Share

4. Pertengkaran dua saudara.

Author: Bunga Peony
last update Last Updated: 2024-08-29 23:56:36

Aku mendekati Mas Ridho dan meninggalkan kedua keponakanku itu di dalam kamar begitu saja.

"Sayang, kamu kenapa ke sini? Sebaiknya kamu masuk ke kamar dan tak usah ikut campur dengan masalah ini!" Mas Galuh panik. Dia menarik tanganku untuk menjauh. Tapi segera kutepis tangannya itu.

Aku harus tahu apa yang tidak aku ketahui jika memang apa yang dikatakan Mas Ridho adalah benar. Bukan kalimat ngawur karena emosi belaka untuk memecah belah hubungan kami.

"Apa maksud ucapamu tentang para mantu dan cucu-cucu Mama?"

"Memangnya kau dan Vina bukan menantu Mama? Dan anak yang ada di perutmu itu dan anak-anakku bukan termasuk cucu-cucu Mama?" jawab Mas Ridho kembali membentakku.

Intonasinya yang begitu tinggi membuatku sakit hati. Seumur hidup aku tak pernah dibentak kedua orang tuaku dan selama menikah pun Mas Galuh bersikap sopan padaku. Sedangkan kini, Mas Ridho yang hanya sebatas abang ipar sudah lancang membentak-bentak aku.

Sikapnya yang begitu kasar sangat bertolak belakang dengan suamiku. Mungkin itu juga yang membuat sikap mertuaku berbeda padanya. Bukankah sikap orang pada kita akan tergantung bagaimana sikap kita pada orang tersebut.

"Sudah Ridho! Kamu membuat selera makan Mama hilang saja. Pokoknya Mama tetap pada keputusan Mama, kalian berdua tak boleh pindah dari sini, titik!"

“Ma, ayolah … aku tidak pindah ke luar kota. Hanya pindah rumah dan jaraknya pun tak jauh dari sini. Aku akan menjenguk Mama seminggu sekali seperti apa yang dilakukan Galuh.”

Kali ini Mas Ridho menurunkan intonasi nada suaranya. Dia masih berusaha membujuk, namun Mama yang keras kepala tetap tak memperbolehkan anak sulungnya itu untuk pergi.

Wajar saja, jika mereka pergi dari rumah ini, maka Mama akan tinggal seorang diri.

Ada yang bilang pondok mertua akan seperti neraka jika memiliki ipar-ipar yang kejam dalam satu lingkungan yang berdekatan. Mungkin Kak Vina beruntung karena hanya memiliki ipar seperti aku.

Tak usil dan tak mau ikut campur dengan urusan iparku, tentunya. Hanya saja perlakuan Mama sama Mbak Vina agak kurang baik menurutku. Mama yang cerewet kerap mengomel pada Mbak Vina atas pekerjaan rumah yang tak pernah ada habisnya.

“Galuh dan kamu beda Ridho, dia sudah punya rumah sendiri, sedangkan kamu kan tidak!”

“Gimana aku bisa punya rumah sendiri jika Mama menghalangi kami. Atau jangan-jangan Mama takut saat aku dan Vina pergi, tak ada lagi pembantu gratis yang bisa Mama suruh-suruh, iya, kan?!” tukas Mas Ridho tajam.

“Mas, jaga ucapanmu! yang sedang berdebat denganmu saat ini adalah Ibu yang melahirkan kita. Kamu tak boleh bersikap seperti itu padanya!” Mas Galuh menghentikan langkah kakinya. Sebagai anak kesayangan tentu dia tak terima mendengar Mama dibentak-bentak.

“Diam kamu, Galuh! Disini aku tak minta pendapatmu. Urus saja keluargamu itu dan anak-anakmu!” balas Ridho ketus.

Telunjuknya dia acungkan ke wajah adiknya dengan nyalang. Mas Ridho sepertinya sudah hilang akal sehat.

