Nia membereskan pakaian dan barang-barang yang bisa dia bawa ke kontrakan yang akan dia dan Reza tempati, entah untuk sementara atau selamanya.
"Nia, saya minta maaf karena harus mengajak kamu keluar dari rumah ini," ucap Reza yang ikut membantu menyusun pakaian dan barang yang ingin dibawa mereka. “Saya sadar jika saya belum bisa memberikan kehidupan yang layak buat kamu. Tapi saya akan berusaha sebaik-baiknya." Sambung Reza. Nia pun tersenyum miris. "Aku mungkin memang lebih baik pergi dari rumah ini secepatnya, agar tidak pernah lagi melihat kebusukan mereka,” jawab Nia pelan. “Oh, iya. Aku justru yang minta maaf sama kamu, karena Tante Desi sudah mmeperlakukan ibumu dengan buruk. Dia memang nggak punya otak." Sambung Nia. Reza pun mengulas senyum. "Tidak apa-apa. ibu orangnya tulus. Dia tidak akan mendendam." Jawab Reza. Nia melanjutkan perkataannya "Aku tetap tidak enak. Ini adalah saat pertama dia bertemu dengan keluargaku, tapi Tante Desi malah berbuat seperti itu." "Tidak usah kamu pikirkan. Ibu pasti memaafkannya," balas Reza lagi dengan senyuman manis. Setelah semua selesai membereskan barang-barang yang hendak di bawa ke Kontrakan, mereka bertiga berpamitan pada Pak Dewangga. Nia pun kembali dipeluk dengan erat oleh sang Ayah. Tak ada pelukan atau kata-kata yang terlontar dari Nia untuk Ibu dan Adik Tirinya, Nia merasa tidak sudi melakukannya. Akan tetapi saat Nia hendak keluar rumah tiba-tiba wanita yang selalu bermake-up tebal itu justru menarik tangannya dan berpura-pura memeluk Nia. Dia kemudian berbisik ditelinga Nia, “Selamat menikmati hari-hari barumu sebagai orang miskin Nia.” Nia pun gegas mengurai pelukannya dan menatap ibu tirinya dengan tatapan nyalang. Tapi Ibu tirinya menyungging senyum manis dan menepuk pelan pundaknya. Nia berguman dalam hati “Jika saja ini bukan acara pamitan, mungkin aku akan membantainya sekalian. namun, aku tidak ingin meninggalkan lagi kesedihan pada Ayah. Semoga setelah keluar dari rumah ini, hidupku akan tenang, walau dengan uang yang pas-pasan. Ah, tidak juga. Aku, kan, masih punya kartu kredit yang dikasih Papa.” Pak Dewangga menyuruh Nia untuk membawa salah satu mobil yang biasa dipakai oleh Nia. Meski Reza awalnya menolak, tetapi meraka memang membutuhkannya untuk pindahan saat ini. ada banyak barang yang harus mereka bawa. Setidaknya mereka berdua bisa bawa Bu Rini ke kontrakannya Reza. Karena kalau tidak bawa mobil, hanya Nia yang bisa nebeng pada motor Reza, sementara Bu Rini harus naik taksi atau ojek. Mereka pun berangkat ke kontrakan Reza bertiga menggunakan mobil yang sering digunakan Nia. Jarak kontrakan Reza dengan komplek Rumah Pak Dewangga, tidak terlalu jauh. Paling sekitar dua kilo meter. Dan berada di lingkungan perkampungan di mana orang-orang akan saling mengenal antar tetangga. Tidak seperti di komplek besar seperti rumah Pak Dewangga. kebanyakan tetangga tidak saling kenal. Kontrakan Reza hanya kontrakan sepetak yang terdiri dari ruang bagian depan yang mungkin bisa dipakai untuk ruang tamu. Lalu sebuah ruangan lagi di tengah yang berfungsi sebagai kamar. Sebuah dapur juga kamar mandi berukuran kecil. Namun, walaupun kecil ruangannya terbilang bersih dan rapih. Reza memang tipe orang yang suka bersih-bersih. “Mmh, Nia, maaf ya, untuk sementara saya hanya bisa membawa kamu di kontrakan ini. Saya sudah mencari rumah yang bisa disewa, tapi belum nemu yang cocok," ucap Reza dengan mimik wajah yang bersalah. Belum nemu yang cocok di sini, atau mungkin belum nemu harga yang cocok dengan uangnya. Tapi Nia mengerti dengan kondisi Reza. "Bagaimana kalau aku saja yang cari?" tawar Nia pada Reza. Namun, Reza tampak gugup dan langsung menolak tawaran Nia. "Tidak. Tidak usah, biar aku saja nanti yang cari," jawab Reza sambil gelagapan. "Reza, kalau misalnya kamu punya masalah keuangan, biar aku bantu. Aku bisa pakai kartu kreditnya Ayah untuk bayar uang sewa rumah kita.” Ucap Nia lagi “Tidak, Nia. Aku mohon, jangan lakukan itu." Reza menolak mentah-mentah. Wajahnya terlihat kecewa. "Reza, sudah seharusnya