Share

5. Menikahlah denganku

Author: Dominic
last update Last Updated: 2025-09-17 13:13:20

“Kamu yakin bisa membahagiakan Putri dengan keadaanmu sekarang?”

Pesan misterius itu masuk.

Hendra termenung cukup lama menatap layar ponselnya. Kata-kata itu terasa menusuk jauh ke dalam dadanya. Jari-jarinya sempat gemetar, lalu buru-buru ia kunci kembali layar ponsel dan menarik napas dalam-dalam.

“Siapa orang ini? Kenapa harus ngomong begini? Apa maksudnya?” gumamnya sambil menatap kosong ke arah jalan.

Namun rasa penasaran jauh lebih kuat. Ia kembali membuka pesan itu, mencoba mencari petunjuk. Tak ada nama, tak ada foto profil, hanya nomor asing yang tak dikenalnya.

Hendra menghela napas, menunduk, lalu meremas rambutnya sendiri. Kata-kata dalam pesan itu justru terus terngiang di kepalanya, seolah mempertebal rasa rendah diri yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Belum juga ia tenang perkara perceraiannya dengan Sarah, kini datang pesan misterius yang entah berasal dari siapa.

***

Siang itu matahari terik, para pekerja sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hendra baru saja selesai memindahkan beberapa material ketika suara lantang seorang staf proyek terdengar,

“Hendra! Bu Kanaya manggil kamu ke kantor lapangan sekarang juga.”

Langkah Hendra sempat terhenti. Jantungnya berdegup agak kencang, karena biasanya Kanaya hanya berurusan dengan mandor atau tim manajemen, jarang sekali memanggil langsung seorang pekerja. Dengan sedikit bingung, ia mengusap keringat di dahinya, lalu berjalan menuju ruangan yang dimaksud.

Di dalam, Kanaya berdiri anggun dengan jas merahnya. Tatapannya tajam, namun ada sesuatu yang berbeda hari itu—lebih lembut, lebih dalam. Begitu Hendra masuk, wanita itu hanya melipat tangannya di dada sambil memperhatikan Hendra dari ujung kepala hingga kaki.

“Kamu Hendra, ya?” suaranya tenang, tapi terasa menekan.

Hendra menunduk sopan. “Iya, Bu. Ada yang bisa saya kerjakan?”

Kanaya berhenti hanya satu langkah di depannya. Senyumnya samar, penuh misteri. “Saya tidak akan bertele-tele, Hendra.”

“Menikahlah dengan saya.” 

Suasana mendadak hening. Hendra nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“A… apa maksudnya, Bu?” tanyanya terbata.

Kanaya menatap lurus ke matanya, tatapan yang sulit diartikan apakah itu kelembutan atau kuasa. Bibirnya melengkung tipis sebelum ia mengucapkan sesuatu yang membuat darah Hendra seakan berhenti mengalir.

Gleg! Hendra menelan ludah, entah bermimpi apa semalam dia.

Kanaya maju satu langkah, sorot matanya tajam menusuk, suaranya datar tanpa sedikit pun getaran emosi.

“Kamu masih punya telinga, bukan? Jadi, tidak perlu saya ulangi.”

Hendra refleks menunduk semakin dalam, tubuhnya gemetar tak karuan. Lidahnya kelu, hanya mampu merangkai kata patah-patah. “Ta… tapi Bu, sa—”

“Panti Asuhan Harapan?”

Hendra mendongak.

“Kamu dari sana, kan?”

Kanaya menoleh sedikit, sekilas sorot matanya memantul dari kaca jendela. “Ambil amplop coklat di atas meja. Gunakan untuk membeli apa pun yang kamu butuhkan. Malam ini, kamu akan ikut untuk menemui kedua orang tua saya. Jangan banyak bertanya, dan jangan mengulang pertanyaan bodoh. Saya tidak akan menegaskan untuk yang kedua kali.”

Selepas dari ruangan itu, Hendra memasukan amplop coklatnya itu ke dalam tas, ia berjalan dengan pikiran yang bimbang. 

“Apa yang sebenarnya bu Kanaya pikirkan?” gumamnya sambil berjalan ke arah kantin, menyusul yang lainnya karena tepat saat dia keluar jam sudah menunjukan waktunya istirahat.

Jono yang penasaran lantas bertanya kepada Hendra saat Hendra duduk di sebelahnya.“Ada apaan, kamu dipanggil bu Kanaya, Dra?” tanyanya dengan penasaran.

Hendra menoleh kemudian kembali menunduk. “Cuman masalah kerjaan aja, Jon,” jawabnya sambil meraih kopi milik Jono dan langsung menyeruputnya.

Sontak hal itu membuat Jono terkejut dan segera merebut gelas kopi di tangan Hendra.

“Main seruput aja, nyeduh dong,” protes Jono membuat Hendra dan yang lainnya tertawa. 

