Share

4. Sabar Hingga Akhir.

"Mau ke mana kamu? Duduk sini dulu!" Bu Ningsih membentak Lara yang bersiap menyelinap ke kamarnya. Daripada ribut, Lara mengikuti perintah sang ibu. Ia duduk bagai robot di kursi makan. 

Sikap mempertahankan diri seperti ini sudah ia praktekkan bertahun lalu. Sejak ia sadar kalau ibunya tidak mencintainya seperti ibu pada umumnya. Namun ia selalu ingat pada pesan ayahnya. Bahwa ibunya mencintainya dengan cara berbeda. Keras karena ia ingin dirinya kelak mampu melewati dunia yang lebih keras lagi. Di dunia ini tidak ada ibu yang tidak mencintai anaknya. Hanya kalimat singkat itulah yang menjadi pelipur laranya jikalau ia sedih karena diperlakukan tidak simpatik. Kalau ia tidak terus mengingat-ingat nasehat ayahnya itu, ia pasti sudah depresi sejak lama.

"Kamu itu sudah besar, Ra. Sudah dewasa. Mengapa kamu tidak malu menerima uang dari orang lain?" cibir Bu Ningsih. Kalimat tidak simpatik sang ibu membuat Lara mendongak.

"Ayah bukan orang lain, Bu. Ayah adalah orang tua Lara. Begitu juga dengan Ibu. Menerima sesuatu dari kalian berdua adalah hak Lara," bantah Lara tegas.

"Kamu tidak berhak!" Bu Ningsih berdiri dari kursi sambil menunjuk wajah Lara geram. Berani sekali anak ini.

"Kenapa tidak berhak?" Lara mengerutkan keningnya.

"Karena... karena kamu sudah besar. Harusnya kamu bisa mencari uang sendiri. Bukan selalu mengandalkan ayahmu. Ayahmu itu hanya seorang supir. Sudah tua lagi. Kamu tidak kasihan pada ayahmu?" Bu Ningsih menekan Lara dari sisi emosional. Ia tahu Lara lemah dibagian ini. Hatinya lembut dan sensitif.

"Lara kasihan, Bu. Makanya Lara ingin bekerja di kafe Tasya sepulang kuliah. Tapi Ibu tahu sendiri 'kan Ayah melarang? Lara mengajar les pun Ayah tidak setuju. Ayah bilang ia ingin Lara berkonsentrasi kuliah saja."

"Ayahmu itu memang terlalu memanjakanmu. Cepatlah tamat dan cari kerja. Balas semua biaya yang kami keluarkan untukmu. Jangan terus jadi benalu. Paham kamu? Menyusahkan orang tua saja," hardik Bu Ningsih lagi.

"Iya, Bu. Setelah skripsi Lara disetujui nanti, tinggal sidang dan wisuda. Setelahnya Lara sudah bisa bekerja, Bu."

"Baguslah kalau begitu. Sekarang cuci piring-piring kotor itu. Setelahnya kamu ke rumah utama. Gantikan tugas Ibu membantu Bu Shinta beres-beres. Ibu malas kalau cuma dijadikan jongos oleh si Shinta," tukas Bu Ningsih kesal.

Dalam diam Lara mulai bekerja. Mengisi sabun cair ke dalam wadah dan  mencuci piring-piring yang kotor. Terkadang Lara heran pada ibunya. Ibunya terlihat benci pada Bu Shinta. Tetapi setiap kali diajak pindah dari paviliun dan mencari pekerjaan baru oleh ayahnya, ibunya tidak bersedia. Ia sudah tua dan terlanjur betah bekerja di sini katanya. Sikap ibunya sangat kontradiktif bukan? Tapi yah begitulah ibunya adanya. Dirinya dan sang ayah sudah pasrah menghadapi mood naik turun ibunya. 

***

"Bukankah dari dulu Sesil sudah bilang kalau Sesil tidak mau dinikahkan dengan orang yang tidak Sesil kenal, Yah? Profesinya seorang petani lagi. Tidak level dengan Sesil, Yah!"

Lara yang sedianya akan berangkat ke kampus menghentikan langkahnya. Di teras Sesil tengah berseteru dengan ayahnya. Keduanya duduk di teras dengan dua mobil yang mesinnya sudah dihidupkan.  Itu artinya kedua mobil itu masing-masing akan dikendarai oleh Sesil dan Pak Hardi.

"Kamu lihat dulu orangnya, Sesil. Bagas Antareja itu bukan petani sembarang petani. Dia adalah anak tunggal Jaya Antareja, pemilik perkebunan teh yang juga dijadikan objek wisata di Kulon Progo sana. Sedari kamu belum lahir dulu, Ayah sudah berjanji pada Pak Jaya untuk menikahkan kamu dengan Bagas, putranya." 

"Itu 'kan janji, Ayah. Bukan janji Sesil. Pokoknya Sesil tidak mau, Yah."

"Kamu lihat saja dulu orangnya besok malan. Pak Jaya dan Bagas akan datang menemuimu. Setelah kamu wisuda nanti baru acara pernikahannya dilaksanakan. Jangan membuat Ayah mengingkari janji ya, Nak? Ayah dulu berhutang nyawa pada Pak Jaya."

"Tidak mau! Pokoknya Sesil tidak mau. Sesil mau berangkat ke kampus sekarang. Sesil pergi dulu, Yah. Selama Ibu tidak ada biarkan Sesil menyetir sendiri ya, Yah? Sesil janji, Sesil akan berhati-hati selama berkendara. Boleh ya, Yah?" 

"Baiklah. Hati-hatilah berkendara dan pikirkan apa yang Ayah katakan tadi. Temui Pak Jaya dan Bagas besok sore."

"Nanti saja kita bicarakan lagi ya, Yah? Sesil berangkat dulu, takut terlambat. Dosen pembimbingnya galak sekali." 

Lara mencuri dengar pembicaraan ayah dan anak itu. Sesil memang ia ketahui akan dinikahkan dengan anak sahabat Pak Hardi, namun Sesil menolak. Wajar, mengingat Sesil tidak pernah bertemu dengan orang yang akan dinikahkan padanya.

Sejurus kemudian Sesil terlihat melambaikan tangan pada Pak Hardi, sembari melajukan kendaraan. Bang Farhan tidak terlihat sama sekali. Ayahnya benar, Sesil pasti akan mengendarai mobil sendiri.

Lara sengaja menunggu sekian menit setelah Sesil berlalu, baru ia menampakkan diri. Tidak enak rasanya kalau Pak Hardi tahu ia menguping pembicaraan mereka berdua.

"Selamat pagi, Pak." Lara menyapa Pak Hardi. 

"Pagi," sahut Pak Hardi sambil merogoh saku. 

"Ini ongkosmu. Sesil ingin berangkat sendiri katanya." Pak Hardi mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dompetnya pada Lara.

"Tidak usah, Pak. Kemarin Ayah sudah memberi saya ongkos," tolak Lara sopan.

"Oh, ya sudah kalau begitu." Pak Hardi memasukkan uang tersebut sembarang ke sakunya. Ia kemudian masuk ke dalam mobil yang mesinnya sudah dihidupkan. Sejurus kemudian Pak Hardi berlalu. Meninggalkan kepulan asap di belakangnya.  

Sementara Lara sendiri segera memesan taksi online. Ia harus tiba tepat waktu untuk menemui dosen pembimbingnya. Lara tidak tahu bahwa esok hari suatu peristiwa besar akan mengubah hidupnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status