Masuk“Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.
Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu. “Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh. singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian. Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat. “Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih. Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menunggunya. Sopir itu turun, membungkuk sedikit. “Pak Hendra, mari ikut saya. Ibu berpesan agar Bapak terlebih dulu membeli pakaian yang pantas sebelum berangkat.” Hendra sedikit terkejut, namun hanya bisa mengangguk. Ia masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Amplop coklat itu masih ia genggam, seakan tak rela melepasnya. Perjalanan singkat membawa mereka ke sebuah butik pria yang cukup mewah. Begitu sampai, sopir membuka pintu dan menuntunnya masuk. Seorang pegawai butik sudah menunggu, sepertinya sudah diberi instruksi. “Selamat malam, Pak Hendra. Silakan ke sini, kami sudah siapkan beberapa pilihan,” sambut pegawai itu ramah, walau matanya sempat menilai penampilan Hendra dari atas ke bawah. Hendra melangkah dengan ragu, merasa seperti orang asing di tempat itu. Deretan jas, kemeja, dan sepatu berkilau terpajang rapi. Ia mengusap tengkuknya canggung. “Tidak usah terlalu mahal, saya…,” ucap Hendra setengah gugup. Namun sopir Kanaya segera menyela dengan nada tegas, “Ibu sudah memberi instruksi. Pilih yang terbaik. Jangan khawatir soal harga.” Hendra tercekat, menunduk, lalu pasrah. Ia mencoba beberapa pakaian dengan bantuan pegawai butik. Jas abu-abu tua, kemeja putih bersih, celana bahan yang pas di tubuhnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Hendra melihat dirinya di depan cermin tanpa balutan pakaian lusuh. Ia nyaris tak percaya itu dirinya sendiri. “Apa… ini benar aku?” batinnya bergetar. Setelah memilih pakaian yang tepat, sopir memastikan semua beres dan membayar tanpa menunggu lama. Belanjaan tambahan berupa sepatu kulit dan dasi pun dibungkus rapi. Ketika mereka kembali masuk ke mobil, sopir menoleh sekilas. “Ibu menunggu di lokasi. Kita langsung berangkat ke rumah keluarga beliau.” Hendra menggenggam celana kain barunya di pangkuan, jantungnya berdegup kencang. Kini, tak ada lagi waktu untuk mundur. Mobil melaju tenang menembus keramaian malam kota. Lampu-lampu jalan berkelebat di kaca jendela, sementara Hendra duduk kaku di kursi belakang. Tangannya tak henti meremas celana barunya yang sudah terbungkus rapi di pangkuan. Jantungnya berdegup cepat, tiap menit terasa begitu panjang. Sesekali ia melirik jam tangan bututnya, berharap waktu berhenti sejenak. “Apakah aku sudah siap?” batinnya berulang kali bertanya. Sopir yang duduk di depan tak banyak bicara, hanya fokus mengemudi. Hendra sempat membuka mulut, ingin menanyakan sesuatu—tentang apa yang harus ia lakukan nanti, atau bagaimana sikap yang tepat di depan keluarga besar Kanaya. Namun lidahnya kelu. Hanya bunyi mesin mobil yang mengisi keheningan itu. Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil akhirnya berbelok memasuki kawasan elit yang penuh dengan rumah megah. Jalanan lebar, pohon-pohon tertata rapi di kanan kiri, dan suasana begitu tenang, kontras dengan hiruk-pikuk kota tadi. Hendra menelan ludahnya. “Astaga… aku bahkan tak pernah membayangkan bisa menginjakkan kaki di tempat semewah ini.” Mobil berhenti tepat di depan sebuah gerbang besi tinggi dengan lambang keluarga terpahat indah di tengahnya. Dua satpam berseragam langsung menghampiri, memeriksa sekilas, lalu memberi hormat setelah mengenali mobil itu. Gerbang terbuka perlahan, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang tertata sempurna dan rumah bergaya klasik nan megah berdiri