Share

2. Ingin Menjadi Kaya.

Penulis: Butiran_Debu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-13 07:15:46

Waktu sudah subuh saat Hendra kembali dari pangkalan ojek. Ada senyum sumringah di wajahnya membayangkan Lilis akan senang menerima uang itu nantinya. Tidak banyak memang, hanya 46.000 yang dia dapatkan malam ini. Tapi jika dapat segitu saja pun setiap malamnya, pasti bisa Lilis gunakan membeli skincare seperti yang dipakai orang-orang.

“Kamu dari mana aja? Aku pulang malem kamu omelin, tapi kamu boleh pulang subuh?” Lilis sudah menunggu Hendra di teras rumah dan langsung mengomelinya. Dia memang tidak tahu saat tadi malam Hendra memutuskan mengojek malam, demi bisa menyenangkan sang istri.

 “Ini loh, aku habis ngojek di pengkolan. Nggak banyak sih, tapi lumayan buat kamu beli bedak,” terang Hendra, menyerahkan gulungan uang yang dia ambil dari saku celana. “Kamu tabung dulu, ya. Aku bakal ngojek tiap malam biar kamu bisa bebelian bedak," ucapnya dengan bannga.

Bukannya senang, Lilis hanya menatap gulungan uang di tangannya. ‘Berapa banyak hasil mengojek itu? Sepuluh ribu, dua puluh, seratus ribu?’ tebaknya dalam pikiran. Lilis sama sekali tidak tertarik menerima uang yang diserahkan oleh Hendra.

“Lis, ambil dong," bujuk Hendra. Dia tidak ingin terus bertengkar dengan Lilis.

“Aku butuhnya rumah dan mobil! Buat beli bedak kata kamu? Itu bahkan nggak cukup buat beli kapas muka!” sentak Lilis, meninggalkan Hendra di teras rumah.

Ah... padahal Hendra sudah begadang satu malaman. Matanya sangat mengantuk tapi sebentar lagi harus berangkat ke pabrik. Dan usahanya untuk menyenangkan sang istri sama sekali tidak dihargai. Rasanya Hendra ingin menjerit ke atas langit, barangkali jeritannya terdengar oleh malaikat.

Meski Lilis tidak menghargai usahanya, Hendra sama sekali tidak patah semangat. Dia membersihkan tubuhnya dan bersiap untuk berangkat ke pabrik. Walaupun di dalam tudung saji tidak terdapat sebiji makanan pun, Hendra tetap berpamitan pada sang istri dan pergi dengan perut kosong. Semoga saja saat pulang nanti Lilis sudah tidak marah lagi, harapnya.

Lilis sendiri sama sekali tidak tersentuh akan kebaikan Hendra. Setelah memandikan Alan, Lilis berangkat ke rumah ibunya dan kembali menitipkan putranya. Meski sang ibu berkata sedang tidak ingin mengasuh Alan, Lilis tetap pergi meninggalkan anak itu.

“Lis, Lilis! Astaga punya anak nyusahi benar, sih! Ini juga cucu bukannya cepetan gede, malah nyusahin orang tua!” Kekesalannya Ratna lampiaskan pada Alan. Lilis mendengarnya, tapi tidak peduli.

Tadi malam  teman-teman senamnya mengadakan janji untuk berkaraoke bersama. Lilis tidak ingin melewatkan kesempatan itu, sebab seumur-umur, dia belum pernah menginjakkan kaki ke family karaoke. Dari cerita teman-temannya, Lilis bisa membayangkan tempat itu sangat bagus dan pastinya menyenangkan.

Dia sendiri memiliki hobi bernyanyi. Nggak lagi nyuci, masak, mengepel, bahkan menidurkan Alan pun, Lilis selalu bernyanyi setiap saat. Karena itu dia sangat ingin ikut acara ini agar bisa mendengar suaranya bernyanyi dengan microphone dan diiringi alunan musik.

Tapi saat tiba di tempat itu, Lilis menjadi merasa minder.  Teman-teman di kelompok zumba datang dengan penampilan modis: baju mahal, dandanan menor, tas bermerek, juga perhiasan yang bagus-bagus di tangan dan leher mereka, jangan lupakan gawai berharga mahal itu juga tak lepas dari tangan mereka yang sibuk saling merekam, menayangkannya di siaran langsung sosial media.

Tidak seperti Lilis, hanya mengenakan celana jeans dan atasan yang sudah ketinggalan mode. Warna tasnya juga sudah memudar, dan wajahnya hanya tersapu bedak juga lipstick murahan yang pudar saat minum. Jangankan untuk mendengar suaranya bernyanyi, Lilis hanya diam melihat teman-temannya berpesta.

Saat sibuk memperhatikan teman-temannya bernyanyi, ponsel Lilis berbunyi di dalam tas. Gelagapan dia melihat teman-temannya, jangan sampai ada yang menyadari Lilis menggunakan ponsel jelek. Siapa juga yang tidak malu mengeluarkan ponsel yang layarnya sudah retak di mana-mana? Hendra membelikannya ponsel dua tahun yang lalu, dan itu juga bekas.  Bisa bayangkan sejadul apa ponsel Lilis, kan? Maka dari itu dia jengkel dan menjatuhkan ponselnya ke balik sofa agar tidak berdering lagi.

“Lis, kamu kok nggak ada semangatnya, sih?” tanya Vanny, ketika keduanya pergi ke toilet.

