LOGINEsme menyalakan keran, membiarkan air hangat memenuhi bathtub besar yang berbentuk oval. Ia terpukau oleh indahnya kamar mandi itu—dengan dinding-dinding berlapis batu alam, lampu gantung kecil di langit-langit, dan rak penuh handuk tebal serta minyak aroma terapi.
Gadis itu menemukan sebotol sabun mandi dengan aroma green tea yang pekat, lalu menuangkannya perlahan ke dalam air. Membiarkan buihnya yang harum memenuhi seluruh permukaan air.
Entah mengapa hati Esme terasa sangat gelisah. Meski Reinan tidak pernah menunjukkan tanda-tanda membahayakan, tetapi ia belum pernah membersihkan tubuh seorang pria dewasa. Satu-satunya pengalaman yang ia punya adalah memandikan Luna, seekor kucing persia yang pernah ia pelihara beberapa tahun lalu.
"Esme… ini tanggung jawabmu. Kamu harus bisa merawat suamimu dengan baik," bisik Esme pada dirinya sendiri.
Berulang kali, Esme mencoba menguatkan hati. Apa pun yang terjadi, ia akan menjalani kewajibannya sebagai istri sekuat tenaga, semampu yang ia bisa. Bagaimanapun, ia tidak boleh mengingkari amanat yang telah diberikan oleh ibu mertuanya.
Langkah kaki Esme terasa berat ketika ia kembali dari kamar mandi. Ia menatap Reinan yang masih duduk manis di sofa. Kedua kakinya terayun pelan seperti anak kecil yang menunggu giliran bermain.
Dengan ekspresi sewajar mungkin, Esme berkata, “Air hangatnya sudah siap, Rein. Kamu bisa mandi.”
Reinan langsung menepuk-nepuk tangannya sendiri dengan semangat, lalu berdiri di hadapan Esme.
“Sebelum mandi, aku harus melepas pakaian dulu.”
Esme mengangguk kaku. Ia tahu, tak ada yang bisa membantunya kali ini.
Sedikit ragu, Esme berjalan mendekati Reinan, mengikis jarak yang tersisa di antara mereka. Tanpa berani mengangkat kepala, tangan Esme bergerak ke kancing kemeja putih yang dikenakan Reinan.
Dengan tangan gemetar, ia membuka kancing tersebut tanpa memandang langsung ke tubuh di baliknya. Namun, tatkala kain kemeja mulai terbuka, Esme tak bisa menahan keterkejutannya.
Tubuh Reinan berbeda jauh dari wajah polos yang ia perlihatkan. Otot-otot dada pria itu begitu keras, seperti pahatan batu yang dipoles sempurna. Perutnya berlapis six-pack, dan kulitnya terlihat begitu bersih, nyaris tak bercela.
Tenggorokan Esme mendadak terasa kering. Tangannya semakin gemetar hingga ujung jarinya menyentuh kulit Reinan tanpa sengaja. Sontak, gadis itu berhenti dan mundur dengan canggung.
“Kenapa berhenti? Cepat sedikit, Esme,” ujar Reinan menoleh dengan kepala sedikit miring.
Esme tergagap, lalu melanjutkan melepaskan kemeja itu sepenuhnya dari bahu Reinan. Dengan hati-hati, Esme meletakkanya di atas sofa sambil membuang muka. Ia tak mau mencuri pandang sedikit pun ke bagian atas tubuh Reinan yang terbuka.
Kini, masih tersisa satu tantangan yang paling berat, yaitu melepas celana panjang Reinan.
Sembari menahan napas, Esme membungkukkan badan, hendak membuka ritsleting celana panjang pria itu. Ia berusaha keras untuk tak menghiraukan sesuatu yang menonjol di dalam sana.
Namun sebelum tangan Esme sempat menyentuh, Reinan berbalik sambil memasang ekspresi cemberut.
“Kata Mama, bagian ini nggak boleh dilihat dan dipegang sembarangan. Biar aku buka sendiri.”
Esme tersentak. Wajahnya memanas seperti terkena bara api.
Begitu Reinan berjalan menuju kamar mandi, Esme hampir terjatuh ke sofa. Ia menekan dadanya yang berdebar tak karuan. Ternyata, ia belum siap menghadapi kenyataan bahwa suaminya memiliki fisik yang sangat sempurna.
“Astaga, Esme. Tingkahmu sangat memalukan. Reinan itu masih berpikir seperti anak-anak,” gumam Esme, kesal pada diri sendiri.