angkuh di tengahnya. Mobil melaju masuk, berhenti di pelataran. Seorang pelayan segera membuka pintu. “Silakan, Pak,” ucapnya sopan. Hendra melangkah turun dengan kaki sedikit gemetar. Matanya mendongak menatap rumah besar itu—tingginya, lampu-lampu kristal yang bergelantungan di serambi, aroma wangi bunga yang tercium lembut dari taman. Semua terasa seperti dunia lain baginya. Belum sempat ia mengatur napas, suara langkah berderap terdengar dari pintu utama. Kanaya muncul dengan gaun malam sederhana berwarna hitam, rambutnya disanggul anggun. Wajahnya tetap datar, namun sorot matanya menembus langsung ke arah Hendra. “Kamu tepat waktu,” ucapnya datar sambil menatap Hendra sekilas. “Ba—baik, Bu…” sahut Hendra terbata, mencoba menenangkan dirinya yang masih tegang. Kanaya berhenti sejenak, lalu menoleh penuh pada Hendra. Sorot matanya dingin, tajam, dan tanpa kompromi. “Berhenti memanggil saya ‘Bu’. Itu terlalu jauh jaraknya. Mulai sekarang, cukup panggil saya Kanaya. Di depan orangtuaku, kamu akan terlihat konyol jika terus begitu,” tukasnya, nada suaranya begitu dingin sampai membuat Hendra tercekat. Hendra terdiam, menelan ludahnya dengan gugup. Lidahnya kaku, namun ia hanya mampu mengangguk pelan. “Ma—maaf, Ka… Kanaya,” ucapnya pelan, terasa aneh di lidahnya sendiri. Kanaya tidak menanggapi, hanya melanjutkan langkahnya masuk ke rumah dengan sikap anggun dan berwibawa, meninggalkan Hendra yang berusaha mengatur napas dan keberaniannya sebelum mengikuti dari belakang.“Kanaya, kamu dan suami mu. Apakah tidur satu kamar?” tanya Tuan Abraham. Kanaya dan Hendra saling bertatap muka lalu keduanya kembali menoleh ke arah tuan Abraham sambil mengangguk. Tuan Abraham hangat mangut-mangut saja sambil menyesap tehnya. “Aku minta, agar kalian segera memiliki keturunan. Itu syarat dariku jika kamu mau meneruskan usahaku,” lanjut tuan Abraham membuat Hendra dan Kanaya nyaris tersedak dengan ludah nya sendiri. “APA!” ucap keduanya. Tuan Abraham menoleh dengan alis terangkat. “Kenapa? Apa yang salah dengan itu. Bukan kah kalian sepasang suami istri? Kenapa terkejut mendengar itu?” ucap tuan Abraham. Kanaya menghela napas sejenak kemudian melirik ke arah Hendra sejenak. “Tidak secepat itu, Kakek. Semua nya perlu proses.” Tuan Abraham menyesap teh nya lebih dulu sebelum menjawab Kanaya. “Aku tunggu kabar dari kalian.” Setelah mengucapkan itu tuan Abraham pergi bersama asistennya. Meninggalkan Hendra dan Kanaya yang masih diam mematung. Kedu
Suasana kantor Kanaya seketika menjadi heboh, mendengar Ronald di berhentikan dari tempat itu membuat sebagian orang senang, dan sebagian lagi menyayangkannya. Tapi, Kanaya tak peduli dengan itu. Lalu kabar itu pun sampai ke telinga Hendra, yang tau dari asistennya yaitu Rania. Tentu kabar itu menbuat Hendra sangat terkejut. “Apa yang terjadi?” gumam Hendra sambil menyandarkan punggungnya di kursi kebesaran nya itu. “Apa yang di pikirkan Kanaya sebenarnya?” Saat Hendra sedang melamun, Pintu terbuka tanpa ketukan, muncul lah wanita yang tak lain adalah Kanaya yang berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam. “Kamu sudah mendengar kabar tentang di berhentikan nya, Ronald bukan?” ucap Kanaya sambil dudul di hadapannya. “Apa kau tak tahu, rahasia besar yang sudah di sembunyikan Ronald dan mantan istrimu?” lanjutnya lagi sambil bersidekap dada. Hendra mengerutkan kening, semakin tak mengerti apa maksud dari wanita yang menjadi istri pura-puranya itu. “Maksud mu apa? apa hubungannya
