Share

2. Arsitek Junior

Penulis: Dominic
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-15 23:27:35

Sepanjang jalan, Hendra tak ada henti-hentinya memikirkan permintaan Sarah. Meskipun ia marah, tapi tidak sampai meminta bercerai, kan?

“Dra, kenapa kamu bawa anak? Nanti dia ganggu pekerjaan kamu gimana?” tegur sang mandor saat Hendra sampai di proyek. Sambil menggendong Putri yang diam.

“Maaf Pak Budi, anak saya nggak akan ganggu kok. Yang penting dia aman, nanti aku titip ke mbak Yuni kantin. “ tukasnya lalu menitipkan Putri ke kantin.

Meskipun penjaga kantin itu centil, ia akhirnya mau. Apalagi, yang menitip adalah Hendra. Bagaimanapun, di proyek itu hanya Hendra yang paling dicolek oleh penjaga kantin.

Hendra tersenyum lalu berdiri perlahan, lalu menunduk ke arah Putri. Ia meraih tangan mungil itu, menciumnya dalam-dalam sambil berbisik lirih.

“Ayah kerja dulu ya, Sayang. Nanti Ayah jemput. Jangan nakal, jangan bikin Mbak Yuni repot.”

Putri hanya tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Senyuman itu membuat dada Hendra sedikit lega, meski langkah kakinya terasa berat saat meninggalkan kantin menuju lokasi kerja.

Hendra pun langsung bergabung bersama teman-temannya yang lain untuk segera bekerja. Saat di tengah-tengah, Hendra dan yang lainnya bekerja. Sebuah mobil hitam mewah masuk ke area proyek perumahan itu. Membuat semua yang sedang bekerja menoleh ke arahnya.

“Itu bu Bos, semua fokus kerjanya. Bu Bos dateng,” ucap salah satu teman Hendra bernama Jono.

Sementara Hendra langsung kembali fokus bekerja tanpa menghiraukan kedatangan bosnya itu. Berbeda dengan yang lain, seakan menunggu bos mereka itu keluar dari mobil.

“Jon! Fokus kerja kamu, nanti kena marah Pak Joni lagi,” bisik Hendra kepada Jono.

Jono pun menoleh sambil cengengesan dan kembali mengaduk semen di hadapannya.

Saat keluar dari mobil, sosok wanita menggunakan pakaian formal berwarna abu serta kacamata hitam menghiasi kecantikannya.

Pak Budi yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri dan lekas menghampiri.“Selamat datang, Bu Kanaya. Mari Bu ke tempat yang lebih teduh,” sapa Pak Budi sekaligus mengajak bos besarnya itu untuk menuju ke kantin agar lebih nyaman dan teduh.

Kanaya menurunkan kacamatanya sedikit, menatap sekilas ke arah Pak Budi. Bibirnya hanya menyunggingkan senyum tipis yang lebih mirip garis formalitas.

“Tidak usah terlalu repot, Pak Budi. Saya hanya ingin melihat progres pekerjaan di sini. Laporan di kertas tidak selalu sesuai dengan kenyataan di lapangan,” jawabnya dengan nada tenang, tapi tegas.

Pak Budi mengangguk cepat, “Siap, Bu. Silakan kalau mau lihat-lihat dulu.”

Kanaya mengedarkan pandangannya. Sepasang mata dinginnya menelusuri setiap detail para pekerja yang sibuk, adukan semen, hingga struktur bangunan yang sudah berdiri setengah jadi.

Wajahnya tetap datar, tapi jelas ia memperhatikan dengan seksama.

“Pekerjaan ini butuh ketelitian,” ujarnya singkat, suaranya terdengar jelas meski pelan. “Saya tidak mau ada kesalahan kecil yang berujung besar. Paham?”

“Paham, Bu,” jawab Pak Budi mantap.

Kanaya lalu melangkah pelan menuju kantin, sekadar untuk melihat kondisi sekitar. Saat tiba, matanya menangkap sosok kecil yang tengah duduk di meja pojok. Dengan pensil dan kertas seadanya, bocah itu asyik mencoret-coret. Guratan garisnya membentuk sketsa rumah sederhana, meski belum rapi, tapi terlihat jelas bentuk pintu, jendela, dan atap.

Kanaya terhenti sejenak. Kedua alisnya sedikit terangkat, reaksi langka dari wajah dinginnya. Ia mendekat perlahan, kacamata hitamnya kini sudah dilepas dan diselipkan di jemari.

“Anak siapa ini?” tanyanya datar, tapi ada nada penasaran yang tidak bisa disembunyikan.

Mbak Yuni yang sedang meracik minuman buru-buru menoleh.

“Itu, Bu… anaknya salah satu pekerja di sini. Namanya Putri,” jawabnya sopan.

Kanaya memandang kembali ke arah Putri. Senyum tipis, entah untuk pertama kalinya hari itu, menghiasi bibirnya.

