Elang meraih ponselnya dan mengangkat panggilan yang baru saja berdering, sementara Atika masih merasa melayang. Kupu-kupu sepertinya beterbangan dengan riang di perutnya. Mulai sekarang Atika harus selalu waspada jika sewaktu-waktu Elang berubah agresif seperti tadi, jangan lupakan berapa usia suaminya sekarang, hormon ‘kelaki-lakian’ Elang tengah berkembang pesat.
“Aku tidak bercanda, Om. Kami akan pindah malam ini, bahkan kalau bisa secepatnya,” kata Elang pada ponselnya, pria itu melirik sekilas Atika. “Om tidak perlu tahu detailnya, yang jelas aku ingin segera membawa istriku keluar dari rumah ini. Terlalu banyak pengaruh buruk untuknya di sini.”
Atika membeliak tak percaya mendengar ucapan Elang.
“Bagus, aku tunggu!”
“Apa maksudnya pengaruh buruk? Baru satu hari kamu sudah berani mengejek keluargaku!” serobot Atika begitu Elang tidak lagi bicara dengan ponselnya.
“Dasar Naif!” decak Elang tak sabar, pria itu berbalik dan meraih tas ranselnya. “Aku tidak akan berdebat untuk hal yang sudah jelas!”
“Lima menit lagi aku tunggu di bawah. Om Ardian sedang dalam perjalanan menjemput kita. Ingat yang aku katakan, bawa yang penting-penting saja,” lanjut Elang sebelum meninggalkan kamar dan membanting pintu hingga tertutup.
Atika menarik nafas lelah seiring dengan bunyi pintu yang berdebam. Belum ada satu menit Elang membangun suasana ‘panas’ diantara mereka, tetapi detik berikutnya suaminya itu berubah kasar dan seenaknya. Jika diibaratkan gelombang ombak, entah sudah berapa kali Atika mengalami pasang surut emosi Elang yang labil.
“Aku perempuan naif dan kamu bocil labil!” desis Atika seraya membuka lemari pakaiannya, mulai memilah-milah apa yang hendak ia bawa.
“Hanya itu yang kamu bawa?” Elang menunjuk sebuah tote bag berukuran sedang di bahu Atika.
Sekarang semua penghuni rumah itu sedang berada di pelataran rumah Burhan, karena ternyata Ardian datang lebih cepat dari yang Elang perkirakan.
Atika mengangguk dan tersenyum salah tingkah. “Aku baru sadar kalau hanya memiliki sedikit barang, tapi itu menguntungkan, bukan? Jadi tidak perlu waktu lama untuk beres-beres.”
Elang tak dapat menahan diri untuk memberikan tatapan tajam pada kedua orang tua Atika. Sebenarnya, bagaimana cara mereka membesarkan Atika?
“Nak Elang, kenapa buru-buru? Menginap di sini satu malam dulu bagaimana? Bulik belum sempat membuat masakan kesukaan ibumu, Jangan Iwak Pe sama Dadar Jagung. Ibumu dulu selalu tambah sampai dua porsi setiap kali neneknya Cindy masak makanan itu,” ujar Anyelir mendekati Elang. “Bulik masakan sekarang, ya. Tapi kamu menginap di sini malam ini!”
“Mi, sudah! Biarkan Elang dan Atika pindah ke rumah mereka sendiri. Sudah bagus baru menikah sudah ada rumah. Biar mereka cepat terbiasa satu sama lain dan cepat memberikan kita cucu!” kata Burhan mencegah istrinya berbuat hal yang lebih memalukan lagi.
Kemarin, Anyelir memperlakukan Elang seperti sebuah kotoran yang hinggap di depan hidungnya tapi sekarang, sikap perempuan itu tak ada bedanya dengan larva kuning di kartun animasi anak-anak, menggeliat-geliat tak jelas.
“Kami akan secepat mungkin memenuhi keinginan Om. Mudah-mudahan kunjungan kami berikutnya ke rumah ini, kami membawa kabar baik.” Elang menggenggam tangan Atika tanpa ragu.
“Menjijikan!” pekik Cindy sambil menghentakkan kaki kesal tak sanggup lagi melihat kemesraan Atika dan Elang.
