Tatapan tajam dan perintah tegas dari Nyonya Tania membuat Esme tak mampu menolak. Ia hanya bisa menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memucat.
“Saya akan memandikan Reinan setelah melepas gaun ini," jawab Esme sembari menatap lantai.
Nyonya Tania kemudian memberikan perintah kepada Bi Leli untuk mengantar Esme ke kamar. Begitu gadis itu menghilang dibalik pintu, suasana paviliun kembali tenang.
Nyonya Tania duduk di sisi putranya sembari menyeka sudut bibir Reinan. Dengan gerakan lembut, ia mengelus rambut pria muda itu, seolah Reinan adalah bocah lima tahun yang telah membuat kekacauan kecil.
“Kalau istrimu berlaku buruk… membentakmu, lupa memberimu makan, atau tidak memandikanmu dengan bersih, segera beri tahu Mama.”
Reinan menatap ibunya sejenak, lalu mengangguk patuh.
“Besok siang, Mama akan berangkat ke kota Serena selama tiga hari. Sesuai janji Mama dulu, bila kamu sudah menikah, Mama akan memberikan sumbangan ke panti asuhan dan rumah jompo di sana. Mama ingin bersyukur kepada Tuhan karena kamu sudah punya istri.”
Senyum Nyonya Tania merekah. Berbeda dengan ucapannya kepada Reinan, sumbangan itu sebenarnya bagian dari rencana pencitraan yang lebih besar. Ia ingin semua orang tahu bahwa keluarga Gunadi tetap mulia dan dermawan, meski menyembunyikan aib anak kedua mereka.
“Mama juga akan menemui dokter spesialis bedah saraf dan otak di sana. Namanya Dokter Mahesa Bramantara. Mama yakin dia bisa menyembuhkanmu.”
“Hmm.” Reinan hanya bergumam singkat.
Nyonya Tania pun berdiri, membetulkan gaunnya yang sedikit tersingkap, lalu mengecup ringan kening Reinan.
“Jaga dirimu baik-baik. Ingat, Rein, jangan masuk ke mansion utama selama Mama pergi ke luar kota.”
Setelah memberikan sejumlah pesan kepada putranya, Nyonya Tania berlalu dari paviliun. Dalam sekejap, Reinan dan Kailash tinggal berdua dalam keheningan.
Kailash menoleh perlahan, menatap Reinan yang bertingkah seperti bocah tak berakal. Bibirnya bergerak hati-hati.
“Apakah Tuan Muda benar-benar ingin dimandikan oleh Nyonya Muda?”
Tak ada suara untuk beberapa detik, sampai akhirnya Reinan menghela napas panjang. Seluruh ekspresi di wajah pria itu tiba-tiba berubah.
Tak ada lagi sikap kekanakan yang ia perlihatkan. Yang tersisa hanya sinar mata tajam—penuh kesadaran dan pengendalian.
“Nggak perlu khawatir, Paman Kailash,” ujar Reinan, suaranya berubah dalam dan berat. “Aku tahu bagaimana cara mengatasi istri kecilku.”
Selang beberapa detik, Reinan berdiri dan menyeka sisa noda cokelat dari tangannya sendiri. Ia berjalan perlahan ke arah lemari kaca yang menampung koleksi miniatur pesawat tempurnya.
“Bagaimana dengan laporan yang kuminta tentang perempuan itu?” tanyanya, sambil membalikkan badan.
“Nanti malam akan tiba, Tuan Muda,” jawab Kailash. “Saya akan segera menyerahkannya begitu sampai di tangan saya.”
Tangan Reinan terulur, meraih salah satu pesawat hitam kesayangannya dan menerbangkannya ke atas dan ke bawah. Permainan ini semakin seru, dan ia akan menjadi tokoh utama yang menggerakkan alurnya dengan cara tak terduga.
***
Esme tercengang begitu ia memasuki kamar yang akan menjadi tempat tinggalnya bersama Reinan. Kamar itu begitu luas, melebihi ruang mana pun yang pernah ia tempati.
Di sudut ruangan, jendela lebar bertirai ungu menjuntai hingga menyentuh lantai marmer. Sebuah ranjang berukuran king size berada di tengah ruangan, dilengkapi sofa panjang dan lemari besar yang berdiri kokoh.
“Ini kamar Tuan Muda. Koper Nyonya ada di sebelah kanan," ucap Bi Leli memandu Esme. "Apa ada yang bisa saya bantu?”
“Tolong, bukakan pengait gaun di bagian belakang, Bi,” pinta Esme dengan suara parau.
Dengan cekatan, Bi Leli mendekat dan melakukan tugasnya. Setelah selesai, kepala pelayan itu menunduk sopan lalu menutup pintu dengan lembut.
Sendirian di kamar, Esme melepas alat bantu dengar yang ia pakai dan meletakkannya di atas meja. Dunia mendadak menjadi sunyi.
Tak ada suara. Tak ada hiruk-pikuk. Hanya keheningan yang membelai telinga Esme.
