Waktu sudah subuh saat Hendra kembali dari pangkalan ojek. Ada senyum sumringah di wajahnya membayangkan Lilis akan senang menerima uang itu nantinya. Tidak banyak memang, hanya 46.000 yang dia dapatkan malam ini. Tapi jika dapat segitu saja pun setiap malamnya, pasti bisa Lilis gunakan membeli skincare seperti yang dipakai orang-orang.
“Kamu dari mana aja? Aku pulang malem kamu omelin, tapi kamu boleh pulang subuh?” Lilis sudah menunggu Hendra di teras rumah dan langsung mengomelinya. Dia memang tidak tahu saat tadi malam Hendra memutuskan mengojek malam, demi bisa menyenangkan sang istri.
“Ini loh, aku habis ngojek di pengkolan. Nggak banyak sih, tapi lumayan buat kamu beli bedak,” terang Hendra, menyerahkan gulungan uang yang dia ambil dari saku celana. “Kamu tabung dulu, ya. Aku bakal ngojek tiap malam biar kamu bisa bebelian bedak," ucapnya dengan bannga.
Bukannya senang, Lilis hanya menatap gulungan uang di tangannya. ‘Berapa banyak hasil mengojek itu? Sepuluh ribu, dua puluh, seratus ribu?’ tebaknya dalam pikiran. Lilis sama sekali tidak tertarik menerima uang yang diserahkan oleh Hendra.
“Lis, ambil dong," bujuk Hendra. Dia tidak ingin terus bertengkar dengan Lilis.
“Aku butuhnya rumah dan mobil! Buat beli bedak kata kamu? Itu bahkan nggak cukup buat beli kapas muka!” sentak Lilis, meninggalkan Hendra di teras rumah.
Ah... padahal Hendra sudah begadang satu malaman. Matanya sangat mengantuk tapi sebentar lagi harus berangkat ke pabrik. Dan usahanya untuk menyenangkan sang istri sama sekali tidak dihargai. Rasanya Hendra ingin menjerit ke atas langit, barangkali jeritannya terdengar oleh malaikat.
Meski Lilis tidak menghargai usahanya, Hendra sama sekali tidak patah semangat. Dia membersihkan tubuhnya dan bersiap untuk berangkat ke pabrik. Walaupun di dalam tudung saji tidak terdapat sebiji makanan pun, Hendra tetap berpamitan pada sang istri dan pergi dengan perut kosong. Semoga saja saat pulang nanti Lilis sudah tidak marah lagi, harapnya.
Lilis sendiri sama sekali tidak tersentuh akan kebaikan Hendra. Setelah memandikan Alan, Lilis berangkat ke rumah ibunya dan kembali menitipkan putranya. Meski sang ibu berkata sedang tidak ingin mengasuh Alan, Lilis tetap pergi meninggalkan anak itu.
“Lis, Lilis! Astaga punya anak nyusahi benar, sih! Ini juga cucu bukannya cepetan gede, malah nyusahin orang tua!” Kekesalannya Ratna lampiaskan pada Alan. Lilis mendengarnya, tapi tidak peduli.
Tadi malam teman-teman senamnya mengadakan janji untuk berkaraoke bersama. Lilis tidak ingin melewatkan kesempatan itu, sebab seumur-umur, dia belum pernah menginjakkan kaki ke family karaoke. Dari cerita teman-temannya, Lilis bisa membayangkan tempat itu sangat bagus dan pastinya menyenangkan.
Dia sendiri memiliki hobi bernyanyi. Nggak lagi nyuci, masak, mengepel, bahkan menidurkan Alan pun, Lilis selalu bernyanyi setiap saat. Karena itu dia sangat ingin ikut acara ini agar bisa mendengar suaranya bernyanyi dengan microphone dan diiringi alunan musik.
