Share

Ancaman Terpanas

“Bangun!” kata Elang tegas, membuat Atika cepat membuka mata.

 Jantungnya berdetak kencang serasa ditarik paksa keluar, dan Atika tak dapat mengabaikan rasa ngilu di sekujur tubuh, terutama di bagian paling privasinya yang kini berdenyut perih. Atika menahan nafas teringat kembali apa yang menimpanya beberapa saat lalu. Atika dirudap*ksa oleh suamiya sendiri. Meskipun mereka telah sah menjadi suami istri, Elang sama sekali tidak merasa perlu meminta persetujuan Atika saat menghampirinya. Pria itu memperlakukan Atika tak lebih dari seorang perempuan pemuas nafsu belaka. Bahkan, tak ada kasih sayang atau kelembutan dalam setiap sentuhan yang Elang berikan.

Atika mengerti, Elang tentu marah mendengar masa lalu Atika. Namun tetap saja tidak menjadi alasan pembenaran untuk perlakuan kasar yang Elang lakukan. Belum genap satu hari Atika menjadi istri Elang, sudah tergambar jelas kehidupan pernikahannya kelak bersama pria ini. 

“Setelah ini siapkan barang-barang yang perlu kamu bawa. Nanti malam kita pindah rumah!”

“Pindah, kemana?”

“Rumah kita. Aku sudah bilang pada Om Burhan. Bawa saja yang paling penting, sisanya bisa kita beli nanti.”

Elang melipat kemeja putihnya dan berbalik menemukan Atika yang masih duduk di tempat tidur dengan tatapan kosong, jelas terkejut dengan kepindahan mereka yang tiba-tiba. Istrinya itu kini hanya menutupi  asal tubuhnya dengan selembar selimut tipis. Melihat bahu Atika yang polos, sesuatu di dalam sana terbangun lagi.

“Cepat mandi! Penampilanmu terlihat kacau!” Elang melemparkan handuk yang tepat mengenai kepala Atika, hampir saja Atika terhuyung ke belakang jika ia tidak sigap menahan bobot tubuhnya sendiri. 

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, Atika sudah kembali berada di kamar dengan badan yang lebih segar. Air dingin ternyata cukup membuat rasa sakit di tubuhnya sedikit berkurang. Kamar itu sepi, tidak ada Elang di sana. Atika menghela nafas lega, setidaknya ia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri sekarang.

Bunyi dering ponsel menghentikan gerakan Atika yang hendak meraih ikatan rambut. Tepat di sebelah ikatan rambut Atika, tergeletak ponsel milik Elang  dengan layar yang menampilkan panggilan dari kontak bernama Aqila. Atika tidak berani mengangkatnya, meski ponsel itu milik suaminya. Beberapa saat kemudian, panggilan itu berakhir. Namun tak berselang lama, sebuah pesan baru masuk. Melalui baris notifikasi, Atika dapat membaca isi pesan itu.

“Mas, kamu sudah nikah? Kamu lupa sama aku, toh!

Singkat tapi amat terang menjelaskan maksud dari si pengirim. Perut Atika melilit membaca pesan itu, rasa cemburu mendadak muncul menyadari ada perempuan lain yang tidak menyukai pernikahan mereka (selain Cindy, tentunya). Di luar sana, ada perempuan yang menyukai Elang dan kemungkinan sedang bersedih sekarang, perempuan itu bahkan berani mengirim pesan bernada posesif kepada Elang.

“Tidak, seharusnya aku yang posesif. Elang suamiku sekarang,” batin Atika, ia hampir saja meraih ponsel Elang dan  berniat menghapus pesan itu jika bukan karena pintu kamar yang terbuka dan memperlihatkan Elang masuk sambil memeluk sprei dan sarung bantal yang baru.

Dengan cekatan Elang memasang kain sprei berwarna hijau tua ke atas tempat tidur, bahkan Atika tidak menyadari bahwa sprei yang sebelumnya sudah dilepas.

“Sprei hijau ini bukan punya tetangga, kan? waktu jemur sprei dan sarung bantal yang lama, aku lihat sprei ini di jemuran,” jelas Elang mengira Atika diam tercengang karena kelancangan pria itu mengambil kain sprei yang bersih.

“Kamu barusan cuci dan jemur sprei itu?”

“Iya, noda darahnya lumayan banyak. Kalau tidak cepat dicuci bisa berbekas.”

Kaki Atika bergetar menahan lemas, ia bersandar ke meja agar tidak sampai terjatuh.

“Orang-orang bisa langsung tahu apa yang baru saja kita lakukan,” rengek Atika pelan, wajahnya memanas, mungkin jika Atika ada tenaga untuk bercermin ia bisa melihat mukanya yang semerah tomat matang.

“Memang kenapa kalau orang-orang tahu? Kita sudah sah menjadi suami istri. Mereka yang seharusnya malu membicarakan urusan rumah tangga orang lain,” kata Elang cuek, seraya memasang sarung bantal, pria itu melemparkan bantal ke atas tempat tidur dan melanjutkan berkata sambil berbalik menghadap Atika, “Justru itu tujuanku, aku ingin orang-orang tahu bahwa kita sudah saling memiliki. Kamu sudah menjadi istriku, Tika. Tidak peduli apa yang pernah terjadi di masa lalu, bagaimana terjadinya perjanjian antara ibuku dan Bu Anyelir, Atika Hasanatul Fadillah yang menjadi istriku dan itu tidak akan berubah sampai kapanpun.”

Atika tercekat mendengar penjelasan Elang. Belum pernah sebelum ini ada yang bersikap begitu memiliki pada dirinya. Tidak dengan Daffa, bahkan ayahnya pun tidak pernah.

“Aku tahu, tapi….” Atika teringat ucapan Cindy yang mengatakan bahwa Cindy lebih pantas menjadi istri Elang, karena Atika terlalu tua untuk pria itu. “Usiaku sudah banyak, orang-orang akan membicarakanmu di belakang. Mereka akan mengasihanimu.”

“Dan menghujatku,” lanjut Atika dalam hati.

“Aku pikir kita sudah meninggalkan topik itu. Aku tidak ingin membahasnya lagi.” 

Elang berjalan mendekati Atika, hingga kini mereka tak lagi berjarak. Atika baru menyadari bahwa puncak kepalanya bahkan tidak mencapai dagu Elang. Aroma feromon Elang memenuhi penciuman Atika, kilasan aktivitas yang mereka berdua lakukan memenuhi penglihatan Atika, cepat-cepat perempuan itu mengenyahkannya sebelum ia bergerak di luar kendali.

“Buku nikah kita akan segera keluar, setelah itu aku akan membuat pesta resepsi sekaligus mengumumkanmu sebagai istriku kepada publik. Jika kamu bersikeras untuk lari dariku apalagi berusaha membuat penyihir itu untuk menggantikanmu, aku tidak akan segan untuk melaporkan keluargamu atas dugaan penipuan atau apapun itu,” ancam Elang seraya meraih dagu Atika membuat gadis itu mendongak. Elang mengecup singkat bibir Atika sebelum berkata, “Kupastikan akan membuatmu menyesal jika berani lari dariku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status