“Baik-baik pada Elang, Tika. Jangan banyak membantah,” ucap Burhan pada Atika yang baru saja masuk ke dalam mobil.
“Iya, Pa. Atika minta maaf gak bisa merawat Papa dengan baik. Papa jaga kesehatan, ya. Atika janji akan sering datang menjenguk Papa,” kata Atika dengan suara tercekat menahan tangis.
Tidak peduli apa yang Elang dan orang-orang katakan tentang keluarganya, bagi Atika, Burhan tetap ayah yang ia sayangi, pria pertama dalam hidup Atika, cinta pertamanya. Apapun yang Burhan lakukan dulu tidak akan mengubah kasih sayang serta rasa hormat Atika pada ayahnya.
“Sudah, jangan pikirkan Papa. Fokuskan saja sekarang hidupmu untuk Elang, suamimu. Hal-hal selain itu jangan sampai mengganggu pikiranmu!”
***
Perjalanan dari rumah Burhan menuju rumah mereka yang baru cukup memakan waktu yang lama. Selama perjalanan itu, Atika lebih banyak diam, Begitu pula dengan Elang. Bagi Ardian yang baru melihat Elang dan Atika bersama-sama keduanya tidak tampak seperti sepasang pengantin baru.
“Kapan kamu mulai akan bekerja di kantor, Lang?” tanya Ardian memecah keheningan.
“Om yang atur saja, aku ikut,” jawab Elang singkat.
Saat ini ia sangat malas untuk bicara, selain rasa lelah yang sejak kemarin mengendap dan mulai menunjukkan diri, Elang merasa sangat bersalah pada Atika. Istrinya itu sekarang menguraikan rambutnya dan mengenakan kemeja oversize, saat masuk ke dalam mobil tadi tanpa sengaja Elang melihat bekas keunguan di bagian belakang telinga Atika. Itu ulah Elang.
Entah setan apa yang merasuki Elang, tapi ia sendiri terkejut melihat bukti kekerasannya sendiri. Atika pasti merasakan sakit yang lumayan parah, belum lagi dengan cara Atika duduk sekarang, terlihat sangat tidak nyaman. Elang mengutuki dirinya sendiri karena menjadi penyebab kesakitan yang diderita istrinya. Tapi, untuk meminta maaf ego Elang juga tidak mengijinkan. Wajar jika Elang marah dan cemburu mendengar masa lalu Atika bersama pria bernama Daffa itu. Meski kini Atika telah menjadi istrinya, Elang tetap merasa pria itu masih memiliki tempat di hati Atika.
Dering ponsel Atika kini membuyarkan lamunan Elang, melalui sudut matanya Elang melihat sebuah panggilan dari Cindy.
“Jangan diangkat!” perintah Elang.
“Ini mungkin penting, bisa saja tentang Papa.”
“Kalau penting mereka akan menghubungiku juga.”
Atika mencengkeram kain kemejanya, setelah menikah ia merasa gerak-geriknya lebih terbatas dibandingkan saat masih sendirian.
“Aku tahu apa yang akan adik tirimu sampaikan, kamu juga pasti tahu. Abaikan saja setiap panggilan darinya. Aku sudah meminta Om Ardian mencari perawat untuk mengawasi ayahmu.”
“Benar, Tika. Perawat itu masih dalam perjalanan, mungkin juga sudah sampai. Kalau ada apa-apa dengan ayahmu, ia yang akan menghubungi Elang,” sambung Ardian dari balik kemudi, berusaha menenangkan Atika.
“Terima kasih,” cicit Atika.
Perasaan Atika menghangat menyadari bahwa suaminya yang bocah itu ternyata memperhatikan detail yang sempat Atika lupakan. Tetapi hanya sebentar, karena berikutnya pesan masuk dari Cindy menghancurkan rasa haru Atika seketika.
“Kamu bisa lari sementara ini, Atika! Tapi jangan senang dulu, sebentar lagi aku akan merebut kembali Elang, pria itu sejak awal milikku. Aku bersumpah akan membuat Elang bahkan jijik mendengar namamu!”
Tak lama, sebuah foto lama masuk di bawah pesan ancaman Cindy. Tangan Atika membeku, sebelum Elang sempat melihatnya, Atika cepat-cepat menghapus foto itu.
