Share

3. Semangat Demi Masa Depan.

Empat tahun kemudian.

"Ini ongkos untuk ke kampus besok ya, Nduk? Kamu ada bimbingan dengan dosen pembimbing di kampus 'kan? Ayah akan ikut Bu Shinta seminar ke Bandung selama tiga hari. Jadi Ayah tidak bisa mengantarmu. Kamu berangkat dengan taksi online saja ya, Nduk?" Pak Yono meletakkan dua lembar uang seratus ribuan di atas meja makan. Keluarga kecilnya baru saja selesai makan malam. 

"Ngapain Lara diberi ongkos sebanyak itu, Pak? Lagi pula walaupun Bapak ikut ke Bandung, tapi 'kan ada Farhan yang akan menggantikan Bapak mengantar Sesil dan Lara ke kampus?" Bu Ningsih tidak setuju suaminya memberi ongkos terlalu banyak pada Lara. Suaminya ini terlalu memanjakan anak tidak pada tempatnya.

"Ada Farhan?" Pak Yono membuat air muka mencemooh. 

"Non Sesil itu selalu menyuap Farhan setiap kali Bu Shinta keluar kota. Sesil akan meminta Farhan pulang dan ia akan menyopir sendiri. Lara biasanya ia turunkan di tengah jalan. Anak itu memang nakalnya sampai ke tulang. Makanya Bapak memberikan Lara ongkos. Ibu 'kan tahu sendiri bagaimana perlakuan Sesil pada Lara," kata Pak Yono. 

"Sesil begitu karena Bu Shinta terlalu mengekangnya. Makanya ia jadi nakal demi mendapat sedikit kebebasan." 

Bu Ningsih membela Sesil. Shinta itu kaku sekali dalam mengajar anak. Tidak ada tarik ulurnya. Sesil yang sebentar lagi akan menjadi sarjana malah diperlakukan seperti anak SD. Makanya Sesil jadi pemberontak di belakang ibunya. Untung saja Pak Hardi, ayah Sesil, sangat menyayangi putrinya dan pengertian pada sang putri. Sesil kerap dibantu oleh ayahnya apabila ingin bersenang-senang di luar pengetahuan ibunya. Dirinya sendiri yang sudah mengasuh Sesil sejak bayi merah juga kerap membantu. Kalau tidak, Sesil pasti stress karena tidak mempunyai hiburan. 

"Bagaimana tidak dikekang kalau kelakukannya liar begitu? Ibu lupa kalau bulan lalu Sesil baru saja menabrak seorang pejalan kaki hingga tewas karena mabuk-mabukan? Bu Shinta bersikap protektif begitu 'kan ada alasannya," bantah Pak Yono lagi. Bu Ningsih tidak menyahuti omongan suaminya. Ia tidak punya alasan lagi untuk membela anak majikannya.

"Buatkan Ayah kopi pahit ya, Ra?" Pak Yono mengeluarkan rokoknya saat melihat Lara mulai mengangkati piring kotor ke bak cuci piring. Sehabis makan begini memang paling nikmat merokok sambil ngopi. 

Melihat ada kesempatan untuk menjauh dari perseteruan kedua orang tuanya, Lara segera melaksanakan perintah sang ayah. Ia lebih senang berlama-lama di atas kompor daripada menjadi wasit di antara ayah dan ibunya.

"Tapi tidak perlu sampai dua ratus ribu juga, Pak. Apalagi sekarang Lara hanya dua kali dalam seminggu ke kampus untuk bimbingan skripsi. Ongkos juga paling berapa lah. Jangan terlalu memanjakan anak. Nanti dia jadi tidak tahu hidup susah." 

Di dapur Lara meringis. Ibunya masih tidak rela ayahnya memberinya ongkos yang terlalu banyak rupanya. 

"Memanjakan bagaimana? Seratus ribu dua hari itu pas-pasan, Bu. Seperti Ibu tidak pernah berbelanja saja." Pak Yono menghisap rokoknya dalam-dalam. Istrinya ini terhadap anak sendiri pun pelitnya setengah mati.

"Kok seratus ribu? Bukannya itu dua ratus ribu?" Bu Ningsih menunjuk dua lembar uang berwarna merah yang saat ini masih tergeletak di meja.

