Share

3. Jual Diri Atau Bercerai!

Lagi-lagi ketika Hendra pulang, dia tidak menemukan Lilis di rumah. Mertuanya datang mengantar Alan, sama persis seperti kemarin malam. Tak lupa dengan omelan pedas yang dilontarkan Ratna, menyuruh Hendra mencari baby sitter agar tidak menyusahkan dirinya. Hendra hanya bisa diam mendengar mertuanya mengomel sambil lalu.

“Kamu ini kenapa sih, Lis....” keluh Hendra memikirkan istrinya.

Padahal sebelum pulang tadi, Hendra sengaja membawa martabak, makanan kesukaan Lilis. Niatnya untuk membujuk istrinya itu agar tidak marah-marah seperti kemarin malam. Tapi nyatanya, dia yang kembali dibuat geram oleh kelakuan sang istri yang tidak tahu keberadaannya. Ponsel Lilis tidak aktif, Hendra hanya bisa mendesah lesu meletakkan lagi ponselnya.

Belum lagi Alan yang terus saja menangis, tidak mau makan dan selalu hanya memanggil mamanya, itu membuat Hendra berasa ingin gila. Ketika Lilis pulang nanti, Hendra akan memberi istrinya pelajaran agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Setelah Hendra bersusah payah menidurkan Alan yang rewel, akhirnya dia mendengar suara sang istri memanggil dari luar. Hendra buru-buru bangkit membukakan pintu untuk Lilis. Hendra tarik pergelangan tangan Lilis dan langsung menutup pintu dengan kasar.

“Cukup, ya, cukup! Aku udah muak lihat tingkah kamu dua hari ini!” sentak Hendra tak tertahan lagi.

“Cukup apanya? Kamu mau cerai sama aku?” tantang Lilis, matanya melotot hampir keluar. “Kalo kamu mau cerai, ayo. Aku juga udah capek hidup miskin sama kamu, Hendra!”

Sebagai lelaki yang punya harga diri, Hendra pun tidak tahan melihat istrinya yang semakin menjadi-jadi. Apalagi Lilis berani menantang cerai, hal itu membuat Hendra berpikir mungkin istrinya memang sudah macam-macam di luar sana.

“Kamu mau cerai? Kamu mau bebas berkeliaran kalo bercerai sama aku?” bentak Hendra. Tak dia pikirkan Alan yang mungkin akan terkejut mendengar suaranya.

Lilis sendiri sudah tidak normal pikirannya. Kemewahan yang dimiliki teman-temannya sudah membuat perempuan itu buta akan banyak hal. Jika bercerai bisa membuatnya menjadi wanita kaya, kenapa harus bertahan dengan suami miskin yang cuma bisa marah-marah?

“Aku udah capek hidup miskin, maka ceraikan aku sekarang. Kamu pikir aku senang hidup kayak binatang yang cukup dikasih makan doang? Aku mau rumah, mau mobil, dan barang-barang mahal lainnya! Aku juga mau Alan sekolah di tempat mahal, menikmati masa kecilnya tanpa kemiskinan, dan bisa sukses di masa depan! Ceraikan aku sekarang! Kamu nggak bakal bisa ngasih aku dan Alan hidup yang nyaman!” balas Lilis tak kalah keras.

Mendengar nama Alan langsung membuat Hendra melemah. Entah kenapa, setiap kali mengingat wajah putranya itu, Hendra langsung tersadar dari kemarahannya. Padahal tadinya dia juga sudah muak saat Lisa berkata cerai pertama kali, dan dia juga lelah melihat istri pembangkang yang tak bisa menghargai dirinya. Tapi kali ini, Hendra tidak mampu membuka mulut untuk menceraikan Lilis, terbayang bagaimana nanti nasib Alan.

Masih hidup bertiga saja, mereka sudah miskin. Padahal ada Hendra yang bekerja siang dan malam untuk menafkahi anak istrinya. Bagaimana jika mereka sampai bercerai nanti? Alan tidak akan ada yang mengurus saat dia pergi bekerja, dan jika Alan ikut Lilis pun, tidak mungkin Lilis mampu bekerja sambil membawa anak. Akan lebih susah hidup putranya jika sampai ada perceraian.

“Ayo dong ceraikan aku! Kenapa lama banget? Kenapa nggak berani cerain aku? Kamu mau bikin aku lebih menderita lagi?” tantang Lilis berkacak pinggang.

“Maafin aku.” Hendra memilih mengalah untuk meredam emosi Lilis. Bercerai bukan solusi untuk memutus kemiskinan yang menimpa mereka.

Tapi Lilis yang sudah terbawa emosi dan silau akan kekayaan, tidak peduli akan permintaan maaf dari Hendra.