Di perjalanan, Hendra menyetir dengan fokus. Matanya sesekali melirik ke arah Kanaya yang wajahnya terlihat sangat kusut. “Sudah biarkan saja orang seperti dia, biar aku buktikan saja, kalau aku mampu menunjukan kemampuanku,” ucap Hendra berusaha membuat Kanaya tenang. Kanaya menghela nafas, lalu menoleh sekilas ke arah Hendra. “Aku akan memberhentikan dia sebagai direktur keuangan, aku tak peduli lagi dengan orang itu,” ujar Kanaya. Hendra hanya menghela nafas saat mendengarnya, kemudian ia diam dan tak ingin melanjutkan obrolannya. Singkatnya, mobil Kanaya sampai di cafe tujuan nya. Hendra memarkirkan mobil itu, dan keduanya segera turun dari mobil. Tak ada angin tak ada hujan, Kanaya mengalungkan lengannya di tangan Hendra. Hal itu membuat Hendra sedikit terkejut, kenapa Kanaya melakukannya. Saat Hendra hendak bertanya. Kanaya langsung mengajak nya berjalan tanpa memberi kesempatan Hendra berbicara. “Ada apa dengan dia? Tumben sekali,” batin Hendra. Saat kedua
Pagi harinya, Hendra membuka matanya perlahan. Dan bersiap, untuk membersihkan diri, ia membungkus lukanya dengan penutup khusus, setelah selesai membersihkan diri Hendra sudah terlihat rapih. Di luar suara Putri sudah terdengar, suaranya terdengar riang karena sedang di ajak bermain oleh seseorang yang tak lain adalah Kanaya. Begitu Hendra keluar, keduanya menoleh. Hendra langsung di sambut oleh anaknya yang berlari kecil ke arah Hendra. “Ayah! Aku di belikan ini oleh Mama cantik!” ujarnya dengan mata berbinar sambil menunjukan boneka beruang berwarna coklat. Hendra pun mensejajarkan tubuhnya dengan Putri. “Wahhh, bonekanya cantik, kaya Putri,” ucap Hendra sambil memuji sang anak. “Terus, Putri bilang apa sama mama cantik?” lanjutnya. Kanaya yang sedang duduk di sofa terlihat sudah rapih, ia menunggu giliran untuk berbicara. Di wajahnya jelas terukir sedikit senyuman meskipun samar, terlebih saat Putri menyebutnya Mama cantik. “Iyaa dong Ayah, Putri bilang 'Terimakasih' udah bel
Setelah kejadian terror itu. Hendra menjadi berpikir, siapa yang berani melakukan itu ke kediaman Kanaya? pikirnya. Hendra melihat ke arah Putri yang sedang tertidur pulas di sampingnya, sementara itu dirinya sedang sibuk dengan laptopnya di ruang santai dekat kamarnya dan kamar Kanaya. Rasa kantuk mulai menghinggapi usai dia menelan obat pereda nyeri dari dokter. Hendra menutup laptopnya, dan bersandar ke sofa tempat ia duduk bersama Putri. Mainan yang berantakan dan sisa makanan, belum sempat di bereskan sehingga, begitu Hendra terlelap tidur Kanaya pulang tanpa ia sadari. “Astaga, kenapa mereka tertidur disini?” ucapnya usai menaiki tangga terakhir. Kanaya berjalan mendekati keduanya, saat melihat sosok Putri, perasaannya menjadi hangat, dan tanpa sadar Kanaya menyunggingkan senyumnya. Matanya menyapu ruangan itu, sedikit berantakan. Pikirnya, akan tetapi entah ada dorongan apa, ia menyimpan tasnya di atas meja dekat laptop Hendra dan memunguti sampah lalu membereskan main
Hendra berdiri sambil menatap keluar jendela, infus masih terpasang di lengannya. Matanya terus memperhatikan ke arah luar, sesekali ia mencuri pandang ke arah Kanaya. “Ternyata, Kanaya orang yang baik hati, meskipun sedikit cuek dan terlihat tidak peduli,” gumamnya. Saat tatapan keduanya bertemu, Hendra segera memalingkan wajah sambil tersenyum tipis. Terlebih wajah Kanaya memang terlihat sangat ketus dan judes. Yaa, mungkin itu sudah menjadi karakternya. Pikir Hendra. Singkatnya, dua hari sudah Hendra berada di rumah sakit itu, perjalanan yang tadinya sebuah liburan bagi pasangan pengantin malah menjadi liburan yang kelam. Akan tetapi, karena kejadian itu membuat Hendra jadi tahu, sifat Kanaya sebenarnya sangatlah perhatian meskipun terkadang sikapnya sangat menyebalkan. “Apa kamu sudah siap?” tanya Kanaya sedikit berbeda dari sebelumnya. Terdengar lebih lembut di telinga Hendra. Tidak bisa tidak, melihat sikap Kanaya Hendra di buat tersenyum. Ia kemudian mengangguk sambil