Halo, salam kenal aku Fitosyin. Kalian bisa panggil aku Fit, atau Fitosyin. Ini karya keduaku di Goodnovel, semoga kalian suka ^^ Jangan lupa untuk tambahkan Suamiku Bocil Tajir ke daftar bacaan kalian biar setiap kali ada bab baru, kalian bisa dapat pemberitahuannya. Oh iya, aku juga akan senang sekali kalau kalian memberikan feedback tentang kisah Atika dan Elang di kolom komentar, biar tulisanku bisa lebih berkembang. Kalau kalian berkenan boleh follow sosmedku di @Fitosyin, semua username-nya sama, ya ^^ Terima kasih banyaaaaak :* Big Kiss and Hug Fitosyin
"Neng, jangan lupa nanti tanggal dua belas kontrakannya dilunasi, ya. Sekalian sama tunggakan dua bulan kemarin!"Atika yang baru saja membuang bungkusan popok kotor sekali pakai ke tong sampah tersentak kaget. "Eh, maaf bukan maksud ibu bikin si Neng kaget!" ujar ibu pemilik rumah petak tempat Atika mengontrak satu tahu terakhir. "Tapi, ibu gak tega kalau datang ke kamar si Neng langsung, takut bangunin adek Dian."Atika tersenyum singkat dan mengangguk paham. "Iya, Bu gak apa-apa. Kebetulan saya lagi agak melamun tadi. Uang kontrakannya akan saya usahakan, ya Bu. Saya minta maaf sekaligus terima kasih, ibu mengijinkan saya tetap tinggal padahal saya bukan penyewa yang baik.""Aduh, si Neng. Jangan bilang gitu, ibu malah tambah gak enak. Neng Tika biar telat bayar kontrakan tapi sering bantu bersihkan rumput-rumput liar, pilah-pilah sampah, bantu kebersihan lingkungan kontrakan ini. Ibu sebetulnya mau gaji Neng untuk itu, tapi tahu sendiri kalau ibu juga punya uang dari mana." Ibu p
“Key, baju nya ganti ah jangan yang itu terus.” Mama mengomentari penampilanku. Sontak aku berhenti di ambang pintu dan melihat penampilanku sendiri di kaca jendela. Tidak ada yang aneh, biasa saja hanya celana bahan berwarna hitam dan kemeja merah bata.“Kenapa diganti, yang ini juga bagus.”Aku berputar-putar di depan mama memperlihatkan penampilanku dari depan lalu ke belakang.“Warnanya sudah kusam, lebih baik yang lain. Terus kamu gak dibedak?”Aku menyentuh wajahku, sedikit berminyak. Aku berlari ke depan cermin mematut bayanganku. Tanpa sengaja tatapanku jatuh pada foto Kim Jae Hee yang kutaruh di samping cermin. Aku mengusap lembut foto itu, foto yang kudapat setelah bersusah payah, berdesak-desakkan dengan ratusan penggemar lainnya.Kuyakini aku sanggup bertahan meski kau tak pernah di sampingku. Waktu yang membuatku bertahan. Aku berhasil menguasai kembali apa yang kumau, sama seperti sebelum aku sadar aku membutuhkan kehadiran mu, aku mampu bertahan sendiri. Kini aku percay
Hari ini, kegilaanku terus berlanjut. Karena semalam Ga Eun dan Hye Na tak sempat bertemu Kim Jae Hee mereka bersikeras agar aku mau kembali mengikuti jadwal Kim Jae Hee. Kali ini aku tidak memakai atribut apa pun yang berbau Kim Jae Hee, mereka kelihatan kecewa tapi aku tak mau mengambil resiko membuat Kim Jae Hee semakin muak padaku. Tapi sungguhkah Kim Jae Hee tidak suka melihatku, ekspresinya sulit dibaca. Aku hanya melihat kesedihan di matanya, mungkin ia sedih melihatku hancur.“kau juga harus menjaga kesehatanmu.” Setidaknya kalimat Kim Jae Hee semalam, membuatku yakin Kim Jae Hee masih mengkhawatirkan keadaanku.“Cha, Kita sudah sampai!” Kata Ga Eun, taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah bergaya kontemporer. Setelah membayar ongkos taksi, aku ikut turun menyusul Ga Eun dan Hye Na. “Wah, kita beruntung, belum ada yang datang. Bebas pilih tempat!” Seru Hye Na, ia lalu mengeluarkan tikar tipis dari ranselnya.“Ini dimana?” Tanyaku.“Aish! Benar, kita belum bila