Vanny adalah teman Lilis saat semasa sekolah dulu dan hanya Vanny yang tahu kehidupan Lilis yang sebenarnya. Mereka baru bertemu kembali seminggu yang lalu. Vanny juga yang mengajak Lilis mengikuti kelas zumba hingga mengenal teman-teman lainnya. Sebenarnya nama perempuan itu Penita, tapi dia berkata pada Lilis agar memanggilnya dengan sebutan Vanny. Hal itu pula yang membuat Lilis ikut mengubah namanya menjadi Lisa, agar tidak terdengar kampungan saat bergabung bersama mereka.

“Aku malu, Pen, bulan besok juga nggak tau dapet dari mana buat bayar kelas zumba. Kamu mah enak, udah punya mobil, punya baju-baju bagus, perhiasan dan semua deh. Sedang aku, bisa kamu lihat sendiri, deh. Buat ikut kelas zumba ini aja kudu jual ginjal!” Bibir Lilis cemberut melihat penampilannya.   “Aku kesal banget sama Hendra yang cuma jadi buruh pabrik, gajinya juga nggak seberapa,” lanjut Lilis kesal. 

Bagaimana tidak kesal? Kemarin dia masih memiliki kalung emas peninggalan satu-satunya dari ibu mertua. Tapi ketika Venny menceritakan tentang kelas zumba premium yang dia ikuti sangat menyenangkan, Lilis pun nekad menjual kalung emas itu. Dia gunakan seluruh uangnya untuk mendaftar di kelas zumba juga membeli pakaian dan sepatu olahraga. 

Sementara Vanny yang dulu sama-sama berasal dari keluarga susah seperti Lilis, sekarang hidupnya sangat berubah. Vanny menjadi simpanan pria tua yang mencukupi segala kebutuhannya. Wanita itu terkekeh kecil mendengar temannya yang terus  uring-uringan.

“Bukannya kamu pacaran sama Hendra sejak masih SMA, udah tau dong dia hidupnya gimana? Kamu nyesal nikah sama dia?” tanya Vanny, merapikan rambut Lilis dengan sisir yang dia pegang. “Kalo kamu nyesel, tinggal cerai, toh? Cari laki-laki tua kayak aku, nanti kamu bisa jadi kaya.”

“Ye, aku udah punya anak kalik, mana mungkin ninggalin Alan.”

Lilis semakin kesal mengingat sekarang dia sudah punya anak. Andaikan dia tidak memiliki Alan, mungkin Lilis juga akan mengikuti saran Vanny, bercerai dengan Hendra.

Lagian apa yang dipertahankan dengan Hendra? Sampai mati juga hidupnya akan terus melarat jika bersama lelaki itu. Soal cinta bisa saja terhapus pelan-pelan jika sudah memiliki banyak uang. Andaikan saja Lilis bisa meninggalkan Alan dan menjadi simpanan om-om.

“Omong-omong,  Pen, teman lainnya juga sama kayak kamu? Mereka semua simpanan om-om?” tanya Lilis penasaran, pikirannya sedikit terganggu oleh saran dari sahabatnya.

“Nggak juga. Ada yang jadi simpanan kayak aku, ada juga yang udah jadi istri sah. Kalo Juwita, dia mah kaya dari sononya. Ortunya  pemiliki Aksa Mart, tapi nasibnya sial banget. Juwi pernah nikah sama laki-laki psikopat yang nyiksa dia tiap hari, makanya itu Juwita trauma dan nggak mau nikah lagi. Kasian, kan?” ucap Vanny menceritakan teman-temannya. “ Terus kalo Delila, dia itu menjual suaminya. Tapi jangan bilang-bilang orang, ya... tar nggak enak ke Delila.”

“Wah, beneran kamu, Pen? Jual gimana?” Lilis semakin penasaran mendengar cerita Venny.

“Dia nikah sama brondong, terus cariin tamu buat suaminya. Mucikari berkedok istri gitu, deh...” sahut Vanny tanpa beban. “Yuk, ah, yang lain pasti nungguin kita.” Keduanya pun keluar dari dalam toilet dan kembali bergabung di ruang family karaoke di mana yang lain masih asik berpesta.

Sejak kembali dari dalam toilet, Lilis memperhatikan semua teman-teman barunya. Simpanan om-om, lalu bekas pelakor yang sukses merebut suami orang hingga menikah, dan ada pula yang menjadi mucikari untuk suaminya sendiri. Terdengar menyeramkan, tapi mereka semua menjadi sukses berkat jalan yang dipilih.

Kalau dipikir-pikir, rugi sama untungnya juga setimpal, toh? Bisa hidup enak, bergaya sesuka hati dan bisa membeli barang yang diinginkan. Apakah Lilis juga harus mengikuti saran Vanny? Haruskah dia bercerai dengan Hendra dan menjadi simpanan om-om tajir?

*** 

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Andi Eny
mantap sekali cerita ini, bisa buat contoh
goodnovel comment avatar
Youe
semangat Lis... kamu pasti bisa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Suami yang Tak Diinginkan   305. Maukah Menikah Denganku? (END)

    Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh

  • Suami yang Tak Diinginkan   304. Tak Ada Cinta Tersisa?

    Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud

  • Suami yang Tak Diinginkan   303. Mengantar Surat Cerai

    Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki

  • Suami yang Tak Diinginkan   302. Tolong Maafkan Juwita.

    Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And

  • Suami yang Tak Diinginkan   301. Pa, Kenapa Kita di Sini?

    Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari

  • Suami yang Tak Diinginkan   300. Tertangkap.

    Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status