Share

BAB 5

"Wih, belanjaan banyak nih," komentar Dinar saat melihat sang ibu masuk membawa begitu banyak belanjaan untuk dapur.

Pertama kalinya sang ibu terlihat sangat senang karena kebutuhan dapur lebih melimpah sekarang.

"Iya. Makasih ya sama Yuda udah kasih uang buat belanja bulanan. Uang dari bapak bisa ibu tabung jadinya," balas Bu Tiara dengan wajah sumberingah.

Jujur sebenarnya Dinar tidak suka dengan sikap keduanya orang tuanya. Apa ia dan Yuda hanya di jadikan alat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga?

Tapi, memang pada awalnya ia dan Yuda juga yang ingin tinggal di rumah ini.

"Bu. Minta uang dong. Sania ngidam pengen makan pizza nih." Tiba-tiba Sania pulang.

Tampak pakaian dinas yang sangat di agung-agungkannya itu masih melekat.

"Kamu ngidam ya?" tanya Bu Tiara.

"Iya nih, Bu. Kepengen makan pizza."

Sok banget ngidamnya. Dinar mencelos dalam hati mendengar pengutaraan sang adik. Masih terasa di hatinya sakit akibat tikaman tak kasat mata dari Sania.

Apalagi masih banyak suara sumbang yang mengatai dirinya selingkuh. Padahal kenyataannya Sania yang tidak punya harga diri, hamil dengan calon suami orang.

"Uang ibu habis, Sania. Suami kamu gak kasih uang?" tanya Bu Tiara.

Dinar mengerutkan kening. Bukannya ibu bilang uang jatah bulanan dari bapak beliau tabung? Tapi kok malah bilang habis.

"Belum gajian, Bu. Lagian Sania cari uang sendiri. Gak enak minta uang sama Mas Danu."

Dinar mencebik mendengar penuturan Sania. Syukurlah kalau ibu tidak mau memberikan uang pada Sania. Makan situ uang hasil sendiri.

"Kalau gitu, mending gak kerja deh. Biar di nafkahin," sindir Dinar.

Dapat terlihat dari lirikan Dinar wajah murka Sania.

"Aku mandiri untuk memenuhi hidupku! Gak kayak mbak yang mengharapakan uang suami!"

Apa bedanya nikah sama gak nikah kalau gitu mah.

"Dih. Mending ngarepin uang suami tapi di kasih dan gak di pelit-pelitin."

Hati Dinar bak berbunga-bunga bisa memperlihatkan pada Sania kalau ia bahagia walau adiknya itu menghancurkan pernikahan indahnya. Walau lelaki yang tampak mapan itu gagal jadi suaminya, namun si tukang parkir dapat memenuhi segala kebutuhannya.

Walau masih banyak hal yang membuat Dinar merasa risau jauh di lubuk hatinya.

Tapi, lupakan itu kalau di hadapan Sania.

Kalau kata mas Yuda, tampilkan kebahagiaan dari apa yang kamu miliki, maka orang yang tidak suka akan merasakan aura yang menyakitikan.

"Dinar! Jangan gitu. Adik kamu kerja dan masih meniti karir. Di support harusnya," tegur ibunya lagi-lagi membela Sania.

Aneh juga. Ibu tampak membela tapi pada dasarnya dia juga tidak mau kasih uang pada Sania.

"Kalau kamu punya uang, di pinjemin dululah ke Sania. Kasian dia."

Dih!

Udahlah nyakitin, minjem uang lagi.

"Kalau uang sih Dinar ada. Tapi minta izin aja dulu sama Mas Yuda. Dia yang cari uang," ujar Dinar dengan nada bangga.

"Uang punya suami sih ya, gak bisa seenaknya di pakai," sindir Sania.

"Biarpun gitu, aku tetap punya uang. Gak minta sama ibu, bahkan bisa kasih ibu uang."

Dinar tersenyum sangat lebar sebelum akhirnya meninggalkan ibu dan adiknya itu. Hari ini Dinar sangat senang melihat wajah marah adiknya itu. Wajah yang sudah menyakitinya sedemikian rupa bahkan membuat dirinya sebagai kambing hitam.

"Kok bisa sih, Bu, dia punya uang. 3 juta buat tukang parkir gak bisa kali di dapetin dalam satu bulan," ucap Sania yang tampak penasaran.

"Ibu juga gak tau." Bu Tiara melirik Dinar yang sudah menghilang di balik dinding dapur.

"Uang 3 juta buat belanja rumah, Nia. Kalau uang yang ada di tangan dia, ibu gak tau berapa."

****

"Neng Dinar, gimana? Bahagia nikah sama tukang parkir?"

Pagi-pagi sudah harus berurusan dengan makhluk terkuat di muka bumi. Siapa lagi kalau bukan emak-emak.

Bedanya ini versi yang kuat mulutnya. Khusus di program buat merekam aib tetangga.