Tapi saat tiba di tempat itu, Lilis menjadi merasa minder. Teman-teman di kelompok zumba datang dengan penampilan modis: baju mahal, dandanan menor, tas bermerek, juga perhiasan yang bagus-bagus di tangan dan leher mereka, jangan lupakan gawai berharga mahal itu juga tak lepas dari tangan mereka yang sibuk saling merekam, menayangkannya di siaran langsung sosial media.
Tidak seperti Lilis, hanya mengenakan celana jeans dan atasan yang sudah ketinggalan mode. Warna tasnya juga sudah memudar, dan wajahnya hanya tersapu bedak juga lipstick murahan yang pudar saat minum. Jangankan untuk mendengar suaranya bernyanyi, Lilis hanya diam melihat teman-temannya berpesta.
Saat sibuk memperhatikan teman-temannya bernyanyi, ponsel Lilis berbunyi di dalam tas. Gelagapan dia melihat teman-temannya, jangan sampai ada yang menyadari Lilis menggunakan ponsel jelek. Siapa juga yang tidak malu mengeluarkan ponsel yang layarnya sudah retak di mana-mana? Hendra membelikannya ponsel dua tahun yang lalu, dan itu juga bekas. Bisa bayangkan sejadul apa ponsel Lilis, kan? Maka dari itu dia jengkel dan menjatuhkan ponselnya ke balik sofa agar tidak berdering lagi.
“Lis, kamu kok nggak ada semangatnya, sih?” tanya Vanny, ketika keduanya pergi ke toilet.
Vanny adalah teman Lilis saat semasa sekolah dulu dan hanya Vanny yang tahu kehidupan Lilis yang sebenarnya. Mereka baru bertemu kembali seminggu yang lalu. Vanny juga yang mengajak Lilis mengikuti kelas zumba hingga mengenal teman-teman lainnya. Sebenarnya nama perempuan itu Penita, tapi dia berkata pada Lilis agar memanggilnya dengan sebutan Vanny. Hal itu pula yang membuat Lilis ikut mengubah namanya menjadi Lisa, agar tidak terdengar kampungan saat bergabung bersama mereka.
“Aku malu, Pen, bulan besok juga nggak tau dapet dari mana buat bayar kelas zumba. Kamu mah enak, udah punya mobil, punya baju-baju bagus, perhiasan dan semua deh. Sedang aku, bisa kamu lihat sendiri, deh. Buat ikut kelas zumba ini aja kudu jual ginjal!” Bibir Lilis cemberut melihat penampilannya. “Aku kesal banget sama Hendra yang cuma jadi buruh pabrik, gajinya juga nggak seberapa,” lanjut Lilis kesal.
Bagaimana tidak kesal? Kemarin dia masih memiliki kalung emas peninggalan satu-satunya dari ibu mertua. Tapi ketika Venny menceritakan tentang kelas zumba premium yang dia ikuti sangat menyenangkan, Lilis pun nekad menjual kalung emas itu. Dia gunakan seluruh uangnya untuk mendaftar di kelas zumba juga membeli pakaian dan sepatu olahraga.
Sementara Vanny yang dulu sama-sama berasal dari keluarga susah seperti Lilis, sekarang hidupnya sangat berubah. Vanny menjadi simpanan pria tua yang mencukupi segala kebutuhannya. Wanita itu terkekeh kecil mendengar temannya yang terus uring-uringan.
“Bukannya kamu pacaran sama Hendra sejak masih SMA, udah tau dong dia hidupnya gimana? Kamu nyesal nikah sama dia?” tanya Vanny, merapikan rambut Lilis dengan sisir yang dia pegang. “Kalo kamu nyesel, tinggal cerai, toh? Cari laki-laki tua kayak aku, nanti kamu bisa jadi kaya.”
“Ye, aku udah punya anak kalik, mana mungkin ninggalin Alan.”
Lilis semakin kesal mengingat sekarang dia sudah punya anak. Andaikan dia tidak memiliki Alan, mungkin Lilis juga akan mengikuti saran Vanny, bercerai dengan Hendra.
Lagian apa yang dipertahankan dengan Hendra? Sampai mati juga hidupnya akan terus melarat jika bersama lelaki itu. Soal cinta bisa saja terhapus pelan-pelan jika sudah memiliki banyak uang. Andaikan saja Lilis bisa meninggalkan Alan dan menjadi simpanan om-om.
“Omong-omong, Pen, teman lainnya juga sama kayak kamu? Mereka semua simpanan om-om?” tanya Lilis penasaran, pikirannya sedikit terganggu oleh saran dari sahabatnya.
“Nggak juga. Ada yang jadi simpanan kayak aku, ada juga yang udah jadi istri sah. Kalo Juwita, dia mah kaya dari sononya. Ortunya pemiliki Aksa Mart, tapi nasibnya sial banget. Juwi pernah nikah sama laki-laki psikopat yang nyiksa dia tiap hari, makanya itu Juwita trauma dan nggak mau nikah lagi. Kasian, kan?” ucap Vanny menceritakan teman-temannya. “ Terus kalo Delila, dia itu menjual suaminya. Tapi jangan bilang-bilang orang, ya... tar nggak enak ke Delila.”
“Wah, beneran kamu, Pen? Jual gimana?” Lilis semakin penasaran mendengar cerita Venny.
“Dia nikah sama brondong, terus cariin tamu buat suaminya. Mucikari berkedok istri gitu, deh...” sahut Vanny tanpa beban. “Yuk, ah, yang lain pasti nungguin kita.” Keduanya pun keluar dari dalam toilet dan kembali bergabung di ruang family karaoke di mana yang lain masih asik berpesta.
Sejak kembali dari dalam toilet, Lilis memperhatikan semua teman-teman barunya. Simpanan om-om, lalu bekas pelakor yang sukses merebut suami orang hingga menikah, dan ada pula yang menjadi mucikari untuk suaminya sendiri. Terdengar menyeramkan, tapi mereka semua menjadi sukses berkat jalan yang dipilih.
Kalau dipikir-pikir, rugi sama untungnya juga setimpal, toh? Bisa hidup enak, bergaya sesuka hati dan bisa membeli barang yang diinginkan. Apakah Lilis juga harus mengikuti saran Vanny? Haruskah dia bercerai dengan Hendra dan menjadi simpanan om-om tajir?
***
Bersambung.
Lagi-lagi ketika Hendra pulang, dia tidak menemukan Lilis di rumah. Mertuanya datang mengantar Alan, sama persis seperti kemarin malam. Tak lupa dengan omelan pedas yang dilontarkan Ratna, menyuruh Hendra mencari baby sitter agar tidak menyusahkan dirinya. Hendra hanya bisa diam mendengar mertuanya mengomel sambil lalu.“Kamu ini kenapa sih, Lis....” keluh Hendra memikirkan istrinya.Padahal sebelum pulang tadi, Hendra sengaja membawa martabak, makanan kesukaan Lilis. Niatnya untuk membujuk istrinya itu agar tidak marah-marah seperti kemarin malam. Tapi nyatanya, dia yang kembali dibuat geram oleh kelakuan sang istri yang tidak tahu keberadaannya. Ponsel Lilis tidak aktif, Hendra hanya bisa mendesah lesu meletakkan lagi ponselnya.Belum lagi Alan yang terus saja menangis, tidak mau makan dan selalu hanya memanggil mamanya, itu membuat Hendra berasa ingin gila. Ketika Lilis pulang nanti, Hendra akan memberi istrinya pelajaran agar tidak lagi mengulang