Kanaya berdiri di samping meja, kedua tangannya menyilang di depan dada. Pandangannya jatuh pada coretan-coretan di kertas yang digenggam Putri.

“Apa yang sedang kamu gambar?” tanyanya datar, tanpa senyum berlebihan, hanya mata tajamnya yang mengamati.

Putri mendongak, sedikit kaget melihat sosok wanita cantik dan berwibawa di depannya. Namun, ia segera menunjukkan kertas itu dengan polos.

“Ini rumah, Tante. Ada pintu, jendela, sama atap. Tapi masih jelek…” ujarnya dengan wajah sedikit merengut.

Alis Kanaya terangkat tipis. Ia menunduk, memperhatikan detail sederhana itu. Meskipun garisnya masih goyah, Kanaya bisa menangkap pola ada niat menggambar struktur bangunan, bukan sekadar coretan anak kecil.

“Tidak jelek. Hanya belum selesai,” ucap Kanaya, nadanya tetap tegas, seolah memberi evaluasi pada seorang arsitek junior.

Putri langsung tersenyum lebar, giginya yang kecil berderet rapi terlihat jelas.

“Beneran nggak jelek, Tante? Putri pingin gambarnya kayak rumah beneran.”

Kanaya menatap anak itu lebih lama. Ada sesuatu dalam sorot mata polosnya yang membuat dinding dingin dalam dirinya sedikit retak. Ia lalu mengambil pena dari saku jasnya, meraih kertas itu, dan menambahkan beberapa garis sederhana membentuk jendela yang lebih simetris dan atap yang lebih proporsional.

“Kalau mau jadi rumah, kamu harus buat garisnya lurus. Seperti ini,” katanya singkat, lalu meletakkan pena kembali di meja.

Mata Putri berbinar kagum. “Waaah, Tante pintar banget! Tante hebat!” tanyanya polos.

Kanaya tersenyum tipis, kali ini tulus meski masih tertahan. “Siapa yang ajarin kamu menggambar seperti ini?” jawabnya diakhiri tanya.

Putri kembali menoleh.“Ayah, Tante,” jawabnya pelan.

Mbak Yuni yang sejak tadi memperhatikan hanya bisa tertegun. Ia berani bersumpah baru kali ini melihat Bu Kanaya, si bos yang terkenal dingin, mau berjongkok dan berinteraksi begitu hangat dengan seorang anak kecil.

Kanaya kembali menatap Putri. “Ayah kamu? Siapa nama, Ayah kamu itu?” tanyanya, nada suaranya tetap datar, tapi jelas mengandung rasa penasaran yang berbeda dari biasanya.

Putri menoleh sebentar ke arah pintu kantin, memastikan ayahnya belum kelihatan, lalu kembali menatap Kanaya dengan polos.

“Hendra, Tante,” jawabnya mantap sambil tersenyum lebar.

Kanaya sedikit terdiam, matanya menyipit seolah mencoba mengingat. “ Hendra?” gumamnya lirih. Ia baru sadar, yang dimaksud Putri adalah salah satu pekerja yang tadi ia lihat sedang fokus bekerja.

Putri mengangguk dan meletakkan dagunya di atas meja. “Hendra–ku–su–ma.” ujarnya terbata. Lalu tangannya sibuk memutar-mutar pensil.

“Ayah kerja terus, biar bisa beli makanan buat aku. Jadi aku tungguin Ayah di sini,” ucapnya tanpa beban, seolah menceritakan hal yang biasa.

Ada jeda sesaat sebelum Kanaya merespons. Biasanya, ia tak pernah memberi perhatian pada hal-hal kecil semacam ini. Tapi kali ini, entah kenapa, kata-kata anak kecil itu seperti mengetuk sesuatu di hatinya.

Kanaya menunduk sedikit, menatap Putri dengan sorot mata yang lebih lembut dari sebelumnya.

“Kamu anak pintar,” ucapnya singkat. “Jangan nakal di sini ya, biar Ayahmu bisa kerja dengan tenang.”

Putri mengangguk cepat. “Iya, Tante! Putri janji. Putri mau bikin gambar rumah yang bagus, nanti kasih lihat Ayah.”

Kanaya hanya mengangguk tipis, lalu berdiri kembali. Ia merapikan jasnya, mengembalikan wajah dinginnya yang biasa, tapi dalam hati ada rasa aneh yang belum pernah ia rasakan campuran penasaran, kagum, dan ada ingatan sesuatu tentang nama 'Kusuma' yang tersemat sebagai nama belakang dari Hendra.