Lagi-lagi aku tersentak kaget. Anak-anak? Bukannya anak kami masih di dalan perut dan itu hanya ada satu, sementara anak-anak adalah kata majemuk. Apa Mas Ridho salah sebut karena emosi? Aku seperti menyatukan potongan puzzle yang membuat kepalaku terasa sakit.

“Tapi aku mengatakan semua ini juga demi kamu. Apa yang dikatakan Mama benar, tindakan kamu ini hanya akan menyiksa diri. Selama numpamg di rumah ini saja, gaji yang kamu dapat tak cukup untuk kehidupan, kan. Apalagi kalau kamu ada ansuran cicilan KPR. Apa kamu yakin sanggup, Mas? Sudahlah … kamu tinggal saja di rumah ini. Apa kamu tak kasihan melihat Mama seorang diri di rumah?!” ujar Mas Galuh.

Mas Ridho mengerang penuh marah. Ucapan suamiku telak melukai harga dirinya. Seharusnya Mas Galuh tak perlu mengatakan itu.

“Jangan terlalu sombong kamu Galuh. Walaupun kami hidup pas-pasan, tapi kami berdua hidup dari hasil keringat sendiri. Bukan dari numpang harta bawaan istri. Berapa pun hasil yang kudapat, aku menghabiskan dengan anak-istriku. Bukan untuk bersenang-senang dengan wanita diluaran sana!”

“Apa maksud ucapan Mas Ridho, Mas. Kamu main perempuan diluaran sana?!” tanyaku tak percaya.

Mas Galuh menoleh, tampak sedikit kaget dengan pertanyaanku. Pandangan mata kami beradu pandang.

“Aku? Sejak kapan aku main wanita? Kamu jangan dengarkan ucapan Mas Ridho yang mengada-ngada. Dia hanya sedang emosi karena harga dirinya tersakiti, malu karena tak mampu memberikan kehidupan yang layak untuk istri!” jelas Mas Galuh membela dirinya.

Aku memicingkan mata, memperhatikan gerak tubuhnya. Entah kenapa hatiku mulai curiga dengan apa yang dikatakan Mas Ridho tadi. Kuusap perutku yang sudah menyembul ini.

Aku jadi teringat kembali dengan foto yang ditunjukkan Mbak Vina sore tadi. Andai apa yang dikatakan kakak iparku itu benar, sungguh kejam sekali suamiku ini.

“Lihat apa yang kamu perbuat, Mas. Kamu sengaja, kan, mengatakan sesuatu yang menggiring opini buruk tentangku, agar rumah tanggaku dan Eliana hancur. Dasar licik kamu, Mas. Dipikirkan tapi tidak tahu terima kasih, jika mau pindah ya pindah saja. Tapi nanti jika hidupmu sengsara jangan ganggu kami!”

Aku melihat hubungan persaudaraan yang terjadi antara Mas Galuh dan Mas Ridho jauh dari kata hubungan saudara yang normal. Entah dimana salahnya. Kurangnya komunikasi atau didikan orangtua? Aku juga tak mengerti.

Aku memang terlahir sebagai anak tunggal, tak memiliki kakak ataupun adik. Namun bukan berarti aku tak tahu hubungan kakak beradik itu seperti apa.

“Aku, meminta bantuanmu? Ha ha … jangan khawatir, itu tak akan pernah kami lakukan.” Mas Ridho menertawakan suamiku. Seakan mengejek.

“Sudah cukup! Tak usah bertengkar lagi, pembicaraan kalian berdua mulai ngelantur. Pokoknya Mama tak setuju kamu pindah dari rumah ini, titik!” ujar Mama tegas.

Mama bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Mbak Vina. Tangan Mama terulur, menaikkan dagu kakak iparku itu dengan tatapan mata yang tajam.

“Untuk ke depannya Mama tak mau ini terjadi lagi Vina. Jika kamu tak ingin Mama membuat rumah tangga kalian berdua benar-benar berpisah. Hidup saja yang tenang di rumah ini, lakukan tugasmu sebagai menantu dan istri. Mengerti!”

