Share

5. Hati yang mulai gelisah

Penulis: Bunga Peony
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-29 23:58:17

Mentari pagi bersinar dengan begitu cerahnya, sinarnya yang hangat melingkupi semua mahkluk di bumi. Aku duduk di teras yang berlantaikan marmer ini. Jajaran pot-pot kecil ada di hadapanku kini sudah berbaris minta sentuhan.

Kulepaskan daun-daun kering serta mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh merusak pemandangan mata. Agar pesona kecantikan bunga-bunga ini bisa tampil maksimal.

Aku pulang ke rumah jam 8 pagi, setelah sarapan di rumah Mama, Mas Galuh langsung mengantarku pulang ke rumah. Baru setelah itu dia berangkat bekerja. Aku yang merasa bosan mencari kegiatan yang bisa mengusir rasa sepiku.

“Mbak, ini di letakkan di mana?” tanya Bi Ninis. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun menagabdi di keluargaku. Dia bekerja sejak aku masih berumur 10 tahun.

Bi Ninis sudah seperti orang tua kandung untukku, kehadirannya bisa mengusir kerinduanku pada kedua orang tuaku yang sudah tiada. Menjadi tempatku mengadu dan berkeluh-kesah.

“Letak di rak itu saja, Bi! Biar agak rapi sedikit.” Aku menunjuk pada rak tiga tingkat berwarna putih dengan lebar 120 cm di sebelah sudut, dekat tembok yang berhadapan dengan taman samping. Agar dapat mendapatkan cahaya sinar matahari yang cukup.

“Mbak El lagi hamil muda, jangan terlalu capek-capek. Untuk urusan ini biar Bibi aja yang kerjakan,” ujarnya setelah meletakkan pot tersebut. Aku tersenyum.

“Aku baik-baik saja kok, Bi. Aku kan hamil, bukannya sakit. Kalau nggak bergerak sedikit pun tubuhku malah terasa lemes dan nggak enak,” protesku atas sikap berlebihannya padaku.

“Bi, aku mau bertanya sesuatu,” ujarku ragu-ragu. Namun apa yang terjadi semalam masih mengganjal di pikiranku.

Bi Ninis mendekat. Dia duduk di pinggir teras menghadap ke arahku.

“Ada apa, Mbak? Bibi lihat sejak pulang tadi Mbak El tampak banyak pikiran.”

Aku diam sejenak untuk berpikir. Apakah aku harus cerita atau harus diam.

“Bi, ada teman aku yang cerita. Katanya ada sepupunya mengatakan kalau suaminya selingkuh. Menurut Bibi, temanku itu harus melakukan apa? Percaya pada bukti yang ditunjukkan oleh sepupunya. Atau percaya pada suaminya?” tanyaku meminta pendapat.

Kini Bi Ninis yang terdiam sejenak. Dia seperti memikirkan kat-kata yang akan dia ucapkan. Lalu menghela napas lelah. Ada binar kecewa di raut wajahnya yang keriput.

Aku tak begitu tahu betul latar belakang kehidupan Bi Ninis, yang aku tahu saat pertama kali dia masuk ke rumah ini, dirinya masih sangat muda sekali.

Dia seorang janda dengan satu anak yang dia tinggalkan di kampung. Anaknya berumur 2 tahun lebih muda dariku kala itu, kini anaknya bekerja di sebuah pabrik Garmen.

Baru empat tahun yang lalu anaknya datang ke kota ini untuk merantau. Sesekali putrinya itu datang kesini untuk menjenguknya. Terakhir putrinya itu datang sekitar 1 tahun yang lalu, kalau tidak salah. Mengajak Bi Ninis untuk tinggal bersama, tapi Bi Ninis menolaknya.

“Percaya pada suaminya! Jika tak ada yang mencurigakan dari sikap dan prilaku suaminya, lalu apa yang perlu di khawatirkan? Lebih baik tak mencari tahu apa yang tak perlu diketahui, Mbak. Agar hidup bisa tenang dan damai.”

“Maaf, Mbak El.” Imbuhnya.

“Maaf untuk apa, Bi? Bi Ninis kan nggak salah apa-apa sama aku?” Aku mengerutkan dahi merasa heran.

“Maaf jika selama ini Bibi ada salah pada, Mbak Eliana. Membuat Mbak tersinggung atau sakit hati. Maafkan Bibi ya, Mbak,” jelasnya semakin membuatku bingung.

Sikapnya seakan dirinya memiliki dosa besar padaku saja.

“Bibi jangan ngomong seperti itu, Ah. Seperti orang yang akan pergi jauh saja. Bikin aku merinding, sudah jangan bahas itu. Aku jadi takut!” tegurku. Aku tak suka suasana sedih yang tercipta dari perbincangan kami.