Sementara itu, dari kejauhan, Hendra sempat menoleh sekilas ke arah kantin. Pandangannya tertumbuk pada sosok Bu Kanaya yang berdiri di dekat Putri. Hatinya berdegup lebih kencang antara cemas karena anaknya berinteraksi dengan bosnya, dan heran kenapa bos besar seperti itu bisa tertarik pada gadis kecilnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   11. Permainan di mulai

    Hendra terpaku di tempatnya, menatap pintu yang baru saja menutup di belakang Reynald. Ucapan terakhir Kanaya menggantung di udara—dingin, berat, dan penuh makna tersembunyi. “Jangan buat aku kecewa.” Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari semua sindiran Reynald barusan. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Hanya napasnya yang terasa berat, dada sesak seolah beban dunia baru saja diletakkan di atas pundaknya. Kanaya menatapnya sejenak, kemudian langkahnya melambat mendekati meja kerja besar di tengah ruangan. Tangannya menyentuh permukaannya yang mengilat, lalu menatap Hendra lagi. “Mulai hari ini, kamu resmi menjabat sebagai Kepala Divisi Operasional Perusahaan ini,” ucapnya dengan nada yang begitu tenang, namun sarat wibawa. Hendra nyaris tidak bisa mempercayai telinganya. “A… apa?” “Kepala Divisi Operasional,” ulang Kanaya, kali ini dengan sedikit senyum tipis. “Jabatan itu kosong sejak bulan lalu, dan aku pikir… kamu orang yang tepat untuk posisi ini.” Hendra mundu

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   10. Kantor

    Mobil hitam itu akhirnya berhenti di halaman sebuah gedung tinggi yang menjulang angkuh, dinding kacanya berkilau memantulkan cahaya matahari pagi. Hendra menelan ludah. Jangankan bekerja, berdiri di depan gedung itu saja membuatnya merasa kecil.Begitu pintu mobil dibuka, dua orang pria bersetelan rapi segera menghampiri.“Selamat pagi, Pak Hendra,” ucap mereka hampir bersamaan sambil sedikit membungkuk.Hendra tertegun. “S-selamat pagi…” jawabnya terbata, masih belum terbiasa diperlakukan begitu.Pak Tano memberi kode halus. “Mari, Pak, mereka sudah menunggu Bapak.”Dengan langkah kaku, Hendra mengikuti mereka masuk ke dalam. Lobi gedung itu terasa mewah: lantai marmer putih, chandelier menggantung berkilau, resepsionis tersenyum ramah seakan semuanya memang sudah diatur untuk menyambutnya.Tak lama, seorang wanita muda berpenampilan rapi—blazer hitam dengan kemeja putih—datang menghampiri. Rambutnya diikat sederhana, namun sikapnya penuh percaya diri.“Selamat datang, Pak Hendra. N

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   9. Pekerjaan baru

    Makan malam itu berakhir tanpa senyum, tanpa sapaan hangat, hanya dingin yang menusuk dari setiap tatapan. Begitu pelayan menarik kursi terakhir dan hidangan penutup tersisa dingin di piring, Tuan Adrian berdiri tanpa kata. Ia meninggalkan meja, langkahnya berat, penuh wibawa namun dingin. Nyonya Clara menyusul, tapi sempat berhenti sejenak di belakang Hendra. Tatapannya menusuk, lalu bibirnya bergerak pelan, hampir berbisik. “Anak muda, cepat atau lambat… kamu akan tersingkir dengn sendiri nya.” Hendra terdiam, darahnya serasa berhenti mengalir. Nyonya Clara pun melangkah pergi menyusul suaminya. Kini hanya ada Hendra dan Kanaya di meja makan panjang itu. Suasana begitu hening, hanya terdengar detak jam dan tarikan napas berat Hendra. Kanaya menoleh padanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Kau baik-baik saja?” Hendra menelan ludah, tangannya masih menggenggam sendok yang gemetar. “Aku… aku benar-benar tidak tahu harus jawab apa. Maaf, Kanaya… aku hanya membuatmu

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   8. Makan malam yang kaku

    “Jadi ini calon suamimu?” Suara berat namun berwibawa itu membuat tubuh Hendra seketika beku. Ia menoleh, mendapati seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu gelap, rambutnya memutih rapi, sorot matanya tajam. Di sampingnya berdiri seorang wanita anggun bergaun sutra biru tua, lehernya dihiasi mutiara, wajahnya masih cantik meski usia sudah senja. Tuan Adrian Wiratama dan Nyonya Clara Wiratama, konglomerat pemilik jaringan bisnis raksasa, sekaligus orangtua Kanaya. Hendra buru-buru menunduk, tangannya dingin, napasnya tak teratur. “Se—selamat malam, Pak, Bu…” ucapnya terbata, tubuhnya kaku. Tuan Adrian melipat tangan di dada, menatap Hendra tanpa ekspresi. “Nama kamu Hendra, bukan?” tanyanya. “Be—betul, Pak…” “Kerja apa? Dari keluarga mana? Bagaimana kamu bisa berkenalan dengan Kanaya?” Pertanyaan itu meluncur deras, seperti interogasi. Hendra tertegun, matanya bergerak gelisah. “Sa—saya hanya karyawan biasa di perusahaan… saya tidak… tidak berasal dari keluarga

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   7. Gugup

    “Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   6. Bu Bos

    Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status