“Me-mengerti, Ma,” jawab Mbak Vina bergetar. Kenapa dia begitu takut dengan Mama?

“Bagus! Mama mau istirahat, kalian istirahatlah!” tandas Mama.

Mbak Vina pergi meninggalkan meja makan yang mulai hening ini. Seribu tanda tanya singgah di dalam pikiranku. Aku menatap Mas Ridho dan punggung Mbak Vina secara bergantian, begitu pun Mas Galuh yang menatap sembarang arah karena kesal. Raut wajahnya tampak tak sedap dipandang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   48. Alasan dibalik ajakan rujuk.

    Grand opening pembukaan toko rotiku pun akhirnya tiba. Antusias para pengunjung membuat semangatku menyala. Aroma butter yang menguar dari dapur memenuhi seluruh ruangan. Tak hanya di bagian dalam, tetapi di bagian luar pun juga terlihat ramai dengan deretan papan bunga yang berjejer tersusun rapi. "Selamat ya El." Vee memberikan sekuntum besar bunga mawar merah padaku. Dia datang bersama Kak Bian. Lama tak melihat dirinya, ada rasa rindu yang tersirat di hati."Terima kasih." Aku meraih bunga yang diberikannya padaku. Kelopaknya yang segar begitu menggoda mata. "Jangan terima kasih padaku, tapi pada Kak Bian, bunga itu darinya."Aku tersenyum. Hari ini hatiku sedang bahagia. "Terima kasih Kak. Atas bunganya dan juga waktu yang kakak sempatkan untuk datang ke sini.""Sama-sama, El. Lama tidak berjumpa, kamu makin cantik dan sukses saja," pujinya membuat hati ini semakin bahagia. Hari ini seakan begitu banyak kupu-kupu yang bertebaran di dadaku. "Ayo kita ngobrol di dalam sambil me

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   47. Ayo rujuk kembali padaku.

    "Aku benar-benar tak habis pikir, bisa-bisanya kamu bersikap baik sama orang lain yang baru saja kamu kenal, El."Vee terus saja mengomel sepanjang jalan hingga kami sampai di rumah. Caranya mengataiku bodoh seakan aku telah menghilangkan uang ratusan juta saja. "Aku hanya memberikannya sebagian pakaianku yang sudah tidak terpakai lagi. Bukan membiarkannya menempati rumah peninggalan Mama dan Papa. Aku rasa gak perlu dibesar-besarkan seperti ini," jawabku. Aku yang duduk di depan meja rias tengah melepaskan jam tangan dan meletakkannya kembali dalam kotak sebelum membersihkan diri ke kamar mandi. "Tapi kamu juga memberikannya pekerjaan."Aku berbalik menghadap ke arah Vee yang tengah duduk di pinggir ranjang seraya merengut. Tak biasanya dia bersikap kekanak-kanakan seperti ini. "Memangnya ada masalah apa? Kenapa kamu terlihat sensi padanya?" tanyaku lembut. Dalam beberapa hari belakangan ini terasa ada yang berbeda darinya. Vee mengalihkan pandangan matanya dariku. Dia seperti se

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   46. Istana yang terlupakan.

    "Di mana rumahmu, biar kami antar," tawarku yang merasa kasihan dengannya. Aku sudah membawanya ke klinik terdekat, luka-lukanya yang tidak terlalu parah itu pun juga sudah di obati. Hanya saja pergelangan kakinya sedikit terkilir hingga dia terlihat kesusahan saat bergerak.Vee kembali menarik tanganku, sedari tadi dia terus mewanti-wantiku untuk tidak terlalu ikut campur. Kuakui penampilan wanita yang aku ketahui namanya Rani itu terlihat begitu terbuka. "Gak usah Mbak. Saya bisa pulang sendiri, nanti saya pesan ojek online saja," ucapnya segan. Jika dilihat-lihat dia cukup sopan untuk ukuran wanita yang menggunaka pakaian sedikit terbuka. "Gak apa, aku antar saja kamu pulang. Jangan sungkan. Oh ya, kalau aku boleh saran, sebaiknya besok bersepeda gunakan pakaian yang lebih panjang lagi biar kalau jatuh gak parah seperti ini."Aku tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Jika dipikir-pikir tak ada hak untuk aku mengomentari penampilannya. Sebenarnya pakaian Rani ada

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   45. Memulai usaha baru.

