Share

4. Mau Membeli Suamiku?

 Menjual diri? Benarkah Lilis menyuruh Hendra menjual diri? Sejak kapan pula Lilis bisa berbicara hal tabu seperti itu? Apakah ini yang Lilis pelajari selama dua hari pulang selalu malam?

“A-apa maksud kamu?” Hendra tergagap, tidak ingin percaya dengan isi kepalanya yang mulai berpikir buruk pada istrinya.

“Kamu yang jual diri, biar aku yang carikan pelanggan buat kamu.”

“Lilis!” sentak Hendra. "Aku udah cukup sabar, ya. Aku nggak akan segan-segan nampar kamu kalau berani ngomong gitu lagi!"

“Kalo kamu nggak mau, ya sudah. Nggak usah ngancam aku segala, deh... aku yang bakal jual diri kalo kamu nggak mau. Kamu mau bantu aku carikan om-om kaya, nggak?”

Apakah Lilis tidak sadar dengan ucapannya? Dia ingin suaminya menjual diri, apa yang ada di dalam kepalanya? Istri di luar sana justru banyak yang makan hati melihat suaminya menikah lagi. Hendra sendiri, jangankan berpikir menikah, bahkan membalas pesan dari wanita lain pun dia tidak mau. Tapi Lilis justru ingin Hendra menjual diri? Hendra menggeleng lemah, menurutnya istrinya sudah tidak waras.

Bagaimana dia bisa berpikir Lilis masih waras? Lilis bahkan terang-terangan meminta suaminya mencarikan om-om kaya.

“Kamu benar-benar udah gila, ya?”

“Iya, aku gila karna hidup miskin!” sambar Lilis bagai api yang menyala-nyala. “Sekarang kamu tinggal jawab, kamu mau aku carikan pelanggan atau aku yang jual diri!”

"Istri gila...!" teriak Hendra bersiap menampar istrinya. 

Suara pintu diketuk mengagetkan pasangan suami istri yang sedang bertengkar itu. Kepala Hendra berputar menghadap jam dinding, sudah pukul 22:45, ternyata.  Dia pikir mungkin tetangga mereka terganggu mendengar teriakan yang begitu keras  sehingga datang menyuruh mereka diam.

“Jeng,  Jeng Lisa....” panggil seseorang diikuti suara ketukan pintu, mengagetkan Lilis yang dipenuhi amarah.

Siapa yang memanggilnya dengan nama itu? Seingat Lilis, hanya teman-teman barunya yang tahu Lilis memakai nama Lisa. Dan jika itu adalah Vanny, tidak mungkin dia memanggil menggunakan embel-embel ‘Jeng’.

“Siapa lagi itu yang cari kamu?” tanya Hendra, membukakan pintu untuk tamu mereka.

Sesaat Hendra terdiam melihat wanita berparas ayu itu lagi. Wanita yang kemarin malam mengantar Lilis ke rumah, wanita yang membuat Lilis menjadi gila seperti sekarang.

“Mau apa cari istri saya? Pergi, jangan pernah datang mengganggu Lilis lagi!” usir Hendra tak tanggung-tanggung.

Lilis sendiri shock melihat Juwita di ambang pintu. ‘Sialan...!’ pikirnya. Percuma saja Lilis bebohong mengatakan dirinya juga orang kaya, tapi sekarang sudah tertangkap basah.

“Maaf, saya dihubungi petugas karaoke karena hape ini.” Juwita mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. “Aku lihat, ada foto Jeng Lisa di layarnya, jadi aku pikir pasti ini punya Jeng Lisa.” Juwi menyerahkannya pada Hendra.

“Lis, kamu pergi ke tempat karaoke?” tanya Hendra semakin shock. Bagaimana bisa istrinya yang lugu masuk ke tempat seperti itu? Apakah menjual diri seperti yang tadi Lilis ucapkan? “Jelasin gimana kamu bisa pergi ke tempat seperti itu, Lilis!”

