Home / Rumah Tangga / Suami yang Tak Diinginkan / 3. Jual Diri Atau Bercerai!

Share

3. Jual Diri Atau Bercerai!

Author: Butiran_Debu
last update Last Updated: 2022-03-13 07:24:48

Lagi-lagi ketika Hendra pulang, dia tidak menemukan Lilis di rumah. Mertuanya datang mengantar Alan, sama persis seperti kemarin malam. Tak lupa dengan omelan pedas yang dilontarkan Ratna, menyuruh Hendra mencari baby sitter agar tidak menyusahkan dirinya. Hendra hanya bisa diam mendengar mertuanya mengomel sambil lalu.

“Kamu ini kenapa sih, Lis....” keluh Hendra memikirkan istrinya.

Padahal sebelum pulang tadi, Hendra sengaja membawa martabak, makanan kesukaan Lilis. Niatnya untuk membujuk istrinya itu agar tidak marah-marah seperti kemarin malam. Tapi nyatanya, dia yang kembali dibuat geram oleh kelakuan sang istri yang tidak tahu keberadaannya. Ponsel Lilis tidak aktif, Hendra hanya bisa mendesah lesu meletakkan lagi ponselnya.

Belum lagi Alan yang terus saja menangis, tidak mau makan dan selalu hanya memanggil mamanya, itu membuat Hendra berasa ingin gila. Ketika Lilis pulang nanti, Hendra akan memberi istrinya pelajaran agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Setelah Hendra bersusah payah menidurkan Alan yang rewel, akhirnya dia mendengar suara sang istri memanggil dari luar. Hendra buru-buru bangkit membukakan pintu untuk Lilis. Hendra tarik pergelangan tangan Lilis dan langsung menutup pintu dengan kasar.

“Cukup, ya, cukup! Aku udah muak lihat tingkah kamu dua hari ini!” sentak Hendra tak tertahan lagi.

“Cukup apanya? Kamu mau cerai sama aku?” tantang Lilis, matanya melotot hampir keluar. “Kalo kamu mau cerai, ayo. Aku juga udah capek hidup miskin sama kamu, Hendra!”

Sebagai lelaki yang punya harga diri, Hendra pun tidak tahan melihat istrinya yang semakin menjadi-jadi. Apalagi Lilis berani menantang cerai, hal itu membuat Hendra berpikir mungkin istrinya memang sudah macam-macam di luar sana.

“Kamu mau cerai? Kamu mau bebas berkeliaran kalo bercerai sama aku?” bentak Hendra. Tak dia pikirkan Alan yang mungkin akan terkejut mendengar suaranya.

Lilis sendiri sudah tidak normal pikirannya. Kemewahan yang dimiliki teman-temannya sudah membuat perempuan itu buta akan banyak hal. Jika bercerai bisa membuatnya menjadi wanita kaya, kenapa harus bertahan dengan suami miskin yang cuma bisa marah-marah?

“Aku udah capek hidup miskin, maka ceraikan aku sekarang. Kamu pikir aku senang hidup kayak binatang yang cukup dikasih makan doang? Aku mau rumah, mau mobil, dan barang-barang mahal lainnya! Aku juga mau Alan sekolah di tempat mahal, menikmati masa kecilnya tanpa kemiskinan, dan bisa sukses di masa depan! Ceraikan aku sekarang! Kamu nggak bakal bisa ngasih aku dan Alan hidup yang nyaman!” balas Lilis tak kalah keras.

Mendengar nama Alan langsung membuat Hendra melemah. Entah kenapa, setiap kali mengingat wajah putranya itu, Hendra langsung tersadar dari kemarahannya. Padahal tadinya dia juga sudah muak saat Lisa berkata cerai pertama kali, dan dia juga lelah melihat istri pembangkang yang tak bisa menghargai dirinya. Tapi kali ini, Hendra tidak mampu membuka mulut untuk menceraikan Lilis, terbayang bagaimana nanti nasib Alan.

Masih hidup bertiga saja, mereka sudah miskin. Padahal ada Hendra yang bekerja siang dan malam untuk menafkahi anak istrinya. Bagaimana jika mereka sampai bercerai nanti? Alan tidak akan ada yang mengurus saat dia pergi bekerja, dan jika Alan ikut Lilis pun, tidak mungkin Lilis mampu bekerja sambil membawa anak. Akan lebih susah hidup putranya jika sampai ada perceraian.

“Ayo dong ceraikan aku! Kenapa lama banget? Kenapa nggak berani cerain aku? Kamu mau bikin aku lebih menderita lagi?” tantang Lilis berkacak pinggang.

“Maafin aku.” Hendra memilih mengalah untuk meredam emosi Lilis. Bercerai bukan solusi untuk memutus kemiskinan yang menimpa mereka.

Tapi Lilis yang sudah terbawa emosi dan silau akan kekayaan, tidak peduli akan permintaan maaf dari Hendra.

“Aku nggak mau! Aku maunya cerai!”

