HALAMAN BELAKANG, BEBERAPA MENIT KEMUDIANUdara malam terasa lembab. Lampu taman temaram memantulkan cahaya kekuningan di atas rerumputan. Arfan duduk di bangku panjang, bahunya merosot, kepalanya menunduk. Ponsel di tangannya kini hanya alat pelarian. Tak ada panggilan sungguhan. Tak ada pekerjaan malam ini.Langkah pelan terdengar mendekat.NY. YULIANA (lembut, ragu-ragu): “Fan…”Arfan tidak langsung menoleh. Suaranya parau saat menjawab.ARFAN: “Ma… dia masih Feeza kan? Senyumnya... cara dia panggil aku, semua itu... masih sama.”Ny. Yuliana duduk di samping Arfan, memandang anaknya yang berusaha tegar.NY. YULIANA: “Aku tahu…”Arfan mengangkat wajah. Matanya basah. Sekuat tenaga ia menahan, tapi air mata itu tetap jatuh, pelan dan diam.ARFAN (dengan suara pecah):“Ma… bolehkah aku... egois sebentar aja? Boleh gak… aku berpura-pura... kalau semua ini masih milikku? Kalau dia masih... istriku.”Ny. Yuliana menatap anak lelakinya dengan hati yang remuk. Dulu, ia pernah jadi alasan r
Langkah-langkah mereka bergema lembut di lantai marmer. Nafeeza menoleh ke sekeliling. Dinding ruang tamu masih dihiasi lukisan-lukisan yang sama, namun ada vas baru di sudut meja dan lampu gantung yang ia yakin tidak ada sebelumnya. Ia memicingkan mata, mencoba menyesuaikan ingatannya.NAFEEZA (pelan): “Rumah ini... agak beda, ya?”ARFAN (tersenyum lembut): “Ada beberapa perubahan, saat kamu di rawat di rumah sakit. Maaf kalau kamu tidak suka, saya minta orang untuk menyingkirkannya.”Nafeeza menggeleng pelan, lalu menatap Arfan dengan senyum samar yang perlahan mengembang di wajahnya.NAFEEZA (lembut, jujur): “Tidak... justru aku suka. Rumah ini terasa... hangat.”Arfan menoleh padanya, sorot matanya melembut. Ada kelegaan sekaligus harapan yang tersirat di balik senyumannya.Ny. Yuliana berjalan di belakang mereka, menjaga jarak, namun matanya terus mengawasi Nafeeza seperti takut kehilangan kesempatan menebus sesuatu. Perasaannya campur aduk, rasa bersalah, harapan, dan cemas jadi
Hari itu cerah. Angin sejuk berhembus lembut, menggerakkan pucuk-pucuk pohon di pelataran rumah sakit. Nafeeza duduk di kursi roda, mengenakan dress lembut warna krem yang dipilihkan perawat untuknya. Wajahnya tampak segar, senyumnya kecil namun tulus.Arfan berdiri di sampingnya, tangan menyentuh bahu Nafeeza dengan ringan. Ketika mobil hitam berhenti di depan mereka, pintu dibuka oleh seorang pria muda berpakaian rapi.NAFEEZA (menyipitkan mata, heran): “Eh… ini siapa? Kok bukan Rendy yang jemput?”Arfan menegang seketika. Senyum asistennya, Dimas, tetap sopan meski bingung ditatap tajam oleh perempuan yang belum pernah ia temui sebelumnya.ARFAN (cepat-cepat menimpali): “Oh, Rendy… dia lagi pulang kampung, Feeza. Ada urusan keluarga. Jadi sementara Dimas yang bantuin aku.”NAFEEZA (mengernyit): “Pulang kampung? Tumben banget… biasanya kamu gak pernah lepasin Rendy. Dia kan tangan kanan kamu.”Nada suaranya ringan, seperti sekadar menggoda. Tapi bagi Arfan, kata-kata itu seperti pis
NAFEEZA (manja): “Sayang, kamu kemana aja… katanya cuma sebentar.”Kata-kata itu menghantam dada Rafa seperti palu godam. Tubuhnya membeku.Suasana kamar mendadak terasa sempit, sunyi, padahal suara detak monitor masih berdetak perlahan di latar.ARFAN (mendekat): “Aku cuma keluar sebentar, Feeza. Kamu sudah baikan?”NAFEEZA (tersenyum lembut):“Sedikit pusing... tapi sekarang udah mendingan. Soalnya kamu udah di sini.”Rafa berdiri kaku di ujung ranjang. Tatapannya kosong menatap tangan Nafeeza yang kini perlahan menggenggam jemari Arfan, bukan dirinya.Ia menggigit bibir, menahan sesuatu yang mulai menghangat di pelupuk matanya.Lalu ia berpaling, menunduk, dan menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata pelan,RAFA: “Aku keluar sebentar. Biar kalian ngobrol…”NAFEEZA: “Oh, iya… terima kasih ya sudah jagain aku, Dokter Rafa.”Kata-kata itu terdengar begitu formal. Jauh. Dingin.Bibir Rafa tersungging sebentar, sekilas senyum hancur yang hanya ia sendiri pahami.Tanpa sepatah kat
Danis duduk di kursi kecil di samping ranjang, sementara Nafeeza mewarnai bunga matahari di atas buku gambar. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi goresan warnanya mulai rapi. Danis ikut mewarnai di sisi lain halaman.NAFEEZA (tersenyum): “Kamu pintar mewarnai, Danis.”DANIS (bangga): “Papa yang ngajarin.”Nafeeza menoleh ke arah Rafa, yang tersenyum dari balik meja. Ia membalas senyum itu, lalu menoleh kembali ke Danis.NAFEEZA (heran): “Kamu manggil dia Papa?”DANIS (mengangguk cepat): “Iya. Papa Rafa.”Nafeeza terdiam sejenak. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak berkata apa pun. Matanya menatap Danis lebih lama, lebih dalam. Seolah ada sesuatu yang berusaha muncul ke permukaan pikirannya, namun masih samar.Nafeeza masih menatap Danis, seolah tengah mengumpulkan kepingan bayangan yang berserakan di pikirannya. Ujung bibirnya bergerak pelan, matanya berkedip lambat, ada getaran aneh yang tidak bisa ia jelaskan.NAFEEZA (pelan, nyaris bergumam): “Papa… Rafa…”Ia mengulangnya perlahan
Taman Bermain Rumah Sakit. Danis duduk di atas ayunan kecil, mengenakan hoodie abu-abu yang sedikit kebesaran. Jemarinya terus menggenggam erat boneka dinosaurus kecil, seolah menjadi satu-satunya pengganti pelukan ibunya. Daun-daun kering berjatuhan ditiup angin lembut. Rafa berdiri tak jauh, bersandar pada pagar kayu pembatas taman. Pandangannya tertuju pada anak itu, bocah enam tahun yang terlalu dewasa dalam luka, terlalu sering menelan rindu tanpa tahu kepada siapa harus bertanya. DANIS (pelan): “Pa…” RAFA (mendekat, lembut): “Iya, Nak?” DANIS: “Kapan aku bisa ketemu Mama? Aku janji nggak akan rewel…Aku cuma mau lihat Mama…” Rafa duduk perlahan di samping Danis, mengelus rambut anak itu yang halus dan mulai lepek oleh keringat. Hatinya terasa seperti digores setiap kali mendengar pertanyaan yang sama. Ia menatap langit senja sebentar, seolah mencari keberanian di antara warna jingga dan bayang senyap. RAFA: “Papa mau jujur sama kamu, Danis…” Danis menoleh, wajahnya seri