"Mau ke mana kamu? Duduk sini dulu!" Bu Ningsih membentak Lara yang bersiap menyelinap ke kamarnya. Daripada ribut, Lara mengikuti perintah sang ibu. Ia duduk bagai robot di kursi makan.
Sikap mempertahankan diri seperti ini sudah ia praktekkan bertahun lalu. Sejak ia sadar kalau ibunya tidak mencintainya seperti ibu pada umumnya. Namun ia selalu ingat pada pesan ayahnya. Bahwa ibunya mencintainya dengan cara berbeda. Keras karena ia ingin dirinya kelak mampu melewati dunia yang lebih keras lagi. Di dunia ini tidak ada ibu yang tidak mencintai anaknya. Hanya kalimat singkat itulah yang menjadi pelipur laranya jikalau ia sedih karena diperlakukan tidak simpatik. Kalau ia tidak terus mengingat-ingat nasehat ayahnya itu, ia pasti sudah depresi sejak lama.
"Kamu itu sudah besar, Ra. Sudah dewasa. Mengapa kamu tidak malu menerima uang dari orang lain?" cibir Bu Ningsih. Kalimat tidak simpatik sang ibu membuat Lara mendongak.
"Ayah bukan orang lain, Bu. Ayah adalah orang tua Lara. Begitu juga dengan Ibu. Menerima sesuatu dari kalian berdua adalah hak Lara," bantah Lara tegas.
"Kamu tidak berhak!" Bu Ningsih berdiri dari kursi sambil menunjuk wajah Lara geram. Berani sekali anak ini.
"Kenapa tidak berhak?" Lara mengerutkan keningnya.
"Karena... karena kamu sudah besar. Harusnya kamu bisa mencari uang sendiri. Bukan selalu mengandalkan ayahmu. Ayahmu itu hanya seorang supir. Sudah tua lagi. Kamu tidak kasihan pada ayahmu?" Bu Ningsih menekan Lara dari sisi emosional. Ia tahu Lara lemah dibagian ini. Hatinya lembut dan sensitif.
"Lara kasihan, Bu. Makanya Lara ingin bekerja di kafe Tasya sepulang kuliah. Tapi Ibu tahu sendiri 'kan Ayah melarang? Lara mengajar les pun Ayah tidak setuju. Ayah bilang ia ingin Lara berkonsentrasi kuliah saja."
"Ayahmu itu memang terlalu memanjakanmu. Cepatlah tamat dan cari kerja. Balas semua biaya yang kami keluarkan untukmu. Jangan terus jadi benalu. Paham kamu? Menyusahkan orang tua saja," hardik Bu Ningsih lagi.
"Iya, Bu. Setelah skripsi Lara disetujui nanti, tinggal sidang dan wisuda. Setelahnya Lara sudah bisa bekerja, Bu."
"Baguslah kalau begitu. Sekarang cuci piring-piring kotor itu. Setelahnya kamu ke rumah utama. Gantikan tugas Ibu membantu Bu Shinta beres-beres. Ibu malas kalau cuma dijadikan jongos oleh si Shinta," tukas Bu Ningsih kesal.
Dalam diam Lara mulai bekerja. Mengisi sabun cair ke dalam wadah dan mencuci piring-piring yang kotor. Terkadang Lara heran pada ibunya. Ibunya terlihat benci pada Bu Shinta. Tetapi setiap kali diajak pindah dari paviliun dan mencari pekerjaan baru oleh ayahnya, ibunya tidak bersedia. Ia sudah tua dan terlanjur betah bekerja di sini katanya. Sikap ibunya sangat kontradiktif bukan? Tapi yah begitulah ibunya adanya. Dirinya dan sang ayah sudah pasrah menghadapi mood naik turun ibunya.
***
"Bukankah dari dulu Sesil sudah bilang kalau Sesil tidak mau dinikahkan dengan orang yang tidak Sesil kenal, Yah? Profesinya seorang petani lagi. Tidak level dengan Sesil, Yah!"
Lara yang sedianya akan berangkat ke kampus menghentikan langkahnya. Di teras Sesil tengah berseteru dengan ayahnya. Keduanya duduk di teras dengan dua mobil yang mesinnya sudah dihidupkan. Itu artinya kedua mobil itu masing-masing akan dikendarai oleh Sesil dan Pak Hardi.
"Kamu lihat dulu orangnya, Sesil. Bagas Antareja itu bukan petani sembarang petani. Dia adalah anak tunggal Jaya Antareja, pemilik perkebunan teh yang juga dijadikan objek wisata di Kulon Progo sana. Sedari kamu belum lahir dulu, Ayah sudah berjanji pada Pak Jaya untuk menikahkan kamu dengan Bagas, putranya."
"Itu 'kan janji, Ayah. Bukan janji Sesil. Pokoknya Sesil tidak mau, Yah."
"Kamu lihat saja dulu orangnya besok malan. Pak Jaya dan Bagas akan datang menemuimu. Setelah kamu wisuda nanti baru acara pernikahannya dilaksanakan. Jangan membuat Ayah mengingkari janji ya, Nak? Ayah dulu berhutang nyawa pada Pak Jaya."
"Tidak mau! Pokoknya Sesil tidak mau. Sesil mau berangkat ke kampus sekarang. Sesil pergi dulu, Yah. Selama Ibu tidak ada biarkan Sesil menyetir sendiri ya, Yah? Sesil janji, Sesil akan berhati-hati selama berkendara. Boleh ya, Yah?"
"Baiklah. Hati-hatilah berkendara dan pikirkan apa yang Ayah katakan tadi. Temui Pak Jaya dan Bagas besok sore."
"Nanti saja kita bicarakan lagi ya, Yah? Sesil berangkat dulu, takut terlambat. Dosen pembimbingnya galak sekali."
Lara mencuri dengar pembicaraan ayah dan anak itu. Sesil memang ia ketahui akan dinikahkan dengan anak sahabat Pak Hardi, namun Sesil menolak. Wajar, mengingat Sesil tidak pernah bertemu dengan orang yang akan dinikahkan padanya.
Sejurus kemudian Sesil terlihat melambaikan tangan pada Pak Hardi, sembari melajukan kendaraan. Bang Farhan tidak terlihat sama sekali. Ayahnya benar, Sesil pasti akan mengendarai mobil sendiri.
Lara sengaja menunggu sekian menit setelah Sesil berlalu, baru ia menampakkan diri. Tidak enak rasanya kalau Pak Hardi tahu ia menguping pembicaraan mereka berdua.
"Selamat pagi, Pak." Lara menyapa Pak Hardi.
"Pagi," sahut Pak Hardi sambil merogoh saku.
"Ini ongkosmu. Sesil ingin berangkat sendiri katanya." Pak Hardi mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dompetnya pada Lara.
"Tidak usah, Pak. Kemarin Ayah sudah memberi saya ongkos," tolak Lara sopan.
"Oh, ya sudah kalau begitu." Pak Hardi memasukkan uang tersebut sembarang ke sakunya. Ia kemudian masuk ke dalam mobil yang mesinnya sudah dihidupkan. Sejurus kemudian Pak Hardi berlalu. Meninggalkan kepulan asap di belakangnya.
Sementara Lara sendiri segera memesan taksi online. Ia harus tiba tepat waktu untuk menemui dosen pembimbingnya. Lara tidak tahu bahwa esok hari suatu peristiwa besar akan mengubah hidupnya.
Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."
"Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam
"Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru
"Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian
"Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak
"Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia