Share

4. Menjelang perceraian

Author: Dominic
last update Last Updated: 2025-09-17 12:21:47

Putri menangis dari kamar, terbangun karena suara gaduh dari rumahnya. Dengan langkah gontai Hendra bergegas menghampiri, menggendong anaknya sambil mencoba menenangkan. Tapi justru saat ia menimang Putri, air matanya makin deras.

“Maafin Ayah, Nak... Ayah gagal jadi suami... Tapi Ayah nggak akan gagal jadi Ayah buat kamu.”

Malam itu, Hendra tak bisa tidur. Ia duduk di teras kontrakan, merokok berulang kali, memandang langit tanpa arah. Gaji yang baru saja diterimanya hanya diletakkan begitu saja di atas meja kecil. Bayangan tentang perceraian, masa depan Putri, dan cibiran orang-orang terus menghantui pikirannya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia memberanikan diri mendatangi Kantor Urusan Agama. Dengan map lusuh berisi fotokopi KTP, KK, dan buku nikah di tangannya, ia melangkah berat. Pegawai yang melayani menatap iba melihat wajah letihnya.

“Bapak mau daftar sidang cerai?” tanya sang petugas.

Hendra hanya mengangguk pelan. Suaranya tercekat, nyaris tak bisa keluar.

“Iyaa, Bu... saya mau gugat cerai... lebih tepatnya, istri saya yang minta.”

Petugas itu mencatat sesuatu, lalu menjelaskan prosedur panjang yang harus ditempuh. Hendra mendengarkan sambil menunduk, sesekali mengusap wajah dengan telapak tangannya. Baginya, setiap kata tentang 'sidang, saksi, putusan', terdengar seperti palu godam yang menghantam dadanya.

Sepulang dari KUA, langkahnya semakin berat. Di jalan, ia hampir saja jatuh dari motor karena pikirannya melayang. Ia berhenti di pinggir jalan, mematikan mesin motor, lalu menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Aku harus kuat... demi Putri.” bisiknya dengan suara bergetar.

Sementara itu, kabar tentang retaknya rumah tangganya mulai tersebar di lingkungan sekitar. Bisik-bisik tetangga terdengar setiap kali Hendra lewat.

“Itu, suaminya Sarah...”

“Kasihan, padahal kelihatannya baik...”

“Katanya istrinya ada main sama orang lain...”

Semua ucapan itu menusuk telinga Hendra, membuat kepalanya semakin tertunduk.

Namun, di tengah semua keterpurukan itu, ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan—tatapan polos Putri setiap kali ia pulang kerja. Senyum kecil anak itu seakan menjadi obat, meski hanya sementara.

Hari sidang pertama sudah ditentukan. Seminggu lagi, Hendra akan berdiri di hadapan hakim untuk menyelesaikan pernikahan yang pernah ia jaga dengan sepenuh hati.

***

Esok paginya, Hendra tetap melanjutkan aktivitasnya seperti biasa setelah mengambil cuti satu hari. Tentunya ia membawa Putri di gendongannya. Saat di lokasi proyek, Hendra disambut oleh sepasang suami istri, siapa lagi jika buka Pak Budi dan Istrinya.

Hendra baru saja turun dari motor dengan Putri yang masih digendongnya. Langkahnya agak kikuk karena bawaan barang kerja di tangan kiri, sementara Putri terlelap di bahunya.

Pak Budi langsung melambai dari kejauhan. “Hanum, Ini loh, Hendra yang sering aku ceritain. Sama anaknya.”

Bu Hanum, perempuan berusia tiga puluhan dengan raut wajah teduh, bergegas menghampiri. Begitu matanya tertuju pada Putri, senyumnya langsung merekah.

“Waduhh, ini yaa anak kamu, Dra? Cantik sekali Putri...” ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada, matanya berbinar.

Ia kemudian menunduk sedikit, mendekat ke arah Putri, memperhatikan wajah mungil itu dengan tatapan penuh kasih.

“Ya Ampun... pipinya tembem banget, kayak boneka. Hihi...” lanjutnya, tangannya terangkat refleks, hendak menyentuh, tapi ia tahan sambil menoleh ke arah Hendra. “Boleh saya gendong, Dra? Takutnya ganggu kalau lagi tidur,” katanya lirih, suaranya lembut penuh hati-hati.

