Lagi-lagi ketika Hendra pulang, dia tidak menemukan Lilis di rumah. Mertuanya datang mengantar Alan, sama persis seperti kemarin malam. Tak lupa dengan omelan pedas yang dilontarkan Ratna, menyuruh Hendra mencari baby sitter agar tidak menyusahkan dirinya. Hendra hanya bisa diam mendengar mertuanya mengomel sambil lalu.
“Kamu ini kenapa sih, Lis....” keluh Hendra memikirkan istrinya.
Padahal sebelum pulang tadi, Hendra sengaja membawa martabak, makanan kesukaan Lilis. Niatnya untuk membujuk istrinya itu agar tidak marah-marah seperti kemarin malam. Tapi nyatanya, dia yang kembali dibuat geram oleh kelakuan sang istri yang tidak tahu keberadaannya. Ponsel Lilis tidak aktif, Hendra hanya bisa mendesah lesu meletakkan lagi ponselnya.
Belum lagi Alan yang terus saja menangis, tidak mau makan dan selalu hanya memanggil mamanya, itu membuat Hendra berasa ingin gila. Ketika Lilis pulang nanti, Hendra akan memberi istrinya pelajaran agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.
Setelah Hendra bersusah payah menidurkan Alan yang rewel, akhirnya dia mendengar suara sang istri memanggil dari luar. Hendra buru-buru bangkit membukakan pintu untuk Lilis. Hendra tarik pergelangan tangan Lilis dan langsung menutup pintu dengan kasar.
“Cukup, ya, cukup! Aku udah muak lihat tingkah kamu dua hari ini!” sentak Hendra tak tertahan lagi.
“Cukup apanya? Kamu mau cerai sama aku?” tantang Lilis, matanya melotot hampir keluar. “Kalo kamu mau cerai, ayo. Aku juga udah capek hidup miskin sama kamu, Hendra!”
Sebagai lelaki yang punya harga diri, Hendra pun tidak tahan melihat istrinya yang semakin menjadi-jadi. Apalagi Lilis berani menantang cerai, hal itu membuat Hendra berpikir mungkin istrinya memang sudah macam-macam di luar sana.
“Kamu mau cerai? Kamu mau bebas berkeliaran kalo bercerai sama aku?” bentak Hendra. Tak dia pikirkan Alan yang mungkin akan terkejut mendengar suaranya.
Lilis sendiri sudah tidak normal pikirannya. Kemewahan yang dimiliki teman-temannya sudah membuat perempuan itu buta akan banyak hal. Jika bercerai bisa membuatnya menjadi wanita kaya, kenapa harus bertahan dengan suami miskin yang cuma bisa marah-marah?
“Aku udah capek hidup miskin, maka ceraikan aku sekarang. Kamu pikir aku senang hidup kayak binatang yang cukup dikasih makan doang? Aku mau rumah, mau mobil, dan barang-barang mahal lainnya! Aku juga mau Alan sekolah di tempat mahal, menikmati masa kecilnya tanpa kemiskinan, dan bisa sukses di masa depan! Ceraikan aku sekarang! Kamu nggak bakal bisa ngasih aku dan Alan hidup yang nyaman!” balas Lilis tak kalah keras.
Mendengar nama Alan langsung membuat Hendra melemah. Entah kenapa, setiap kali mengingat wajah putranya itu, Hendra langsung tersadar dari kemarahannya. Padahal tadinya dia juga sudah muak saat Lisa berkata cerai pertama kali, dan dia juga lelah melihat istri pembangkang yang tak bisa menghargai dirinya. Tapi kali ini, Hendra tidak mampu membuka mulut untuk menceraikan Lilis, terbayang bagaimana nanti nasib Alan.
Masih hidup bertiga saja, mereka sudah miskin. Padahal ada Hendra yang bekerja siang dan malam untuk menafkahi anak istrinya. Bagaimana jika mereka sampai bercerai nanti? Alan tidak akan ada yang mengurus saat dia pergi bekerja, dan jika Alan ikut Lilis pun, tidak mungkin Lilis mampu bekerja sambil membawa anak. Akan lebih susah hidup putranya jika sampai ada perceraian.
“Ayo dong ceraikan aku! Kenapa lama banget? Kenapa nggak berani cerain aku? Kamu mau bikin aku lebih menderita lagi?” tantang Lilis berkacak pinggang.
“Maafin aku.” Hendra memilih mengalah untuk meredam emosi Lilis. Bercerai bukan solusi untuk memutus kemiskinan yang menimpa mereka.
Tapi Lilis yang sudah terbawa emosi dan silau akan kekayaan, tidak peduli akan permintaan maaf dari Hendra.
