Suasana laboratorium sore itu mendadak berbeda, begitu Reinan berdiri di ambang pintu. Tubuhnya yang tinggi tegap memancarkan kharisma, membuat setiap pasang mata menunduk penuh hormat. Di samping Reinan, Mr. Hayato terlihat begitu antusias. Ia menatap barisan meja kerja, botol kaca berisi cairan warna-warni, dan aroma samar dari bunga serta rempah yang memenuhi udara.“Inilah salah satu pusat kehidupan Gala Corp,” tukas Reinan mantap, suaranya jelas terdengar ke seluruh ruangan. “Tempat para perfumer terbaik kami menciptakan keharuman yang dipercaya pelanggan dari berbagai negara.”Mr. Hayato mengangguk, wajahnya menampakkan kekaguman yang tulus. “Luar biasa. Saya kagum melihat bagaimana semua ini dikerjakan. Bolehkah saya berkenalan dengan para perfumer?”Violin yang sejak tadi berdiri dengan sikap waspada, bergegas menghampiri sang tamu kehormatan. Senyumnya terjaga, penuh profesionalisme. “Tentu saja, Mr. Hayato. Mari saya antar.”Pria Jepang itu mengangguk senang, sebelum berja
Reinan menegakkan bahu, dan segera mendekati Mr. Hayato. Ia sadar jika Isabella terus dibiarkan berbicara, maka akan semakin banyak pernyataan yang dapat memperkeruh suasana.“Mr. Hayato, mari kita berkeliling dulu untuk melihat produksi garmen kami,” tukas Reinan mengambil alih percakapan. “Saya ingin menunjukkan proses kerja yang menjadi kebanggaan Gala Corp.”Mata Mr. Hayato berbinar. “Tentu saja, Tuan Reinan.”Reinan mengarahkan langkah, diikuti seluruh rombongan. Mereka memasuki ruang produksi yang luas, di mana puluhan mesin jahit berderet rapi. Seorang supervisor dengan cepat menghampiri, lantas membuka lembar kain yang sudah disulap menjadi gaun koktail berwarna marun. Di sampingnya, terdapat jas pria berwarna biru tua, dengan lapisan satin hitam di kerah—menampilkan citra maskulin yang berkelas.“Desain untuk lini formal kami,” jelas Reinan, dengan suara tenang. “Gaun ini sedang disiapkan untuk koleksi musim semi, sementara jas akan dipasarkan khusus untuk acara korporasi da
Setelah kekacauan kecil yang sempat membuat seisi laboratorium gaduh, suasana perlahan kembali tenang. Esme telah menyelesaikan tugasnya dengan penuh konsentrasi. Ia membersihkan tumpahan cairan, dan melanjutkan percobaan baru. Kali ini, Esme bergerak hati-hati, menuang cairan bening ke dalam tabung kaca, lantas meneteskan esens bunga lili yang beraroma segar.Sesuai saran dari Jackson, Esme menambahkan sedikit esens bunga mawar putih. Perpaduan keduanya menciptakan aroma yang lembut sekaligus mewah, menyerupai sosok seorang putri. Esme menahan napas, lalu mencoba hasil racikan itu. Aroma baru tersebut langsung memenuhi ruangan di sekitarnya.Melihat hasil kerja Esme yang bagus, Jackson mengangguk puas.“Kamu berbakat, Esme. Hidungmu tajam, dan nalurimu kuat. Tapi ingat, keindahan parfum hanya lahir dari ketelitian. Jangan sampai satu kecerobohan menghancurkan hasil kerja kerasmu.”“Baik, Pak. Saya akan lebih hati-hati,” jawab Esme, menerima nasihat itu dengan hati tulus. Karena ja
Langkah Esme akhirnya sampai di ruang divisi perfumer. Suasana di laboratorium hening, hanya suara tetesan cairan dan bisikan diskusi antar perfumer yang terdengar.Ketika Esme akan duduk di meja, seorang pria berusia empat puluh tahunan menghampirinya. Dengan pembawaan yang berwibawa, ia memperkenalkan diri.“Saya Jackson, wakil kepala perfumer di sini,” ucapnya mengulurkan tangan kepada Esme.“Hari ini, Bu Violin harus bertugas di pabrik sampai jam istirahat siang. Jadi, untuk sementara saya yang akan mendampingi kalian.”Jackson lantas menatap Disti yang berdiri tak jauh dari Esme.”Kamu bisa membantu Kirana di laboratorium. Dia sedang mengerjakan batch baru. Sedangkan Esme, ikut saya, kita mulai latihan dasar dulu.”“Baik, Pak,” jawab Disti patuh.Tanpa membuang waktu, Esme mengikuti langkah Pak Jackson menuju salah satu meja yang dipenuhi botol-botol kaca kecil dan kertas blotter. Pria itu mengambil sebuah botol parfum yang sudah jadi, membuka tutupnya, dan mengulurkan ke tangan E
Pukul enam tepat, Esme terbangun lebih dahulu dari Reinan. Tubuhnya masih terbungkus selimut hangat, sementara ingatannya kembali pada malam sebelumnya. Dia yakin dirinya ketiduran sambil belajar.Namun kini, buku yang semestinya berada dalam dekapannya telah lenyap. Esme tersentak panik. Tangannya meraba-raba permukaan ranjang, lalu ia cepat bangkit.Di atas nakas, kedua buku itu tergeletak rapi, jelas diletakkan di sana oleh seseorang.Esme menoleh ke samping. Reinan masih tertidur pulas, napasnya teratur dan wajahnya begitu damai.Senyum tipis merekah di bibir Esme. Hatinya menghangat karena ia tahu, sang suami-lah yang merapikan buku dan membaringkannya dengan penuh perhatian.Perlahan, Esme beringsut turun dari ranjang agar tidak menimbulkan suara. Tubuhnya bergerak lincah menuju wardrobe.Jemari mungil Esme memilih kemeja dan jas kerja milik Reinan, kemudian menyiapkan setelan blazer untuk dirinya sendiri.Sesudah itu, Esme menuju kamar mandi. Air dingin menyapa kulitnya, menyeg
Balkon lantai dua mansion disinari cahaya lampu yang temaram. Nelson duduk sendirian di sana dengan sikap malas. Tangannya memegang segelas anggur merah, sementara ekspresi wajahnya tampak kaku.Di meja kecil, sebuah ponsel berdering. Layarnya sesekali berkedip ketika ada notifikasi pesan masuk.Lagi-lagi yang muncul adalah pesan dari Wina. Gadis licik itu tak henti mengirimkan ancaman. Dia berkata akan menyerahkan liontin ke tangan Reinan, jikalau Nelson batal memberinya empat milyar.“Kau pikir akan semudah itu mendapatkan uang? Tidak lama lagi liontin keluarga Gunadi akan kuambil darimu, Wina,” gumam Nelson sembari memblokir nomor gadis itu.Nelson tetap menunggu. Bibirnya sesekali bergerak, tetapi tatapan matanya tak lepas dari ponsel. Hingga akhirnya layar berkelap-kelip, tanda panggilan yang ia nanti tiba. Lekas saja, Nelson meletakkan gelas anggurnya dengan bunyi dentingan ringan. Kemudian, ia meraih ponsel dan menempelkan ke telinga.“Apa saja yang kau dapat hari ini?” tanya