Putri menggeliat sedikit di bahu ayahnya. Bu Hanum spontan menutup mulut dengan telapak tangan, ekspresi wajahnya berubah gemas bercampur canggung.

“Aduh, maaf yaa, kebangun nggak?” ucapnya sambil terkekeh pelan.

Pak Budi menepuk pelan bahu istrinya, “Santai aja, Num, anak kecil memang begitu.”

Hendra tersenyum kaku tapi sopan. “Iya Bu, ini Putri memang tidurnya gampang kebangun. Tapi biasanya sebentar juga tidur lagi.”

Mendengar itu, Bu Hanum mengangguk-angguk, lalu meraih jari mungil Putri dengan ujung telunjuknya. Saat tangan kecil itu spontan menggenggam, wajah Bu Hanum langsung berbinar.

Merasa di sekitarnya ramai Putri pun terusik dan membuka matanya.

Putri sekilas menatap ke arah Bu Hanum.

“Ayah...” bisik Putri sambil menyembunyikan wajahnya di dada Hendra. Hendra mengusap kepala anaknya lembut. “Sayang, sapa dulu itu, Tante Hanum, dia baik loh,” ucapnya pelan setengah berbisik.

Putri mendongak menatap ke arah Ayahnya seakan ingin meyakinkannya bahwa wajah baru di hadapannya itu benar-benar baik. Hendra mengangguk pelan.

Putri pun melirik ke arah Bu Hanum sambil tersenyum lebar, membuat deretan gigi mungilnya terlihat. Dengan Refleks Putri menyambut tangan Bu Hanum. Membuat Pak Budi merasa lega, karena dia takut jika Putri akan menolak digendong oleh istrinya.

“Sayang, kamu mau kan sama tante Hanum? Ayah mau kerja dulu. Oke?” ucap Hendra sambil mengusap lembut kepala anaknya.

Putri mengangguk sambil menyunggingkan senyum. Hal itu membuat Bu Hanum Senang.

Tak banyak yang di pertanyakan oleh Pak Budi kepada Hendra perihal, dirinya dan Sarah. Karena itu menyangkut ranah pribadi, dan Pak Budi tak ingin banyak mencampuri urusan orang lain jika bukan pekerjaan.

Singkatnya Putri sudah bersama Bu Hanum, sementara Hendra fokus dengan pekerjaannya sesekali diselingi dengan candaan bersama Jono dan yang lainnya.

“Dra, aku ikut prihatin ya sama rumah tangga kamu,” ujar Jono sambil fokus memasang keramik.

Hendra yang berada di sebelahnya, menoleh sambil tersenyum.

“Santai aja, Jon, udah jalannya harus kaya gini,” jawabnya sambil kembali fokus bekerja.

Menjelang sore, Hendra bersiap akan pulang bersama Putri. Ia menghampirinya ke arah rumah Pak Budi yang tak jauh dari proyek.

Namun ponselnya bergetar, menandakan pesan masuk. Kata Pak Budi, Putri tiba-tiba ingin menginap dan ingin tidur dengan istrinya.

Ini membuat Hendra gundah gulana. Ia membeku.

Mungkinkah ia juga merindukan ibunya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   7. Gugup

    “Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   6. Bu Bos

    Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   5. Menikahlah denganku

    “Kamu yakin bisa membahagiakan Putri dengan keadaanmu sekarang?”Pesan misterius itu masuk.Hendra termenung cukup lama menatap layar ponselnya. Kata-kata itu terasa menusuk jauh ke dalam dadanya. Jari-jarinya sempat gemetar, lalu buru-buru ia kunci kembali layar ponsel dan menarik napas dalam-dalam.“Siapa orang ini? Kenapa harus ngomong begini? Apa maksudnya?” gumamnya sambil menatap kosong ke arah jalan.Namun rasa penasaran jauh lebih kuat. Ia kembali membuka pesan itu, mencoba mencari petunjuk. Tak ada nama, tak ada foto profil, hanya nomor asing yang tak dikenalnya.Hendra menghela napas, menunduk, lalu meremas rambutnya sendiri. Kata-kata dalam pesan itu justru terus terngiang di kepalanya, seolah mempertebal rasa rendah diri yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Belum juga ia tenang perkara perceraiannya dengan Sarah, kini datang pesan misterius yang entah berasal dari siapa.***Siang itu matahari terik, para pekerja sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hendra baru saja sel