Sayangnya, ketenangan Esme hanya berlangsung sesaat. Tak berselang lama, ia mendengar teriakan Reinan dari balik pintu kamar mandi.
“Esme, kemari! Aku mau ditemani.”
Mau tak mau, gadis itu berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Begitu pintu terbuka, ia melihat Reinan sudah berendam di dalam bathtub yang dipenuhi busa putih. Kepala pria itu bersandar di tepi bak, hanya rambut basahnya yang terlihat menjuntai.
Mata Reinan menatap Esme dengan polos. Tangannya terjulur, memegang botol sampo berwarna hijau.
“Pijat kepalaku. Lalu, gosok punggung dan leherku, seperti yang biasa dilakukan Paman Kailash. Kata Mama, sekarang kamu yang harus bantu,” pinta Reinan dengan wajah tanpa dosa.
Esme menghela napas. Tangannya gemetar saat ia menerima botol sampo dari Reinan, lalu menuangkannya ke telapak tangan.
Sambil mengusap rambut sang suami dengan lembut, Esme berusaha menyingkirkan rasa gugup dengan membayangkan dirinya sedang memandikan Luna, kucing kesayangannya.
“Pelan-pelan, Esme,” gumam Reinan dengan mata terpejam, menikmati sentuhan itu.
Tanpa diketahui Esme, senyum samar muncul di bibir Reinan. Ia akan mencari tahu sejauh mana istrinya sanggup bertahan melewati berbagai ujian. Permainan kecil baru saja dimulai, dan malam ini Reinan akan mulai melaksanakan rencananya.
Setelah peristiwa itu, Esme dan Reinan kembali ke mansion. Mereka hidup dalam ketenangan dan kedamaian yang sudah lama mereka rindukan. Kondisi kesehatan Nyonya Nirmala, ibu Esme, kini jauh membaik. Meski masih harus duduk di kursi roda, ia sudah bisa berbicara dan tertawa pelan bersama putrinya. Setelah dokter menyatakan aman, Esme membawa sang ibu pulang untuk tinggal di mansion. Hari-hari mereka kembali hangat oleh kasih sayang keluarga.Esme yang tengah hamil besar menghabiskan waktu di dapur, menyiapkan sarapan untuk Reinan, lalu duduk di ruang kerja kecil yang ia ubah menjadi ruang parfum.Bersama ibunya, ia kembali meracik aroma baru yang menenangkan jiwa. Terkadang, Esme mencoba melakukan beberapa eksperimen yang bisa dijadikan produk parfum baru di Gala Corp. Namun siang itu, perut Esme tiba-tiba kram hebat disertai sensasi hangat yang mengalir di antara kedua kakinya. Esme terperanjat. Pandangannya menurun dan mendapati lantai sudah basah oleh cairan bening.“Mama, air ke
Usai mendapatkan sambutan meriah dari para tamu, Esme duduk kembali di kursinya. Jantungnya masih berdebar kencang setelah mendengar namanya disebut di hadapan begitu banyak orang. Sementara itu, Reinan masih berdiri tegak di podium. Suaranya berubah lebih lembut dan bergetar oleh emosi yang dalam.“Terakhir, saya ingin mempersembahkan parfum ‘Eternal Mother’ untuk mengenang sosok wanita yang lembut, pengertian, dan selalu menyayangi saya tanpa syarat. Di adalah ibu kandung saya, Tiffany Gunadi.”Sekejap, suasana berubah menjadi senyap. Bahkan, kamera wartawan yang sedari tadi berkilat pun berhenti.Reinan menatap layar besar di belakangnya, dan di sana muncul sebuah foto lama, seorang wanita muda yang menggendong bayi laki-laki dengan senyum lembut.Wanita itu mirip sekali dengan Tania Gunadi, yang dikenal publik sebagai ibu kandung Reinan. Namun, bagi yang memperhatikan dengan seksama, perbedaannya jelas terlihat.Tiffany memiliki lesung pipi halus di sisi kiri, rambutnya berwarna l
