Share

3. Tidak!

Author: Dominic
last update Last Updated: 2025-09-15 23:33:19

Menjelang sore, Hendra dan Putri bersiap untuk pulang. Saat dia hendak menyalakan motor, Pak Budi menghampirinya sambil membawa amplop putih di tangannya.

“Dra!” panggilnya.

Hendra pun menoleh sambil tersenyum.“Iyaa Pak, ada apa?” sahutnya.

Pak Budi tersenyum.“Ini gajimu masa langsung pulang gitu aja,” jawabnya sambil tertawa.“Dan kalo besok kamu bawa lagi anakmu, biar istri saya aja yang asuh. Sekalian Putri nemenin istri saya, Dra,” tawarnya sambil menyodorkan amplop putih di tangannya.

Hendra menepuk jidatnya pelan.“Yaa ampun, saya hampir lupa kalo hari ini gajian, Pak.” dia sedikit terkejut dengan ucapan mandornya itu, dia sejenak terdiam dan menoleh ke arah Putri sekilas.

“Nanti malah ngerepotin, Pak. Putri mending disini aja, nanti saya juga mau cari kontrakan yang dekat sama tempat kerja,” jawabnya.

Pak Budi menepuk pundak Hendra.“Ck! Kamu ini, Dra. Soal itu kamu Nggak usah khawatir, lagi pula. Kami belum punya anak, mungkin dengan ada nya Putri bisa bikin istri saya seneng, Dra, gimana? Lagian rumah saya deket kok dari sini,” lanjut Pak Budi.

Hendra memang tahu, jika mandornya itu belum memiliki anak. Umurnya pun tidak jauh berbeda dengannya sehingga Hendra selalu menganggap Pak Budi sebagai kakaknya.

“Baiklah pak, kalo gitu. Tapi kalo Putri rewel bilang aja,” ucapnya sambil menggendong Putri yang sudah terlelap tidur.

Pak Budi senang dengan jawaban Hendra, dengan begitu dia berpikir istrinya akan memiliki teman untuk sementara waktu.

“Baiklah, Dra. Saya akan kabari istri saya, pasti dia senang mendengar ini. Kalo gitu, hati-hati di jalan, Dra,” pungkasnya mengakhiri pembicaraan.

Setelah itu, Hendra menaiki motornya sambil menutupi tubuh anaknya dengan jaket agar tidak terkena angin sore.

Sesaat Hendra sudah sampai di halaman rumah, keadaan rumah terlihat sepi. Tapi… Bu Aminah—mertuanya dengan wajah yang sudah terlihat merah padam dan menatap tajam ke arahnya.

Bu Aminah maju selangkah ke arah Hendra.“Cih! Berani kamu rupanya menalak Sarah? Dasar pria tidak tau di untung!” makinya itu membuat Hendra terpaksa hanya menghela nafasnya dan berusaha membuat anaknya yang tetap tertidur.

Hendra, berusaha tenang. Tanpa menghiraukan ucapan sang ibu mertua dia melangkah masuk tak mempedulikan Bu Aminah yang masih mengomel dan bahkan memakinya. Di dalam rumah, ternyata sudah ada,Sarah dan Ayahnya.

Pak Arman, yaitu Ayah mertua dari Hendra lekas berdiri begitu Hendra datang. Dan ia menghampiri Hendra lalu mengajaknya berbincang. Berbeda dengan istrinya bu Aminah. Pak Arman terlihat lebih tenang dan ramah.

“Bu! Sudah cukup. Malu dengan orang-orang,” ucap Pak Arman membuat istrinya langsung terdiam.

Hendra menghampiri Ayah mertuanya.

“Bapak?” sapa Hendra sambil menyalami Pak Arman.

Pak Arman menyambutnya uluran tangan Hendra dengan hangat. Tak seperti ibu mertuanya yang ketus dan selalu memandang rendah menantunya itu.

“Duduklah dulu, Dra. Bapak ingin bicara dengan mu,” ujar Pak Arman sambil duduk di karpet sederhana kontrakan kecil milik Hendra itu.

“Iyaa Pak, sebentar. Hendra tidurin dulu Putri di kamar,” jawabnya. Tak lama Hendra pun kembali, duduk di sebelah Ayah mertuanya itu.

Pak Arman menghela napas sejenak. Sebelum dia berbicara.

“Baiklah Dra, ini menyangkut perkataan mu kepada Sarah, tadi pagi. Apakah itu benar-benar keluar dari hatimu? Bapak harap, itu hanya sebuah kesalah pahaman,” ucap Pak Arman sambil menatap Hendra dengan lekat.

Hendra menunduk sejenak, sekilas dia mengepalkan tangannya lalu menghela napas dan menghembuskannya secara perlahan.

“Bukan Hendra yang menalak. Sarah yang meminta bercerai.”

