MasukPutri menangis dari kamar, terbangun karena suara gaduh dari rumahnya. Dengan langkah gontai Hendra bergegas menghampiri, menggendong anaknya sambil mencoba menenangkan. Tapi justru saat ia menimang Putri, air matanya makin deras.
“Maafin Ayah, Nak... Ayah gagal jadi suami... Tapi Ayah nggak akan gagal jadi Ayah buat kamu.” Malam itu, Hendra tak bisa tidur. Ia duduk di teras kontrakan, merokok berulang kali, memandang langit tanpa arah. Gaji yang baru saja diterimanya hanya diletakkan begitu saja di atas meja kecil. Bayangan tentang perceraian, masa depan Putri, dan cibiran orang-orang terus menghantui pikirannya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia memberanikan diri mendatangi Kantor Urusan Agama. Dengan map lusuh berisi fotokopi KTP, KK, dan buku nikah di tangannya, ia melangkah berat. Pegawai yang melayani menatap iba melihat wajah letihnya. “Bapak mau daftar sidang cerai?” tanya sang petugas. Hendra hanya mengangguk pelan. Suaranya tercekat, nyaris tak bisa keluar. “Iyaa, Bu... saya mau gugat cerai... lebih tepatnya, istri saya yang minta.” Petugas itu mencatat sesuatu, lalu menjelaskan prosedur panjang yang harus ditempuh. Hendra mendengarkan sambil menunduk, sesekali mengusap wajah dengan telapak tangannya. Baginya, setiap kata tentang 'sidang, saksi, putusan', terdengar seperti palu godam yang menghantam dadanya. Sepulang dari KUA, langkahnya semakin berat. Di jalan, ia hampir saja jatuh dari motor karena pikirannya melayang. Ia berhenti di pinggir jalan, mematikan mesin motor, lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. “Aku harus kuat... demi Putri.” bisiknya dengan suara bergetar. Sementara itu, kabar tentang retaknya rumah tangganya mulai tersebar di lingkungan sekitar. Bisik-bisik tetangga terdengar setiap kali Hendra lewat. “Itu, suaminya Sarah...” “Kasihan, padahal kelihatannya baik...” “Katanya istrinya ada main sama orang lain...” Semua ucapan itu menusuk telinga Hendra, membuat kepalanya semakin tertunduk. Namun, di tengah semua keterpurukan itu, ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan—tatapan polos Putri setiap kali ia pulang kerja. Senyum kecil anak itu seakan menjadi obat, meski hanya sementara. Hari sidang pertama sudah ditentukan. Seminggu lagi, Hendra akan berdiri di hadapan hakim untuk menyelesaikan pernikahan yang pernah ia jaga dengan sepenuh hati. *** Esok paginya, Hendra tetap melanjutkan aktivitasnya seperti biasa setelah mengambil cuti satu hari. Tentunya ia membawa Putri di gendongannya. Saat di lokasi proyek, Hendra disambut oleh sepasang suami istri, siapa lagi jika buka Pak Budi dan Istrinya. Hendra baru saja turun dari motor dengan Putri yang masih digendongnya. Langkahnya agak kikuk karena bawaan barang kerja di tangan kiri, sementara Putri terlelap di bahunya. Pak Budi langsung melambai dari kejauhan. “Hanum, Ini loh, Hendra yang sering aku ceritain. Sama anaknya.” Bu Hanum, perempuan berusia tiga puluhan dengan raut wajah teduh, bergegas menghampiri. Begitu matanya tertuju pada Putri, senyumnya langsung merekah. “Waduhh, ini yaa anak kamu, Dra? Cantik sekali Putri...” ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada, matanya berbinar. Ia kemudian menunduk sedikit, mendekat ke arah Putri, memperhatikan wajah mungil itu dengan tatapan penuh kasih. “Ya Ampun... pipinya tembem banget, kayak boneka. Hihi...” lanjutnya, tangannya terangkat refleks, hendak menyentuh, tapi ia tahan sambil menoleh ke arah Hendra. “Boleh saya gendong, Dra? Takutnya ganggu kalau lagi tidur,” katanya lirih, suaranya lembut penuh hati-hati. Putri menggeliat sedikit di bahu ayahnya. Bu Hanum spontan menutup mulut dengan telapak tangan, ekspresi wajahnya berubah gemas bercampur canggung. “Aduh, maaf yaa, kebangun nggak?” ucapnya sambil terkekeh pelan. Pak Budi menepuk pelan bahu istrinya, “Santai aja, Num, anak kecil memang begitu.” Hendra tersenyum kaku tapi sopan. “Iya Bu, ini Putri memang tidurnya gampang kebangun. Tapi biasanya sebentar juga tidur lagi.” Mendengar itu, Bu Hanum mengangguk-angguk, lalu meraih jari mungil Putri dengan ujung telunjuknya. Saat tangan kecil itu spontan menggenggam, wajah Bu Hanum langsung berbinar. Merasa di sekitarnya ramai Putri pun terusik dan membuka matanya. Putri sekilas menatap ke arah Bu Hanum. “Ayah...” bisik Putri sambil menyembunyikan wajahnya di dada Hendra. Hendra mengusap kepala anaknya lembut. “Sayang, sapa dulu itu, Tante Hanum, dia baik loh,” ucapnya pelan setengah berbisik. Putri mendongak menatap ke arah Ayahnya seakan ingin meyakinkannya bahwa wajah baru di hadapannya itu benar-benar baik. Hendra mengangguk pelan. Putri pun melirik ke arah Bu Hanum sambil tersenyum lebar, membuat deretan gigi mungilnya terlihat. Dengan Refleks Putri menyambut tangan Bu Hanum. Membuat Pak Budi merasa lega, karena dia takut jika Putri akan menolak digendong oleh istrinya. “Sayang, kamu mau kan sama tante Hanum? Ayah mau kerja dulu. Oke?” ucap Hendra sambil mengusap lembut kepala anaknya. Putri mengangguk sambil menyunggingkan senyum. Hal itu membuat Bu Hanum Senang. Tak banyak yang di pertanyakan oleh Pak Budi kepada Hendra perihal, dirinya dan Sarah. Karena itu menyangkut ranah pribadi, dan Pak Budi tak ingin banyak mencampuri urusan orang lain jika bukan pekerjaan. Singkatnya Putri sudah bersama Bu Hanum, sementara Hendra fokus dengan pekerjaannya sesekali diselingi dengan candaan bersama Jono dan yang lainnya. “Dra, aku ikut prihatin ya sama rumah tangga kamu,” ujar Jono sambil fokus memasang keramik. Hendra yang berada di sebelahnya, menoleh sambil tersenyum. “Santai aja, Jon, udah jalannya harus kaya gini,” jawabnya sambil kembali fokus bekerja. Menjelang sore, Hendra bersiap akan pulang bersama Putri. Ia menghampirinya ke arah rumah Pak Budi yang tak jauh dari proyek. Namun ponselnya bergetar, menandakan pesan masuk. Kata Pak Budi, Putri tiba-tiba ingin menginap dan ingin tidur dengan istrinya. Ini membuat Hendra gundah gulana. Ia membeku. Mungkinkah ia juga merindukan ibunya?Hendra terpaku di tempatnya, menatap pintu yang baru saja menutup di belakang Reynald. Ucapan terakhir Kanaya menggantung di udara—dingin, berat, dan penuh makna tersembunyi. “Jangan buat aku kecewa.” Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari semua sindiran Reynald barusan. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Hanya napasnya yang terasa berat, dada sesak seolah beban dunia baru saja diletakkan di atas pundaknya. Kanaya menatapnya sejenak, kemudian langkahnya melambat mendekati meja kerja besar di tengah ruangan. Tangannya menyentuh permukaannya yang mengilat, lalu menatap Hendra lagi. “Mulai hari ini, kamu resmi menjabat sebagai Kepala Divisi Operasional Perusahaan ini,” ucapnya dengan nada yang begitu tenang, namun sarat wibawa. Hendra nyaris tidak bisa mempercayai telinganya. “A… apa?” “Kepala Divisi Operasional,” ulang Kanaya, kali ini dengan sedikit senyum tipis. “Jabatan itu kosong sejak bulan lalu, dan aku pikir… kamu orang yang tepat untuk posisi ini.” Hendra mundu