kita saling membantu. Bukankah kita sudah menjadi keluarga? Kalau kita tinggal di ruangan sesempit ini, bagaimana nanti ibumu tidur?” Nia nebcoba membujuk Reza. Reza pun menoleh ke dalam rumah di mana sang ibu sedang duduk di ruangan depan sambil meneguk segelas air putih. Sementara Nia dan Reza membawa barang-barang dari mobil. Sebetulnya Reza melarang Nia membantunya, tetapi Nia merasa tak tega melihat Reza kerepotan sendiri. “Mmh, apa kamu tidak keberatan tidur sama ibu? Nanti, aku akan tidur di ruang tamu saja," ucap Reza pelan, mencoba melupakan pembahasan tentang masalah keuangan tadi. "Di atas karpet tipis itu?" Nia balik bertanya kepda Reza, karena merasa tidak yakin jika suaminya harus tidur di sana. pasti akan sakit badan saat bangun di keesokan harinya. “Nggak apa-apa, Nia. Aku sudah biasa. Yang penting, kamu sama ibu saja bisa tidur dengan nyaman,” jawab Reza, lalu mengangkut tas besar milik Nia ke dalam. Nia pun memilih untuk membawa barang-barang kecil. "Reza, Neng Nia, maaf ya, kalau Ibu mengganggu kebersamaan kalian. Besok, ibu akan kembali ke kampung, biar kalian bisa nyaman," ujar Bu Rini saat Reza dan Nia sudah ada di dalam. "Eh, Ibu, jangan begitu. Aku justru senang ada Ibu di sini," sahut Nia dengan tulus. "Iya, Bu. Kenapa harus pulang segala? Besok aku akan cari rumah yang lebih besar, biar ibu punya kamar sendiri," sahut Reza setuju dengan pendapat Nia. "Nggak apa-apa, Reza. Ibu lebih kerasan tinggal di kampung. Di sana Ibu bisa bercocok tanam, bisa ngambil sayuran dari kebun nggak usah beli. Kalau di sini, ibu nggak bisa ngapa-ngapain. Segala mesti beli. Beban kamu bertambah berat nantinya. Uangnya mending kamu tabung buat beli rumah,” ungkap Bu Rini. "Bu, sejak kapan Ibu jadi beban buat Reza? Ibu saja merawat Reza dari kecil sampai sebesar ini. Hanya menampung Ibu saja, itu sama sekali tidak akan menjadi beban. Tinggallah di sini. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membahagiakan Ibu dan juga Nia,” pinta Reza terdengar memelas kepada ibunya. Tak terdengar lagi jawaban dari Bu Rini. Mungkin Bu Rini memahami ucapan Reza, jika Reza sangat menyayanginya.Nia masuk ke rumah itu dan melihat-lihat keadaan di dalamnya.Ternyata benar, barang-barang Reza masih lengkap. Bahkan baju-baju milik lelaki itu masih utuh di lemari. Foto saat mereka menikah pun masih ada di atas meja yang dulu sering dipakai Nia untuk bekerja.Nia mengambil jaket yang tergantung di balik pintu. Jaket kanvas warna army yang sering dipakai Reza saat bekerja.Dia memeluk dan menghirup bau keringat yang masih menempel di sana. Wangi tubuh itu seakan membawanya kembali pada saat mereka masih bersama. Kerinduan itu hadir tanpa bisa dicegah."Kamu di mana, Reza? Kenapa membuatku khawatir tanpa kabar?” gumamnya dengan mata terpejam menikmati bau jaket itu.Nia kemudian membawa jaket itu ke atas kasur yang terasa berdebu.Tentu saja, sudah sebulan sejak kepergian Reza dari rumah, sepreinya tak pernah dibersihkan apalagi diganti."Reza, apa kamu tau maksudku selama ini? Aku ingin kamu berjuang lebih keras agar tak ada siapapun yang berani merendahkanmu. Aku tidak mau jika ka
"Rezaaaaaa!" Nia menjerit seperti orang gila."Reza!" Nia menyebut nama itu saat terbangun dari tidurnya.Napasnya tersengal karena mimpi itu seakan nyata. Wajahnya dipenuhi keringat seperti telah berlari maraton sepuluh kilo meter.Tiba-tiba dia merasa khawatir dengan suaminya itu. Padahal baru beberapa hari dia tinggalkan.Dia meraih ponsel yang tersimpan di atas nakas di rumah dinas yang disediakan perusahaan. Melihat waktu di atas layar, sudah pukul setengah tiga dini hari. Nia mencari kontak Reza dan memilihnya.Tercantum jika lelaki itu terlihat memakai aplikasi whatsapp tiga hari yang lalu. Dia lalu menekan simbol telepon. Dia tak peduli meski sekarang sudah lewat tengah malam, tetapi dia ingin tahu kabar Reza.Namun, panggilan itu rupanya tak tersambung. Hanya tanda memanggil tanpa terlihat jika ponsel di seberang sana berdering."Apa Reza mematikan ponselnya?" gumam Nia. Dia lalu mencoba mengirimkan pesan. satu.[Reza, kamu lagi apa?]Terkirim, tetapi hanya centang Nia menden