Karena setau Dinar ada banyak versi manusia terkuat di muka bumi atau yang lebih dikenal sebagai emak-emak ini. Ada di antara mereka yang punya versi yang jauh lebih baik.

Namun sayangnya, ini versi yang masih jadul, yang suka merekam sembarangan dan kurang filter masalah kehidupan orang.

Jadi harap maklum kalau rekamannya masih agak kurang cerah dan masih ada buram-buram.

"Alhamdulillah, Bu. Tukang parkirnya baik," balas Dinar seadanya.

"Baik aja gak cukup, Neng Dinar. Mapan lebih utama," ujarnya lagi.

"Akhlak, Bu, yang utama," balas Dinar.

"Ber-akhlak gak ber-uang mah masih kurang ya Bu-Ibu ya?"

Astaga! Gak perlu repot-repot senam pagi sih ini. Dengerin omongan emak-emak jadul aja udah cukup bikin hati panas sampai ke ubun-ubun.

"Itu, Neng. Lagian ada yang baik kayak Danu, kok ya maunya sama tukang parkir."

Ternyata gosib itu tidak selesai-selesai, justru malah kian melebar kemana-mana.

"Gak semua yang dilihat dan di dengar itu bener, Bu," ujar Dinar tak tau lagi harus bagaimana menjelaskan.

Ia sudah pernah tempo lalu memperbaiki nama baiknya dengan menjelaskan baik-baik, namun justru dirinya malah kena semprot dan jadinya adu mulut. Setelah itu Dinar jadi lebih berhati-hati untuk bicara.

"Gimana pun juga mah ya, ibu-ibu, yang PNS lebih bagus. Atau kalau nggak kerja kantoran gitu."

Kayak yang suaminya kerja kantoran aja ibu-ibu ini. Buruh pabrik sama tukang parkir mah beda-beda tipis. Kenapa harus mengatai dirinya.

"Ya udah ibu-ibu. Saya permisi."

Dinar memilih masuk ke dalam rumah. Niat menyapu halaman buyar karena ulah emak-emak jadul yang versinya belum di update agar filter berita dan rekaman dalam meliput rumah tangga orang lain jadi lebih eksklusif.

"Kenapa sih?"

Dinar duduk dengan wajah cemberut tak jauh dari Yuda yang berbaring sambil main hp.

Terkadang aneh juga. Bagaimana bisa Yuda cuma main hp bisa punya uang banyak. Memang sih ini masih minggu-minggu mereka berbulan madu. Tapi, aneh saja kerjaan bahkan latar belakang Yuda jadi tidak jelas.

"Biasa, ibu-ibu suka ngatain," balas Dinar lalu mengalihkan perhatian pada tumpukkan kain yang belum di lipat.

"Kalau di katain jangan di tepis. Semakin ombak kamu halangi, makin sakit nanti kamu," ujar Yuda.

"Jadi maksud Mas aku iyain gitu kalau aku selingkuh?" rengut Dinar jadi tambah kesal.

"Dinar, cantik," panggil Yuda melihat istrinya itu sedang merajuk.

Ia merapatkan jarak dengan gadis itu.

"Kamu memang selingkuh, dan itu karena Danu tidak cukup mampu membuat kamu bahagia."

Dinar menoleh kaget dengan ucapan Yuda. "Maksud Mas apa? Jelas-jelas ini karena Mas Danu ngehamilin Sania."

"Dan ada yang percaya dengan ucapan kamu? Kamu di hujatkan kemarin saat mencoba menerangkan itu?"

Dinar terdiam.

"Buktikan saja, Sayang," bisik Yuda tepat di telinga Dinar.

Ada aliran listrik yang serasa menjalar ke sekujur tubuh Dinar mendengar ucapan itu.

Dadanya serasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Apa Yuda menggunakan pelet agar ia mematuhi apa yang pria itu katakan?

Tapi sekali lagi, apa untungnya?

"Buktikan dengan memilihku, kamu jauh lebih bahagia dari pada dengan Danu. Kamu mampu hidup lebih berkecukupan. Gunakan uang yang aku berikan. Aku memberi uang bukan untuk di simpan, tapi untuk membuat kamu bahagia.

Orang tidak akan memandang kamu sembarangan kalau kamu menggunakan pakaian bagus, bahkan kalau bisa menggunakan perhiasan. Nanti akan aku usahakan kamu menggunakan perhiasan.

Zaman sekarang, jabatan itu tak akan terbukti kalau kamu tidak dapat menunjukkan pada semua orang. Kamu tau kenapa banyak pejabat yang korupsi? Itu untuk memenuhi keinginan tampil lebih dari banyak orang.

Jadi gunakan uang itu agar orang-orang berhenti memandang remeh kamu."

Bersambung. . . .

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rifha Bundane Agha
bener itu .... lanjut ......
goodnovel comment avatar
Yani Rohaningsih
iklannya sampe 15 banyak banget
goodnovel comment avatar
Sarfina Ersa
lanjutttt...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status