuluiku dengan mobilnya dan langsung memintaku untuk ikut naik bersamanya.

Sesampai di rumah sakit, ayah segera masuk ke ruang IGD agar segera mendapatkan pertolongan.

Aku dan ibu menunggu di luar dengan hati terus riuh berdoa semoga ayah yang sedang berbaring di dalam sana dan sedang diperiksa dokter itu baik-baik saja.

***

Matahari masih enggan keluar dari peraduan saat ponselku berdering sebagai pertanda ada panggilan masuk. Dari layar terlihat wajah Rizal yang sedang tersenyum.

"Halo, Zal. Assalamualaikum," ucapku setelah panggilan terhubung.

"Waalaikumsalam. El, kamu di mana? Aku jemput di rumah kok sepi?" kata Rizal dari seberang sana.

Aku tepuk jidat. Saat ini aku masih di rumah sakit karena ayah opname. Lupa kalau hari ini aku bekerja.

"Aku sedang di rumah sakit," ucapku lirih.

"Hah? Rumah sakit? Kamu sakit apa?"

"Bukan aku yang sakit, tapi ayah."

"Kenapa kamu tidak memberi tahu aku kalau ayah sakit, El? Pantas saja sejak tadi malam perasaanku tidak enak. Kepikiran kamu terus. Makanya aku datang ke rumah meski sudah dilarang," kata Rizal panjang lebar

"Maaf, aku buru-buru tadi malam sehingga tidak bisa ngabari kamu. Lagi pula aku juga merasa nggak enak mau langsung memberi kabar kalau ayah sakit karena kita belum sah."

Kudengar Rizal menghela napas. "Kalau begitu, pernikahan kita dipercepat saja agar aku bisa selalu ada untukmu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status