Aku tak suka suasa seperti ini. Kehilangan kedua orang tua sudah membuatku trauma jika mendengar ucapan yang terasa ganjil. Apalagi seperti sekarang ini yang kupunya hanya Bi Ninis.

“Oh iya, ya, kenapa Bibi ngomong seperti itu, ya, Mbak. Maklum Bibi ini sudah tua, jadi suka bicara ngelantur.” Bi Ninis terkekeh berusaha untuk mencairkan suasana, namun raut wajahnya seperti orang yang bingung.

Bi Ninis kembali merapikan bunga-bunga yang indah itu kemudian pamit padaku menuju dapur untuk memasakkan makan malam untuk kami nanti. Aku memandangnya masih dengan tatapan tajam, aneh dengan sikapnya.

“Jangan melihat hal-hal yang tak perlu dilihat. Jangan mencari tahu apa yang tak perlu kamu ketahui, agar rumah tanggamu tetap harmonis.” Nasehat Papa kala itu yang masih aku ingat di kepala.

Sama persis dengan apa yang dikatakan Bi Ninis barusan. Aku pun juga melihat Almarhum Mama melakukan hal yang sama. Di mataku, kedua orang tuaku hidup dengan rukun tanpa adanya pertengkaran.

Tiga tahun berumah tangga, tak sekali pun aku memegang ponsel suamiku. Dulu dia pernah memberikannya, namun aku tak mau. Karena saat itu aku pikir memang tak ada yang patut aku curigai.

Tingkah dan polah suamiku masih dalam taraf wajar, suamiku juga tak pernah melakukan tindakan yang membuatku cemburu. Tapi entah kenapa kali ini aku penasaran.

Matahari mulai meninggi, panasnya menancap di atas kepala hingga meninggalkan rasa terbakar. Aku menyudahi pekerjaanku. Taman yang awalnya berantakan kini mulai tertata rapi walau tidak semuanya. Lagi pula masih ada waktu esok hari untuk menyekesaikan semuanya.

"Mama tidak bisa melakukan itu. Mama berhutang budi poada keluarga ini, Mama mohon jangan paksa Mama untuk melakukan itu."

Langkah kakiku terhenti saat hendak memasuki dapur. Aku mendapati Bi Ninis sedang menelpon seseorang di balik lemari piring seraya berbisik. Dari nada suaranya terdengar begitu sedih.

Apakah dia berbicara pada putrinya? Tapi kenapa terdengar seperti tertekan?

"Bukannya Mama gak sayang. Tapi Mama gak bisa melakukan itu padanya. Dia terlalu baik pada Mama dan gak mungkin Mama memballas kebaikannya seperti ini. Mama mohon, jangan libatkan Mama akan hal ini, Nak!" Suara Bi Ninis terdengar kembali memelas. Keningku berkerut dalam.

"Bibi bicara sama siapa?" tanyaku yang sontak membuat Bi Ninis tersentak kaget bukan kepalang. Wajahnya tampak pucat seperti seseorang yang ketangkap basah tengah mencuri saja.

"Anu ... anu, Non. Tadi ... tadi Bibik menelpon putri Bibi yang meminta Bibik untuk ikut dengannya," jawab Bi Ninis berbohong padaku. Aku yakin sekali bukan itu yang dia bicarakan di telpon tadi. Sebenarnya apa yang tengah dia sembunyikan dariku?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   48. Alasan dibalik ajakan rujuk.

    Grand opening pembukaan toko rotiku pun akhirnya tiba. Antusias para pengunjung membuat semangatku menyala. Aroma butter yang menguar dari dapur memenuhi seluruh ruangan. Tak hanya di bagian dalam, tetapi di bagian luar pun juga terlihat ramai dengan deretan papan bunga yang berjejer tersusun rapi. "Selamat ya El." Vee memberikan sekuntum besar bunga mawar merah padaku. Dia datang bersama Kak Bian. Lama tak melihat dirinya, ada rasa rindu yang tersirat di hati."Terima kasih." Aku meraih bunga yang diberikannya padaku. Kelopaknya yang segar begitu menggoda mata. "Jangan terima kasih padaku, tapi pada Kak Bian, bunga itu darinya."Aku tersenyum. Hari ini hatiku sedang bahagia. "Terima kasih Kak. Atas bunganya dan juga waktu yang kakak sempatkan untuk datang ke sini.""Sama-sama, El. Lama tidak berjumpa, kamu makin cantik dan sukses saja," pujinya membuat hati ini semakin bahagia. Hari ini seakan begitu banyak kupu-kupu yang bertebaran di dadaku. "Ayo kita ngobrol di dalam sambil me

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   47. Ayo rujuk kembali padaku.