“Aku nggak mau! Aku maunya cerai!”
Lilis berlari ke dalam kamar, mengemas pakaiannya ke dalam tas. Niatnya sudah bulat untuk bercerai dengan Hendra agar bisa lepas dari kemiskinan ini. Berangkat malam pun tak masalah baginya, yang penting semuanya segera berakhir. Toh ada Vanny temannya yang kaya raya. Vanny pasti tidak keberatan menampung dirinya barang satu dua minggu, sampai Lilis menemukan om-om yang bisa menjadikan dirinya simpanan. Begitu isi pikiran Lilis.
“Lis, Lilis!” Hendra mencoba menenangkan sang istri, merebut tas dari tangan Lilis. “Jangan begitu, Lis, kasian Alan. Lihat wajah anak kita, Lis, dia bakal menderita jika kita sampai bercerai.”
“Tapi aku udah bosan hidup dalam kemiskinan. Balikin tas aku!” balas Lilis tak mau mengalah.
Saat itu pun Alan terbangun melihat mama dan papanya berdebat memperebutkan tas.
Lihat saja, anak itu langsung menangis lagi. Meski masih kecil, Alan pastinya tahu bahwa mama dan papanya sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana jika nanti anak itu mulai besar dan menyalahkan orangtuanya yang bercerai? Hendra tidak kuat membayangkan nasib putranya akan berakhir seperti dirinya. Korban perceraian.
“Tapi, Lis... cerai bukan solusi. Kita bisa bangkit, percaya sama aku, ya. Kalo udah waktunya rejeki kita, suatu saat kita juga pasti bisa punya rumah dan mobil yang kamu inginkan. Aku janji, aku bakal kerja lebih keras lagi, tapi aku mohon jangan ngomong cerai. Lihat Alan, akan jadi apa anak kita kalo ortunya cerai?” bujuk Hendra lembut.
“Alan aku bawa!”
“Apa?” Hendra terkejut mendengar ucapan istrinya.
“Iya, aku bakal bawa Alan biar nggak menderita dalam kemiskinan!”
“Nggak, Lis, nggak. Aku tau gimana sakitnya hidup tanpa ayah. Aku nggak akan biarin kamu bawa Alan.” Hendra menentang keras. “Kalo begini aja kita masih miskin, apa kabarnya nanti kamu yang kerja sambil bawa anak? Nggak ada yang bakal mau mempekerjakan orang yang bawa anaknya.”
“Aku bisa jual diri, kalo itu bisa bikin aku jadi kaya!”
Apa?
Hendra sampai mundur mendengar perkataan istrinya. Dugaannya kemarin akhirnya mendapat jawaban, bahwa mungkin saja Lilis melakukan hal buruk di luar sana. Matanya sampai berair membayangkan sang istri mungkin sudah disentuh lelaki lain.
“Lis, jawab jujur! Kamu nggak lakui itu selama dua hari ini, kan?!” sentak Hendra. Kemarahannya benar-benar sampai di puncak, dan mungkin bisa meledak jika Lilis sampai membenarkan pertanyaan itu. “Jawab, Lilis!”
“Nggak!” balas Lilis. “Tapi aku bakal lakuin itu ke depan nanti, meski kamu nggak mau cerain aku. Aku nggak mau hidup miskin dan lebih milih jual diri daripada nungguin gaji kamu yang nggak seberapa!”
“Lilis!” Hendra tidak tahan mendengar perkataan istrinya. Harga dirinya bagaikan diinjak-injak, jantungnya berdebum sangat keras seperti akan pecah di dalam sana. Sangat sakit rasanya, tapi Hendra tidak mampu melampiaskan emosinya pada sang istri.
Bug!
Tinjunya melayang pada dinding tembok yang keras, menjalarkan sakit di sampai ke tulang sum-sum. Tapi sakit di dalam dadanya jauh lebih mematikan, akibat perkataan dari sang istri.
“Aku nggak mau bahas ini lagi. Jangan pernah kamu keluarin omongan seperti itu,” bisik Hendra, menekan emosinya ke dalam. Lelaki yang selama ini sangat tegar menjalani cobaan hidupnya, kali ini tidak mampu untuk tidak menitikkan air mata. “Aku sayang kamu sama Alan. Aku mohon... ayo kita perbaiki rumah tangga kita dan hidup harmonis seperti sebelumnya,” pintanya memohon.
Jika sudah ribut seperti ini pun Hendra masih terus ingin rumah tangganya membaik, bukankah ini kesempatan untuk Lilis? Ide gila pun muncul di kepalanya.
“Oke, aku bisa nggak cerai sama kamu. Tapi kamu harus mau jual diri!” tantang Lilis tanpa ampun.
