Share

Bab 54

Penulis: Sri Pulungan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-02 09:13:41

Edo duduk di meja kerjanya, tangan gemetar saat matanya terfokus pada ponsel yang tergeletak di depan, seakan-akan benda itu bisa memberinya jawaban yang dia butuhkan. Sejak pagi tadi, Nafeeza belum menjawab panggilannya. Kekhawatiran itu semakin menggerogoti pikirannya. Tanpa pilihan lain, dia menekan nomor kontak Nafeeza lagi, berdoa agar kali ini wanita itu mengangkat teleponnya.

Deru nada panggilan berlanjut, lalu beberapa detik kemudian, suara Nafeeza terdengar di ujung telepon. Cepat dan terdengar sedikit terburu-buru, namun tetap tegas, "Pak Edo, ada apa?"

Edo menelan ludah, ketegangan di dadanya hampir memadat.

"Nafeeza, aku butuh kamu sekarang juga. Tidak ada yang bisa menggantikanmu di presentasi ini. Ini bukan sekadar soal klien biasa. Arfan, Pak Arfan... dia yang akan datang langsung ke studio."

Hening. Nafeeza terdiam sejenak, dan Edo bisa merasakan betapa berat kata-katanya menggantung di udara. Nafeeza akhirnya merespons dengan suara yang lebih tenang, meski tetap meny
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 71

    Semua mata tertuju pada Nafeeza. Ucapannya menggantung di udara seperti kabut tebal yang membuat siapa pun sulit bernapas. Tak ada yang bicara. Hanya desau angin malam yang menyusup lewat jendela setengah terbuka, membawa hawa dingin yang mengiris.Kemudian terdengar suara pelan, parau, dan tertahan.“Toloooong…”Rafa yang paling dulu bereaksi. Ia segera berlari ke arah Bibi Rara yang tergeletak di dekat pintu. Darah mengalir dari pelipisnya. Nafasnya tersengal, dan matanya berusaha tetap terbuka meski kelopak itu berkedut karena nyeri.“Bibi Rara!” Nafeeza menjerit, segera menyusul Rafa. Arfan juga berlari mendekat, namun Rafa sudah lebih dulu berlutut di sisi wanita paruh baya itu, naluri dokternya mengambil alih secepat kilat.“Bibi, jangan tutup mata. Dengar suara saya. Saya di sini,” ujar Rafa sambil memeriksa pupil mata, nadi, dan luka di kepala.“Dia harus dibawa ke rumah sakit,” gumamnya cepat. “Kepalanya terbentur cukup keras. Bisa gegar otak ringan, atau lebih parah.”“Aku a

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 70

    Arfan menatap Nafeeza lama. Wajah wanita itu begitu tegang, seperti benang yang nyaris putus. Ketakutannya bukan hanya pada kejadian malam ini, tapi pada ingatan-ingatan pahit yang masih menorehkan luka.“Baik,” Arfan akhirnya bicara, suaranya merendah. “Kalau kamu hanya percaya dirimu sendiri, aku akan pastikan kamu tetap jadi dirimu. Dan tetap aman.”Langkah kaki berat terdengar dari depan gang. Nafeeza dan Arfan refleks menoleh, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Namun sesosok pria tinggi muncul dari balik bayangan, wajahnya tegang, matanya liar mencari-cari.“NAFEEZA!” seru Rafa, begitu melihat tubuh wanita yang ia cintai terduduk lemah di lantai, memeluk Danis.“Rafa?” Nafeeza nyaris tak percaya.Rafa bergegas masuk, langsung memeluk Nafeeza dan Danis. Napasnya bergetar, tangan gemetar meraba tubuh Nafeeza, memastikan semuanya masih utuh. “Apa yang terjadi? Siapa yang berani menyentuh kalian?!”Arfan berdiri, wajahnya gelap. “Ada dua orang, mungkin lebih, datang malam ini. Nyari