“Berisik!” Lilis membalas Hendra tak kalah keras. Tak peduli dia jika Hendra marah atau benar-benar akan menceraikannya detik ini juga. Lilis lebih takut jika harus kehilangan teman-teman zumbanya.

Juwita sudah menemukan Lilis di rumah ini dan pastinya mendengar perdebatannya bersama Hendra. Juwi tentu sudah tahu bahwa sebenarnya Lilis hanya wanita miskin yang berbohong sebagai orang kaya, hanya untuk tetap bisa berteman dengan mereka. Jika Juwi sampai mengatakan yang sebenarnya, habis lah Lilis. Tak akan pernah lagi merasakan hidup layaknya orang kaya.

“Maaf sudah mengganggu, saya permisi dulu,” ucap Juwita berpamitan.

Tidak. Lilis tidak akan membiarkan dirinya terasing dari kumpulan mereka. Tidak akan pernah! Maka dia segera mengejar Juwita ke teras.

“Jeng Juwi, Jeng, tolong dengarin aku dulu, Jeng!” Dia tarik tangan Juwita agar tidak segera pergi. “Jeng Juwi sudah tau gimana kehidupan aku, tapi tolong jangan bilang ke yang lain, Jeng. Aku nggak mau mereka menjauhin aku,” mohonnya memelas. Mata Lilis berkaca-kaca menunjukkan dia tidak rela kehilangan teman-teman barunya.

“Meski aku tidak bilang ke mereka, lambat laun semua orang juga pasti menyadarinya. Jeng Lisa, aku rasa pun mereka sudah menyadarinya, hanya menunggu mereka menyaksikan dengan mata sendiri.”

“A-apa maksudnya, Jeng Juwi? Mereka tau kehidupan aku yang sebenarnya?” Lilis terkejut, tidak menyangka kebohongannya ternyata sudah tercium oleh teman-temannya. Padahal dia sudah berbohong sangat banyak, mengatakan suaminya adalah direktur di salah satu perusahaan besar, dan lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri untuk mengurus bisnis. Jika semua sampai terbongkar dan diasingkan dari kumpulan itu, tak bisa lagi dia berlagak kaya di depan teman-teman barunya. Dan tentu saja hidupnya akan kembali ke sehari-hari sebelumnya, mengurus rumah dan anak selama 24 jam. Itu menyebalkan.

“Aku rasa, sih, ya. Karna aku sendiri juga sudah menyadari semua ucapan Jeng Lisa bertolak belakang dengan yang kami lihat. Tidak masalah sebenarnya, tapi kebohongan Jeng Lisa yang bikin semuanya menjadi runyam,” ucap Juwi jujur.

Juwi sendiri sudah curiga melihat penampilan Lilis selama ini. Mana mungkin istri seorang direktur tidak bisa berdan-dan, tidak memiliki barang-barang bagus dan hanya mengenakan pakaian ala kadarnya.

Terus, kemarin saat mengantarkan Lilis pun dia sudah tahu bahwa sebenarnya suami Lilis hanya buruh di sebuah pabrik. Bukan direktur perusahaan yang sibuk mengurus bisnis di luar negeri. Juwi acuh karena dia tidak ingin ikut campur dalam kebohongan Lilis dan membiarkan kebohongan itu terbongkar dengan sendirinya.

“Jeng Juwi, tolong aku kali ini!” Lilis memaksa Juwita untuk mendengarkan ucapannya, sebelum wanita itu mengatakan pada yang lain siapa dia sebenarnya. “Hanya dalam satu atau dua minggu, tolong jangan katakan pada siapa pun. Aku bakal mengubah semua ini, akan membuat hidupku benar-benar memiliki semua yang aku katakan selama kemarin!”