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   4. Menjelang perceraian

    Putri menangis dari kamar, terbangun karena suara gaduh dari rumahnya. Dengan langkah gontai Hendra bergegas menghampiri, menggendong anaknya sambil mencoba menenangkan. Tapi justru saat ia menimang Putri, air matanya makin deras.“Maafin Ayah, Nak... Ayah gagal jadi suami... Tapi Ayah nggak akan gagal jadi Ayah buat kamu.”Malam itu, Hendra tak bisa tidur. Ia duduk di teras kontrakan, merokok berulang kali, memandang langit tanpa arah. Gaji yang baru saja diterimanya hanya diletakkan begitu saja di atas meja kecil. Bayangan tentang perceraian, masa depan Putri, dan cibiran orang-orang terus menghantui pikirannya.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia memberanikan diri mendatangi Kantor Urusan Agama. Dengan map lusuh berisi fotokopi KTP, KK, dan buku nikah di tangannya, ia melangkah berat. Pegawai yang melayani menatap iba melihat wajah letihnya.“Bapak mau daftar sidang cerai?” tanya sang petugas.Hendra hanya mengangguk pelan. Suaranya tercekat, nyaris tak bisa keluar.“Iyaa, Bu...

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   3. Tidak!

    Menjelang sore, Hendra dan Putri bersiap untuk pulang. Saat dia hendak menyalakan motor, Pak Budi menghampirinya sambil membawa amplop putih di tangannya. “Dra!” panggilnya. Hendra pun menoleh sambil tersenyum.“Iyaa Pak, ada apa?” sahutnya. Pak Budi tersenyum.“Ini gajimu masa langsung pulang gitu aja,” jawabnya sambil tertawa.“Dan kalo besok kamu bawa lagi anakmu, biar istri saya aja yang asuh. Sekalian Putri nemenin istri saya, Dra,” tawarnya sambil menyodorkan amplop putih di tangannya. Hendra menepuk jidatnya pelan.“Yaa ampun, saya hampir lupa kalo hari ini gajian, Pak.” dia sedikit terkejut dengan ucapan mandornya itu, dia sejenak terdiam dan menoleh ke arah Putri sekilas. “Nanti malah ngerepotin, Pak. Putri mending disini aja, nanti saya juga mau cari kontrakan yang dekat sama tempat kerja,” jawabnya. Pak Budi menepuk pundak Hendra.“Ck! Kamu ini, Dra. Soal itu kamu Nggak usah khawatir, lagi pula. Kami belum punya anak, mungkin dengan ada nya Putri bisa bikin istri say

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   2. Arsitek Junior

    Sepanjang jalan, Hendra tak ada henti-hentinya memikirkan permintaan Sarah. Meskipun ia marah, tapi tidak sampai meminta bercerai, kan? “Dra, kenapa kamu bawa anak? Nanti dia ganggu pekerjaan kamu gimana?” tegur sang mandor saat Hendra sampai di proyek. Sambil menggendong Putri yang diam. “Maaf Pak Budi, anak saya nggak akan ganggu kok. Yang penting dia aman, nanti aku titip ke mbak Yuni kantin. “ tukasnya lalu menitipkan Putri ke kantin. Meskipun penjaga kantin itu centil, ia akhirnya mau. Apalagi, yang menitip adalah Hendra. Bagaimanapun, di proyek itu hanya Hendra yang paling dicolek oleh penjaga kantin. Hendra tersenyum lalu berdiri perlahan, lalu menunduk ke arah Putri. Ia meraih tangan mungil itu, menciumnya dalam-dalam sambil berbisik lirih. “Ayah kerja dulu ya, Sayang. Nanti Ayah jemput. Jangan nakal, jangan bikin Mbak Yuni repot.” Putri hanya tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Senyuman itu membuat dada Hendra sedikit lega, meski langkah kakinya terasa berat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status