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 69

    Langkah Arfan melaju cepat. Nafasnya memburu, seiring denyut jantung yang menggedor dada seperti genderang perang. Gang sempit itu kini terasa lebih panjang dari sebelumnya, seperti lorong tanpa ujung yang menelan suara dan cahaya.Ketika sampai di depan rumah kontrakan hijau pudar milik Nafeeza, yang disambutnya bukan suara Danis atau panggilan Nafeeza, melainkan sunyi. Sunyi yang mencekam.Pintu terbuka sedikit, bergoyang pelan seperti didorong angin. Tapi Arfan tahu itu bukan karena angin. Perasaannya langsung mencium bau bahaya.Dan benar saja, saat ia mendorong pintu lebih lebar, pandangan pertama yang menyambutnya adalah tubuh Bibi Rara yang tergeletak di ambang pintu. Wajah wanita paruh baya itu pucat, nafasnya berat, satu tangan masih terangkat seperti berusaha menolak sesuatu sebelum pingsan.“Ya Allah…” Arfan membungkuk cepat, menyentuh lehernya. Masih ada denyut, walau lemah.Lalu terdengar suara rintihan kecil dari dalam rumah.Arfan berdiri, matanya liar menelusuri ruanga

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 68

    Arfan terdiam. Ucapan Nafeeza menamparnya lebih keras daripada teriakan mana pun. Ia menggenggam erat setir mobil, seolah jika ia melepaskan pegangan itu, kendali atas seluruh hidupnya juga akan lepas begitu saja. Namun dalam diamnya, ada kesadaran yang perlahan tumbuh, bahwa cinta, tanpa keberanian untuk memilih dan menghargai, tak akan pernah cukup. Mobil tetap berhenti di pinggir jalan. Di luar, malam Jakarta merambat dalam kesenyapan yang sunyi dan menggigil. Lampu-lampu jalan berpendar redup di balik kaca yang sedikit berembun, seperti bayangan masa lalu yang enggan pergi. Jalanan itu seolah menjadi cermin dari hati mereka, sepi, dingin, dan tak pasti. "Aku nggak bisa lupain kamu, Feza," Arfan berbisik akhirnya. Suaranya serak, nyaris tenggelam dalam dengung malam. "Setiap pagi aku bangun, berharap semua ini cuma mimpi. Bahwa kamu masih di rumah, duduk di balkon sambil minum teh… senyum ke aku, kayak dulu." Nafeeza menghela nafas panjang. Bukan karena ia tak tersentuh. Tapi ka

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 67

    Arfan terdiam. Nafasnya memburu, namun ia mencoba menenangkan diri, meski urat di lehernya tampak menegang. Dalam cahaya kuning lampu jalan yang temaram, wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya, lelah, penuh beban."Aurel bukan…""Kau bahkan tak tahu siapa dia di belakangmu," potong Nafeeza tenang, suaranya seperti uap air panas yang perlahan mengaburkan kaca jendela, lembut tapi menyakitkan, seperti luka lama yang disentuh tanpa izin.Arfan menarik napas dalam. Matanya tak beralih dari wajah Nafeeza yang kini bersandar pada jendela mobil, menatap kosong ke arah jalan sepi yang membentang.“Aku tahu dia mungkin punya sisi yang tidak kukenal,” ucapnya akhirnya, perlahan. “Tapi kamu menuduh tanpa bukti. Aku kenal Aurel, dia memang keras, protektif, tapi dia bukan pelaku kejahatan.”Nafeeza menoleh perlahan, matanya menantang, penuh luka yang terlalu lama ia telan dalam diam. “Kau tahu kenapa aku diam, Arfan? Bukan karena aku takut. Tapi karena aku sudah lelah. Lelah berusaha menjelask

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 66

    Pintu lift terbuka perlahan di lantai dasar Veranza Tower. Cahaya remang dari lobi melemparkan pantulan dingin pada lantai marmer yang mengkilap. Nafeeza melangkah keluar dengan cepat. Setiap ketukan hak sepatunya menggema, memecah kesunyian malam di gedung elit itu, seolah menandai keinginannya untuk segera pergi, menjauh, kembali ke dunia kecil yang ia sebut rumah: kontrakan sederhana tempat Danis, putra kecilnya, pasti tengah menunggu dalam kantuk.Namun langkahnya mendadak terhenti."Feza, aku antar."Suara itu, dalam, berat, dan tak asing, muncul dari belakang. Arfan.Ia tidak menoleh. “Terima kasih. Tapi tidak perlu,” balasnya cepat, dingin.“Aku tidak sedang bertanya,” sahut Arfan, menyusul langkahnya. “Aku CEO, dan kamu kepala desain yang sedang disorot dalam proyek besar. Tanggung jawabku memastikan kamu aman.”“Itu bukan tanggung jawab pekerjaan,” tukas Nafeeza, kini menoleh. Tatapannya tajam. “Itu ranah pribadi. Dan kamu sudah melanggar batas.”Tatapan Arfan tak berubah. Ti