Pagi itu adalah hari yang sangat penting untuk Esme. Hari di mana hasil karya pertamanya akan diperkenalkan kepada publik. Dari pantulan kaca meja rias, tampak Reinan sedang mencoba setelan jas yang baru dikirim dari butik langganannya. Jas yang dikenakan Reinan berwarna sage green, dipadukan dengan kemeja putih gading. Warna itu tidak terlalu mencolok, tetapi memancarkan kesan lembut sekaligus maskulin.“Sayang, biar aku bantu,” ujar Esme sambil mendekat. Ia mengeluarkan dasi dari kotak dan melingkarkannya di leher Reinan dengan cekatan. Reinan menatap wajah istrinya di cermin, matanya menyimpan senyum kecil. “Aku bisa pakai sendiri. Lebih baik kamu lanjut berdandan, Sayang.”Esme terkekeh kecil. “Aku sudah selesai. Tinggal ganti baju dan menyisir rambut.”Setelah memastikan dasi Reinan terpasang dengan sempurna, Esme berbalik menuju ranjang. Ia mengambil gaunnya yang berwarna mint pastel, serasi dengan jas yang dikenakan sang suami.Saat Esme sedang mengenakan gaun tersebut, ia
Langit siang di atas gedung Gala Corp terasa begitu terik, tetapi di dalam laboratorium aroma parfum memenuhi udara.Esme berdiri di depan meja kerjanya, mengenakan sarung tangan lateks dan kacamata pelindung. Ia mencoba menenangkan pikiran, menghapus bayangan wajah Isabella yang menuduhnya di depan umum.Esme tidak ingin menjadikan luka itu alasan untuk berhenti. Ia menatap cairan bening di dalam vial kecilnya dengan tekad bulat. Rekan-rekannya di divisi perfumer tampak memahami suasana itu. Tak satu pun dari mereka menyinggung kejadian pagi tadi di lobi.Mereka bekerja dalam diam, saling bertukar aroma, menakar tetesan, dan mencatat formula. Hingga akhirnya, Esme berhasil membuat racikan yang cocok untuk tema ‘wedding fragrance’.Setelah berdiri lama, rasa pegal di pinggang Esme semakin terasa. Ia pun melepaskan jas lab dan berjalan ke ruang administrasi.Duduk di kursi, Esme menyandarkan punggungnya, memejamkan mata sejenak.Hatinya bimbang—entah Reinan akan menepati janjinya untuk
Setelah mengetahui Reinan akan datang, Isabella segera memesan hidangan yang dulu menjadi favorit mereka. Semua itu ia siapkan, untuk menghidupkan kembali kenangan manis di antara mereka.Sambil menunggu, Isabella mengeluarkan cermin kecil dari tasnya. Ia memoles wajah dengan bedak, merapikan lipstik, lalu menyisir rambut dengan jari. Pantulan dirinya di cermin menatap balik dengan penuh keyakinan — cantik, elegan, dan siap menaklukkan hati pria yang pernah menjadi miliknya.“Reinan hanya butuh diingatkan,” gumam Isabella tersenyum sendiri.Jarum jam terus berputar. Lima belas menit, dua puluh menit, hingga akhirnya jarum panjang mendekati pukul sebelas siang.Jantung Isabella berdegup makin kencang. Ia menatap pintu kafe berulang kali, seolah setiap tamu yang masuk adalah Reinan.Tak berselang lama, seorang pria menawan muncul di pintu kafe. Reinan, dengan ketampanan yang semakin matang dan wibawa seorang CEO, membuat para pelayan di kafe itu menoleh serempak.Tatapan Reinan menyapu
Lobi kantor Gala Corp kini menjadi panggung yang menegangkan.Di tengah ruangan yang berdinding kaca, dua sosok perempuan berdiri saling berhadapan—Esme dan Isabella. Setiap tatapan karyawan menancap pada mereka seperti ribuan jarum yang menusuk.Isabella terus melancarkan serangan kepada Esme. Namun kali ini, Esme memutuskan untuk tidak mengalah lagi. Cukup lama ia hidup dalam diam, menjadi sasaran fitnah dari orang-orang yang memanfaatkan dirinya. Maka dengan tekad yang baru, Esme menegakkan kepala, menatap Isabella dengan sorot yang tegas.“Cukup, Isabella! Sampai kapan kau mau memutarbalikkan fakta?” sahut Esme. “Kau hanya berpura-pura hamil, demi merebut suami wanita lain.”Seisi lobi sontak membeku ketika Esme menyebut kata ‘suami’. Situasi yang awalnya tidak berpihak pada Esme, kini telah berubah arah. Mereka semua bertanya-tanya, mungkinkah pernyataan Esme adalah pengakuan tersirat bahwa Reinan Gunadi adalah suaminya? Meski begitu, sebagian masih meragukan bahwa seorang per