Namun, tak ada yang tau, apa yang sebenarnya Hendra pikirkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   11. Permainan di mulai

    Hendra terpaku di tempatnya, menatap pintu yang baru saja menutup di belakang Reynald. Ucapan terakhir Kanaya menggantung di udara—dingin, berat, dan penuh makna tersembunyi. “Jangan buat aku kecewa.” Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari semua sindiran Reynald barusan. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Hanya napasnya yang terasa berat, dada sesak seolah beban dunia baru saja diletakkan di atas pundaknya. Kanaya menatapnya sejenak, kemudian langkahnya melambat mendekati meja kerja besar di tengah ruangan. Tangannya menyentuh permukaannya yang mengilat, lalu menatap Hendra lagi. “Mulai hari ini, kamu resmi menjabat sebagai Kepala Divisi Operasional Perusahaan ini,” ucapnya dengan nada yang begitu tenang, namun sarat wibawa. Hendra nyaris tidak bisa mempercayai telinganya. “A… apa?” “Kepala Divisi Operasional,” ulang Kanaya, kali ini dengan sedikit senyum tipis. “Jabatan itu kosong sejak bulan lalu, dan aku pikir… kamu orang yang tepat untuk posisi ini.” Hendra mundu

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   10. Kantor

    Mobil hitam itu akhirnya berhenti di halaman sebuah gedung tinggi yang menjulang angkuh, dinding kacanya berkilau memantulkan cahaya matahari pagi. Hendra menelan ludah. Jangankan bekerja, berdiri di depan gedung itu saja membuatnya merasa kecil.Begitu pintu mobil dibuka, dua orang pria bersetelan rapi segera menghampiri.“Selamat pagi, Pak Hendra,” ucap mereka hampir bersamaan sambil sedikit membungkuk.Hendra tertegun. “S-selamat pagi…” jawabnya terbata, masih belum terbiasa diperlakukan begitu.Pak Tano memberi kode halus. “Mari, Pak, mereka sudah menunggu Bapak.”Dengan langkah kaku, Hendra mengikuti mereka masuk ke dalam. Lobi gedung itu terasa mewah: lantai marmer putih, chandelier menggantung berkilau, resepsionis tersenyum ramah seakan semuanya memang sudah diatur untuk menyambutnya.Tak lama, seorang wanita muda berpenampilan rapi—blazer hitam dengan kemeja putih—datang menghampiri. Rambutnya diikat sederhana, namun sikapnya penuh percaya diri.“Selamat datang, Pak Hendra. N

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   9. Pekerjaan baru

    Makan malam itu berakhir tanpa senyum, tanpa sapaan hangat, hanya dingin yang menusuk dari setiap tatapan. Begitu pelayan menarik kursi terakhir dan hidangan penutup tersisa dingin di piring, Tuan Adrian berdiri tanpa kata. Ia meninggalkan meja, langkahnya berat, penuh wibawa namun dingin. Nyonya Clara menyusul, tapi sempat berhenti sejenak di belakang Hendra. Tatapannya menusuk, lalu bibirnya bergerak pelan, hampir berbisik. “Anak muda, cepat atau lambat… kamu akan tersingkir dengn sendiri nya.” Hendra terdiam, darahnya serasa berhenti mengalir. Nyonya Clara pun melangkah pergi menyusul suaminya. Kini hanya ada Hendra dan Kanaya di meja makan panjang itu. Suasana begitu hening, hanya terdengar detak jam dan tarikan napas berat Hendra. Kanaya menoleh padanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Kau baik-baik saja?” Hendra menelan ludah, tangannya masih menggenggam sendok yang gemetar. “Aku… aku benar-benar tidak tahu harus jawab apa. Maaf, Kanaya… aku hanya membuatmu

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   8. Makan malam yang kaku

    “Jadi ini calon suamimu?” Suara berat namun berwibawa itu membuat tubuh Hendra seketika beku. Ia menoleh, mendapati seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu gelap, rambutnya memutih rapi, sorot matanya tajam. Di sampingnya berdiri seorang wanita anggun bergaun sutra biru tua, lehernya dihiasi mutiara, wajahnya masih cantik meski usia sudah senja. Tuan Adrian Wiratama dan Nyonya Clara Wiratama, konglomerat pemilik jaringan bisnis raksasa, sekaligus orangtua Kanaya. Hendra buru-buru menunduk, tangannya dingin, napasnya tak teratur. “Se—selamat malam, Pak, Bu…” ucapnya terbata, tubuhnya kaku. Tuan Adrian melipat tangan di dada, menatap Hendra tanpa ekspresi. “Nama kamu Hendra, bukan?” tanyanya. “Be—betul, Pak…” “Kerja apa? Dari keluarga mana? Bagaimana kamu bisa berkenalan dengan Kanaya?” Pertanyaan itu meluncur deras, seperti interogasi. Hendra tertegun, matanya bergerak gelisah. “Sa—saya hanya karyawan biasa di perusahaan… saya tidak… tidak berasal dari keluarga

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   7. Gugup

    “Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   6. Bu Bos

    Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status