LOGINMenjelang sore, Hendra dan Putri bersiap untuk pulang. Saat dia hendak menyalakan motor, Pak Budi menghampirinya sambil membawa amplop putih di tangannya.
“Dra!” panggilnya. Hendra pun menoleh sambil tersenyum.“Iyaa Pak, ada apa?” sahutnya. Pak Budi tersenyum.“Ini gajimu masa langsung pulang gitu aja,” jawabnya sambil tertawa.“Dan kalo besok kamu bawa lagi anakmu, biar istri saya aja yang asuh. Sekalian Putri nemenin istri saya, Dra,” tawarnya sambil menyodorkan amplop putih di tangannya. Hendra menepuk jidatnya pelan.“Yaa ampun, saya hampir lupa kalo hari ini gajian, Pak.” dia sedikit terkejut dengan ucapan mandornya itu, dia sejenak terdiam dan menoleh ke arah Putri sekilas. “Nanti malah ngerepotin, Pak. Putri mending disini aja, nanti saya juga mau cari kontrakan yang dekat sama tempat kerja,” jawabnya. Pak Budi menepuk pundak Hendra.“Ck! Kamu ini, Dra. Soal itu kamu Nggak usah khawatir, lagi pula. Kami belum punya anak, mungkin dengan ada nya Putri bisa bikin istri saya seneng, Dra, gimana? Lagian rumah saya deket kok dari sini,” lanjut Pak Budi. Hendra memang tahu, jika mandornya itu belum memiliki anak. Umurnya pun tidak jauh berbeda dengannya sehingga Hendra selalu menganggap Pak Budi sebagai kakaknya. “Baiklah pak, kalo gitu. Tapi kalo Putri rewel bilang aja,” ucapnya sambil menggendong Putri yang sudah terlelap tidur. Pak Budi senang dengan jawaban Hendra, dengan begitu dia berpikir istrinya akan memiliki teman untuk sementara waktu. “Baiklah, Dra. Saya akan kabari istri saya, pasti dia senang mendengar ini. Kalo gitu, hati-hati di jalan, Dra,” pungkasnya mengakhiri pembicaraan. Setelah itu, Hendra menaiki motornya sambil menutupi tubuh anaknya dengan jaket agar tidak terkena angin sore. Sesaat Hendra sudah sampai di halaman rumah, keadaan rumah terlihat sepi. Tapi… Bu Aminah—mertuanya dengan wajah yang sudah terlihat merah padam dan menatap tajam ke arahnya. Bu Aminah maju selangkah ke arah Hendra.“Cih! Berani kamu rupanya menalak Sarah? Dasar pria tidak tau di untung!” makinya itu membuat Hendra terpaksa hanya menghela nafasnya dan berusaha membuat anaknya yang tetap tertidur. Hendra, berusaha tenang. Tanpa menghiraukan ucapan sang ibu mertua dia melangkah masuk tak mempedulikan Bu Aminah yang masih mengomel dan bahkan memakinya. Di dalam rumah, ternyata sudah ada,Sarah dan Ayahnya. Pak Arman, yaitu Ayah mertua dari Hendra lekas berdiri begitu Hendra datang. Dan ia menghampiri Hendra lalu mengajaknya berbincang. Berbeda dengan istrinya bu Aminah. Pak Arman terlihat lebih tenang dan ramah. “Bu! Sudah cukup. Malu dengan orang-orang,” ucap Pak Arman membuat istrinya langsung terdiam. Hendra menghampiri Ayah mertuanya. “Bapak?” sapa Hendra sambil menyalami Pak Arman. Pak Arman menyambutnya uluran tangan Hendra dengan hangat. Tak seperti ibu mertuanya yang ketus dan selalu memandang rendah menantunya itu. “Duduklah dulu, Dra. Bapak ingin bicara dengan mu,” ujar Pak Arman sambil duduk di karpet sederhana kontrakan kecil milik Hendra itu. “Iyaa Pak, sebentar. Hendra tidurin dulu Putri di kamar,” jawabnya. Tak lama Hendra pun kembali, duduk di sebelah Ayah mertuanya itu. Pak Arman menghela napas sejenak. Sebelum dia berbicara. “Baiklah Dra, ini menyangkut perkataan mu kepada Sarah, tadi pagi. Apakah itu benar-benar keluar dari hatimu? Bapak harap, itu hanya