Share

Makan Malam di Luar

“Kamu tidak keberatan kita satu kamar, kan?”

Atika tahu Elang tidak bertanya, sebaliknya pria itu hanya menegaskan apa keinginannya.

“Terserah, aku gak peduli,” jawab Atika masih sambil menaruh pakaian yang ia bawa dari rumah ke dalam lemari yang besarnya hampir memenuhi satu sisi dinding kamar.

“Kalau bukan karena alasan sentimental, kamu boleh membuang baju-baju itu. Sepertinya mereka terlalu kontras dengan baju yang disiapkan Om Ardian,” kata Elang saat Atika terdiam menatap isi lemari mereka.

Sudah tiga kali Atika terlihat tak nyaman begitu menginjakkan kaki di rumah pemberian ayah Elang. Pertama, ketika Rika, kepala asisten rumah tangga menyambut mereka di halaman tadi. Atika hampir saja terjatuh karena tersandung kakinya sendiri saat Rika hendak membawakan tote bag milik Atika. Kedua, saat salah seorang pelayan yang entah sengaja atau tak sadar mengucapkan kalimat, “Lebih tua, ya.”

Semenjak itu, Atika terus melihat ujung sepatunya. Elang bersumpah, setelah ini ia akan mencari pelayan itu dan memecatnya saat itu juga. Dan terakhir, saat Atika merapikan baju-bajunya ke dalam lemari. Pakaian yang biasa Atika gunakan sehari-hari jauh terlihat lebih lusuh saat bersanding dengan pakaian baru yang berjejer apik di dalam lemari.

Inilah salah satu alasan Elang sempat menolak tawaran Ardian. Elang sudah paham benar rasa canggung serta tidak nyaman ketika memasuki kehidupan keluarga Barata. Walau kini ayah dan keluarga tirinya telah tiada dan mereka menempati rumah yang baru, tetapi nafas mereka serasa masih menghantui rumah itu melalui setiap inci bagian rumah.

Sepuluh tahun lalu, ketika menginjakkan kaki di rumah Barata, Elang merasa dunianya jungkir balik. Semua hal yang sebelumnya terasa normal dan baik-baik saja, berubah menjadi menyedihkan setelah berada di keluarga ayahnya. Sama seperti yang Atika rasakan sekarang.

“Ikut aku.”

Dengan cepat Elang menarik tangan Atika hingga terbangun dan membawa istrinya keluar dari kamar.

“Sebentar,” seru Atika kebingungan.

Kakinya mulai kesemutan setelah duduk bersila cukup lama lalu tiba-tiba Elang menyeretnya seperti sedang menyeret sekarung beras. Terkadang Atika harus mengingatkan diri bahwa suaminya tetap seorang anak kecil.

“Makan malamnya sudah siap,” kata Rika ketika Elang dan Atika tiba kaki tangga.

“Kami akan makan malam di luar,” jawab Elang tanpa menoleh pada perempuan yang mungkin seusia Anyelir.

Atika hendak meminta maaf pada Rika karena membuat pekerjaannya jadi sia-sia, tetapi Elang kembali menyeret Atika hingga setengah berlari.

“Kenapa buru-buru? Memangnya kita mau kemana?” Atika menghentakkan genggaman tangan Elang ketika mereka tiba di garasi mobil.

“Aku belum terbiasa berada di rumah itu, rasanya pengap. Aku ingin jalan-jalan sebentar, mau ikut?”

Mendengar tawaran Elang membuat Atika menyadari bahwa ia memang sempat kesulitan bernafas di rumah barunya, tanpa ragu perempuan itu mengangguk dan mengekori suaminya. Elang saat ini sudah kembali berjalan menyusuri barisan mobil mewah yang sebelumnya hanya pernah Atika lihat melalui layar ponsel Cindy.

Sepasang lampu depan mobil menyala menyinari garasi yang sebelumnya remang-remang. Perut Atika mencelos menyadari darimana lampu-lampu itu berasal.

“Lang, kamu pernah menyetir mobil sport?” tanya Atika sangsi.

Pria itu tampak ragu, namun akhirnya ia mengangguk pasti. “Aku bisa mengemudi. Di desa aku biasa bawa mobil pick up, mengantar sayuran ke pasar.”

***

“Terima kasih, Tuhan.”

Atika menghela nafas panjang saat mobil itu berhenti melaju tiga puluh menit kemudian.

“Berlebihan! Sudah kubilang aku bisa bawa mobil,” gerutu Elang.

“Tapi ini mobil sport dan aku manusia bukan seikat sayuran!” pekik Atika histeris. “Aku gak mau kehilangan nyawa karena egomu, tahu! Apa susahnya tadi putar balik dan ambil kunci mobil yang biasa? Paling hanya makan waktu lima menit.”

“Seandainya kamu bisa seperti ini juga di depan keluargamu.”

“Apa?” tanya Atika tak mengerti dengan respon yang Elang berikan.

“Sudahlah. Aku minta maaf, walau seharusnya kamu juga tidak perlu panik karena buktinya aku bisa membawamu sampai sini dengan selamat.” Elang melepaskan sabuk pengamannya dan turun dari dalam mobil.

Tidak berapa lama, Elang kembali masuk ke dalam mobil. Wajahnya pucat pasi, pria itu lalu menyalakan mesin mobil kemudian kembali melajukannya ke jalan raya.

“Baru lihat hantu?”

Elang menggeleng. “Aku lupa kalau tidak mungkin membawa mobil ini ke sini sekarang.”

Atika melihat ke belakang dan ikut panik seperti Elang. Mereka baru saja meninggalkan pasar malam yang sangat ramai pengunjung. Memang tidak ada larangan atau peraturan tertulis tentang kendaraan apa saja yang boleh memasuki kawasan itu. Tetapi mobil sport milik Elang bukanlah hal yang lumrah terlihat di sana.

“Aku menyadarinya saat melihat segerombolan preman berjalan mendekati kita. Aku mengemudi tanpa berpikir, saat melihat wahana dari kejauhan aku langsung berbelok masuk,” jelas Elang, ia ingin terus bicara untuk menghilangkan keterkejutannya.

Elang tak mampu membayangkan apa yang bisa para preman itu lakukan pada istrinya, kalau ia tidak cepat kembali.

“Jadi, kita pulang ke rumah saja, ya?” tawar Atika.

“Tidak, aku sudah janji mengajakmu makan di luar.”

Akhirnya, Atika dan Elang makan di luar. Benar-benar di luar dalam artian sesungguhnya. Mereka makan di atas hamparan rumput hijau di sebuah bukit yang berada di belakang rumah. Setelah berkeliling hampir dua jam, Elang kemudian memutuskan mengikuti saran Atika. Tetapi di detik terakhir, pria itu kembali memutar kemudi lalu berhenti di bukit belakang rumah.

“Makanannya sudah datang!” Elang berseru dan menaruh dua bungkus nasi goreng di hadapan Atika.

Atika menyunggingkan senyum teringat kemarin malam, ia menahan lapar saat mengorbankan Rupiah terakhirnya untuk Cindy. Dan malam ini, nasi goreng itu hadir bersama seorang suami.

“Kenapa kita gak makan makanan yang di rumah?”

“Bukan makan di luar namanya kalau masih ada aroma rumah,” jawab Elang mulai melahap nasi gorengnya.

Atika diam memerhatikan Elang. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, Atika akan menikah dengan seorang pria yang jauh lebih muda darinya. Pria ini muncul begitu saja seperti sebuah mainan boneka yang muncul dari kotak kejutan, dan semenjak bertemu dengan Elang, kehidupan Atika selalu penuh kejutan.

“Aku…minta maaf, belum bisa memberikan yang terbaik,” kata Elang teringat tingkah konyolnya yang berakhir dengan membuat mereka makan malam dikelilingi nyamuk dan serangga malam.

“Memang yang terbaik itu seperti apa?” Atika balik bertanya, lalu mulai menggeser badannya melihat ke sekitar. “Tujuan kita keluar tadi ingin melepas penat.”

Atika menarik nafas dalam-dalam hingga dadanya membusung, lalu menghembuskannya perlahan. “Dan ini memang membuat rasa penatku hilang sempurna! Lihat, aku jadi tahu kalau di kompleks ini, setiap rumah memiliki bukit di belakang rumah mereka masing-masing. Aku jadi berpikir, bisa jadi ada artis atau pejabat yang tinggal di sini!”

Elang tersenyum melihat Atika yang berusaha menghiburnya, sama seperti sepuluh tahun lalu. Atika memang pandai menyingkirkan kesedihan seseorang, kesedihan Elang. Jantung pria itu tiba-tiba bertalu kencang, inikah saat yang tepat untuk mengungkapkannya?

“Aku senang kita berada di sini. Jujur, aku masih canggung diberi hormat para asisten rumah tangga. Awalnya aku merasa sendirian, tapi setelah kejadian barusan aku sadar kalau bukan hanya aku yang masih canggung. Kita berdua masih harus banyak beradaptasi dengan perubahan ini,” jelas Atika diakhiri cengiran lebar.

“Atika, apa kamu ingat di mana kita pertama bertemu?”

“Di kamar Papa.”

“Bukan, sebelum itu! Kamu benar-benar tidak ingat?” tanya Elang mulai menuntut.

“Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Atika balik.

“Sudah, lupakan!” Elang kehilangan minatnya, pria itu tiba-tiba bangkit berdiri dan masuk ke dalam mobil, lagi-lagi meninggalkan Atika tanpa kata.

“Apa sebenarnya mau bocah itu?” desis Atika kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status