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di halaman sebuah gedung tinggi yang menjulang angkuh, dinding kacanya berkilau memantulkan cahaya matahari pagi. Hendra menelan ludah. Jangankan bekerja, berdiri di depan gedung itu saja membuatnya merasa kecil.Begitu pintu mobil dibuka, dua orang pria bersetelan rapi segera menghampiri.“Selamat pagi, Pak Hendra,” ucap mereka hampir bersamaan sambil sedikit membungkuk.Hendra tertegun. “S-selamat pagi…” jawabnya terbata, masih belum terbiasa diperlakukan begitu.Pak Tano memberi kode halus. “Mari, Pak, mereka sudah menunggu Bapak.”Dengan langkah kaku, Hendra mengikuti mereka masuk ke dalam. Lobi gedung itu terasa mewah: lantai marmer putih, chandelier menggantung berkilau, resepsionis tersenyum ramah seakan semuanya memang sudah diatur untuk menyambutnya.Tak lama, seorang wanita muda berpenampilan rapi—blazer hitam dengan kemeja putih—datang menghampiri. Rambutnya diikat sederhana, namun sikapnya penuh percaya diri.“Selamat datang, Pak Hendra. N
Makan malam itu berakhir tanpa senyum, tanpa sapaan hangat, hanya dingin yang menusuk dari setiap tatapan. Begitu pelayan menarik kursi terakhir dan hidangan penutup tersisa dingin di piring, Tuan Adrian berdiri tanpa kata. Ia meninggalkan meja, langkahnya berat, penuh wibawa namun dingin. Nyonya Clara menyusul, tapi sempat berhenti sejenak di belakang Hendra. Tatapannya menusuk, lalu bibirnya bergerak pelan, hampir berbisik. “Anak muda, cepat atau lambat… kamu akan tersingkir dengn sendiri nya.” Hendra terdiam, darahnya serasa berhenti mengalir. Nyonya Clara pun melangkah pergi menyusul suaminya. Kini hanya ada Hendra dan Kanaya di meja makan panjang itu. Suasana begitu hening, hanya terdengar detak jam dan tarikan napas berat Hendra. Kanaya menoleh padanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Kau baik-baik saja?” Hendra menelan ludah, tangannya masih menggenggam sendok yang gemetar. “Aku… aku benar-benar tidak tahu harus jawab apa. Maaf, Kanaya… aku hanya membuatmu
“Jadi ini calon suamimu?” Suara berat namun berwibawa itu membuat tubuh Hendra seketika beku. Ia menoleh, mendapati seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu gelap, rambutnya memutih rapi, sorot matanya tajam. Di sampingnya berdiri seorang wanita anggun bergaun sutra biru tua, lehernya dihiasi mutiara, wajahnya masih cantik meski usia sudah senja. Tuan Adrian Wiratama dan Nyonya Clara Wiratama, konglomerat pemilik jaringan bisnis raksasa, sekaligus orangtua Kanaya. Hendra buru-buru menunduk, tangannya dingin, napasnya tak teratur. “Se—selamat malam, Pak, Bu…” ucapnya terbata, tubuhnya kaku. Tuan Adrian melipat tangan di dada, menatap Hendra tanpa ekspresi. “Nama kamu Hendra, bukan?” tanyanya. “Be—betul, Pak…” “Kerja apa? Dari keluarga mana? Bagaimana kamu bisa berkenalan dengan Kanaya?” Pertanyaan itu meluncur deras, seperti interogasi. Hendra tertegun, matanya bergerak gelisah. “Sa—saya hanya karyawan biasa di perusahaan… saya tidak… tidak berasal dari keluarga
“Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun
Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan







