Tante Desi menangis tersedu. "Iya, Nia. Tante minta maaf, karena sudah bersikap tidak baik sama Bu Rini. Tapi, kamu juga jangan bersikap seperti itu sama Tante," katanya sambil terisak.
"Ada apa ini? kamu kenapa duduk di lantai seperti itu?" Suara Pak Dewangga terdengar lantang. “Oh, jadi wanita ular ini sedang melakukan sandiwara di depan Ayah.” Gumam Nia "Aku memang salah, Mas, karena telah meminta bantuan Bu Rini untuk membuatkan nasi goreng untuk sarapan. Tapi aku tidak menyangka jika Nia akan sampai semarah itu sama aku." Rengek Tante Desi "Memangnya apa yang diperbuat Nia sampai kamu terjungkal begitu?" sela Pak Dewangga. "Dia mendorongku, Mas. Ya, mungkin karena Nia terlalu emosi karena aku berbuat semena-mena pada Bu Rini. Tapi, niatku hanya agar Bu Rini bisa membaur sama kita dan menganggap rumah ini rumahnya sendiri. Tapi ternyata niat baikku itu disalah artikan oleh Nia. Dia mengira kalau aku sedang menyuruhnya seperti pada pembantu," Jawab Tante Desi yang membuat Niat emosi. "Bohong!" Nia berteriak dengan mata menatap nyalang. "Nia!" Pak Dewangga balik berteriak pada Nia dengan tatapan tak kalah nyalang. "Jangan pernah berteriak pada orang yang lebih tua! Hargai Desi, bagaimanapun dia adalah ibumu." Sambung Pak Dewangga. "Aku tidak punya ibu. Ibuku sudah mati." Jawab Nia. Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Nia. Nia terdiam seketika. "Pak Dewangga, jika Anda mau menasihati Nia, bukan dengan kekerasan seperti ini." Sebuah suara mengembalikan kesadaran Nia yang termenung. Ternyata Reza sudah berdiri tepat di antara Nia dan Pak Dewangga. "Nia sudah keterlaluan. Saya berhak menegurnya," ujar Pak Dewangga masih terdengar marah. "Tapi bukan begitu caranya. Sekarang Nia adalah tanggung jawab saya. Saya yang berhak menegurnya," ujar Reza lagi dengan tegas. Mata Pak Dewangga terbelalak. Namun, Nia justru merasa punya seseorang yang membela setelah sekian lama selalu disisihkan. Sesaat kemudian Pak Dewangga membuang muka, lalu menghampiri istrinya dan membantunya berdiri. "Saya pun mau berpamitan, karena saya mau membawa Nia pergi dari rumah ini,” ujar Reza kemudian. Kini giliran Nia yang terperangah. "Tidak bisa. Saya tidak akan memberikannya," jawab Pak Dewangga dengan lantang. Wajahnya terlihat marah. Berbeda dengan Tante Desi yang justru terlihat bahagia. "Maaf, Pak Dewangga. Di saat saya mengucap ijab kabul kemarin, maka semua tanggung jawab Pak Dewangga terhadap Nia telah berpindah pada saya. Sekarang Nia adalah hak saya." Balas Reza kepada Ayah mertuanya. Nia pun tertegun melihat pada Reza yang begitu tegas pada Ayahnya. "Kamu tidak keberatan, kan, jika harus meninggalkan rumah ini?” kali ini Reza mengalihkan pandangannya dan bertanya pada Nia yang masih terpaku. Nia pun hanya diam mematung "Nia" ulang Reza lagi memanggil Nia yang terlihat melamun. Nia pun tersadar dari lamunannya lalu menjawab “Ah, i-iya, tentu saja,” suaranya terdengar sedikit gugup. Reza pun menyungging senyum lalu berbalik kembali menghadap Pak Dewangga. "Sekarang saya minta, agar Pak Dewangga juga mengikhlaskan Nia untuk ikut bersama saya. Mungkin saya memang tidak bisa memberikan harta yang berlimpah. Tapi saya berjanji untuk membahagiakannya.” Pak Dewangga terlihat tampak sedih mendengar ucapan Reza. Entah apa yang dipikirkannya. Apakah dia takut kehilangan anaknya? Tapi dia masih punya Tante Desi dan Anita di sisinya, walaupun Anita sekedar anak tirinya tapi dia menyayanginya. “Nia, apa kamu bersedia ikut pergi dari rumah dengan Reza dan meninggalkan rumah ini?” tanya Pak Dewangga pada Nia memastikan. “Apakah ada pilihan lain yang bisa aku pilih? Bukannya Reza adalah lelaki pilihannya untuk menggantikan Ardi? Ataukah dia terpaksa memilih Reza hanya karena hasutan istri kesayangannya?” kata-kata itu terbesit dalam pikiran Nia. "Tentu saja aku bersedia, Yah. Akan jauh lebih baik untukku keluar dari rumah ini,” jawab Nia dengan yakin, walau dalam hatinya terasa berat meninggalkan Ayah dan rumahnya ini. Bahu Pak Dewangga terlihat tampak meluruh, tetapi berbeda dengan Tante Desi sang ibu tiri terlihat sedang berusaha menyembunyikan senyum bahagianya. “Baiklah, Nak. Ayah minta maaf karena tadi sudah berbuat kasar sama kamu. sekarang Ayah tidak bisa melarang kamu untuk pergi dari sini, karena suamimu memintanya.” Ucap Pak Dewangga sambil melangkah mendekati Nia lalu menghambur memeluknya. Nia pun terlihat sedih. Setelah sekian lama, baru kali ini Nia rasakan lagi pelukan Ayahnya yang benar-benar tulus. Bahkan kemarin saat Nia menikah, Nia merasakan pelukan sang Ayah yang seerat ini memeluknya. “Ayah jangan khawatir. Reza akan menjagaku," ucap Nia dengan yakin. Padahal dalam hati Nia merasa entah kehidupan seperti apa yang akan dia hadapi selanjutnya dengan seorang suami yang hanya seorang satpam, yang gajinya pun mungkin hanya sepersepuluh gajinya Ardi. Atau mungkin jauh lebih kecil dari itu. "Tadinya Ayah harap kamu dan Reza tinggal di sini saja, nemenin Ayah sampai tua," ucap Pak Dewangga dengan mata berkaca-kaca. Tapi, disisi lain Nia melihat dengan ujung matanya jika Ibu Tirinya membuang muka dengan senyuman sinis. Nia pun semakin bisa menebak isi kepalanya. Bahwa Ibu Tirinya tidak ingin ada dia di rumah ini. "Ayah jangan sedih. Di sini masih ada Tante Desi sama Anita, ditambah sekarang ada Ardi. Ayah nggak akan kesepian,” jawab Nia. “Iya, Mas. Kamu jangan terlalu khawatir. Nia, kan, bukan anak kecil. Dia udah menikah. Jadi dia harus belajar mandiri. Dia harus mulai menyesuaikan dengan kondisi suaminya. Bukan begitu, Nia?" ucap Tante Desi dengan senyuman yang dibuat-buat. Nia pun terlihat malas untuk menanggapi maupun menjawab ucapan Ibu tirinya, karena Nia sudah tahu sekarang niat Ibu Tirinya yang menikahkannya dengan Reza. Dia ingin hidupnya menderita, sementara putrinya menikah dengan lelaki mapan seperti Ardi. Dan melihat hidupnya sengsara, menertawakan kehidupannya dan Reza yang miskin, dan mungkiin membuat Ayahnya melupakan dirinya selamanya.Nia masuk ke rumah itu dan melihat-lihat keadaan di dalamnya.Ternyata benar, barang-barang Reza masih lengkap. Bahkan baju-baju milik lelaki itu masih utuh di lemari. Foto saat mereka menikah pun masih ada di atas meja yang dulu sering dipakai Nia untuk bekerja.Nia mengambil jaket yang tergantung di balik pintu. Jaket kanvas warna army yang sering dipakai Reza saat bekerja.Dia memeluk dan menghirup bau keringat yang masih menempel di sana. Wangi tubuh itu seakan membawanya kembali pada saat mereka masih bersama. Kerinduan itu hadir tanpa bisa dicegah."Kamu di mana, Reza? Kenapa membuatku khawatir tanpa kabar?” gumamnya dengan mata terpejam menikmati bau jaket itu.Nia kemudian membawa jaket itu ke atas kasur yang terasa berdebu.Tentu saja, sudah sebulan sejak kepergian Reza dari rumah, sepreinya tak pernah dibersihkan apalagi diganti."Reza, apa kamu tau maksudku selama ini? Aku ingin kamu berjuang lebih keras agar tak ada siapapun yang berani merendahkanmu. Aku tidak mau jika ka
"Rezaaaaaa!" Nia menjerit seperti orang gila."Reza!" Nia menyebut nama itu saat terbangun dari tidurnya.Napasnya tersengal karena mimpi itu seakan nyata. Wajahnya dipenuhi keringat seperti telah berlari maraton sepuluh kilo meter.Tiba-tiba dia merasa khawatir dengan suaminya itu. Padahal baru beberapa hari dia tinggalkan.Dia meraih ponsel yang tersimpan di atas nakas di rumah dinas yang disediakan perusahaan. Melihat waktu di atas layar, sudah pukul setengah tiga dini hari. Nia mencari kontak Reza dan memilihnya.Tercantum jika lelaki itu terlihat memakai aplikasi whatsapp tiga hari yang lalu. Dia lalu menekan simbol telepon. Dia tak peduli meski sekarang sudah lewat tengah malam, tetapi dia ingin tahu kabar Reza.Namun, panggilan itu rupanya tak tersambung. Hanya tanda memanggil tanpa terlihat jika ponsel di seberang sana berdering."Apa Reza mematikan ponselnya?" gumam Nia. Dia lalu mencoba mengirimkan pesan. satu.[Reza, kamu lagi apa?]Terkirim, tetapi hanya centang Nia menden
