Share

7. Gugup

Author: Dominic
last update Last Updated: 2025-09-22 11:30:27

“Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.

Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.

“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.

singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.

Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.

“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.

Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menunggunya.

Sopir itu turun, membungkuk sedikit. “Pak Hendra, mari ikut saya. Ibu berpesan agar Bapak terlebih dulu membeli pakaian yang pantas sebelum berangkat.”

Hendra sedikit terkejut, namun hanya bisa mengangguk. Ia masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Amplop coklat itu masih ia genggam, seakan tak rela melepasnya.

Perjalanan singkat membawa mereka ke sebuah butik pria yang cukup mewah. Begitu sampai, sopir membuka pintu dan menuntunnya masuk. Seorang pegawai butik sudah menunggu, sepertinya sudah diberi instruksi.

“Selamat malam, Pak Hendra. Silakan ke sini, kami sudah siapkan beberapa pilihan,” sambut pegawai itu ramah, walau matanya sempat menilai penampilan Hendra dari atas ke bawah.

Hendra melangkah dengan ragu, merasa seperti orang asing di tempat itu. Deretan jas, kemeja, dan sepatu berkilau terpajang rapi. Ia mengusap tengkuknya canggung.

“Tidak usah terlalu mahal, saya…,” ucap Hendra setengah gugup.

Namun sopir Kanaya segera menyela dengan nada tegas, “Ibu sudah memberi instruksi. Pilih yang terbaik. Jangan khawatir soal harga.”

Hendra tercekat, menunduk, lalu pasrah. Ia mencoba beberapa pakaian dengan bantuan pegawai butik. Jas abu-abu tua, kemeja putih bersih, celana bahan yang pas di tubuhnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Hendra melihat dirinya di depan cermin tanpa balutan pakaian lusuh.

Ia nyaris tak percaya itu dirinya sendiri. “Apa… ini benar aku?” batinnya bergetar.

Setelah memilih pakaian yang tepat, sopir memastikan semua beres dan membayar tanpa menunggu lama. Belanjaan tambahan berupa sepatu kulit dan dasi pun dibungkus rapi.

Ketika mereka kembali masuk ke mobil, sopir menoleh sekilas. “Ibu menunggu di lokasi. Kita langsung berangkat ke rumah keluarga beliau.”

Hendra menggenggam celana kain barunya di pangkuan, jantungnya berdegup kencang. Kini, tak ada lagi waktu untuk mundur.

Mobil melaju tenang menembus keramaian malam kota. Lampu-lampu jalan berkelebat di kaca jendela, sementara Hendra duduk kaku di kursi belakang. Tangannya tak henti meremas celana barunya yang sudah terbungkus rapi di pangkuan.

Jantungnya berdegup cepat, tiap menit terasa begitu panjang. Sesekali ia melirik jam tangan bututnya, berharap waktu berhenti sejenak.

“Apakah aku sudah siap?” batinnya berulang kali bertanya.

Sopir yang duduk di depan tak banyak bicara, hanya fokus mengemudi. Hendra sempat membuka mulut, ingin menanyakan sesuatu—tentang apa yang harus ia lakukan nanti, atau bagaimana sikap yang tepat di depan keluarga besar Kanaya. Namun lidahnya kelu.

Hanya bunyi mesin mobil yang mengisi keheningan itu.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil akhirnya berbelok memasuki kawasan elit yang penuh dengan rumah megah. Jalanan lebar, pohon-pohon tertata rapi di kanan kiri, dan suasana begitu tenang, kontras dengan hiruk-pikuk kota tadi.

Hendra menelan ludahnya. “Astaga… aku bahkan tak pernah membayangkan bisa menginjakkan kaki di tempat semewah ini.”

Mobil berhenti tepat di depan sebuah gerbang besi tinggi dengan lambang keluarga terpahat indah di tengahnya. Dua satpam berseragam langsung menghampiri, memeriksa sekilas, lalu memberi hormat setelah mengenali mobil itu.

Gerbang terbuka perlahan, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang tertata sempurna dan rumah bergaya klasik nan megah berdiri angkuh di tengahnya.

Mobil melaju masuk, berhenti di pelataran. Seorang pelayan segera membuka pintu.

“Silakan, Pak,” ucapnya sopan.

Hendra melangkah turun dengan kaki sedikit gemetar. Matanya mendongak menatap rumah besar itu—tingginya, lampu-lampu kristal yang bergelantungan di serambi, aroma wangi bunga yang tercium lembut dari taman. Semua terasa seperti dunia lain baginya.

Belum sempat ia mengatur napas, suara langkah berderap terdengar dari pintu utama. Kanaya muncul dengan gaun malam sederhana berwarna hitam, rambutnya disanggul anggun. Wajahnya tetap datar, namun sorot matanya menembus langsung ke arah Hendra.

“Kamu tepat waktu,” ucapnya datar sambil menatap Hendra sekilas.

“Ba—baik, Bu…” sahut Hendra terbata, mencoba menenangkan dirinya yang masih tegang.

Kanaya berhenti sejenak, lalu menoleh penuh pada Hendra. Sorot matanya dingin, tajam, dan tanpa kompromi.

“Berhenti memanggil saya ‘Bu’. Itu terlalu jauh jaraknya. Mulai sekarang, cukup panggil saya Kanaya. Di depan orangtuaku, kamu akan terlihat konyol jika terus begitu,” tukasnya, nada suaranya begitu dingin sampai membuat Hendra tercekat.

Hendra terdiam, menelan ludahnya dengan gugup. Lidahnya kaku, namun ia hanya mampu mengangguk pelan.

“Ma—maaf, Ka… Kanaya,” ucapnya pelan, terasa aneh di lidahnya sendiri.

Kanaya tidak menanggapi, hanya melanjutkan langkahnya masuk ke rumah dengan sikap anggun dan berwibawa, meninggalkan Hendra yang berusaha mengatur napas dan keberaniannya sebelum mengikuti dari belakang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   7. Gugup

    “Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   6. Bu Bos

    Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   5. Menikahlah denganku

    “Kamu yakin bisa membahagiakan Putri dengan keadaanmu sekarang?”Pesan misterius itu masuk.Hendra termenung cukup lama menatap layar ponselnya. Kata-kata itu terasa menusuk jauh ke dalam dadanya. Jari-jarinya sempat gemetar, lalu buru-buru ia kunci kembali layar ponsel dan menarik napas dalam-dalam.“Siapa orang ini? Kenapa harus ngomong begini? Apa maksudnya?” gumamnya sambil menatap kosong ke arah jalan.Namun rasa penasaran jauh lebih kuat. Ia kembali membuka pesan itu, mencoba mencari petunjuk. Tak ada nama, tak ada foto profil, hanya nomor asing yang tak dikenalnya.Hendra menghela napas, menunduk, lalu meremas rambutnya sendiri. Kata-kata dalam pesan itu justru terus terngiang di kepalanya, seolah mempertebal rasa rendah diri yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Belum juga ia tenang perkara perceraiannya dengan Sarah, kini datang pesan misterius yang entah berasal dari siapa.***Siang itu matahari terik, para pekerja sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hendra baru saja sel

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   4. Menjelang perceraian

    Putri menangis dari kamar, terbangun karena suara gaduh dari rumahnya. Dengan langkah gontai Hendra bergegas menghampiri, menggendong anaknya sambil mencoba menenangkan. Tapi justru saat ia menimang Putri, air matanya makin deras.“Maafin Ayah, Nak... Ayah gagal jadi suami... Tapi Ayah nggak akan gagal jadi Ayah buat kamu.”Malam itu, Hendra tak bisa tidur. Ia duduk di teras kontrakan, merokok berulang kali, memandang langit tanpa arah. Gaji yang baru saja diterimanya hanya diletakkan begitu saja di atas meja kecil. Bayangan tentang perceraian, masa depan Putri, dan cibiran orang-orang terus menghantui pikirannya.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia memberanikan diri mendatangi Kantor Urusan Agama. Dengan map lusuh berisi fotokopi KTP, KK, dan buku nikah di tangannya, ia melangkah berat. Pegawai yang melayani menatap iba melihat wajah letihnya.“Bapak mau daftar sidang cerai?” tanya sang petugas.Hendra hanya mengangguk pelan. Suaranya tercekat, nyaris tak bisa keluar.“Iyaa, Bu...

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   3. Tidak!

    Menjelang sore, Hendra dan Putri bersiap untuk pulang. Saat dia hendak menyalakan motor, Pak Budi menghampirinya sambil membawa amplop putih di tangannya. “Dra!” panggilnya. Hendra pun menoleh sambil tersenyum.“Iyaa Pak, ada apa?” sahutnya. Pak Budi tersenyum.“Ini gajimu masa langsung pulang gitu aja,” jawabnya sambil tertawa.“Dan kalo besok kamu bawa lagi anakmu, biar istri saya aja yang asuh. Sekalian Putri nemenin istri saya, Dra,” tawarnya sambil menyodorkan amplop putih di tangannya. Hendra menepuk jidatnya pelan.“Yaa ampun, saya hampir lupa kalo hari ini gajian, Pak.” dia sedikit terkejut dengan ucapan mandornya itu, dia sejenak terdiam dan menoleh ke arah Putri sekilas. “Nanti malah ngerepotin, Pak. Putri mending disini aja, nanti saya juga mau cari kontrakan yang dekat sama tempat kerja,” jawabnya. Pak Budi menepuk pundak Hendra.“Ck! Kamu ini, Dra. Soal itu kamu Nggak usah khawatir, lagi pula. Kami belum punya anak, mungkin dengan ada nya Putri bisa bikin istri say

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   2. Arsitek Junior

    Sepanjang jalan, Hendra tak ada henti-hentinya memikirkan permintaan Sarah. Meskipun ia marah, tapi tidak sampai meminta bercerai, kan? “Dra, kenapa kamu bawa anak? Nanti dia ganggu pekerjaan kamu gimana?” tegur sang mandor saat Hendra sampai di proyek. Sambil menggendong Putri yang diam. “Maaf Pak Budi, anak saya nggak akan ganggu kok. Yang penting dia aman, nanti aku titip ke mbak Yuni kantin. “ tukasnya lalu menitipkan Putri ke kantin. Meskipun penjaga kantin itu centil, ia akhirnya mau. Apalagi, yang menitip adalah Hendra. Bagaimanapun, di proyek itu hanya Hendra yang paling dicolek oleh penjaga kantin. Hendra tersenyum lalu berdiri perlahan, lalu menunduk ke arah Putri. Ia meraih tangan mungil itu, menciumnya dalam-dalam sambil berbisik lirih. “Ayah kerja dulu ya, Sayang. Nanti Ayah jemput. Jangan nakal, jangan bikin Mbak Yuni repot.” Putri hanya tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Senyuman itu membuat dada Hendra sedikit lega, meski langkah kakinya terasa berat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status