***
Bersambung.
Menjual diri? Benarkah Lilis menyuruh Hendra menjual diri? Sejak kapan pula Lilis bisa berbicara hal tabu seperti itu? Apakah ini yang Lilis pelajari selama dua hari pulang selalu malam?“A-apa maksud kamu?” Hendra tergagap, tidak ingin percaya dengan isi kepalanya yang mulai berpikir buruk pada istrinya.“Kamu yang jual diri, biar aku yang carikan pelanggan buat kamu.”“Lilis!” sentak Hendra. "Aku udah cukup sabar, ya. Aku nggak akan segan-segan nampar kamu kalau berani ngomong gitu lagi!"“Kalo kamu nggak mau, ya sudah. Nggak usah ngancam aku segala, deh... aku yang bakal jual diri kalo kamu nggak mau. Kamu mau bantu aku carikan om-om kaya, nggak?”Apakah Lilis tidak sadar dengan ucapannya? Dia ingin suaminya menjual diri, apa yang ada di dalam kepalanya? Istri di luar sana justru banyak yang makan hati melihat suaminya menikah lagi. Hendra sendiri, jangankan berpikir menikah, bahkan membalas
Pertengkaran Lilis dan Hendra masih terus berlanjut. Alan yang menangis kencang tak mengurunkan niat Lilis mendesak Hendra untuk keinginannya. Sampai kapan mereka akan terus bertengkar, apa tidak malu sama tetangga? Juwita sangat gemas melihat Lilis yang bersitegang memaksa Hendra menceraikannya.“Buruan ceraikan aku!” Lilis mendorong Hendra yang hanya menatap istrinya tajam.“Jangan berharap. Sampai kapan pun, aku nggak bakal mau pisah sama Alan!”“Oke, nggak apa-apa. Kalo gitu, kamu ambil Alan buat kamu dan aku yang pergi dari rumah ini!”“Lis!”“Nggak! Aku nggak mau dengar apa pun. Kalo kamu mau aku tetap di sini, kamu harus ikuti omongan aku!” Lilis berlari ke kamar dan mulai menyusun pakaian lagi ke dalam tasnya. “Aku nggak mau miskin sampai mati! Aku juga mau menikmati hidup seperti orang-orang.”Keduanya kembali saling merampas tas yang di tangan Lilis. Benar-bena
“Me-menikah?” Lilis masih tidak percaya dengan pendengarannya. “Kamu mau menikah dengan suami aku?” “Kenapa, kamu keberatan? Kalo gitu, aku nggak jadi beli suami kamu.” “Bu-bukan begitu!” seru Lilis, takut jika Juwita akan menarik lagi ucapannya. “Kamu yakin mau menikah dengan Hendra? Tiga miliar bukan uang yang sedikit, loh!” ucapnya penuh tekanan. “Yakin. Atau mungkin itu kurang? Oke, aku tambahi dengan satu unit apartemen.” Napas Lilis hampir berhenti. Dia sangat tidak percaya, bagaikan tertimbun reruntuhan uang yang sangat banyak. Bayangkan saja, uang 3 miliar pun sudah sangat besar, dan masih ditambah dengan satu unit apartemen? Astaga, mimpi apa Lilis kemarin malam! “Kamu keberatan?” tanya Juwita, melihat Lilis yang terdiam sangat lama seperti sedang mempertimbangkan. ‘Tiga miliar. Tiga miliar.' Lilis mengulang-ulang nominal yang Juwita ucapkan, di kepalanya. Hanya syarat menikah? Ah, itu mah kecil! Lilis nggak akan m
Beberapa saat Hendra terpaku di depan pintu kamarnya. Ada rasa takut jika Lilis akan benar melakukan apa yang tadi diucapkannya. Tentu saja itu menakutkan, Hendra tidak ingin istrinya menjadi nekad melakukan bunuh diri. Tak ada pilihan, dia pun membuka pintu kamar untuk memastikan istrinya baik-baik saja.Tapi fakta yang Hendra lihat sekarang adalah, Lilis tengah meletakkan sebilah pisau di atas pergelangan kirinya, dan menatap Hendra dengan tajam.“Kamu nggak mau nikah, kan? Berarti kamu juga harus rela aku mati!”“Lilis, jangan, Lis!” Hendra yang terkejut lantas memeluk sang istri untuk menghentikan perbuatan gila itu. Dia pegangi kedua tangan Lilis dan mendorongnya ke dinding rumah. “Jangan lakuin itu, jangan aneh!”“Lepasin aku! Aku nggak mau hidup begini terus-terusan! Kalo kamu nggak mau nikah sama Juwita, kamu juga harus rela lihat aku mati di depan kamu!” jerit Lilis bersama tangisan dari mulut