Menjual diri? Benarkah Lilis menyuruh Hendra menjual diri? Sejak kapan pula Lilis bisa berbicara hal tabu seperti itu? Apakah ini yang Lilis pelajari selama dua hari pulang selalu malam?“A-apa maksud kamu?” Hendra tergagap, tidak ingin percaya dengan isi kepalanya yang mulai berpikir buruk pada istrinya.“Kamu yang jual diri, biar aku yang carikan pelanggan buat kamu.”“Lilis!” sentak Hendra. "Aku udah cukup sabar, ya. Aku nggak akan segan-segan nampar kamu kalau berani ngomong gitu lagi!"“Kalo kamu nggak mau, ya sudah. Nggak usah ngancam aku segala, deh... aku yang bakal jual diri kalo kamu nggak mau. Kamu mau bantu aku carikan om-om kaya, nggak?”Apakah Lilis tidak sadar dengan ucapannya? Dia ingin suaminya menjual diri, apa yang ada di dalam kepalanya? Istri di luar sana justru banyak yang makan hati melihat suaminya menikah lagi. Hendra sendiri, jangankan berpikir menikah, bahkan membalas
Pertengkaran Lilis dan Hendra masih terus berlanjut. Alan yang menangis kencang tak mengurunkan niat Lilis mendesak Hendra untuk keinginannya. Sampai kapan mereka akan terus bertengkar, apa tidak malu sama tetangga? Juwita sangat gemas melihat Lilis yang bersitegang memaksa Hendra menceraikannya.“Buruan ceraikan aku!” Lilis mendorong Hendra yang hanya menatap istrinya tajam.“Jangan berharap. Sampai kapan pun, aku nggak bakal mau pisah sama Alan!”“Oke, nggak apa-apa. Kalo gitu, kamu ambil Alan buat kamu dan aku yang pergi dari rumah ini!”“Lis!”“Nggak! Aku nggak mau dengar apa pun. Kalo kamu mau aku tetap di sini, kamu harus ikuti omongan aku!” Lilis berlari ke kamar dan mulai menyusun pakaian lagi ke dalam tasnya. “Aku nggak mau miskin sampai mati! Aku juga mau menikmati hidup seperti orang-orang.”Keduanya kembali saling merampas tas yang di tangan Lilis. Benar-bena
“Me-menikah?” Lilis masih tidak percaya dengan pendengarannya. “Kamu mau menikah dengan suami aku?” “Kenapa, kamu keberatan? Kalo gitu, aku nggak jadi beli suami kamu.” “Bu-bukan begitu!” seru Lilis, takut jika Juwita akan menarik lagi ucapannya. “Kamu yakin mau menikah dengan Hendra? Tiga miliar bukan uang yang sedikit, loh!” ucapnya penuh tekanan. “Yakin. Atau mungkin itu kurang? Oke, aku tambahi dengan satu unit apartemen.” Napas Lilis hampir berhenti. Dia sangat tidak percaya, bagaikan tertimbun reruntuhan uang yang sangat banyak. Bayangkan saja, uang 3 miliar pun sudah sangat besar, dan masih ditambah dengan satu unit apartemen? Astaga, mimpi apa Lilis kemarin malam! “Kamu keberatan?” tanya Juwita, melihat Lilis yang terdiam sangat lama seperti sedang mempertimbangkan. ‘Tiga miliar. Tiga miliar.' Lilis mengulang-ulang nominal yang Juwita ucapkan, di kepalanya. Hanya syarat menikah? Ah, itu mah kecil! Lilis nggak akan m
Beberapa saat Hendra terpaku di depan pintu kamarnya. Ada rasa takut jika Lilis akan benar melakukan apa yang tadi diucapkannya. Tentu saja itu menakutkan, Hendra tidak ingin istrinya menjadi nekad melakukan bunuh diri. Tak ada pilihan, dia pun membuka pintu kamar untuk memastikan istrinya baik-baik saja.Tapi fakta yang Hendra lihat sekarang adalah, Lilis tengah meletakkan sebilah pisau di atas pergelangan kirinya, dan menatap Hendra dengan tajam.“Kamu nggak mau nikah, kan? Berarti kamu juga harus rela aku mati!”“Lilis, jangan, Lis!” Hendra yang terkejut lantas memeluk sang istri untuk menghentikan perbuatan gila itu. Dia pegangi kedua tangan Lilis dan mendorongnya ke dinding rumah. “Jangan lakuin itu, jangan aneh!”“Lepasin aku! Aku nggak mau hidup begini terus-terusan! Kalo kamu nggak mau nikah sama Juwita, kamu juga harus rela lihat aku mati di depan kamu!” jerit Lilis bersama tangisan dari mulut