    Tiga hari aku tak bertemu lagi dengan Kak Bian. Aku yang selalu di rumah layaknya pengangguran kini mulai menyibukkan diri dengan rencana membuka toko bakery dengan seorang partner bisnis yang aku dapati saat ikut kelas baking. "Wah, mantap. Kapan kira-kira toko ini akan buka?" tanya Vee. Matanya menadang takjub pada penataan toko yang sedang dalam tahap finising tersebut. Hari ini dia libur dan ikut denganku untuk kontrol tukang yang menyelesaikan finishing renovasi rukoku ini. Aku memiliki satu deret ruko yang selama ini disewakan, kali ini dua pintu ruko akan aku gunakan untuk toko bakery. "Secepatnya. Tadi aku tanya sama tukangnya dalam seminggu tempat ini akan siap. Kalau tidak ada kendala awal bulan sudah bisa launching." Vee menganggukkan kepala kemudian meninggalkan aku untuk kembali melihat sekeliling. Aku justru memilih berdiskusi dengan Tissya. Wanita muda yang hanya tamatan sekolah menengah atas.Di umurnya yang

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   44. Musim semi.

    Belum hilang keterkejutanku atas ucapannya, kini aku kembali dikagetkan dengan sebuah cincin berlian yang dia tunjukkan padaku.Aku bahkan tak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhku terpaku dengan lidah yang kelu. "Apa kamu mau menerimaku, El?" Suara lembut pria yang selalu aku anggap sebagai kakak lelaki ketimbang pasangan ini kembali membuyarkan lamunanku. Aku menatap wajahnya lekat. Apa yang kurang dari dirinya? Tak ada. Tapi rasa takut atas kegagalan rumah tangga sebelumnya membuatku tak berani melangkah. Aku menutup kotak merah tersebut."Kenapa?" tanya Kak Bian dengan nada kecewa. Sejak kapan dia memiliki perasaan denganku? Sejak dulu saat kami kerap bersama atau karena kasihan dengan nasibku yang akan menyandang status janda?"Aku baru saja berpisah dengan Mas Galuh dan bahkan palu hakim perceraianku saja belum di ketuk," jawabku jujur. Aku tak ingin kedekatan kami akan menjadi masalah untuk kedepannya. "Aku akan sabar menunggu.""Masih banyak perempuan lain yang pantas un

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   43. Lamaran dadakan.

    Minggu pagi, udara begitu cerah tapi terasa melelahkan untukku. Hidup di rumah sendiri terasa begitu sunyi sehingga aku yang awalnya hanya ingin menginap sehari dua hari di rumah Vee, justru malah jadi keterusan. Keningku berkerut saat membuka kulkas, tak ada bahan makanan apa pun yang tersisa di sana. Baik aku ataupun Vee jarang sekali memasak di rumah ini, entah kenapa hari ini aku ingin makan siang dengan masakanku sendiri.Jadi di sinilah aku sekarang, di pusat perbelanjaan yang cukup besar di kotaku. Baru masuk pintu moll aku langsung menuju Alfamart yang ada di lantai bawah. Aku suka berbelanja di Alfamart yang ada di moll ini, selain lebih besar dan luas bahan makanan pun dijual lebih lengkap dan juga fress.Ayam, ikan, nugget dan juga telur omega sudah tersusun di dalam troliku, aku kembali berjalan sembari mata melirik ke kiri dan ke kanan untuk melihat-lihat apa lagi yang ingin aku beli dan berhenti di depan rak buah-buahan yang tersusun perkelompok."Wah kebetulan sekali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status