Viona di tarik kuat oleh Melvin yang sigap menghindar dari lampu kaca yang segera menghancurkan pelaminan. Semua orang rusuh bahkan para media yang terkejut segera merekam kejadian itu.
"Kau tak apa-apa?" Cemas Melvin setelah berhasil membawa Viona turun ke bawah. Wajah gadis itu pucat di sapa oleh keluarganya tapi Viona bisa menormalkan wajah walau ia cukup gemetar."Gadis sialan itu memang beruntung," Umpat nyonya Amber di saat rencananya gagal total. Ia mulai malas melihat itu dan segera pergi ke luar gedung............Setelah kecelakaan di gedung tadi, pesta langsung berakhir dan Viona di bawa ke hotel. Viona tengah duduk di atas kursi meja riasnya seraya melenturkan kaki dan tangan yang sangat pegal."Kenapa bisa lampunya tiba-tiba jatuh?!" Tanya Viona berpikir. Ia rasa staf disana semuanya profesional. Tapi, karena Melvin bilang itu kesalahan teknis jadilah Viona tak begitu risau.Seperti sekarang. Viona tengah duduk di atas kursi meja riasnya seraya melenturkan kaki dan tangan yang sangat pegal. Ia memandang wajah cantiknya di depan cermin dan ada senyum malu yang terbit di bibir mungilnya."Kau bahagiakan?!" Tanya Vion pada dirinya sendiri. Semua beban yang tadi ia tahan di atas pelaminan seketika terasa lebih ringan."Setelah beberapa lama akhirnya kalian sah menikah. Sekarang kau bukan lagi seorang gadis, Vio! Kau sudah punya suami dan kau tak boleh lagi sembarangan mengambil keputusan, ok?!" Imbuhnya mempraktekan kata-kata bijak kedua orang tuanya saat melepas Vion saat di gedung tadi.Ada rasa rindu di hati Viona saat mengingat keluarganya. Ia tak akan bisa lagi menjenguk mereka setiap hari dan pasti akan susah karna kediaman ayahnya di luar kota Jakarta."Tak apa, nanti kau pasti bisa bertemu dengan mereka," Gumam Viona mengusap air matanya yang tadi jatuh karna cukup sensitif jika soal hal seperti ini.Viona segera membersihkan make-up di wajahnya seraya menunggu Melvin yang tadi menelpon di luar. Agak malu memang jika dikatakan menunggu karna ia juga cukup gugup untuk berhadapan dengan pria itu.Setelah membersihkan wajah dan melepas aksesoris di rambutnya. Viona bangkit berdiri di depan cermin seraya berusaha melepas resleting di belakang tubuhnya."Haiss.. kenapa susah sekali?!" Gumam Viona berusaha meraih resleting itu.Ia tak sadar jika pintu sudah di buka memperlihatkan Melvin yang masuk setelah selesai menelpon.Pria tampan dengan khas mata coklat dan bulu halus di rahang tegasnya itu terpaku melihat Viona yang kesusahan melepas pakaian.Terbit senyum nakal di bibirnya lalu berjalan pelan mendekati Viona."Kau seharusnya memanggilku, Sayang!""Eh!"Viona terperanjat saat Melvin memeluknya dari belakang. Seketika jantungnya berdegup dengan wajah memerah bahkan sangat panas."M..Melvin!""Hm? Kenapa respon-mu masih begitu kaku? Kita sudah menikah," Pungkas Melvin menyandarkan dagunya ke bahu Viona yang memang mungil tapi percayalah apa keindahan di balik gaun ini.Viona diam. Ia menunduk malu membuat Melvin sungguh tak tahan dengan istri kecilnya ini. Dengan lembut Melvin membalikan tubuh Viona menghadapnya hingga Viona semakin gugup."Kau lebih cantik jika tak memakai make-up seperti ini!" Puji Melvin menarik pelan dagu tirus Viona mengadah padanya.Sungguh, Melvin sangat menganggumi kecantikan Viona yang memang asli asia. Mata