Wisnu dan Rini pun tertunduk lesu medengar jawaban sang domter."Dok, apakah kami sudah boleh melihat langsung kondisi putra kami?" kali ini Rini yang bertanya pada dokter. Dia sudah tidak bisa menahan lagi untuk bisa melihat langsung kondisi sang putra."Bolah. Tapi Bapak dan ibu harus bergantian menemuinya." Jawab Dokter.Mereka pun menggangguk. Lalu Wisnu memberi kesempatan pada istrinya untuk masuk lebih dulu ke ruangan ICU di mana Reza dirawat. Sedangkan dia memanggil bawahannya untuk berjaga didepan ruangan itu. Agar tidak sembarang orang yang bisa masuk ke sana. Semua harus atas persetujuannya, demi keselataman sang putra.Lelaki itu takut, jika Doni mengetahui siapa Reza sebenarnya, maka Doni akan melakukan sesuatu yang curang untuk melenyapkan pemuda itu. Hak waris. Itu yang Wisnu khawatirkan. Meskipun dia sudah merencanakan untuk membaginya dengan Adil. Tujuh puluh persen asetnya akan jatuh ke tangan Reza, dua puluh persen ke tangan Dion dan sisanya untuk Doni. Namun, dia ta
"Tapi Pak...""Panggil ambulan sekarang juga cepat, atau kalian akan menanggung akibatnya!" teriak baskara lagi."Sebenarnya ada pa Pak? Kenapa Pak Baskara membantunya?" Tanya Doni yang merasa heran."Diam kamu. Pak Wisnu pasti akan marah besar melihat kondisi Reza seperti ini.""Kenapa? Emang dia siapa? Dia kan cuma sampah yang tak berguna." tanya Doni yang semakin terheran dan tak mengerti dengan ucapan Baskara."Nanti juga kamu akan mengetahuinya. Sekarang kamu bertanggung jawab dan siap-siap menanggung akibatnya. Karna papi kamu pasti akan murka." Papar Baskara yang membuat Doni semakin terheran dan penasaran.Doni pun hanaya diam mematung. Dia masih tak mengerti dengan apa yang disampaikan Baskara."Reza, kamu bisa dengar saya?” tanya Baskara sambil menggoyangkan tubuh Reza saat dia telah masuk keruangan tahanan. Tak ada jawaban. Reza pingsan setelah penganiayaan yang tak beradab oleh Doni dan satu oknum polisi."Reza, bertahan. Tolong bertahanlah," pinta Baskara dengan khawatir
. . .Sementara itu, Reza yang sudah berada di rumah kontrakannya. Dia duduk melamun di pinggiran kasur. Pikirannya melayang pada sang istri yang begitu bersemangat dalam mengejar harta dunia. Teringat dengan kata-katanya yang mengatakan hanya ingin memperbaiki kehidupan mereka."Jika kau bisa diinjak dan dihina, tapi aku tidak bisa!" kalimat itu begitu terngiang-ngiang di kepalanya. Kini, dia semakin merasakan jika yang diucapkan istrinya itu benar. Menjadi orang miskin hanya jadi bahan cacian dan hinaan. Dia sama sekali tak punya kuasa untuk membantah atau sekadar membela diri.Tapi, sekarang dia berjanji dalam hati. Bahwa ini adalah hinaan yang terakhir dalam hidupnya. Karena setelah semua rencananya selesai, dia akan menunjukan kepada semua orang siapa dirinya. Pikirnya.Reza merebahkan diri ke kasur, membayangkan wajah Nia yang kadang terlihat manis saat tersenyum. Namun, lebih sering terlihat judes dan ketus karena marah dan kecewa.Reza mengerti jika wanita yang dicintainya itu
"Hiiyaa!" Tiba-tiba Dion mempraktekan jurus yang sudah diajarkan Reza padanya.Dug!"Wow." Reza tertawa dengan tubuh terhuyung. "Sudah hebat sekarang, ya?"Dion pun ikut tertawa. Dia kemudian menyerang Reza lagi dengan jurus yang sudah dipelajarinya. Kali ini Reza bisa dengan mudah menghindar karena sudah waspada. Lalu, dia mulai memasang kuda-kuda dan bersiap menerima serangan."Hiyaaa!" Dion kembali menyerang dengan kekuatan penuh. Reza menerima serangan itu dan menunjukan bagaimana cara untuk melumpuhkan lawannya.Sukses. Dion bisa dilumpuhkan dengan beberapa gerakan tanpa menyakitinya."Om Reza memang keren!" Dion mengacungkan jempolnya. Dia kemudian kembali menyerang Reza dengan jurus-jurus yang lain."Hyaaa!" Dion menyarangkan tendangan dengan kekuatan penuh. Kali ini Reza memiringkan tubuhnya untuk menghindar, hingga tendangan Dion hanya mengenai angin.Namun, bukan hanya itu. Kaki anak itu mengenai kursi besi yang biasa dipakai untuk bersantai di pinggir lapangan.Reza tersent