“Sikap Sarah sudah di luar batas, Pak. Hendra udah nggak sanggup, menghadapi tingkahnya yang semena-mena, bahkan dia sudah tidak mau tidur satu kasur denganku,” jelas Hendra dengan suara yang bergetar.

Jelas hal itu membuat Pak Arman langsung menoleh ke arah Sarah yang langsung tertunduk saat sang Ayah menatap ke arahnya.

“Lalu... apa sudah matang keputusan mu itu, Dra? Bapak harap, kamu hanya sekedar emosi. Karena Bapak tak mau ada perpisahan, di antara kalian, kasihan dengan Putri,” jawab Pak Arman dengan suara yang berat.

“Iyaa Pak, maaf. Aku harus mengambil keputusan tegas, jika memang aku tak memberikan Sarah kebahagiaan yang layak, maka aku rela memulangkan sarah, kepada bapak.”

Bu Aminah mendengus kesal.“Udahlah, nggak usah basa-basi lagi. Anak saya cantik! Dia masih banyak yang mau, kalo mau cerai ya cerai saja,” sergahnya.

Pak Arman langsung memelototi istrinya itu. “Diam Bu,” ucapnya, sehingga membuat istrinya kembali terdiam sambil menggerutu.

“Putri biar Ibu dan Sarah yang urus! Kamu mana bisa urus dia sendirian!” celetuknya.

Hendra spontan menoleh, suaranya pecah menahan emosi.

“Tidak, Bu! Bagaimana bisa Putri hidup dengan Sarah, kalau dia sendiri tidak mau mengakui anaknya?!” sergahnya penuh penekanan. Matanya memerah, air mata hampir jatuh.

Melihat suasana makin panas, Pak Arman lekas mendekati Hendra. Ia menepuk bahu putranya perlahan.

“Dra, tenanglah dulu. Putri tidak akan kami bawa. Percayalah,” ucapnya lembut. “Kalau memang itu keputusanmu, Bapak hanya bisa mendoakan yang terbaik. Untuk kamu… dan untuk cucu Bapak.” Suaranya terdengar bergetar menahan sedih.

Kemudian, Pak Arman menoleh ke arah Sarah, dengan tatapan penuh kekecewaan. Dia tahu ada yang salah dengan rumah tangga anaknya itu, seberat apapun masalah mereka, selama ini Hendra tak pernah melafalkan talak kepada istrinya. Akan tetapi kini berbeda dengan tegas Hendra memutuskan untuk berpisah dengan Sarah.

“Coba Jelaskan kepada Bapak, apa yang sudah kamu perbuat? Sampai Hendra menalak mu, Sarah!” tanya Pak Arman dengan tegas.

Sarah hanya mampu tertunduk dan menutupi kepalanya dengan jaket.

“A–aku... aku—” ucapnya terpotong saat Pak Arman langsung mengangkat tangannya.

Pak Arman menatap tajam ke arah Sarah.“Cukup! Buka jaketmu!” ucapnya karena melihat gelagat aneh dari anaknya itu.

Mendengar itu, wajah Sarah langsung pucat. Karena di lehernya, masih terdapat noda merah sisa semalam.

Pak Arman memperhatikan Sarah dengan seksama. Sarah mencoba menutupi noda merah dengan rambutnya. Namun, sayang sang Ayah menyibakan rambut sarah, sehingga Pak Arman dapat melihat bekas noda merah di lehernya.

Mata Pak Arman seketika melotot dan geram dengan tingkah laku anaknya itu.

“Siapa yang melakukan ini, Sarah? Tidak mungkin Hendra, kan?” tanyanya sambil menahan emosi.

Karena dia tahu, dari penjelasan Hendra, jika Sarah sudah beberapa hari tak tidur bersamanya, tidak mungkin jika Hendra yang melakukan itu. Dan jelas mungkin ini yang menjadi faktor utama Hendra menalak putrinya, pikirnya.

Bu Aminah, terkejut. Dia tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Bu Aminah hanya bisa terdiam, karena dia tahu bagaimana suaminya ketika marah.

“JAWAB!” ucap Pak Arman dengan suara yang meninggi, sehingga membuat Sarah dan Bu Aminah terlonjak kaget.

Sarah masih saja terdiam. Hingga...

PLAKK!!

Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Sarah. Sehingga membuatnya hanya bisa menangis, ketika merasakan perihnya tamparan dari sang Ayah. Hendra hanya bisa membeku, sekalipun ia tak pernah banyak membahagiakan Sarah, ia sekalipun tidak pernah menyentuh Sarah untuk melukainya.