“Hah?” Juwita melongo. Bagaimana mungkin dalam satu dua minggu semuanya akan berubah? Itu sungguh tidak masuk akal. “Dua minggu? Bagaimana caranya kamu membuat rumah mewah dalam dua minggu? Memangnya suami kamu bisa membangun perusahaan dalam satu malam?” Juwita sudah berbicara sangat santai, tidak pakai embel-embel 'jeng' pada Lilis.

“Bukan, bukan begitu.” Lilis tampak yakin semuanya akan berubah, dia lirik suaminya dan berkata dengan tegas, “Aku akan menjual suamiku. Delila aja bisa, kenapa aku tidak bisa? Aku bakal cari seseorang yang akan membelinya.”

“Lilis!” Hendra menatap istrinya tidak percaya, bagaimana bisa Lilis berkata seperti itu di depan wanita lain? Ini sangat menjatuhkan harga diri Hendra di depan orang lain. “Apa-apaan sih kamu ini?”

“Kenapa? Bukannya kamu bilang nggak mau cerai sama aku? Kalo kamu nggak mau cerai, berarti kamu harus siap menjual diri!” tegas Lilis.

Juwi yang mendengarnya juga ikut shock. Bukan, bukan dia tidak asing mendengar seorang istri rela berbagi dengan wanita lain, asalkan hidupnya terpenuhi. Meski teman-temannya menyembunyikan fakta dari dirinya, bukankah bangkai akan selalu mengeluarkan bau busuk? Juwi tahu tentang Delila, hanya tidak ingin mengurus kehidupan pribadi temannya saja.

Tapi mendengar Lilis bisa berbicara gamblang seperti itu sungguh membuat dia terperanga, seakan tak ada beban di hati wanita yang lebih muda dari dirinya ini untuk menjual suaminya sendiri. Sangat terang-terangan Lilis merendahkan suaminya sendiri di depan orang lain yang baru dia kenal. Apa itu tidak mengejutkan?

“Jaga ucapan kamu. Mungkin Delila kelihatan senang, tapi kita tidak tahu bagaimana di dalam hatinya,” peringat Juwita.

“Aku nggak keberatan, jika itu bisa mengubah hidup aku! Atau... mungkin kamu mau membeli suami aku? Aku dengar-dengar, kamu trauma menikah dengan laki-laki jahat, tapi suami aku baik kok, iya kan, Hen?” Lilis mencari dukungan dari suaminya. “Hendra nggak akan nyakitin Jeng Juwi, suami aku bukan orang kasar. Tapi Jeng Juwi harus ngasih aku uang yang banyak.”

Tak ada kah rasa malu atau pun sungkan di dirinya?

“Kamu gila, ya!” Hendra menarik Lilis masuk ke dalam rumah, sangat malu dia mendengar perkataan istrinya. “Jangan aneh-aneh, Lis. Sekali lagi kamu ngomong begitu aku nggak akan maafin kamu!”

“Kalo gitu cerain aku, dong! Kamu nggak mau jual diri, tapi aku mau! Cepetan cerain aku sekarang juga!”

“Lilis!”

“Nggak! Aku nggak mau dengar apa pun. Kalo kamu nggak mau cerai, kamu harus mau melakukan yang aku bilang, Hen!” Lilis membantah keras.

Juwita yang terus menyaksikan mereka bertengkar, ikut geram atas semua ucapan Lilis. Kenapa sih suami Lilis sangat sabar? Kenapa tidak diceraikan saja istri seperti ini? Lilis sudah menjatuhkan harga dirinya, tapi Hendra masih bisa menahan diri. Jika Juwita yang menjadi Hendra, dia pasti membuang perempuan seperti Lilis.

Apalagi Hendra bukannya sangat jelek. Dia tampan dengan tubuh tingginya. Hanya saja, penampilan yang ala kadarnya itu yang membuat Hendra terlihat biasa saja. Juwita sangat geram melihat Hendra yang lemah menghadapi Lilis. Perlukah Juwita benar-benar membeli Hendra seperti yang Lilis tawarkan? 

**

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status