sebuah kesalah pahaman,” ucap Pak Arman sambil menatap Hendra dengan lekat. Hendra menunduk sejenak, sekilas dia mengepalkan tangannya lalu menghela napas dan menghembuskannya secara perlahan. “Bukan Hendra yang menalak. Sarah yang meminta bercerai.” “Sikap Sarah sudah di luar batas, Pak. Hendra udah nggak sanggup, menghadapi tingkahnya yang semena-mena, bahkan dia sudah tidak mau tidur satu kasur denganku,” jelas Hendra dengan suara yang bergetar. Jelas hal itu membuat Pak Arman langsung menoleh ke arah Sarah yang langsung tertunduk saat sang Ayah menatap ke arahnya. “Lalu... apa sudah matang keputusan mu itu, Dra? Bapak harap, kamu hanya sekedar emosi. Karena Bapak tak mau ada perpisahan, di antara kalian, kasihan dengan Putri,” jawab Pak Arman dengan suara yang berat. “Iyaa Pak, maaf. Aku harus mengambil keputusan tegas, jika memang aku tak memberikan Sarah kebahagiaan yang layak, maka aku rela memulangkan sarah, kepada bapak.” Bu Aminah mendengus kesal.“Udahlah, nggak usah basa-basi lagi. Anak saya cantik! Dia masih banyak yang mau, kalo mau cerai ya cerai saja,” sergahnya. Pak Arman langsung memelototi istrinya itu. “Diam Bu,” ucapnya, sehingga membuat istrinya kembali terdiam sambil menggerutu. “Putri biar Ibu dan Sarah yang urus! Kamu mana bisa urus dia sendirian!” celetuknya. Hendra spontan menoleh, suaranya pecah menahan emosi. “Tidak, Bu! Bagaimana bisa Putri hidup dengan Sarah, kalau dia sendiri tidak mau mengakui anaknya?!” sergahnya penuh penekanan. Matanya memerah, air mata hampir jatuh. Melihat suasana makin panas, Pak Arman lekas mendekati Hendra. Ia menepuk bahu putranya perlahan. “Dra, tenanglah dulu. Putri tidak akan kami bawa. Percayalah,” ucapnya lembut. “Kalau memang itu keputusanmu, Bapak hanya bisa mendoakan yang terbaik. Untuk kamu… dan untuk cucu Bapak.” Suaranya terdengar bergetar menahan sedih. Kemudian, Pak Arman menoleh ke arah Sarah, dengan tatapan penuh kekecewaan. Dia tahu ada yang salah dengan rumah tangga anaknya itu, seberat apapun masalah mereka, selama ini Hendra tak pernah melafalkan talak kepada istrinya. Akan tetapi kini berbeda dengan tegas Hendra memutuskan untuk berpisah dengan Sarah. “Coba Jelaskan kepada Bapak, apa yang sudah kamu perbuat? Sampai Hendra menalak mu, Sarah!” tanya Pak Arman dengan tegas. Sarah hanya mampu tertunduk dan menutupi kepalanya dengan jaket. “A–aku... aku—” ucapnya terpotong saat Pak Arman langsung mengangkat tangannya. Pak Arman menatap tajam ke arah Sarah.“Cukup! Buka jaketmu!” ucapnya karena melihat gelagat aneh dari anaknya itu. Mendengar itu, wajah Sarah langsung pucat. Karena di lehernya, masih terdapat noda merah sisa semalam. Pak Arman memperhatikan Sarah dengan seksama. Sarah mencoba menutupi noda merah dengan rambutnya. Namun, sayang sang Ayah menyibakan rambut sarah, sehingga Pak Arman dapat melihat bekas noda merah di lehernya. Mata Pak Arman seketika melotot dan geram dengan tingkah laku anaknya itu. “Siapa yang melakukan ini, Sarah? Tidak mungkin Hendra, kan?” tanyanya sambil menahan emosi. Karena dia tahu, dari penjelasan Hendra, jika Sarah sudah beberapa hari tak tidur bersamanya, tidak mungkin jika Hendra yang melakukan itu. Dan jelas mungkin ini yang menjadi faktor utama Hendra menalak putrinya, pikirnya. Bu Aminah, terkejut. Dia tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Bu Aminah hanya bisa terdiam, karena dia tahu bagaimana suaminya ketika marah. “JAWAB!” ucap Pak Arman dengan suara yang meninggi, sehingga membuat Sarah dan Bu Aminah terlonjak kaget. Sarah masih saja terdiam. Hingga... PLAKK!! Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Sarah. Sehingga membuatnya hanya bisa menangis, ketika merasakan perihnya tamparan dari sang Ayah. Hendra hanya bisa membeku, sekalipun ia tak pernah banyak membahagiakan Sarah, ia sekalipun tidak pernah menyentuh Sarah untuk melukainya. Wajah Pak Arman merah padam sambil menatap ke arah putrinya itu.“Kurang ajar! Ayah sudah mendidikmu dengan baik, tapi ini yang kau lakukan Sarah?!” ucap Pak Arman sambil berlalu pergi menuju keluar.“Kanaya, kamu dan suami mu. Apakah tidur satu kamar?” tanya Tuan Abraham. Kanaya dan Hendra saling bertatap muka lalu keduanya kembali menoleh ke arah tuan Abraham sambil mengangguk. Tuan Abraham hangat mangut-mangut saja sambil menyesap tehnya. “Aku minta, agar kalian segera memiliki keturunan. Itu syarat dariku jika kamu mau meneruskan usahaku,” lanjut tuan Abraham membuat Hendra dan Kanaya nyaris tersedak dengan ludah nya sendiri. “APA!” ucap keduanya. Tuan Abraham menoleh dengan alis terangkat. “Kenapa? Apa yang salah dengan itu. Bukan kah kalian sepasang suami istri? Kenapa terkejut mendengar itu?” ucap tuan Abraham. Kanaya menghela napas sejenak kemudian melirik ke arah Hendra sejenak. “Tidak secepat itu, Kakek. Semua nya perlu proses.” Tuan Abraham menyesap teh nya lebih dulu sebelum menjawab Kanaya. “Aku tunggu kabar dari kalian.” Setelah mengucapkan itu tuan Abraham pergi bersama asistennya. Meninggalkan Hendra dan Kanaya yang masih diam mematung. Kedu
Suasana kantor Kanaya seketika menjadi heboh, mendengar Ronald di berhentikan dari tempat itu membuat sebagian orang senang, dan sebagian lagi menyayangkannya. Tapi, Kanaya tak peduli dengan itu. Lalu kabar itu pun sampai ke telinga Hendra, yang tau dari asistennya yaitu Rania. Tentu kabar itu menbuat Hendra sangat terkejut. “Apa yang terjadi?” gumam Hendra sambil menyandarkan punggungnya di kursi kebesaran nya itu. “Apa yang di pikirkan Kanaya sebenarnya?” Saat Hendra sedang melamun, Pintu terbuka tanpa ketukan, muncul lah wanita yang tak lain adalah Kanaya yang berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam. “Kamu sudah mendengar kabar tentang di berhentikan nya, Ronald bukan?” ucap Kanaya sambil dudul di hadapannya. “Apa kau tak tahu, rahasia besar yang sudah di sembunyikan Ronald dan mantan istrimu?” lanjutnya lagi sambil bersidekap dada. Hendra mengerutkan kening, semakin tak mengerti apa maksud dari wanita yang menjadi istri pura-puranya itu. “Maksud mu apa? apa hubungannya
Di perjalanan, Hendra menyetir dengan fokus. Matanya sesekali melirik ke arah Kanaya yang wajahnya terlihat sangat kusut. “Sudah biarkan saja orang seperti dia, biar aku buktikan saja, kalau aku mampu menunjukan kemampuanku,” ucap Hendra berusaha membuat Kanaya tenang. Kanaya menghela nafas, lalu menoleh sekilas ke arah Hendra. “Aku akan memberhentikan dia sebagai direktur keuangan, aku tak peduli lagi dengan orang itu,” ujar Kanaya. Hendra hanya menghela nafas saat mendengarnya, kemudian ia diam dan tak ingin melanjutkan obrolannya. Singkatnya, mobil Kanaya sampai di cafe tujuan nya. Hendra memarkirkan mobil itu, dan keduanya segera turun dari mobil. Tak ada angin tak ada hujan, Kanaya mengalungkan lengannya di tangan Hendra. Hal itu membuat Hendra sedikit terkejut, kenapa Kanaya melakukannya. Saat Hendra hendak bertanya. Kanaya langsung mengajak nya berjalan tanpa memberi kesempatan Hendra berbicara. “Ada apa dengan dia? Tumben sekali,” batin Hendra. Saat kedua