Aku merapikan ikatan rambutku saat hampir mendekati gerombolan fans Kim Jae Hee yang menunggu di depan gedung teater tempat Kim Jae Hee tampil hari ini. Lee Hye Na dan Jang Ga Eun, dua remaja yang baru kukenal tadi berjalan di depanku. Setelah sedikit mencari informasi, dua gadis itu akhirnya tahu jadwal keseluruhan Kim Jae Hee mulai hari ini hingga minggu depan. Dan kami, memutuskan untuk terus mengikuti Kim Jae Hee. Aku sadar aku bertindak terlalu jauh, tapi yang kulakukan kali ini karena hatiku yang mengatakannya. Aku hanya ingin melihat Kim Jae Hee, dan melihat bagaimana Kim Jae Hee saat melihatku. Setidaknya, aku ingin membuktikan bahwa waktu yang sempat kami habiskan cukup berarti untuk dipertahankan. “Onnie, kemari! Kita harus berbaris. Jangan sampai membuat fans lain marah.” Hye Na menarik lenganku dan memosisikanku di tengah di antara ia dan Ga Eun. Ga Eun lalu mengeluarkan kaus bergambar kartun Chibi Kim Jae Hee yang memenuhi seluruh bagian depan kaus dan menyodorkannya pad
“Jika tetap ingin pergi, maka pergilah! Kupastikan ini terakhir kalinya kita bertemu!” Teriak So Hee sebelum ia berlari pergi meninggalkan Kim Jae Hee sendirian di aula sekolah. Kim Jae Hee tak berniat sedikit pun mengejar So Hee. Bukan hanya Kim So Hee yang sedang kesal saat ini, Kim Jae Hee merasa ia yang lebih berhak kesal dibanding So Hee. Ia kesal pada Kim So Hee yang masih bersikap egois padahal usianya sudah menginjak 20. Acara reuni SMA mereka akar masalah pertengkaran mereka, sejak bulan lalu So Hee selalu melonjak kegirangan setiap membicarakan reuni SMA. So Hee bahkan bersedia menjadi sukarelawan agar acara itu bisa berjalan lancar. Sisa waktunya yang tidak digunakan untuk kuliah dihabiskan So Hee mengelilingi hampir seluruh penjuru Seoul, mengkoordinasikan semua pihak yang berhubungan dalam acara itu. Bobot tubuh So Hee sempat turun drastis karenanya, namun Kim Jae Hee tak mampu mencegah So Hee, karena sama sepertinya, So Hee akan semakin membangkang saat dilarang.Sepanj
“Bagaimana kau bisa tahu aku sakit?” Tanya Kim Jae Hee setelah ia selesai makan bubur buatan Keyla. Keyla tidak segera menjawab, ia menaruh mangkuk dan mengambil segelas air lalu menyodorkannya tepat di depan wajah Kim Jae Hee. “Minum.”kata Keyla pelan, ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang rasanya sangat panas sejak kejadian beberapa menit yang lalu. Kim Jae Hee mengambil gelas di tangan Keyla, dan ia hampir saja tersedak saat menyadari alasan Keyla yang tiba-tiba pendiam.“Ya! Tak kusangka kau bisa malu.” Kata Kim Jae Hee, dan akhirnya tawanya meledak ketika melihat Keyla semakin menundukan kepala hingga dagunya hampir menyentuh dada.“Diamlah, apa kau tak mengerti ini baru bagiku.”“Benarkah? Jadi sebelumnya kau belum pernah berpacaran? jadi aku yang pertama.”Kim Jae Hee menepuk-nepuk dadanya sendiri, senyum bangga tercetak sangat jelas di wajahnya. “Aish! Tinggi sekali rasa percaya dirimu. Siapa bilang kau yang pertama, aku pernah pacaran sebelumnya!” Kata Keyla sengit, ia l