    "Aku benar-benar tak habis pikir, bisa-bisanya kamu bersikap baik sama orang lain yang baru saja kamu kenal, El."Vee terus saja mengomel sepanjang jalan hingga kami sampai di rumah. Caranya mengataiku bodoh seakan aku telah menghilangkan uang ratusan juta saja. "Aku hanya memberikannya sebagian pakaianku yang sudah tidak terpakai lagi. Bukan membiarkannya menempati rumah peninggalan Mama dan Papa. Aku rasa gak perlu dibesar-besarkan seperti ini," jawabku. Aku yang duduk di depan meja rias tengah melepaskan jam tangan dan meletakkannya kembali dalam kotak sebelum membersihkan diri ke kamar mandi. "Tapi kamu juga memberikannya pekerjaan."Aku berbalik menghadap ke arah Vee yang tengah duduk di pinggir ranjang seraya merengut. Tak biasanya dia bersikap kekanak-kanakan seperti ini. "Memangnya ada masalah apa? Kenapa kamu terlihat sensi padanya?" tanyaku lembut. Dalam beberapa hari belakangan ini terasa ada yang berbeda darinya. Vee mengalihkan pandangan matanya dariku. Dia seperti se

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   46. Istana yang terlupakan.

    "Di mana rumahmu, biar kami antar," tawarku yang merasa kasihan dengannya. Aku sudah membawanya ke klinik terdekat, luka-lukanya yang tidak terlalu parah itu pun juga sudah di obati. Hanya saja pergelangan kakinya sedikit terkilir hingga dia terlihat kesusahan saat bergerak.Vee kembali menarik tanganku, sedari tadi dia terus mewanti-wantiku untuk tidak terlalu ikut campur. Kuakui penampilan wanita yang aku ketahui namanya Rani itu terlihat begitu terbuka. "Gak usah Mbak. Saya bisa pulang sendiri, nanti saya pesan ojek online saja," ucapnya segan. Jika dilihat-lihat dia cukup sopan untuk ukuran wanita yang menggunaka pakaian sedikit terbuka. "Gak apa, aku antar saja kamu pulang. Jangan sungkan. Oh ya, kalau aku boleh saran, sebaiknya besok bersepeda gunakan pakaian yang lebih panjang lagi biar kalau jatuh gak parah seperti ini."Aku tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Jika dipikir-pikir tak ada hak untuk aku mengomentari penampilannya. Sebenarnya pakaian Rani ada

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   45. Memulai usaha baru.

    Tiga hari aku tak bertemu lagi dengan Kak Bian. Aku yang selalu di rumah layaknya pengangguran kini mulai menyibukkan diri dengan rencana membuka toko bakery dengan seorang partner bisnis yang aku dapati saat ikut kelas baking. "Wah, mantap. Kapan kira-kira toko ini akan buka?" tanya Vee. Matanya menadang takjub pada penataan toko yang sedang dalam tahap finising tersebut. Hari ini dia libur dan ikut denganku untuk kontrol tukang yang menyelesaikan finishing renovasi rukoku ini. Aku memiliki satu deret ruko yang selama ini disewakan, kali ini dua pintu ruko akan aku gunakan untuk toko bakery. "Secepatnya. Tadi aku tanya sama tukangnya dalam seminggu tempat ini akan siap. Kalau tidak ada kendala awal bulan sudah bisa launching." Vee menganggukkan kepala kemudian meninggalkan aku untuk kembali melihat sekeliling. Aku justru memilih berdiskusi dengan Tissya. Wanita muda yang hanya tamatan sekolah menengah atas.Di umurnya yang

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   44. Musim semi.

    Belum hilang keterkejutanku atas ucapannya, kini aku kembali dikagetkan dengan sebuah cincin berlian yang dia tunjukkan padaku.Aku bahkan tak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhku terpaku dengan lidah yang kelu. "Apa kamu mau menerimaku, El?" Suara lembut pria yang selalu aku anggap sebagai kakak lelaki ketimbang pasangan ini kembali membuyarkan lamunanku. Aku menatap wajahnya lekat. Apa yang kurang dari dirinya? Tak ada. Tapi rasa takut atas kegagalan rumah tangga sebelumnya membuatku tak berani melangkah. Aku menutup kotak merah tersebut."Kenapa?" tanya Kak Bian dengan nada kecewa. Sejak kapan dia memiliki perasaan denganku? Sejak dulu saat kami kerap bersama atau karena kasihan dengan nasibku yang akan menyandang status janda?"Aku baru saja berpisah dengan Mas Galuh dan bahkan palu hakim perceraianku saja belum di ketuk," jawabku jujur. Aku tak ingin kedekatan kami akan menjadi masalah untuk kedepannya. "Aku akan sabar menunggu.""Masih banyak perempuan lain yang pantas un

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   43. Lamaran dadakan.