bulat belo beningnya yang dihiasi bulu mata lentik alami, dengan kulit mulus dan alis yang hitam indah di pandang."A..aku ingin mandi," Gugup Viona tak sanggup bertatapan lama dengan mata tajam tapi hangat milik Melvin yang selalu bisa membuatnya jantungan."Kau ingin mandi?""Em."Viona mengangguk canggung. Melvin tersenyum tipis menarik pinggang ramping Viona merapat padanya."M..Melvin!" Gugup Viona menahan dada bidang pria berjas lengkap ini tapi Melvin hanya diam dengan tangan naik menyentuh resleting gaun sang istri."Tinggi-mu berapa?" Goda Melvin dan tentu saja mata bulat Viona langsung melotot."150cm. Kau juga sudah tahu!!" Kesalnya memukul kecil dada bidang Melvin yang tertawa geli karna ia cukup pegal menunduk seperti ini."Kau kekurangan gizi, hm?""Apanya??!! Kau saja yang ketinggian!!" Ketus Viona jengkel menggembungkan pipinya pertanda merajuk.Melvin yang tak tahan dengan itu segera mengigit bakpao kenyal ini sampai Viona terpekik keras."Sakiiit!!""Salahkan dirimu yang terlalu imut," Gemas Melvin mengecup kening Viona yang seketika semakin malu."Kalau kita berjalan bersama pasti aku seperti kurcaci. Tinggi mu 187 cm dan aku 150, seperti anak SMP," Dengus Viona menyadari kekurangannya.Melvin seketika menghela nafas. Ia mengangkat ringan Viona duduk di atas meja rias hingga ia tak begitu menunduk lagi."Memang kenapa? Salahnya dimana jika aku lebih tinggi darimu?! Toh, jika seperti itu aku jadi mudah menggendongmu kemana-mana," Kelakar Melvin menggoda Viona yang seketika tersenyum geli."Terserah padamu saja. Bantu aku buka gaunnya, tubuhku sudah lengket," Resah Viona dan tentu Melvin tak sungkan menarik lepas resleting di belakang sana hingga Viona terkejut gaunnya hampir melorot sempurna untung ia cepat menahan di dada."Melviin!!" Pekik Viona segera turun dan berlari ke dalam kamar mandi dan menutup benda itu kuat.Melvin cekikikan duduk di tepi ranjang yang sudah di hiasi bermacam bentuk bunga mawar. Ia memandangi pintu kamar mandi itu dengan sisa kegelian yang masih menjalar di perutnya."Dia memang seperti anak kecil," Gumam Melvin lalu menatap hiasan bunga bentuk hati di atas ranjang.Seperti biasa, pria dewasa berumur 28 tahun seperti Melvin tentu akan berpikiran panas melihat romantisnya kamar ini."Kali ini aku tak akan melepaskan-mu," Gemas Melvin seraya membuka jas dan tiga kancing di atas kemejanya. Otot dada bidang Melvin terlihat seksi apalagi postur tubuhnya memang kekar dan berkharisma.Saat ingin merebahkan diri di atas ranjang seraya memainkan ponselnya. Tiba-tiba pintu kamar di ketuk.Sebenarnya Melvin jengkel dan sempat mengacuhkannya tapi, ketukan pintu itu tak berhenti hingga ia pasrah bangkit dan membukanya.Niat hati ingin membentak seketika urung saat melihat nyonya Amber berdiri dengan wajah pucat."Mom?""Nak! Mommy ingin memberikan ini padamu," Jawab nyonya Amber menyodorkan nampan makanan dengan suara cukup lirih."Mom! Kau kenapa? Mommy sakit?" Cemas Melvin memegang bahu nyonya Amber yang tersenyum hangat memegang rahang tegas putranya."Mommy hanya kelelahan merasa pusing. Ini makanan untuk istrimu. Dia pasti lapar setelah acara tadi, nak!""Mom! Aku akan mengurusnya, mommy tak perlu mengantar kesini," Resah Melvin tapi nyonya Amber hanya tersenyum."Tak apa nak. Aku sudah menganggapnya sebagai putriku sendiri, sudah