Satu per satu, Esme mulai melepas perlengkapan pengantin yang ia pakai. Gadis itu menanggalkan gaun pengantin, menyisakan pakaian dalam berwarna gading yang melekat di kulit pucatnya.
Tanpa membuang waktu, Esme membuka kopernya dan meraih gaun rumahan berwarna biru. Ketika gaun sederhana itu baru dipakai separuh pinggang, pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Esme tak mendengar apa pun, hingga matanya menangkap pantulan pada cermin besar di depannya.
Seorang pria berdiri di sana. Reinan.
Hampir saja Esme menjerit saking terkejutnya. Ia hendak menoleh, tetapi Reinan sudah menutup matanya dengan telapak tangan.
“Maaf, aku nggak sengaja,” pekik Reinan. “Kenapa kamu buka baju, Esme? Bukannya aku yang harus mandi duluan?”
Buru-buru, Esme menarik bagian atas gaun itu ke bahu, menutupi tubuhnya secepat mungkin. Napasnya berdesakan. Ia tak mampu menjawab karena tidak mendengar apa yang sedang dikatakan Reinan.
Masih dalam kondisi panik, Esme menghampiri meja dan mengambil alat bantu dengar. Begitu benda itu menempel di telinga, ia dapat mendengar suara Reinan yang bertanya dengan nada heran.
“Apa itu di telingamu?”
“Ini… alat bantu dengar. Aku nggak bisa mendengar dengan baik tanpanya,” balas Esme, berusaha menormalkan detak jantungnya.
“Keren juga, mirip alat mata-mata,” gumam Reinan dengan mata berbinar.
Esme menarik napas dalam, mencoba berbicara dengan tenang. “Rein, lain kali tolong ketuk pintu dulu sebelum masuk ke kamar.
“Aku sudah ketuk, tapi kamu nggak dengar. Jadi aku pikir, ya sudah masuk saja. Aku mau mandi," ucap Reinan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mendengar permintaan pria itu, Esme menggigit bibirnya. Mau tak mau, ia harus menjalankan tugasnya hari ini—memandikan suaminya sendiri.
“Baiklah, aku akan menyiapkan air hangat untukmu … di bathtub,” kata Esme gugup.
Pipi gadis itu bersemu merah saat ia melangkah masuk ke kamar mandi. Tanpa ia sadari, Reinan memperhatikannya dalam diam. Senyum lelaki itu perlahan hilang, digantikan oleh tatapan penuh penilaian.
Tanpa berkata apa-apa, Reinan segera menarik selimut dan menutupi tubuh Esme kembali. Ia pun menjauh dari ranjang sambil menarik napas dalam-dalam. Esme masih meracau, tangis lirihnya menggema, diselingi gumaman ketakutan“Jangan…jangan paksa aku.”Mendengar itu, Reinan mengepalkan tangan di sisi tubuh. Kini, ia mulai mengerti bahwa istrinya menyimpan luka yang tak pernah terucap. Luka yang mungkin tak bisa sembuh hanya dengan cinta, tetapi butuh waktu dan penerimaan.“Aku tidak akan menyakitimu lagi, Esme,” gumamnya lirih. Suara Reinan hampir tenggelam dalam bunyi detik jam di dinding.Untuk beberapa saat, Reinan hanya berdiri terpaku di sisi ranjang, menatap tubuh mungil istrinya yang masih menggeliat dalam mimpi buruk. Gadis itu tampak begitu rapuh. Meski mata Esme terpejam, kelopak matanya tampak bergetar dan dari sudut-sudutnya mengalir air mata yang tak mampu ia tahan. Reinan mengusap rambutnya sendiri dengan frustasi. Ia tidak bisa membiarkan Esme terus tertidur dengan pakai
Esme terlelap dalam pelukan pria yang menolongnya, sementara mobil yang membawa mereka melaju perlahan menembus dinginnya malam. Di kursi depan, Kailash menggenggam kemudi dengan tenang. Matanya sesekali melirik ke spion tengah, memandangi Reinan yang mendekap Esme seakan menjaga kristal yang mudah pecah. Mobil berhenti di depan apartemen Reinan yang bergaya modern. Sebelum menghentikan mobilnya, Kailash menoleh.“Tuan Muda, Anda yakin ingin membawa Nyonya Muda ke sini?”Reinan menatap wajah Esme yang pucat sembari menghela napas. “Ya. Jika kita pulang ke mansion, akan muncul banyak spekulasi dari para pelayan. Kabar itu pasti sampai ke telinga Mama.”“Baiklah, kalau itu keputusan Anda,” ucap Kailash mengangguk mengerti.Tak lama berselang, Kailash memarkirkan mobil di area khusus penghuni apartemen. Usai mematikan mesin, pria itu keluar dari kursi kemudi dan membuka pintu belakang. Reinan turun lebih dulu, lalu dengan hati-hati menarik tubuh Esme yang lunglai ke pelukannya. Saat itu
Suasana di dalam Prime Steak House & Bar semakin ramai menjelang jam makan malam.Vera yang kembali duduk di samping Esme, mengulurkan tangan untuk mengambil minumannya sendiri. Ia mendekatkan gelas itu ke wajah, lalu pura-pura terkejut.“Kau minum ini, Esme?” tanyanya, menunjuk cairan merah keunguan yang masih menyisakan embun dingin. “Velvet Dawn?”Esme menoleh, matanya sedikit kabur, tetapi ia berusaha fokus. “Iya, Kak.”Mendengar jawaban itu, Vera membelalak dramatis sambil menatap Chika dan Lisya di seberangnya. “Chika, Lisya, kenapa kalian memesan Velvet Dawn? Kadar alkoholnya cukup tinggi, bisa berbahaya bagi Esme.”Chika mengangkat tangan dengan ekspresi bersalah yang dibuat-buat. “Maaf, Ver. Kupikir Velvet Dawn adalah minuman signature resto ini.”Lisya menambahkan dengan nada setengah mengejek, “Kami tidak menyangka adik iparmu ini belum pernah mencicipi rasa alkohol.”Esme tersentak. Kepalanya semakin berat. Suara orang-orang terasa seperti gema jauh yang datang dan pergi.