    Minggu pagi, udara begitu cerah tapi terasa melelahkan untukku. Hidup di rumah sendiri terasa begitu sunyi sehingga aku yang awalnya hanya ingin menginap sehari dua hari di rumah Vee, justru malah jadi keterusan. Keningku berkerut saat membuka kulkas, tak ada bahan makanan apa pun yang tersisa di sana. Baik aku ataupun Vee jarang sekali memasak di rumah ini, entah kenapa hari ini aku ingin makan siang dengan masakanku sendiri.Jadi di sinilah aku sekarang, di pusat perbelanjaan yang cukup besar di kotaku. Baru masuk pintu moll aku langsung menuju Alfamart yang ada di lantai bawah. Aku suka berbelanja di Alfamart yang ada di moll ini, selain lebih besar dan luas bahan makanan pun dijual lebih lengkap dan juga fress.Ayam, ikan, nugget dan juga telur omega sudah tersusun di dalam troliku, aku kembali berjalan sembari mata melirik ke kiri dan ke kanan untuk melihat-lihat apa lagi yang ingin aku beli dan berhenti di depan rak buah-buahan yang tersusun perkelompok."Wah kebetulan sekali

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   42. Mulai ketar-ketir.

    Hari yang aku tunggu akhirnya tiba juga. Tak pernah terpikirkan sedikit pun dalam benakku, jika nantinya aku harus duduk di kursi pesakitan ini. Menantikan ketuk palu pak hakim yang memutuskan ikatan pernikahanku dan Mas Galuh.Tak memiliki anak selama pernikahan ternyata tak cukup membuat ketuk palu hakim itu langsung bergema. Mas Galuh dengan tegas menolak serta berniat naik banding membuat keputusan sidang pun ditunda hingga dua minggu selanjutnya. Pihak Mas Galuh terutama ibunya memaksa untuk membagi seluruh harta yang aku miliki jika aku tetap ngotot ingin bercerai, tentu saja aku menolak karena semua itu murni aku dapat dari peninggalan orang tuaku. Keputusanku menolak mentah-mentah permintaan dari pihak Mas Galuh dan tetap ngotot untuk bercerai tentunya membuat mantan mertuaku meradang. Sampai-sampai dia mencegatku di depan kendaraanku dengan gagah berani. "Hey perempuan serakah! Serahkan sebagian harta yang menjadi hak anakku!" teriak mantan mertuaku yang cukup memancing p

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   41. Berada di ujung tanduk.

    Pagi-pagi sekali aku bangun, berpakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor. Aku melangkahkan kaki menuju ruang makan untuk sarapan. Betapa terkejutnya aku yang tak mendapati apa pun di atas meja. Biasanya selalu ada menu sarapan yang terhidang, namun kali ini hanya ada meja kotor dengan bekas sisa makanan semalam. "Rahma! Rahma!" Suara bassku menggelegar ke seluruh penjuru ruangan rumah besar ini. "Ada apa sih Mas? Kita tidak sedang tinggal di hutan, gak usah teriak-teriak!" jawabnya santai. Lantah kakinya begitu gemulai menghampiriku seakan tak terjadi apa-apa. "Mana sarapanku?" "Sarapan? Apa yang mau di masak untuk sarapan. Semua bahan di kulkas habis.""Kalau habis ya belanja. Suami mau pergi kerja bukannya di urus malah menghilang entah kemana," sungutku. Pagi-pagi aku sudah dibuat naik darah dengan tingkah istriku yang tak tahu aturan, sangat berbeda sekali dengan Elliana. Kenapa hatiku tiba-tiba merindukannya.Rahma dengan santai seraya tersenyum manja mengadahkan tangan di

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   40. Mulai kalut.

    Pov. GaluhAku pulang ke rumah dalam keadaan wajah yang lebam. Baru saja sampai di depan rumah aku sudah di sambut dengan canda tawa istri keduaku bersama kedua orang tuanya. Dua orang tua yang tak memiliki pekerjaan itu menjadi beban tambahan untukku. "Mas kamu sudah pulang," sapa Rahma riang yang langsung bergelayut manja di tanganku saat aku baru saja melewatinya. Aku melirik ke arahnya sekilas dan kembali melanjutkan langkah kakiku tanpa menyapa kedua orang taunya itu."Loh, Mas. Wajahmu kenapa?" Rahma menyusul dari belakang hingga kami masuk ke dalam kamar. Tak satu patah pun keluar dari mulutku. Aku kesal. Semenjak kedua orang tuanya ikut tinggal bersama di rumah ini sejak delapan bulan yang lalu, pengeluaran kami melonjak menjadi dua kali lipat. "Mas, kamu kenapa? Aku nanya dari tadi kamu diam saja?" ucap Ratna bertanya sekali lagi seraya menahan lenganku. Menghentikan langkah kakiku yang hendak menuju kamar

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status