Begitu bel berbunyi, Nafeeza segera membuka pintu dengan senyum hangat yang ia latih sejak beberapa menit lalu.“Assalamu’alaikum,” sapa Rafa, berdiri di samping kedua orang tuanya.“Wa’alaikumussalam. Silakan masuk,” jawab Nafeeza sambil mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Langkahnya sedikit gemetar tapi tetap mantap, seperti jiwanya yang sedang berusaha menyambut masa depan dengan keberanian.Pak Mahmud, alias Tuan Mahendra, mengedarkan pandangan ke ruang tamu yang bersih dan tertata rapi. Ia memperhatikan lukisan kecil di dinding, sofa abu lembut, dan vas bunga segar di meja tamu. Tak ada yang berlebihan, tapi semuanya menunjukkan sentuhan perempuan yang peduli pada kenyamanan rumah.“Rumahnya… nyaman,” komentar beliau datar, sambil duduk di salah satu sisi sofa.Nyonya Prameswari ikut duduk di sampingnya. “Dan wangi. Seperti toko bunga,” tambahnya sambil tersenyum sopan.“Alhamdulillah, senang kalau Ibu dan Bapak merasa nyaman. Silakan diminum dulu airnya,” ucap Nafeeza sam
Keesokan harinya…Nafeeza menatap bayangannya di cermin, membenarkan kerudungnya sambil mengatur napas. Setelah menyiapkan sarapan dan memastikan Danis aman bersama Bibi Rara, Nafeeza pun bersiap berangkat ke Avila Studio.Tepat pukul sebelas siang, ia menghampiri ruang kerja Pak Edo dengan langkah pelan tapi yakin.“Pak Edo,” sapanya sambil mengetuk pelan pintu yang setengah terbuka.Pak Edo menoleh dari layar komputernya. “Oh, Nafeeza. Ada apa?”“Apa saya boleh pulang lebih awal hari ini, Pak? Orang tuanya Rafa akan datang. Saya harus menyiapkan beberapa hal.”Edo langsung menyunggingkan senyum lebar, seperti menemukan topik yang sudah lama ia tunggu-tunggu.“Wah, calon mertua datang, ya?” godanya sambil menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dan menyilangkan tangan di dada.Nafeeza langsung tersipu, tapi berusaha tetap menjaga ekspresi datarnya. “Pak Edo…” ucapnya memperingatkan, setengah malu, setengah geli.“Lho, saya serius,” Edo mengangkat alis dengan gaya dramatis. “Ini pertemua
Akhir pekan…Nafeeza berdiri di teras rumah kontrakannya, memandangi tumpukan kardus dan koper yang sudah ia siapkan sejak semalam. Sebagian sudah diberi label: baju Danis, alat dapur.“Semua udah beres di dalam?” suara Rafa terdengar dari dalam rumah, disusul langkah kakinya yang ringan membawa dua kardus ke halaman.Nafeeza tersenyum kecil. “Sudah hampir. Tapi… aku masih ragu bawa rak buku yang itu. Berat banget.”Rafa menengok ke arah dalam. “Yang coklat tua itu? Tenang aja, aku yang angkut.”Nafeeza hanya tersenyum, menyembunyikan kelelahan yang mulai merayap di ujung bahunya. Ia duduk sebentar di pinggiran teras, memandangi halaman yang selama ini jadi tempat Danis bermain bola kecil. Ada semacam rasa sentimental yang mengapung di udara. Tempat itu bukan rumah impian, tapi jadi saksi jatuh bangunnya ia sebagai ibu tunggal.Rafa menatap wajah Nafeeza yang teduh tapi menyimpan banyak luka tersembunyi. Ia tahu betul Nafeeza bukan perempuan lemah. Tapi luka yang terus-menerus diperta
“Tolong Ma! Jangan ganggu Nafeeza lagi. Dan jangan berani ganggu Danis,” kata Arfan dengan tegas.“Apa maksudmu?”“Jangan pura-pura, Ma. Aku tahu soal laporan ke dinas.”Nyonya Yuliana menarik napas pelan. “Aku hanya… khawatir pada Danis, cucu mama.”Arfan melangkah lebih dekat, nadanya meninggi namun tetap terkendali. “Khawatir? Mama tidak sedang khawatir. Mama sedang mencoba mencabut hak Nafeeza sebagai ibu. Itu bukan kekhawatiran, itu pengkhianatan.”“Arfan..”“Aku sudah cukup diam, Ma,” potong Arfan, kini suaranya lebih dingin. “Diamku selama ini justru membuat Mama merasa berhak atas sesuatu yang bukan milik Mama. Danis bukan milik Mama. Dan Nafeeza… dia bukan musuh.”“Dulu Mama memfitnah Nafeeza, sekarang ingin merebut Danis, setelah apa yang telah kita lakukan pada Nafeeza. Diluaran sana, Nafeeza melahirkan Danis sendirian Ma,” lanjut Arfan dengan mata yang berkaca-kaca.Nyonya Yuliana menunduk, ia kehilangan kata-kata. Sorot matanya bergetar, tapi ia menolak menunjukkan kelema
Nafeeza berdiri di lobi Veranza Grup dengan wajah pucat tapi matanya menyala penuh tekad. Ia tak bisa lagi menunggu. Pesan dari Dinas Perlindungan Anak yang diterimanya pagi tadi membuktikan bahwa ini bukan sekadar ancaman diam-diam. Ini perang terbuka, dan ia tahu dari mana asalnya. Langkah-langkahnya mantap, meski jantungnya berdebar cepat. Ia memakai setelan sederhana berwarna netral. Sorot matanya tajam dan tenang.Resepsionis wanita yang duduk dibalik meja tinggi itu menatapnya ragu.“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.“Saya ingin bertemu Pak Arfan,” jawab Nafeeza singkat.Resepsionis memandang ke layar komputernya, lalu kembali menatap Nafeeza. “Sudah ada janji sebelumnya?”“Tidak. Tapi bilang padanya… Nafeeza ada di sini.”Suasana hening beberapa detik. Nama itu, Nafeeza, membuat si resepsionis mengerutkan dahi, tapi ia segera menelpon lantai direksi. Tak lama kemudian, dua pria dari tim keamanan berpakaian rapi datang menghampiri.“Saya mohon maaf, Ibu.
Di saat yang sama, Yuliana juga mulai mengatur rencananya.Ia duduk bersama seorang pria berjas abu-abu, pengacara keluarga lamanya.“Buatkan saya dokumen hak perwalian,” katanya. “Saya ingin memastikan kalau sesuatu terjadi pada Arfan, hak asuh Danis tidak langsung jatuh ke tangan Nafeeza.”Pengacara itu tampak ragu. “Bukankah dia ibu kandungnya?”Yuliana tersenyum samar. “Justru karena itu. Saya tidak ingin cucu saya dibesarkan dalam ketidakseimbangan. Saya ingin antisipasi… sebelum semuanya terlambat.”“Maaf, Bu Yuliana, permintaan ini agak… sensitif. Secara hukum, Nafeeza adalah ibu kandung Danis. Kecuali ada bukti bahwa dia tidak layak, atau berbahaya bagi anaknya, hak asuh otomatis jatuh padanya jika sesuatu terjadi pada Pak Arfan,” kata sang pengacara.Yuliana menyipitkan mata. “Saya tidak minta kamu mengajari saya soal hukum. Saya minta kamu cari celahnya. Entah itu lewat evaluasi psikologis, atau rekayasa riwayat yang membuat dia terlihat tidak stabil.”Pengacara itu menarik