Pagi harinya, Hendra membuka matanya perlahan. Dan bersiap, untuk membersihkan diri, ia membungkus lukanya dengan penutup khusus, setelah selesai membersihkan diri Hendra sudah terlihat rapih. Di luar suara Putri sudah terdengar, suaranya terdengar riang karena sedang di ajak bermain oleh seseorang yang tak lain adalah Kanaya. Begitu Hendra keluar, keduanya menoleh. Hendra langsung di sambut oleh anaknya yang berlari kecil ke arah Hendra. “Ayah! Aku di belikan ini oleh Mama cantik!” ujarnya dengan mata berbinar sambil menunjukan boneka beruang berwarna coklat. Hendra pun mensejajarkan tubuhnya dengan Putri. “Wahhh, bonekanya cantik, kaya Putri,” ucap Hendra sambil memuji sang anak. “Terus, Putri bilang apa sama mama cantik?” lanjutnya. Kanaya yang sedang duduk di sofa terlihat sudah rapih, ia menunggu giliran untuk berbicara. Di wajahnya jelas terukir sedikit senyuman meskipun samar, terlebih saat Putri menyebutnya Mama cantik. “Iyaa dong Ayah, Putri bilang 'Terimakasih' udah bel
Setelah kejadian terror itu. Hendra menjadi berpikir, siapa yang berani melakukan itu ke kediaman Kanaya? pikirnya. Hendra melihat ke arah Putri yang sedang tertidur pulas di sampingnya, sementara itu dirinya sedang sibuk dengan laptopnya di ruang santai dekat kamarnya dan kamar Kanaya. Rasa kantuk mulai menghinggapi usai dia menelan obat pereda nyeri dari dokter. Hendra menutup laptopnya, dan bersandar ke sofa tempat ia duduk bersama Putri. Mainan yang berantakan dan sisa makanan, belum sempat di bereskan sehingga, begitu Hendra terlelap tidur Kanaya pulang tanpa ia sadari. “Astaga, kenapa mereka tertidur disini?” ucapnya usai menaiki tangga terakhir. Kanaya berjalan mendekati keduanya, saat melihat sosok Putri, perasaannya menjadi hangat, dan tanpa sadar Kanaya menyunggingkan senyumnya. Matanya menyapu ruangan itu, sedikit berantakan. Pikirnya, akan tetapi entah ada dorongan apa, ia menyimpan tasnya di atas meja dekat laptop Hendra dan memunguti sampah lalu membereskan main
Hendra berdiri sambil menatap keluar jendela, infus masih terpasang di lengannya. Matanya terus memperhatikan ke arah luar, sesekali ia mencuri pandang ke arah Kanaya. “Ternyata, Kanaya orang yang baik hati, meskipun sedikit cuek dan terlihat tidak peduli,” gumamnya. Saat tatapan keduanya bertemu, Hendra segera memalingkan wajah sambil tersenyum tipis. Terlebih wajah Kanaya memang terlihat sangat ketus dan judes. Yaa, mungkin itu sudah menjadi karakternya. Pikir Hendra. Singkatnya, dua hari sudah Hendra berada di rumah sakit itu, perjalanan yang tadinya sebuah liburan bagi pasangan pengantin malah menjadi liburan yang kelam. Akan tetapi, karena kejadian itu membuat Hendra jadi tahu, sifat Kanaya sebenarnya sangatlah perhatian meskipun terkadang sikapnya sangat menyebalkan. “Apa kamu sudah siap?” tanya Kanaya sedikit berbeda dari sebelumnya. Terdengar lebih lembut di telinga Hendra. Tidak bisa tidak, melihat sikap Kanaya Hendra di buat tersenyum. Ia kemudian mengangguk sambil







