Share

6. Bu Bos

Penulis: Dominic
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-18 07:50:21

Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya.

Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya.

“Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu.

Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan.

“Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya.

Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang.

“Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah.

Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut.

Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan menawarinya mampir terlebih dulu.

“Masuk dulu, Dra,” ucapnya menawari Hendra, Pak Budi langsung menimpali.“Udah di tawari, Num, dia nya aja nggak mau,” ucapnya dengan sedikit candaan.

Setelah berbincang beberapa saat, Hendra menatap Putri sambil mengusap pipinya lembut.

“Yakin, masih mau sama Tante Hanum?” tanya Hendra mencoba meyakinkan kembali Putri.

Putri mengangguk sambil berkata.“Iyaa, Ayah. Boleh kan?” jawabnya dengan ekspresi yang begitu menggemaskan.

Hendra mengangguk, tapi disisi lain dia merasa tak enak dengan Pak Budi dan Bu Hanum. Karena itu atas permintaan dari Bu Hanum sendiri, Hendra hanya membiarkan nya saja selama anaknya yaitu Putri, nyaman saat bersama mereka.

Di tengah perjalanan Hendra, kehabisan bensi motor, hingga akhirnya dia terpaksa mendorong motornya hingga menemukan SPBU terdekat.

“Haduh, pake habis bensin segala lagi,” gumam Hendra sambil mendorong motornya di sore itu.

Di tengah-tengah dia sedang mendorong motornya... Tin! Tin! suara klakson mobil di belakang membuatnya terlonjak kaget.

Begitu menoleh ke arah belakang, Hendra langsung mengenali mobilnya itu.

“Bu Kanaya?” ucapnya nyaris tak bersuara.

Mobil itu berhenti tepat di depan Hendra, dan motornya. Kanaya turun dengan anggun ke sambil melangkah maju ke arah Hendra yang sedang mematung.

“Kenapa motormu didorong?” tanya Kanaya datar, tatapannya menusuk, membuat Hendra langsung merasa kering tenggorokannya.

Hendra menggaruk tengkuknya canggung. “I-iya, Bu… bensinnya habis.”

Kanaya menghela napas pelan, lalu melirik motornya yang kusam. “Kau bahkan tidak bisa memastikan kendaraanmu cukup untuk pulang. Bagaimana bisa aku percaya, kau mampu menjaga masa depan Putri?”

Hendra tercekat. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada jarum. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu.

Kanaya lalu menoleh sekilas ke arah sopirnya. “Panggilkan orang SPBU, biar mereka urus motor ini. Hendra ikut denganku.”

“Bu, tapi—” Hendra berusaha menolak, tapi tatapan dingin Kanaya langsung membuat suaranya lenyap di kerongkongan.

“Tidak ada ‘tapi’.” Kanaya memotong cepat, nadanya tegas tanpa ruang perdebatan. Ia berjalan melewati Hendra, lalu membuka pintu belakang mobilnya sendiri. “Masuk.”

Hendra hanya bisa menatap motor tuanya yang ditinggalkan, lalu menghela napas berat. Dengan langkah ragu ia masuk ke dalam mobil. Aroma interior yang mewah kontras dengan tubuhnya yang berdebu penuh keringat. Ia menunduk, merasa semakin kecil.

Kanaya duduk di sampingnya, bersedekap tanpa banyak bicara. Sorot matanya dingin, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketegasannya—sesuatu yang Hendra belum bisa mengerti.

Beberapa menit perjalanan sunyi, hingga akhirnya Kanaya membuka suara.

“Malam ini, kau akan ikut denganku menemui orang tuaku. Aku sudah katakan tadi.” Ia melirik sekilas, tatapannya menusuk. “Dan aku tidak menerima penolakan.”

Hendra menelan ludah. Tangannya mengepal di pangkuan, pikiran berputar liar. Pesan misterius semalam kembali terngiang di kepalanya: ‘Ada orang yang bisa memberi Putri hidup lebih baik daripada kamu.’

“Apa jangan-jangan...?” pikir Hendra setelah mengingat pesan semalam yang dia baca. “Arghh, tidak mungkin Bu Kanaya kan?”