“Aku nggak mau! Aku maunya cerai!”

Lilis berlari ke dalam kamar, mengemas pakaiannya ke dalam tas. Niatnya sudah bulat untuk bercerai dengan Hendra agar bisa lepas dari kemiskinan ini. Berangkat malam pun tak masalah baginya, yang penting semuanya segera berakhir. Toh ada Vanny temannya yang kaya raya. Vanny pasti tidak keberatan menampung dirinya barang satu dua minggu, sampai Lilis menemukan om-om yang bisa menjadikan dirinya simpanan. Begitu isi pikiran Lilis.

“Lis, Lilis!” Hendra mencoba menenangkan sang istri, merebut tas dari tangan Lilis. “Jangan begitu, Lis, kasian Alan. Lihat wajah anak kita, Lis, dia bakal menderita jika kita sampai bercerai.”

“Tapi aku udah bosan hidup dalam kemiskinan. Balikin tas aku!” balas Lilis tak mau mengalah.

Saat itu pun Alan terbangun melihat mama dan papanya berdebat memperebutkan tas.

Lihat saja, anak itu langsung menangis lagi. Meski masih kecil, Alan pastinya tahu bahwa mama dan papanya sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana jika nanti anak itu mulai besar dan menyalahkan orangtuanya yang bercerai? Hendra tidak kuat membayangkan nasib putranya akan berakhir seperti dirinya. Korban perceraian.

“Tapi, Lis... cerai bukan solusi. Kita bisa bangkit, percaya sama aku, ya. Kalo udah waktunya rejeki kita, suatu saat kita juga pasti bisa punya rumah dan mobil yang kamu inginkan. Aku janji, aku bakal kerja lebih keras lagi, tapi aku mohon jangan ngomong cerai. Lihat Alan, akan jadi apa anak kita kalo ortunya cerai?” bujuk Hendra lembut.

“Alan aku bawa!”

“Apa?” Hendra terkejut mendengar ucapan istrinya.

“Iya, aku bakal bawa Alan biar nggak menderita dalam kemiskinan!”

“Nggak, Lis, nggak. Aku tau gimana sakitnya hidup tanpa ayah. Aku nggak akan biarin kamu bawa Alan.” Hendra menentang keras. “Kalo begini aja kita masih miskin, apa kabarnya nanti kamu yang kerja sambil bawa anak? Nggak ada yang bakal mau mempekerjakan orang yang bawa anaknya.”

“Aku bisa jual diri, kalo itu bisa bikin aku jadi kaya!”

Apa?

Hendra sampai mundur mendengar perkataan istrinya. Dugaannya kemarin akhirnya mendapat jawaban, bahwa mungkin saja Lilis melakukan hal buruk di luar sana. Matanya sampai berair membayangkan sang istri mungkin sudah disentuh lelaki lain.

“Lis, jawab jujur! Kamu nggak lakui itu selama dua hari ini, kan?!” sentak Hendra. Kemarahannya benar-benar sampai di puncak, dan mungkin bisa meledak jika Lilis sampai membenarkan pertanyaan itu. “Jawab, Lilis!”

“Nggak!” balas Lilis. “Tapi aku bakal lakuin itu ke depan nanti, meski kamu nggak mau cerain aku. Aku nggak mau hidup miskin dan lebih milih jual diri daripada nungguin gaji kamu yang nggak seberapa!”

“Lilis!” Hendra tidak tahan mendengar perkataan istrinya. Harga dirinya bagaikan diinjak-injak, jantungnya berdebum sangat keras seperti akan pecah di dalam sana. Sangat sakit rasanya, tapi Hendra tidak mampu melampiaskan emosinya pada sang istri.

Bug!

Tinjunya melayang pada dinding tembok yang keras, menjalarkan sakit di sampai ke tulang sum-sum. Tapi sakit di dalam dadanya jauh lebih mematikan, akibat perkataan dari sang istri.

“Aku nggak mau bahas ini lagi. Jangan pernah kamu keluarin omongan seperti itu,” bisik Hendra, menekan emosinya ke dalam. Lelaki yang selama ini sangat tegar menjalani cobaan hidupnya, kali ini tidak mampu untuk tidak menitikkan air mata. “Aku sayang kamu sama Alan. Aku mohon... ayo kita perbaiki rumah tangga kita dan hidup harmonis seperti sebelumnya,” pintanya memohon.

Jika sudah ribut seperti ini pun Hendra masih terus ingin rumah tangganya membaik, bukankah ini kesempatan untuk Lilis? Ide gila pun muncul di kepalanya.

 “Oke, aku bisa nggak cerai sama kamu. Tapi  kamu harus mau jual diri!” tantang Lilis tanpa ampun.

*** 

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status