Sepanjang perjalanan menuju restoran, suasana di dalam mobil tampak hangat, setidaknya di permukaan. Dengan nada lembut yang menyerupai perhatian seorang kakak, Vera mulai menceritakan kebiasaan makan Reinan.“Dia suka steak medium rare pakai saus jamur,” tuturnya manis. “Juga sup labu, dan roti panggang keju untuk sarapan.”Ada nada halus bernuansa peringatan yang menyelip, ketika ia menambahkan, “Tapi usahakan jangan biarkan dia makan yang terlalu manis atau berlemak. Reinan itu keras kepala. Harus ada yang mengingatkan.”Esme mengangguk sopan, mencoba mengingat semua yang dikatakan Vera. Sekilas, ia merasa disentuh oleh perhatian sang kakak ipar.Mungkin, ini adalah upaya Vera membuka lembaran baru. Siapa tahu, sikap keras dan dingin yang diperlihatkan Vera dulu, hanya bentuk dari rasa sayang yang tak terungkap.Ketika mobil mulai memasuki kawasan kuliner di pinggir kota, keraguan perlahan menyelinap di hati Esme. Matanya menatap keluar, menelusuri nama-nama yang tertera di setiap
Usai membasuh tubuhnya dengan air hangat, Esme melangkah pelan ke dalam kamar. Ia sengaja menyegarkan diri untuk menghapus rasa getir yang tersisa, akibat pertemuan keluarga tadi siang.Handuk melilit rambut Esme yang masih lembap, dan aroma sabun masih melekat samar di kulitnya. Namun, tatkala menatap kamar yang sunyi, jantung Esme serasa direngkuh sepi.Reinan tak ada di sana. Tak terdengar tawa polosnya, atau bunyi tembakan yang biasanya memenuhi sudut kamar.Esme melangkah ke sisi tempat tidur, menelusuri selimut yang masih rapi. Saat ini, Reinan pasti tenggelam dalam dunianya sendiri—di ruang baca, bermain PS, atau tertidur sambil memeluk bantal seperti anak kecil.Perkataan Kailash beberapa waktu lalu, kembali terngiang. “Tuan Muda akan sangat terganggu bila keinginannya tidak terpenuhi. Lebih baik tidak diganggu saat sedang asyik bermain."Mengingat pesan tersebut, Esme memutuskan untuk melakukan aktivitasnya sendiri. Selesai mengeringkan rambut, ia duduk di tepi tempat tidur.
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan rumah keluarga Raharja, Reinan bersandar santai di kursi penumpang. Kepalanya menempel pada sandaran kulit yang empuk, mulutnya bersenandung pelan, menyanyikan lagu yang hanya dikenalnya sendiri. Sesekali, ia juga mengayunkan kaki sesuai irama. Esme melirik dari samping. Ada secercah tanya di wajahnya, yang perlahan berubah menjadi perasaan ganjil. Reinan terlihat sangat senang. Sang suami tak menunjukkan keberatan sama sekali, padahal ia baru saja kehilangan uang. Meski Esme tidak tahu persis berapa jumlahnya, tas hitam kecil yang diserahkan Kailash pasti berisi banyak.Diam-diam, hati Esme terasa berat. Ia mencoba menyusun keberanian, sebelum akhirnya berdehem pelan. “Rein, aku minta maaf soal Papa tadi,” ucapnya lembut. “Seharusnya kamu nggak perlu memberikan uang tabunganmu.”Mendengar itu, Reinan malah tergelak sehingga membuat Esme menatapnya dengan bingung. “Kenapa tertawa? Apa kamu ingat adegan dari film kartun?”Reinan menggeleng de