Lilis berlari ke dalam kamar, mengemas pakaiannya ke dalam tas. Niatnya sudah bulat untuk bercerai dengan Hendra agar bisa lepas dari kemiskinan ini. Berangkat malam pun tak masalah baginya, yang penting semuanya segera berakhir. Toh ada Vanny temannya yang kaya raya. Vanny pasti tidak keberatan menampung dirinya barang satu dua minggu, sampai Lilis menemukan om-om yang bisa menjadikan dirinya simpanan. Begitu isi pikiran Lilis.

“Lis, Lilis!” Hendra mencoba menenangkan sang istri, merebut tas dari tangan Lilis. “Jangan begitu, Lis, kasian Alan. Lihat wajah anak kita, Lis, dia bakal menderita jika kita sampai bercerai.”

“Tapi aku udah bosan hidup dalam kemiskinan. Balikin tas aku!” balas Lilis tak mau mengalah.

Saat itu pun Alan terbangun melihat mama dan papanya berdebat memperebutkan tas.

Lihat saja, anak itu langsung menangis lagi. Meski masih kecil, Alan pastinya tahu bahwa mama dan papanya sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana jika nanti anak itu mulai besar dan menyalahkan orangtuanya yang bercerai? Hendra tidak kuat membayangkan nasib putranya akan berakhir seperti dirinya. Korban perceraian.

“Tapi, Lis... cerai bukan solusi. Kita bisa bangkit, percaya sama aku, ya. Kalo udah waktunya rejeki kita, suatu saat kita juga pasti bisa punya rumah dan mobil yang kamu inginkan. Aku janji, aku bakal kerja lebih keras lagi, tapi aku mohon jangan ngomong cerai. Lihat Alan, akan jadi apa anak kita kalo ortunya cerai?” bujuk Hendra lembut.

“Alan aku bawa!”

“Apa?” Hendra terkejut mendengar ucapan istrinya.

“Iya, aku bakal bawa Alan biar nggak menderita dalam kemiskinan!”

“Nggak, Lis, nggak. Aku tau gimana sakitnya hidup tanpa ayah. Aku nggak akan biarin kamu bawa Alan.” Hendra menentang keras. “Kalo begini aja kita masih miskin, apa kabarnya nanti kamu yang kerja sambil bawa anak? Nggak ada yang bakal mau mempekerjakan orang yang bawa anaknya.”

“Aku bisa jual diri, kalo itu bisa bikin aku jadi kaya!”

Apa?

Hendra sampai mundur mendengar perkataan istrinya. Dugaannya kemarin akhirnya mendapat jawaban, bahwa mungkin saja Lilis melakukan hal buruk di luar sana. Matanya sampai berair membayangkan sang istri mungkin sudah disentuh lelaki lain.

“Lis, jawab jujur! Kamu nggak lakui itu selama dua hari ini, kan?!” sentak Hendra. Kemarahannya benar-benar sampai di puncak, dan mungkin bisa meledak jika Lilis sampai membenarkan pertanyaan itu. “Jawab, Lilis!”

“Nggak!” balas Lilis. “Tapi aku bakal lakuin itu ke depan nanti, meski kamu nggak mau cerain aku. Aku nggak mau hidup miskin dan lebih milih jual diri daripada nungguin gaji kamu yang nggak seberapa!”

“Lilis!” Hendra tidak tahan mendengar perkataan istrinya. Harga dirinya bagaikan diinjak-injak, jantungnya berdebum sangat keras seperti akan pecah di dalam sana. Sangat sakit rasanya, tapi Hendra tidak mampu melampiaskan emosinya pada sang istri.

Bug!

Tinjunya melayang pada dinding tembok yang keras, menjalarkan sakit di sampai ke tulang sum-sum. Tapi sakit di dalam dadanya jauh lebih mematikan, akibat perkataan dari sang istri.

“Aku nggak mau bahas ini lagi. Jangan pernah kamu keluarin omongan seperti itu,” bisik Hendra, menekan emosinya ke dalam. Lelaki yang selama ini sangat tegar menjalani cobaan hidupnya, kali ini tidak mampu untuk tidak menitikkan air mata. “Aku sayang kamu sama Alan. Aku mohon... ayo kita perbaiki rumah tangga kita dan hidup harmonis seperti sebelumnya,” pintanya memohon.

Jika sudah ribut seperti ini pun Hendra masih terus ingin rumah tangganya membaik, bukankah ini kesempatan untuk Lilis? Ide gila pun muncul di kepalanya.

 “Oke, aku bisa nggak cerai sama kamu. Tapi  kamu harus mau jual diri!” tantang Lilis tanpa ampun.

*** 

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami yang Tak Diinginkan   305. Maukah Menikah Denganku? (END)

    Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh

  • Suami yang Tak Diinginkan   304. Tak Ada Cinta Tersisa?

    Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud

  • Suami yang Tak Diinginkan   303. Mengantar Surat Cerai

    Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki

  • Suami yang Tak Diinginkan   302. Tolong Maafkan Juwita.

    Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And

  • Suami yang Tak Diinginkan   301. Pa, Kenapa Kita di Sini?

    Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari

  • Suami yang Tak Diinginkan   300. Tertangkap.

    Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta

  • Suami yang Tak Diinginkan   299. Mereka Kejar Kita, Pa....

    Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr

  • Suami yang Tak Diinginkan   298. Aku Ikut

    “Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend

  • Suami yang Tak Diinginkan   297. Berikan Alan Padaku!

    Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status