“Kamu yakin bisa membahagiakan Putri dengan keadaanmu sekarang?”
Pesan misterius itu masuk.
Hendra termenung cukup lama menatap layar ponselnya. Kata-kata itu terasa menusuk jauh ke dalam dadanya. Jari-jarinya sempat gemetar, lalu buru-buru ia kunci kembali layar ponsel dan menarik napas dalam-dalam.
“Siapa orang ini? Kenapa harus ngomong begini? Apa maksudnya?” gumamnya sambil menatap kosong ke arah jalan.
Namun rasa penasaran jauh lebih kuat. Ia kembali membuka pesan itu, mencoba mencari petunjuk. Tak ada nama, tak ada foto profil, hanya nomor asing yang tak dikenalnya.
Hendra menghela napas, menunduk, lalu meremas rambutnya sendiri. Kata-kata dalam pesan itu justru terus terngiang di kepalanya, seolah mempertebal rasa rendah diri yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Belum juga ia tenang perkara perceraiannya dengan Sarah, kini datang pesan misterius yang entah berasal dari siapa.
***
Siang itu matahari terik, para pekerja sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hendra baru saja selesai memindahkan beberapa material ketika suara lantang seorang staf proyek terdengar,
“Hendra! Bu Kanaya manggil kamu ke kantor lapangan sekarang juga.”
Langkah Hendra sempat terhenti. Jantungnya berdegup agak kencang, karena biasanya Kanaya hanya berurusan dengan mandor atau tim manajemen, jarang sekali memanggil langsung seorang pekerja. Dengan sedikit bingung, ia mengusap keringat di dahinya, lalu berjalan menuju ruangan yang dimaksud.
Di dalam, Kanaya berdiri anggun dengan jas merahnya. Tatapannya tajam, namun ada sesuatu yang berbeda hari itu—lebih lembut, lebih dalam. Begitu Hendra masuk, wanita itu hanya melipat tangannya di dada sambil memperhatikan Hendra dari ujung kepala hingga kaki.
“Kamu Hendra, ya?” suaranya tenang, tapi terasa menekan.
Hendra menunduk sopan. “Iya, Bu. Ada yang bisa saya kerjakan?”
Kanaya berhenti hanya satu langkah di depannya. Senyumnya samar, penuh misteri. “Saya tidak akan bertele-tele, Hendra.”
“Menikahlah dengan saya.”
Suasana mendadak hening. Hendra nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“A… apa maksudnya, Bu?” tanyanya terbata.
Kanaya menatap lurus ke matanya, tatapan yang sulit diartikan apakah itu kelembutan atau kuasa. Bibirnya melengkung tipis sebelum ia mengucapkan sesuatu yang membuat darah Hendra seakan berhenti mengalir.
Gleg! Hendra menelan ludah, entah bermimpi apa semalam dia.
Kanaya maju satu langkah, sorot matanya tajam menusuk, suaranya datar tanpa sedikit pun getaran emosi.
“Kamu masih punya telinga, bukan? Jadi, tidak perlu saya ulangi.”
Hendra refleks menunduk semakin dalam, tubuhnya gemetar tak karuan. Lidahnya kelu, hanya mampu merangkai kata patah-patah. “Ta… tapi Bu, sa—”
“Panti Asuhan Harapan?”
Hendra mendongak.
“Kamu dari sana, kan?”
Kanaya menoleh sedikit, sekilas sorot matanya memantul dari kaca jendela. “Ambil amplop coklat di atas meja. Gunakan untuk membeli apa pun yang kamu butuhkan. Malam ini, kamu akan ikut untuk menemui kedua orang tua saya. Jangan banyak bertanya, dan jangan mengulang pertanyaan bodoh. Saya tidak akan menegaskan untuk yang kedua kali.”
Selepas dari ruangan itu, Hendra memasukan amplop coklatnya itu ke dalam tas, ia berjalan dengan pikiran yang bimbang.
“Apa yang sebenarnya bu Kanaya pikirkan?” gumamnya sambil berjalan ke arah kantin, menyusul yang lainnya karena tepat saat dia keluar jam sudah menunjukan waktunya istirahat.
Jono yang penasaran lantas bertanya kepada Hendra saat Hendra duduk di sebelahnya.“Ada apaan, kamu dipanggil bu Kanaya, Dra?” tanyanya dengan penasaran.
Hendra menoleh kemudian kembali menunduk. “Cuman masalah kerjaan aja, Jon,” jawabnya sambil meraih kopi milik Jono dan langsung menyeruputnya.
Sontak hal itu membuat Jono terkejut dan segera merebut gelas kopi di tangan Hendra.
“Main seruput aja, nyeduh dong,” protes Jono membuat Hendra dan yang lainnya tertawa.
Namun, tak ada yang tau, apa yang sebenarnya Hendra pikirkan.
“Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun
Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan
“Kamu yakin bisa membahagiakan Putri dengan keadaanmu sekarang?”Pesan misterius itu masuk.Hendra termenung cukup lama menatap layar ponselnya. Kata-kata itu terasa menusuk jauh ke dalam dadanya. Jari-jarinya sempat gemetar, lalu buru-buru ia kunci kembali layar ponsel dan menarik napas dalam-dalam.“Siapa orang ini? Kenapa harus ngomong begini? Apa maksudnya?” gumamnya sambil menatap kosong ke arah jalan.Namun rasa penasaran jauh lebih kuat. Ia kembali membuka pesan itu, mencoba mencari petunjuk. Tak ada nama, tak ada foto profil, hanya nomor asing yang tak dikenalnya.Hendra menghela napas, menunduk, lalu meremas rambutnya sendiri. Kata-kata dalam pesan itu justru terus terngiang di kepalanya, seolah mempertebal rasa rendah diri yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Belum juga ia tenang perkara perceraiannya dengan Sarah, kini datang pesan misterius yang entah berasal dari siapa.***Siang itu matahari terik, para pekerja sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hendra baru saja sel
Putri menangis dari kamar, terbangun karena suara gaduh dari rumahnya. Dengan langkah gontai Hendra bergegas menghampiri, menggendong anaknya sambil mencoba menenangkan. Tapi justru saat ia menimang Putri, air matanya makin deras.“Maafin Ayah, Nak... Ayah gagal jadi suami... Tapi Ayah nggak akan gagal jadi Ayah buat kamu.”Malam itu, Hendra tak bisa tidur. Ia duduk di teras kontrakan, merokok berulang kali, memandang langit tanpa arah. Gaji yang baru saja diterimanya hanya diletakkan begitu saja di atas meja kecil. Bayangan tentang perceraian, masa depan Putri, dan cibiran orang-orang terus menghantui pikirannya.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia memberanikan diri mendatangi Kantor Urusan Agama. Dengan map lusuh berisi fotokopi KTP, KK, dan buku nikah di tangannya, ia melangkah berat. Pegawai yang melayani menatap iba melihat wajah letihnya.“Bapak mau daftar sidang cerai?” tanya sang petugas.Hendra hanya mengangguk pelan. Suaranya tercekat, nyaris tak bisa keluar.“Iyaa, Bu...
Menjelang sore, Hendra dan Putri bersiap untuk pulang. Saat dia hendak menyalakan motor, Pak Budi menghampirinya sambil membawa amplop putih di tangannya. “Dra!” panggilnya. Hendra pun menoleh sambil tersenyum.“Iyaa Pak, ada apa?” sahutnya. Pak Budi tersenyum.“Ini gajimu masa langsung pulang gitu aja,” jawabnya sambil tertawa.“Dan kalo besok kamu bawa lagi anakmu, biar istri saya aja yang asuh. Sekalian Putri nemenin istri saya, Dra,” tawarnya sambil menyodorkan amplop putih di tangannya. Hendra menepuk jidatnya pelan.“Yaa ampun, saya hampir lupa kalo hari ini gajian, Pak.” dia sedikit terkejut dengan ucapan mandornya itu, dia sejenak terdiam dan menoleh ke arah Putri sekilas. “Nanti malah ngerepotin, Pak. Putri mending disini aja, nanti saya juga mau cari kontrakan yang dekat sama tempat kerja,” jawabnya. Pak Budi menepuk pundak Hendra.“Ck! Kamu ini, Dra. Soal itu kamu Nggak usah khawatir, lagi pula. Kami belum punya anak, mungkin dengan ada nya Putri bisa bikin istri say
Sepanjang jalan, Hendra tak ada henti-hentinya memikirkan permintaan Sarah. Meskipun ia marah, tapi tidak sampai meminta bercerai, kan? “Dra, kenapa kamu bawa anak? Nanti dia ganggu pekerjaan kamu gimana?” tegur sang mandor saat Hendra sampai di proyek. Sambil menggendong Putri yang diam. “Maaf Pak Budi, anak saya nggak akan ganggu kok. Yang penting dia aman, nanti aku titip ke mbak Yuni kantin. “ tukasnya lalu menitipkan Putri ke kantin. Meskipun penjaga kantin itu centil, ia akhirnya mau. Apalagi, yang menitip adalah Hendra. Bagaimanapun, di proyek itu hanya Hendra yang paling dicolek oleh penjaga kantin. Hendra tersenyum lalu berdiri perlahan, lalu menunduk ke arah Putri. Ia meraih tangan mungil itu, menciumnya dalam-dalam sambil berbisik lirih. “Ayah kerja dulu ya, Sayang. Nanti Ayah jemput. Jangan nakal, jangan bikin Mbak Yuni repot.” Putri hanya tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Senyuman itu membuat dada Hendra sedikit lega, meski langkah kakinya terasa berat