Share

5. Awal Mula Bencana.

Author: Suzy Wiryanty
last update Huling Na-update: 2023-04-03 21:45:18

Lara tengah merevisi skripsi sesuai dengan permintaan dosen pembimbingnya. Sudah dua jam ini jarinya menari-nari di atas keyboard laptop. Beberapa penelitian yang telah ia rangkum, dicoret tebal-tebal oleh dosen pembimbingnya. Tugas akhir membuat skripsi ini memang sangat menguras energinya. Bolak-balik merevisi, melakukan penelitian baru dan menyusunnya dari awal, terkadang membuatnya frustasi. Namun jikalau ia mengingat tujuan akhirnya yang ingin membantu perekonomian kedua orang tuanya, rasa lelahnya menguap seketika. Semua ini demi masa depan keluarganya. 

"Lara, ke sini sekarang!" Teriakan sang ibu mengagetkan Lara. Karena teriakan ibunya itu bukan teriakan seperti biasanya. Ibunya memang biasa meneriakinya jikalau tidak puas akan sesuatu. Namun kali ini ada aura ketakutan dalam nada suara ibunya.

"Saya, Bu," sahut Lara sambil menghambur ke depan. Perasaannya tidak enak. Firasatnya mengatakan ada hal buruk yang telah terjadi. Karena ia melihat ada Pak Hardi dan Sesil juga di paviliun mereka. Biasanya Sesil dan Pak Hardi jarang mengunjungi paviliun jikalau tidak ada hal penting.

"Ada apa, Bu?" Lara kebingungan melihat ibunya memegangi ponsel sambil menangis histeris. Di depan ibunya Sesil juga menangis. Sementara Pak Hardi hilir mudik sembari terus berbicara di ponsel. Air muka Pak Hardy tak kalah panik dan sedih seperti ibunya dan Sesil. Ada apa ini sebenarnya?

"Jadi keadaan istri dan supir saya bagaimana? Harus segera di operasi ya? Baik, saya akan ke Bandung sekarang juga!"

Degh! 

Lara memegangi dadanya yang mendadak nyeri. Percakapan Pak Hardi di telepon telah memberinya gambaran. Bahwa telah terjadi sesuatu pada ayahnya dan Bu Shinta di Bandung sana. 

"Sih, saya akan ke Bandung untuk mengurus Shinta dan Yono." Pak Hardi menutup ponsel. Berbagai macam rencana ada di benaknya. Ia harus mengambil beberapa tindakan di Bandung sana, demi menyelamatkan nyawa istri dan supirnya.

"Saya harap kamu bisa mengurus masalah di sini, termasuk soal Pak Jaya dan Bagas. Saya percayakan masalah itu padamu. Dan kamu Sesil, ikuti apa yang Mbok Ningsih katakan. Ayah sudah mempercayakan semuanya pada Mbok Ningsih." Pak Hardi buru-buru pamit dengan langkah lebar-lebar. Ia ingin segera melihat keadaan istri dan supirnya.

"Bu, Ayah dan Bu Shinta sebenarnya kenapa?" Lara segera menanyakan masalah yang terjadi setelah bayangan Pak Hardi tidak tampak lagi.

"Ayahmu dan Bu Shinta kecelakaan. Mobil mereka bertabrakan dengan truk pengangkut pasir."

"Astaghfirullahaladzim, ayah!" Lara menangis menggerung. Bayangan ayahnya tergeletak di jalan dengan tubuh bersimbah darah membuat Lara menangis histeris.

"Lara ingin melihat keadaan ayah, Bu. Ibu dengar tadi Pak Hardi mengatakan soal operasi bukan? Itu artinya keadaan ayah serius, Bu. Lara akan menyusul ayah ke Bandung." Lara membalikkan tubuh. Ia ingin melihat keadaan ayahnya dengan mata dan kepalanya sendiri. 

"Tidak usah, Ra. Pak Hardi sudah berjanji bahwa ia akan mengurus ayahmu--" 

"Dengan satu syarat." Sesil sekonyong-konyong menimpali pembicaraan Bu Ningsih dengan Lara. Satu rencana gemilang mendadak singgah di kepalanya.

"Satu syarat? Saya apa, Non?" Lara menyurutkan langkahnya. Ia berbalik menghadap Sesil.

"Syarat bahwa lo harus menggantikan posisi gue menjadi istri si petani." Sesil mulai menjalankan rencananya.

"Mak--maksud Non Sesil apa?" Telinga Lara berdenging. Sebenarnya ia sudah bisa menebaknya. Namun ia ingin mendengar secara langsung dari mulut Sesil sendiri. Ada konspirasi apa antara ibunya, Sesil dan Pak Hardi?