sepantasnya aku .."Nyonya Amber seketika memegangi kepalanya dan langsung tumbang segera di tahan Melvin yang syok."Mom!" Panik Melvin segera menggendong nyonya Amber dan membawanya keluar dari sini tak peduli dengan nampan dan piring yang tadi jatuh.Karena suara keras dari luar tadi, akhirnya Viona keluar kamar mandi dengan menggunakan handuk dan rambut panjangnya yang basah terurai indah dan tampak cantik. Sayang sekali jika Melvin tak melihat ini."Apa yang terjadi?! Tadi aku dengar suara mommy," Gumam Viona bingung mendekati pintu dan melihat serakan piring dan nampan.Ia mencari-cari Melvin tapi sayang pria itu tak ada di kamar. Ponselnya-pun tertinggal di atas ranjang membuat Viona sangat gelisah dan khawatir.....Tangan Viona gemetar memeggang test pack yang menampilkan dua garis merah. Viona bukanlah orang awam sampai tak tahu maksud dari tampilan benda itu sampai matanya mulai berkaca-kaca. "Kau sudah selesai?" Suara dokter Niko di depan pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Bibir Viona bergetar hingga isak tangisnya luruh di depan kaca wastafel. Dokter Niko yang mendengar itu dari luar bergegas membuka pintu. "Viona!" Menghampiri wanita itu. Kedua tangannya memeggang bahu Viona yang bergetar sampai pupil matanya melihat dua garis test pack di tangan Viona. "A..aku..aku hamil.." Lirih Viona bergetar menatap dengan air mata wajah tenang dokter Niko. Sakit saat mendengar kabar jika wanita yang ia cintai hamil anak orang lain. Tetapi, di samping itu dokter Niko bahagia. "Yah. Kau hamil. Lalu, kenapa menangis, hm?" Mengusap pipi cubby menggemaskan Viona yang menggeleng tak tahu harus bagaimana. Antara senang dan s
Viona sudah di bawa ke apartemen miliknya oleh dokter Niko. Sesampainya di sana Viona berbaring sedangkan kopernya sudah dibawa ke walkcloset oleh dokter Niko yang menata pakaian Viona di lemari karena wanita itu sedang istirahat. "Apa kepalamu masih pusing?" Tanya dokter Niko dari ruang ganti. Viona tak menjawab. Dokter Niko buru-buru menyelesaikan pekerjaannya lalu keluar. Tapi, Viona tak ada di atas ranjang dan suara muntah seseorang di kamar mandi menyita perhatian dokter Niko. "Viona!" "Hoeekmm!!" Muntah di wastafel dengan keadaan lemah.Dokter Niko segera menopang bahu Viona yang ingin tumbang hingga tubuh wanita itu bersandar padanya. Wajah Viona pucat dengan perut bergejolak dan kembali memuntahkan isi perutnya walau hanya lendir putih yang keluar. "Hoeekmm..p..pergilah. A..aku muntah," Lirih Viona berusaha mendorong bahu kokoh dokter Niko yang tak bergerak sama sekali. Tak ada rasa jijik atau muak karena perasaan cemas lebih mendominasi. "Keluarkan saja. Aku akan memij
Sudah satu minggu lamanya Melvin mendampingi nyonya Amber di kediaman Harrison. Wanita paruh baya itu tak bisa keluar dari kamarnya dan hanya berbaring di atas ranjang dengan selang infus melekat. "Mom! Apa sudah baikan?" Tanya Melvin duduk di samping ranjang seraya menyuapi nyonya Amber bubur. "Kau pasti sangat repot ya, nak?" Mulai berkaca-kaca dengan wajah pucat dibuat-buat. "Mom! Bukan seperti itu. Aku ingin mommy sehat seperti semula," Ucap Melvin menggenggam tangan nyonya Amber penuh kasih sayang. Yah, Melvin memang sangat dekat dengan nyonya Amber di banding dengan adiknya yang sampai sekarang tak pernah memberi kabar apapun. "Seandainya Vero sama sepertimu, mommy pasti akan sangat bahagia." "Vero masih kuliah di luar negeri. Dia akan pulang sebentar lagi, mom! Jangan khawatir," Jelas Melvin mengusap lembut punggung tangan wanita itu. Nyonya Amber mengangguk. Sebenarnya ia jiga berharap seperti itu tapi Vero tak pernah mau pulang sama sekali. "Mom! Istirahatlah. Aku akan