"Seratus ribunya untuk pegangan, Bu. Siapa tahu nanti ada apa-apa di jalan," imbuh Pak Yono lagi.

"Ini kopinya, Pak." Lara meletakkan secangkir kopi yang masih mengeluarkan kepulan asap di atas meja." 

"Terima kasih, Nduk. Itu uangnya disimpan dulu. Nanti hilang dicolong tikus kepala hitam," sindir Pak Yono kalem. 

"Bapak nyindir, Ibu? Uang segitu tidak ada artinya untuk Ibu?" Bu Ningsih mengamuk. Suaminya ini selalu lebih berat ke anak daripada istri. Bagaimana ia tidak tersinggung karenanya?

"Nah, itu Ibu tahu kalau uang segitu tidak seberapa. Lantas mengapa diributkan lagi?" Pak Yono mengibaskan tangan. Ia sungguh heran mengapa istrinya ini selalu saja meributkan hal-hal yang tidak penting.

"Bapak ini kenapa sih terus saya membalik-balikkan kalimat Ibu? Di mata Bapak apa yang Ibu lakukan tidak ada satu pun yang benar?" Bu Ningsih berkacak pinggang. Ia kesal karena suaminya ini terus saja menyalahkannya. Tidak pernah sekalipun suaminya ini mendukung keinginannya.

"Lara ke kamar dulu ya, Pak, Bu? Mau mengerjakan tugas dari dosen pembimbing." 

Lara pamit demi menyelamatkan hati dan telinganya. Kedua orang tuanya memang seperti ini. Tidak pernah akur satu sama lain. Terutama ibunya. Ibunya tidak pernah santai dan menikmati kebersamaan mereka bertiga. Ada saja hal yang salah di mata ibunya. Itulah yang membuat dirinya dan sang ayah tidak betah bersama ibunya lebih dari setengah jam lamanya. Ujung-ujungnya pasti mereka berdua akan disudutkan untuk hal yang bukan salah mereka.

"Kamu lagi. Kamu tidak pernah sekalipun membela Ibu. Ayahmu saja yang terus kamu dukung. Padahal Ibu yang melahirkanmu ke dunia ini. Dasar anak durhaka!" Bu Ningsih makin emosi melihat putrinya melarikan diri alih-alih mendukungnya. Ayah dan anak sama saja. Sama-sama menyebalkan!

"Lho... lho... lho... kenapa Ibu jadi memarahi Lara? Mengkata-katainya dengan sebutan anak durhaka lagi. Permasalahan kita tidak ada hubungannya dengan Lara, Bu?" Pak Yono berdiri dari kursi. Menggilas rokok yang baru ia nyalakan ke dalam asbak. Ia sudah tidak berhasrat untuk merokok atau menikmati kopi lagi.

"Ibu tahu apa yang membuatku dan Lara tidak betah berada di dekat Ibu? Ya karena sikap Ibu yang suka ngamukan tanpa juntrungan begini. Semua orang Ibu salahi. Bapak kepengen minum secangkir kopi dengan tenang pun, Ibu rusuhi. Ayah minum kopi di warung depan saja." 

Pak Yono mengantongi rokoknya. Lebih baik ia minum kopi sambil main catur saja di warung depan saja. Selepas bekerja yang ia inginkan adalah ketenangan. Bukannya terus dibombardir omelan seperti ini.

"Ya sudah sana! Ibu tahu Bapak cuma kepengen melihat si Denok saja. Yang menyajikan kopi janda muda memang lebih gurih rasanya." Bu Ningsih mengamuk. 

Pak Yono menghela napas panjang. Ia tidak mau lagi menyahuti kalimat-kalimat tidak masuk akal istrinya. Yang waras mengalah saja. Ia kasihan pada putrinya yang ketakutan dan menahan-nahan air mata. 

"Masuk ke kamarmu sana, Lara. Kerjakan tugasmu agar skripsimu segera disetujui. Jangan pedulikan apa yang dikatakan Ibumu." Pak Yono mengelus sekilas surai panjang putrinya sebelum keluar rumah. Tidak ia pedulikan lagi omelan sang istri yang makin menggila di belakangnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Prefecto Priyono
seorang ibu kadang lupa untuk apa dia hidup, kalau sudah berurusan dengan uang.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status