Senam zumba kali ini sangat spesial bagi Lilis. Dia bergerak penuh semangat mengingat jawaban suaminya tadi malam. Rasanya tidak sabar agar musik itu segera berhenti lantas dia akan menemui Juwita dan mengatakan bahwa Hendra sudah setuju.“Satu, dua, tiga, empat....”Juwita sebagai instruktur mereka terus menghitung, bersahutan dengan musik yang sangat kencang di arena yang dikelilingi cermin besar. Lilis terus menari dengan semangat sembari menatap dirinya di pantulan cermin di sebelahnya.‘Sebentar lagi aku bakalan kaya! Aku bisa beli baju-baju bagu, sepatu bagus, juga perhiasan mahal kayak punya kalian!’ batinnya terus berbicara dan sesekali menatap teman-temannya.Hingga olahraga zumba itu berakhir, semua anggota duduk di atas lantai untuk meregangkan tubuh mereka. Lilis sama sekali tidak merasa lelah seperti biasa, mungkin karena terlalu senang akan menjadi orang kaya?“Lis, mau ganti bareng, nggak?” Vanny m
“Ada apa sih, Lis... ini mau ngapain?” tanya Hendra tidak mengerti, saat Lilis memaksanya mengenakan pakaian rapi. Tidak biasanya Lilis sangat perhatian seperti ini, mengambilkan baju dari lemari, membantu Hendra mengenakannya, bahkan sekarang menyisir rambutnya. Tidak seperti Lilis yang biasanya.“Lis, jawab dulu, dong. Ini ada apa aku harus pake baju bagus? Cuma mau tidur juga.”“Kamu harus ketemu Juwita, Sayang. Tadi sore dia bilang, dia mau ketemu kamu dulu. Inget, ya, di sana nggak usah banyak ngomong. Bilang aja kamu setuju nikah sama dia, tentukan tanggal nikahnya biar urusan cepat kelar.”Sontak hal itu membuat Hendra terkejut bukan main. Ternyata kebaikan istrinya tidak lah tulus seperti yang dia bayangkan. Lilis melakukan semua ini masih tetap demi... uang yang Juwita tawarkan.“Tapi, Lis-““Nggak ada tapi-tapian! Ingat, kamu udah janji kemarin malam,” serga Lilis memotong ucapan
Hendra berdiri di depan bangunan dua lantai nan mewah itu. Di pintunya dipasangi lampu led membentuk sebuah tulisan ‘Union Cafe’, tempat yang disuruh Lilis untuk dia datangi. Ya, dia akhirnya datang ke tempat itu setelah perdebatan dengan istri dan ibu mertuanya.Bagi Hendra, harga dirinya sudah tak ada. Dan demi memuaskan hati Lilis juga Ratna, Hendra akan melakukan apa yang mereka minta.“Pak Hendra?” sapa seorang berpakaian pelayan ‘Bagaimana dia bisa tahu namaku?’ pikir Hendra sejenak. Seakan paham isi kepala Hendra, pelayan itu tersenyum sebelum kembali berbicara. “Silakan, Pak. Bu Juwita menunggu Bapak di dalam.”Ternyata perempuan itu yang menyuruh pelayan ini. Sebenarnya... seberapa kaya dan hebatnya perempuan bernama Juwita itu, sampai dia tahu Hendra sudah berada di luar sini? Sambil mengikuti pelayan berkemeja putih itu, Hendra terus memikirkan siapa Juwita sebenarnya dan kenapa dia tertarik pada Hendra.