Udara masih terasa dingin saat perlahan kesadaran mengusikku. Dengan masih setengah mengantuk, aku mencoba membuka mataku. Ingin melihat jam yang terpasang di dinding kamar. Waktu masih menunjukkan jam empat lebih lima belas menit. Aku yakin saat ini adzan subuh belum berkumandang. Sebab biasa panggilan Tuhan itu berbunyi di jam setengah lima pagi. Berarti masih ada lima belas menit sebelum subuh. Aku meraba tempat di sampingku yan tternyata Sidah kosong. Padahal biasanya di jam segini, Putra masih terlelap dan masih bergelut dengan mimpinya. Lalu tiba-tiba kudengar suara gemericik air dari kamar mandi yang berada di dekat dapur atau tepatnya di belakang kamarku. Meski kamar mandi itu ada di luar kamar, tapi semua kegiatan di kamar mandi selalu terdengar ke kamar. Maklum. Karena rumah kontrakan kami kecil. Dan setiap ruangan di dalamnya saling berdekatan. "Putra pasti sedang mandi. Tumben? Biasanya di jam segini Putra belum bangun. Harus menunggu aku bangunkan," pikirku, bergumam.
"Mbak cukup melayani saya saja di rnjang. Malam ini saya ingin meminta hak saya sebagai suami," jawab Putra saat kutanya apa yang harus aku berikan sebagai ucapan terima kasihku atas kehadirannya di hidupku. Deg!Jantungku mendadak berdetak dengan keras mendengar ucapannya. Sebab ucapan itu mengarah ke arah hubungan yang lebih intim lagi. "Anggap juga sebagai hadiah ulang tahun saya dari Mbak," lanjut Putra saat aku terdiam sebelum aku bereaksi. Aku tertegun mendengar ucapannya. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Kata-katanya barusan membuat suasana menjadi jauh berbeda dari sebelumnya. Aku mencoba meresapi maksudnya, sekaligus memahami apa yang kurasakan saat ituAku langsung merasakan panas di pipiku. Aku yakin saat ini pipiku merona. Malu sendiri dengan percakapan yang menurutku intim ini. "Putra..." Panggilku, pelan. Kembali mengangkat wajahku yang tadi tertunduk. Lalu menatap matanya, mencoba mencari keseriusan di sana.Namun, ia hanya tersenyum lembut, seolah meny
Ternyata keberuntungan haru ini belum selesai. Setelah kenaikan jabatan yang kuterima. Juga makan malam di restoran mewah dengan diskon 90%. Ternyata aku mendapat lagi keberuntungan lainnya. Itu terbukti saat aku keluar dari restoran. Udara malam terasa sejuk saat aku dan Putra berjalan di sepanjang trotoar yang berjejer toko-toko besar dengan etalase yang memancarkan kilauan lampu. Restoran tempat kami makan malam tadi masih terlihat dari kejauhan.Di antara deretan toko, mataku tertuju pada sebuah butik mewah dengan etalase yang menampilkan gaun cantik karya perancang busana terkenal. Gaun itu tampak begitu anggun—berwarna emas berkilauan dengan detail bordir yang rumit di bagian atas. Patung manekin yang memakainya berdiri dengan aura elegan, seolah memamerkan gaun itu pada siapa saja yang melewatinya.Aku terhenti, terpaku menatap gaun itu. Ada keinginan besar dalam hatiku untuk memilikinya, meski aku tahu harga gaun tersebut pasti tak terjangkau.Melihatku terpesona, Putra terse
Sore yang hangat menjelang malam, suasana di kantor mulai lengang. Para karyawan keluar satu per satu, membawa lelah setelah seharian bekerja. Aku dan Alin melangkah menuju pintu keluar bersama. Hari ini tanggal gajian, momen yang selalu dinanti setiap bulan. Dengan amplop gaji di tangan, aku merasa bahagia. Rencanaku sudah jelas: mentraktir Putra, suamiku, makan malam spesial karena hari ini ulang tahunnya."Aku pulang duluan ya, Jingga. Selamat merayakan ulang tahun suamimu," ujar Alin sambil tersenyum. Tadi aku memang sempat bercerita tentang rencana ini.Aku mengangguk sambil balas tersenyum. "Iya, Lin. Maaf ya, khusus gajian kali ini aku nggak bisa ikut makan-makan sama kamu. Mungkin lain kali.""Enggak apa-apa, aku mengerti. Hati-hati ya," jawab Alin sebelum masuk ke taksi yang sudah menunggunya.Aku menunggu Putra di trotoar depan kantor, sambil tersenyum kecil. Dalam hati, aku tak sabar ingin berbagi kabar bahagia ini dengannya—kenaikan jabatan yang kudapatkan hari ini. Jabata
"Apa!" Aku kaget mendengar ucapan Pak Hendrawan. Apakah aku tidak salah dengar barusan. Apakah benar Pak Hendrawan bilang mengangkat ku sebagai sekretarisnya. "A_apa maksud Bapak?" Lanjutku dengan gugup. Tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. "Karena mulai besok kamu saya angkat menjadi seorang SEKRETARIS di perusahaan saya." Pak Hendrawan kembali mengulang ucapannya tadi. Wajahnya yang tadi datar dan dingin, tiba-tiba tersenyum padaku. Aku membeku di tempat. Menatap Pak Hendrawan dengan wajah melongo. Benar-benar sulit dipercaya. Kesadaran ku mendadak menghilang. Seperti merasa di alam khayalan. "Ba_bapak tidak salah bicara kan?" Tanyaku sekali lagi dengan tatapan kosong kepadanya. Pak Hendrawan menggeleng. "Tentu saja tidak. Saya benar-benar mengangkat kamu sebagai sekretaris saya," jawab Pak Hendrawan, meyakinkan. Aku diam sejenak dengan mata yang masih menatap kosong beliau. Otakku terus berputar. Antara harus percaya atau tidak dengan apa yang aku dengar. Sementa
Apa? Aku dipanggil Pak Hendrawan?Jantungku langsung berdebar. Tidak biasanya seorang CEO memanggil karyawan biasa sepertiku. Ada apa ini? Apakah aku melakukan kesalahan?"Kira-kira kenapa Pak Hendrawan memanggilku?" tanyaku panik pada Yani.Yani hanya mengangkat bahu dengan tatapan sinis. "Mana aku tahu? Tapi sepertinya ada hubungannya dengan Bu Angela. Karena sebelum ini, dia menghadap Pak Hendrawan.Deg!Jantungku makin berdebar. Apakah Angela benar-benar melaksanakan ancamannya? Apakah hari ini aku akan dipecat?"Ck. Harusnya kamu jangan cari masalah dengan Bu Angela. Ayahnya itu rekan bisnis Pak Hendrawan, jadi hubungan mereka dekat," celetuk Yani.Aku masih diam, sementara Yani tiba-tiba menatapku dengan seringai mengejek. "Atau ini karena kamu masih sakit hati ditinggal Mas Niko yang lebih memilih Bu Angela daripada kamu?"Mataku membelalak. Kesal. Kenapa dia selalu menyerangku? Dia ini adik tiriku, tapi sejak dulu tidak pernah bersikap seperti saudara. Tinggal di rumah peningg