Wisnu dan Rini pun tertunduk lesu medengar jawaban sang domter."Dok, apakah kami sudah boleh melihat langsung kondisi putra kami?" kali ini Rini yang bertanya pada dokter. Dia sudah tidak bisa menahan lagi untuk bisa melihat langsung kondisi sang putra."Bolah. Tapi Bapak dan ibu harus bergantian menemuinya." Jawab Dokter.Mereka pun menggangguk. Lalu Wisnu memberi kesempatan pada istrinya untuk masuk lebih dulu ke ruangan ICU di mana Reza dirawat. Sedangkan dia memanggil bawahannya untuk berjaga didepan ruangan itu. Agar tidak sembarang orang yang bisa masuk ke sana. Semua harus atas persetujuannya, demi keselataman sang putra.Lelaki itu takut, jika Doni mengetahui siapa Reza sebenarnya, maka Doni akan melakukan sesuatu yang curang untuk melenyapkan pemuda itu. Hak waris. Itu yang Wisnu khawatirkan. Meskipun dia sudah merencanakan untuk membaginya dengan Adil. Tujuh puluh persen asetnya akan jatuh ke tangan Reza, dua puluh persen ke tangan Dion dan sisanya untuk Doni. Namun, dia ta
"Tapi Pak...""Panggil ambulan sekarang juga cepat, atau kalian akan menanggung akibatnya!" teriak baskara lagi."Sebenarnya ada pa Pak? Kenapa Pak Baskara membantunya?" Tanya Doni yang merasa heran."Diam kamu. Pak Wisnu pasti akan marah besar melihat kondisi Reza seperti ini.""Kenapa? Emang dia siapa? Dia kan cuma sampah yang tak berguna." tanya Doni yang semakin terheran dan tak mengerti dengan ucapan Baskara."Nanti juga kamu akan mengetahuinya. Sekarang kamu bertanggung jawab dan siap-siap menanggung akibatnya. Karna papi kamu pasti akan murka." Papar Baskara yang membuat Doni semakin terheran dan penasaran.Doni pun hanaya diam mematung. Dia masih tak mengerti dengan apa yang disampaikan Baskara."Reza, kamu bisa dengar saya?” tanya Baskara sambil menggoyangkan tubuh Reza saat dia telah masuk keruangan tahanan. Tak ada jawaban. Reza pingsan setelah penganiayaan yang tak beradab oleh Doni dan satu oknum polisi."Reza, bertahan. Tolong bertahanlah," pinta Baskara dengan khawatir
. . .Sementara itu, Reza yang sudah berada di rumah kontrakannya. Dia duduk melamun di pinggiran kasur. Pikirannya melayang pada sang istri yang begitu bersemangat dalam mengejar harta dunia. Teringat dengan kata-katanya yang mengatakan hanya ingin memperbaiki kehidupan mereka."Jika kau bisa diinjak dan dihina, tapi aku tidak bisa!" kalimat itu begitu terngiang-ngiang di kepalanya. Kini, dia semakin merasakan jika yang diucapkan istrinya itu benar. Menjadi orang miskin hanya jadi bahan cacian dan hinaan. Dia sama sekali tak punya kuasa untuk membantah atau sekadar membela diri.Tapi, sekarang dia berjanji dalam hati. Bahwa ini adalah hinaan yang terakhir dalam hidupnya. Karena setelah semua rencananya selesai, dia akan menunjukan kepada semua orang siapa dirinya. Pikirnya.Reza merebahkan diri ke kasur, membayangkan wajah Nia yang kadang terlihat manis saat tersenyum. Namun, lebih sering terlihat judes dan ketus karena marah dan kecewa.Reza mengerti jika wanita yang dicintainya itu
"Hiiyaa!" Tiba-tiba Dion mempraktekan jurus yang sudah diajarkan Reza padanya.Dug!"Wow." Reza tertawa dengan tubuh terhuyung. "Sudah hebat sekarang, ya?"Dion pun ikut tertawa. Dia kemudian menyerang Reza lagi dengan jurus yang sudah dipelajarinya. Kali ini Reza bisa dengan mudah menghindar karena sudah waspada. Lalu, dia mulai memasang kuda-kuda dan bersiap menerima serangan."Hiyaaa!" Dion kembali menyerang dengan kekuatan penuh. Reza menerima serangan itu dan menunjukan bagaimana cara untuk melumpuhkan lawannya.Sukses. Dion bisa dilumpuhkan dengan beberapa gerakan tanpa menyakitinya."Om Reza memang keren!" Dion mengacungkan jempolnya. Dia kemudian kembali menyerang Reza dengan jurus-jurus yang lain."Hyaaa!" Dion menyarangkan tendangan dengan kekuatan penuh. Kali ini Reza memiringkan tubuhnya untuk menghindar, hingga tendangan Dion hanya mengenai angin.Namun, bukan hanya itu. Kaki anak itu mengenai kursi besi yang biasa dipakai untuk bersantai di pinggir lapangan.Reza tersent