Senam zumba kali ini sangat spesial bagi Lilis. Dia bergerak penuh semangat mengingat jawaban suaminya tadi malam. Rasanya tidak sabar agar musik itu segera berhenti lantas dia akan menemui Juwita dan mengatakan bahwa Hendra sudah setuju.“Satu, dua, tiga, empat....”Juwita sebagai instruktur mereka terus menghitung, bersahutan dengan musik yang sangat kencang di arena yang dikelilingi cermin besar. Lilis terus menari dengan semangat sembari menatap dirinya di pantulan cermin di sebelahnya.‘Sebentar lagi aku bakalan kaya! Aku bisa beli baju-baju bagu, sepatu bagus, juga perhiasan mahal kayak punya kalian!’ batinnya terus berbicara dan sesekali menatap teman-temannya.Hingga olahraga zumba itu berakhir, semua anggota duduk di atas lantai untuk meregangkan tubuh mereka. Lilis sama sekali tidak merasa lelah seperti biasa, mungkin karena terlalu senang akan menjadi orang kaya?“Lis, mau ganti bareng, nggak?” Vanny m
“Ada apa sih, Lis... ini mau ngapain?” tanya Hendra tidak mengerti, saat Lilis memaksanya mengenakan pakaian rapi. Tidak biasanya Lilis sangat perhatian seperti ini, mengambilkan baju dari lemari, membantu Hendra mengenakannya, bahkan sekarang menyisir rambutnya. Tidak seperti Lilis yang biasanya.“Lis, jawab dulu, dong. Ini ada apa aku harus pake baju bagus? Cuma mau tidur juga.”“Kamu harus ketemu Juwita, Sayang. Tadi sore dia bilang, dia mau ketemu kamu dulu. Inget, ya, di sana nggak usah banyak ngomong. Bilang aja kamu setuju nikah sama dia, tentukan tanggal nikahnya biar urusan cepat kelar.”Sontak hal itu membuat Hendra terkejut bukan main. Ternyata kebaikan istrinya tidak lah tulus seperti yang dia bayangkan. Lilis melakukan semua ini masih tetap demi... uang yang Juwita tawarkan.“Tapi, Lis-““Nggak ada tapi-tapian! Ingat, kamu udah janji kemarin malam,” serga Lilis memotong ucapan
Hendra berdiri di depan bangunan dua lantai nan mewah itu. Di pintunya dipasangi lampu led membentuk sebuah tulisan ‘Union Cafe’, tempat yang disuruh Lilis untuk dia datangi. Ya, dia akhirnya datang ke tempat itu setelah perdebatan dengan istri dan ibu mertuanya.Bagi Hendra, harga dirinya sudah tak ada. Dan demi memuaskan hati Lilis juga Ratna, Hendra akan melakukan apa yang mereka minta.“Pak Hendra?” sapa seorang berpakaian pelayan ‘Bagaimana dia bisa tahu namaku?’ pikir Hendra sejenak. Seakan paham isi kepala Hendra, pelayan itu tersenyum sebelum kembali berbicara. “Silakan, Pak. Bu Juwita menunggu Bapak di dalam.”Ternyata perempuan itu yang menyuruh pelayan ini. Sebenarnya... seberapa kaya dan hebatnya perempuan bernama Juwita itu, sampai dia tahu Hendra sudah berada di luar sini? Sambil mengikuti pelayan berkemeja putih itu, Hendra terus memikirkan siapa Juwita sebenarnya dan kenapa dia tertarik pada Hendra.
“Gimana? Apa kata Juwita sama kamu? Dia setuju nikah sama kamu kan, Hen? Juwita nggak batalin ucapannya malam itu, kan?”Baru saja Hendra tiba di rumah, Lilis sudah menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Istrinya itu bahkan tidak melihat suasana wajah Hendra yang kusut oleh beratnya beban pikiran. Hendra merasa kecewa pada sikap Lilis yang sangat keterlaluan, tapi hanya pasrah yang bisa dia lakukan.“Kok bengong, sih, Hen? Kamu nggak pergi ke mana-mana, kan? Kamu beneran nemuin Juwita atau malah ke mana, sih?” tanya Lilis sekali lagi.Rasanya tak ada gunanya Hendra berharap Lilis akan sedikit mengerti perasaannya. Wanita yang dia nikahi ini sudah tidak seperti wanita yang dulu Hendra kenal.“Ayo dong, Hen... kamu kenapa hanya diam? Bilang sama aku, apa yang Juwita ucapkan di pertemuan kalian,” paksa Lilis tak menyerah. Suaranya merengek dibuat seperti ingin menangis.“Dia bilang, besok kami menikah. Gima