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 65

    Tatapan Arfan menyusuri wajah Nafeeza, seolah mencari celah untuk menyingkap perasaan yang tersembunyi di balik ketenangannya. Tapi perempuan itu tetap diam, menjaga ekspresi wajahnya setegas mungkin. Ruangan terasa sepi dan dingin, bukan karena suhu, melainkan oleh jarak yang dibangun dari masa lalu yang belum pernah selesai dibicarakan."Kalau kamu sudah siap, kita bisa tanda tangan sekarang," ucap Arfan, nadanya datar. Tapi matanya… matanya menyimpan sesuatu yang belum sempat diungkapkan.Ia menatap Nafeeza lama, lalu bertanya, nyaris berbisik, “Tapi aku ingin tahu satu hal… desain terakhir ini, benarkah datang dari hatimu?”Nafeeza menanggapi dengan senyum tipis, sebuah senyum yang lebih mirip luka lama yang tak kunjung sembuh. Ia menarik nafas, menahan gemuruh yang hendak meledak dari dalam dadanya.“Setelah kamu minta direvisi tiga kali,” katanya tenang, “desain terakhir justru yang paling jujur. Karena aku sudah berhenti mencoba menyenangkan siapa pun. Termasuk kamu.”Arfan ter

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 64

    Keesokan harinya, di lantai empat sebuah bangunan berarsitektur kontemporer, Avila Studio bekerja dalam diam yang penuh fokus. Para desainer muda sibuk menyiapkan prototipe untuk proyek klien properti terbaru: sebuah hunian futuristik di kawasan BSD yang memadukan teknologi dan estetika.Nafeeza berdiri di dekat maket utama , panel interaktif dari kayu lapis dan akrilik yang menampilkan ide mereka: Living With Light, konsep hunian dengan pencahayaan adaptif dan desain interior yang merespons cuaca. Karyanya.Suara notifikasi mengganggu pikirannya. “Feza, bisa ke ruang meeting sekarang? Kita kedatangan proposal dari Mahendra Corp. Ini besar.”Tanpa pikir panjang, Nafeeza langsung beranjak dari tempat duduknya, menuju ruang meeting.Edo menyambutnya dengan senyum hangat namun hati-hati. Di depannya terhampar dokumen presentasi digital bertuliskan:“Kemitraan Strategis Mahendra Corp & Avila Studio: Transformasi Estetika dalam Proyek Hunian Masa Depan.”“Mahendra tertarik menjadikan kit

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 63

    Malam merayap perlahan di langit, menggantungkan kesunyian yang menekan di antara gedung-gedung tinggi. Di dalam kontrakan kecil yang diterangi lampu kuning temaram, Nafeeza duduk di meja kerjanya, menggulung sketsa terakhirnya dengan hati yang teramat lelah. Matanya terasa berat, mengaburkan pandangan terhadap hasil kerja yang sudah selesai, meskipun tidak ada rasa kepuasan yang mengisi ruang hatinya.Danis, tertidur nyenyak di ranjang kecilnya, memeluk boneka dinosaurus penuh dengan kenangan yang mungkin hanya mereka berdua yang tahu. Nafeeza menatap anaknya, namun pikirannya tetap terjerat pada hal lain.Ia berbalik, menatap jendela yang menghadap ke luar, pada lampu-lampu kendaraan yang berlalu cepat di jalanan. Kilatan cahaya yang cepat, acak, dan tak bisa diikuti, seperti takdir yang datang tanpa bisa diprediksi. Sejak bertemu lagi dengan Rafa, segalanya berubah. Hatinya, yang semula penuh kehati-hatian dan jarang tergerak oleh apapun, kini bergetar. Kelembutan yang nyaris terl

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status