Wajah Pak Arman merah padam sambil menatap ke arah putrinya itu.“Kurang ajar! Ayah sudah mendidikmu dengan baik, tapi ini yang kau lakukan Sarah?!” ucap Pak Arman sambil berlalu pergi menuju keluar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   11. Permainan di mulai

    Hendra terpaku di tempatnya, menatap pintu yang baru saja menutup di belakang Reynald. Ucapan terakhir Kanaya menggantung di udara—dingin, berat, dan penuh makna tersembunyi. “Jangan buat aku kecewa.” Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari semua sindiran Reynald barusan. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Hanya napasnya yang terasa berat, dada sesak seolah beban dunia baru saja diletakkan di atas pundaknya. Kanaya menatapnya sejenak, kemudian langkahnya melambat mendekati meja kerja besar di tengah ruangan. Tangannya menyentuh permukaannya yang mengilat, lalu menatap Hendra lagi. “Mulai hari ini, kamu resmi menjabat sebagai Kepala Divisi Operasional Perusahaan ini,” ucapnya dengan nada yang begitu tenang, namun sarat wibawa. Hendra nyaris tidak bisa mempercayai telinganya. “A… apa?” “Kepala Divisi Operasional,” ulang Kanaya, kali ini dengan sedikit senyum tipis. “Jabatan itu kosong sejak bulan lalu, dan aku pikir… kamu orang yang tepat untuk posisi ini.” Hendra mundu

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   10. Kantor

    Mobil hitam itu akhirnya berhenti di halaman sebuah gedung tinggi yang menjulang angkuh, dinding kacanya berkilau memantulkan cahaya matahari pagi. Hendra menelan ludah. Jangankan bekerja, berdiri di depan gedung itu saja membuatnya merasa kecil.Begitu pintu mobil dibuka, dua orang pria bersetelan rapi segera menghampiri.“Selamat pagi, Pak Hendra,” ucap mereka hampir bersamaan sambil sedikit membungkuk.Hendra tertegun. “S-selamat pagi…” jawabnya terbata, masih belum terbiasa diperlakukan begitu.Pak Tano memberi kode halus. “Mari, Pak, mereka sudah menunggu Bapak.”Dengan langkah kaku, Hendra mengikuti mereka masuk ke dalam. Lobi gedung itu terasa mewah: lantai marmer putih, chandelier menggantung berkilau, resepsionis tersenyum ramah seakan semuanya memang sudah diatur untuk menyambutnya.Tak lama, seorang wanita muda berpenampilan rapi—blazer hitam dengan kemeja putih—datang menghampiri. Rambutnya diikat sederhana, namun sikapnya penuh percaya diri.“Selamat datang, Pak Hendra. N

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   9. Pekerjaan baru

    Makan malam itu berakhir tanpa senyum, tanpa sapaan hangat, hanya dingin yang menusuk dari setiap tatapan. Begitu pelayan menarik kursi terakhir dan hidangan penutup tersisa dingin di piring, Tuan Adrian berdiri tanpa kata. Ia meninggalkan meja, langkahnya berat, penuh wibawa namun dingin. Nyonya Clara menyusul, tapi sempat berhenti sejenak di belakang Hendra. Tatapannya menusuk, lalu bibirnya bergerak pelan, hampir berbisik. “Anak muda, cepat atau lambat… kamu akan tersingkir dengn sendiri nya.” Hendra terdiam, darahnya serasa berhenti mengalir. Nyonya Clara pun melangkah pergi menyusul suaminya. Kini hanya ada Hendra dan Kanaya di meja makan panjang itu. Suasana begitu hening, hanya terdengar detak jam dan tarikan napas berat Hendra. Kanaya menoleh padanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Kau baik-baik saja?” Hendra menelan ludah, tangannya masih menggenggam sendok yang gemetar. “Aku… aku benar-benar tidak tahu harus jawab apa. Maaf, Kanaya… aku hanya membuatmu

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   8. Makan malam yang kaku

    “Jadi ini calon suamimu?” Suara berat namun berwibawa itu membuat tubuh Hendra seketika beku. Ia menoleh, mendapati seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu gelap, rambutnya memutih rapi, sorot matanya tajam. Di sampingnya berdiri seorang wanita anggun bergaun sutra biru tua, lehernya dihiasi mutiara, wajahnya masih cantik meski usia sudah senja. Tuan Adrian Wiratama dan Nyonya Clara Wiratama, konglomerat pemilik jaringan bisnis raksasa, sekaligus orangtua Kanaya. Hendra buru-buru menunduk, tangannya dingin, napasnya tak teratur. “Se—selamat malam, Pak, Bu…” ucapnya terbata, tubuhnya kaku. Tuan Adrian melipat tangan di dada, menatap Hendra tanpa ekspresi. “Nama kamu Hendra, bukan?” tanyanya. “Be—betul, Pak…” “Kerja apa? Dari keluarga mana? Bagaimana kamu bisa berkenalan dengan Kanaya?” Pertanyaan itu meluncur deras, seperti interogasi. Hendra tertegun, matanya bergerak gelisah. “Sa—saya hanya karyawan biasa di perusahaan… saya tidak… tidak berasal dari keluarga

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   7. Gugup

    “Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   6. Bu Bos

    Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status