Hendra duduk, di dalam mobil menjadi serba salah, takut dirinya mengotori kursi yang dia duduki itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   7. Gugup

    “Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   6. Bu Bos

    Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   5. Menikahlah denganku

    “Kamu yakin bisa membahagiakan Putri dengan keadaanmu sekarang?”Pesan misterius itu masuk.Hendra termenung cukup lama menatap layar ponselnya. Kata-kata itu terasa menusuk jauh ke dalam dadanya. Jari-jarinya sempat gemetar, lalu buru-buru ia kunci kembali layar ponsel dan menarik napas dalam-dalam.“Siapa orang ini? Kenapa harus ngomong begini? Apa maksudnya?” gumamnya sambil menatap kosong ke arah jalan.Namun rasa penasaran jauh lebih kuat. Ia kembali membuka pesan itu, mencoba mencari petunjuk. Tak ada nama, tak ada foto profil, hanya nomor asing yang tak dikenalnya.Hendra menghela napas, menunduk, lalu meremas rambutnya sendiri. Kata-kata dalam pesan itu justru terus terngiang di kepalanya, seolah mempertebal rasa rendah diri yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Belum juga ia tenang perkara perceraiannya dengan Sarah, kini datang pesan misterius yang entah berasal dari siapa.***Siang itu matahari terik, para pekerja sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hendra baru saja sel

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   4. Menjelang perceraian

    Putri menangis dari kamar, terbangun karena suara gaduh dari rumahnya. Dengan langkah gontai Hendra bergegas menghampiri, menggendong anaknya sambil mencoba menenangkan. Tapi justru saat ia menimang Putri, air matanya makin deras.“Maafin Ayah, Nak... Ayah gagal jadi suami... Tapi Ayah nggak akan gagal jadi Ayah buat kamu.”Malam itu, Hendra tak bisa tidur. Ia duduk di teras kontrakan, merokok berulang kali, memandang langit tanpa arah. Gaji yang baru saja diterimanya hanya diletakkan begitu saja di atas meja kecil. Bayangan tentang perceraian, masa depan Putri, dan cibiran orang-orang terus menghantui pikirannya.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia memberanikan diri mendatangi Kantor Urusan Agama. Dengan map lusuh berisi fotokopi KTP, KK, dan buku nikah di tangannya, ia melangkah berat. Pegawai yang melayani menatap iba melihat wajah letihnya.“Bapak mau daftar sidang cerai?” tanya sang petugas.Hendra hanya mengangguk pelan. Suaranya tercekat, nyaris tak bisa keluar.“Iyaa, Bu...

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   3. Tidak!

    Menjelang sore, Hendra dan Putri bersiap untuk pulang. Saat dia hendak menyalakan motor, Pak Budi menghampirinya sambil membawa amplop putih di tangannya. “Dra!” panggilnya. Hendra pun menoleh sambil tersenyum.“Iyaa Pak, ada apa?” sahutnya. Pak Budi tersenyum.“Ini gajimu masa langsung pulang gitu aja,” jawabnya sambil tertawa.“Dan kalo besok kamu bawa lagi anakmu, biar istri saya aja yang asuh. Sekalian Putri nemenin istri saya, Dra,” tawarnya sambil menyodorkan amplop putih di tangannya. Hendra menepuk jidatnya pelan.“Yaa ampun, saya hampir lupa kalo hari ini gajian, Pak.” dia sedikit terkejut dengan ucapan mandornya itu, dia sejenak terdiam dan menoleh ke arah Putri sekilas. “Nanti malah ngerepotin, Pak. Putri mending disini aja, nanti saya juga mau cari kontrakan yang dekat sama tempat kerja,” jawabnya. Pak Budi menepuk pundak Hendra.“Ck! Kamu ini, Dra. Soal itu kamu Nggak usah khawatir, lagi pula. Kami belum punya anak, mungkin dengan ada nya Putri bisa bikin istri say

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   2. Arsitek Junior

    Sepanjang jalan, Hendra tak ada henti-hentinya memikirkan permintaan Sarah. Meskipun ia marah, tapi tidak sampai meminta bercerai, kan? “Dra, kenapa kamu bawa anak? Nanti dia ganggu pekerjaan kamu gimana?” tegur sang mandor saat Hendra sampai di proyek. Sambil menggendong Putri yang diam. “Maaf Pak Budi, anak saya nggak akan ganggu kok. Yang penting dia aman, nanti aku titip ke mbak Yuni kantin. “ tukasnya lalu menitipkan Putri ke kantin. Meskipun penjaga kantin itu centil, ia akhirnya mau. Apalagi, yang menitip adalah Hendra. Bagaimanapun, di proyek itu hanya Hendra yang paling dicolek oleh penjaga kantin. Hendra tersenyum lalu berdiri perlahan, lalu menunduk ke arah Putri. Ia meraih tangan mungil itu, menciumnya dalam-dalam sambil berbisik lirih. “Ayah kerja dulu ya, Sayang. Nanti Ayah jemput. Jangan nakal, jangan bikin Mbak Yuni repot.” Putri hanya tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Senyuman itu membuat dada Hendra sedikit lega, meski langkah kakinya terasa berat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status