"Telinga lo masih berfungsi dengan baik 'kan? Ayah ingin lo yang menggantikan posisi gue menjadi istri si petani Bagas Antareja. Nanti malam Bagas akan ke sini untuk membawa lo ke perkebunan tehnya di Kulon Progo sana," tandas Sesil lagi.

Lara membelalakkan kedua matanya. Apa-apaan ini? 

"Bu? Ada apa ini sebenarnya? Lara tidak mengerti?" Lara menuntut penjelasan dari ibunya. 

Bu Ningsih gelagapan. Bukan seperti itu perintah yang dititahkan Pak Hardi padanya. Pak Hardi  memintanya menyampaikan permohonan maaf pada Pak Jaya dan Bagas, karena belum bisa membicarakan masalah pernikahan lebih lanjut akibat adanya musibah ini. Pak Hardi juga memintanya membujuk Sesil agar bersedia bertemu muka dengan Bagas, agar keduanya bisa lebih akrab sebelum pernikahan dilaksanakan. Tidak ada pembicaraan tentang masalah pengantin pengganti sama sekali.

Namun tatkala ia bertatapan dengan Sesil yang memperlihatkan air muka memohon, hatinya luluh. Ia akan mengikuti keinginan Sesil. Ia tidak tega melihat Sesil menderita. Ia tahu pasti kalau Sesil tidak menginginkan pernikahan ini.

"Seperti yang Non Sesil katakan tadi, kamu harus menggantikan posisi Non Sesil. Kamu tadi dengar sendiri kalau Pak Hardi telah mempercayakan masalah Pak Jaya dan Bagas pada Ibu bukan?" Bu Ningsih memberanikan diri mendukung rencana Sesil. Apa yang terjadi, terjadilah.

"Mana bisa begitu, Bu? Ibu mengambil keputusan tanpa menanyakannya terlebih dahulu pada Lara. Lagi pula ini tidak benar, Bu. Kalian semua bersekongkol untuk melakukan penipuan." Lara menutup wajahnya yang basah dengan kedua tangannya. Mengapa masalah seakan tiada henti menderanya.

"Apa lagi yang harus Ibu tanyakan? Ini masalah hidup mati ayahmu, Ra. Kamu tega membiarkan ayahmu mati konyol karena tidak segera diberi tindakan?" Bu Ningsih mencoba menekan sisi emosional Lara. Ia tahu Lara sangat menyayangi ayahnya.

"Tapi ini salah, Bu. Ayah pasti akan marah besar kalau tahu kita melakukan penipuan selama ia tidak sadarkan diri." Lara mencoba mengajak ibunya berpikir logis. Ayahnya itu idealis. Lara yakin ayahnya akan marah besar kalau ia melakukan pernikahan konyol ini.

"Ayahmu memang akan marah besar. Tapi setidaknya ia tetap hidup. Sekarang pilihan ada di tanganmu. Kamu menolak menggantikan posisi Non Sesil dan Pak Hardi tidak bersedia membiayai operasi ayahmu, atau ayahmu selamat dengan kamu menyetujui syarat dari Pak Hardi?" Kepalang basah, Bu Ningsih akan mendukung rencana Sesil hingga berhasil. 

"Lara akan segera menyelesaikan skripsi dan menjadi sarjana, Bu. Jangan memupus cita-cita, Lara. Lara mohon, Bu." Lara menjatuhkan dirinya di hadapan sang ibu. Bersimpuh dan menghiba agar sang ibu membatalkan niatnya.

"Berarti kamu memilih ayahmu mati bukan? Baiklah, Ibu akan menelepon Pak Hardi dan mengatakan kamu menolak. Bersiaplah menjadi anak yatim, Ra." Bu Ningsih berpura-pura akan meraih ponsel dari saku dasternya.

"Jangan! Lara... Lara tidak mau ayah mati. Lara mencintai ayah lebih dari segalanya," bisik Lara lirih. Sesil dan Bu Ningsih saling bertukar senyum. Selangkah lagi mereka berdua akan berhasil mengusir Lara dari kehidupan mereka selamanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Helmy Abdullah
pasti si Ningsih babu jahat itu menukar sesil dan lara semas bayi makany di Ningsih lebih sayang pada sesil iblis betina mirip dngn Ningsih , emosi saya ama Author ...
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Curiga nih ,jangan2 Ningsih nuker anak nya sama anak majikan nya lgi orok.ko sama anak sendiri jahat amat melebihi jahat ke anak tiri nya.
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   110. Akhir Bahagia ( END)

    Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108. Penghakiman Di Dunia.

    "Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108..Berani Berbuat, Berani Bertanggung Jawab.

    "Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   107. Menjalani Sisa Takdir.

    "Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   106. Kebahagiaan Lara.

    "Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   105. Mencicil Takdir.

    "Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status