Cahaya mentari di atas sana dengan lantang mengusik sepasang manusia yang masih asik berpelukan. Viona membuka matanya perlahan terbuka dan mengernyit karena tubuhnya terasa lumayan pegal.Namun, Viona terkejut saat dada bidang dokter Niko langsung terpampang jelas di wajahnya. Benar-benar seksi dan kekar sampai wajah Viona memerah namun ia dengan cepat sadar menarik diri dari dekapan dokter Niko yang terusik akan pergerakan Viona. "Kau sudah bangun?" Serak khas bangun tidur dokter Niko mengusap wajahnya. Viona sedikit menjauh. Tampilan dokter Niko terlihat lebih tampan dengan rambut acak-acakan dan kacamata masih bertengger rapi. "Maaf. Semalam kau demam dan kedinginan. Aku tak bermaksud untuk.." "Aku tahu. Terimakasih," Sela Viona percaya pada dokter Niko karena sekarang ia memakai kemeja pantai pria itu jadi tak ada yang terbuka atau berantakan. Dokter Niko duduk. Ia lega Viona tak berburuk sangka padanya. "Jik
Langit sudah berubah gelap tak berujung. Taburan bintang dan rembulan abu di atas sana bersinar dan cukup memberi penerangan bagi sepasang manusia yang sedang menikmati santapan seafood di panggang di atas bara api unggun. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda kedatangan team penyelamat sampai keduanya pasrah dan fokus mengisi perut. "Hati-hati. Masih panas," Ucap dokter Niko meniup-niup udang yang di tusuk dengan ranting kecil sudah matang lalu memberikannya pada Viona. "Kau juga makan. Jangan asik meniupkan makananku saja!" "Iya," Jawab dokter Niko mengambil kerang yang sudah matang dengan dedaunan basah sebagai alasnya. Dokter Niko makan tapi matanya menatap dalam dan hangat Viona yang sedang menikmati udang bakarnya. Vions makan dengan lahap walau bisa di katakan semua rasa yang ada memang begitu alami dan segar. "Kau seperti orang yang tak makan satu bulan," Kelakar dokter Niko seraya mengunyah daging kerangnya. Viona malu tapi ia tak bisa menghentikan mulutnya untuk mengu
Langit sudah mau berubah gelap. Bayang-bayang mentari akan terbenam di ufuk barat terlihat sangat indah di pandang. Nuansa jingga pekat yang sebentar lagi akan menghitam membentang di seluruh langit pulau. Sudah lama Viona dan Niko menunggu dengan duduk di tengah-tengah tulisan yang mereka buat tadi. Wajah keduanya terlihat lelah bahkan Viona bersandar ke bahu dokter Niko yang dengan senang hati membiarkan hal itu. "Ini sudah lama. Kenapa tak ada satu-pun orang mencari kita?" Gumam Viona memandangi mentari terbenam yang mengobati rasa bosannya. "Mungkin pulau ini memang terpencil. Mereka kesusahan mencari kita." Grrr.. Suara perut Viona berbunyi hingga membuat wajah cantiknya bersemu malu. Dokter Niko tersenyum gemas kala Viona menunduk seraya memeggangi perutnya yang sudah membuat kegaduhan. "Lapar?" "I..iya," Gumam Viona mengangguk malu-malu. Dokter Niko mengusap lembut kepala Viona lalu mengedarkan pandangan ke area laut dan pesisir pulau. "Tunggu disini. Aku akan coba men