Share

BAB 6

Dinar menatap uang yang kemarin di berikan Yuda padanya. Cukup lama ia terdiam dengan pikiran berkecamuk.

"Orang sekarang tidak melihat benar atau tidak perbuatan seseorang. Kebanyakan orang melihat kekayaan yang dimiliki orang tersebut, melalui apa yang ia punya saat ini."

Begitulah kata Yuda kemarin. Dinar dalam keadaan bimbang. Apa ia pakai saja uang ini untuk membeli pakaian baru?

Tapi, apa halal uang yang Yuda berikan padanya? Pria itu bahkan enggan mengakui dari mana ia dapat uang sebanyak itu. Ia terus bilang kalau itu hasil ia markir. Orang bodoh mana yang mau percaya?

Dinar memasukkan uang itu ke dalam dompet lagi. Sepertinya ia perlu berfikir panjang sebelum menggunakan uang itu.

Setelahnya ia pergi ke dapur saja untuk memasak.

"Kalian serasi banget."

"Iya. Semoga masa depan kalian cerah."

Netra Dinar menangkap kedatangan orang tua Danu. Mereka sedang memuji pasangan yang dianggap serasi itu.

Keduanya sama-sama menggunakan baju dinas, sepertinya baru pulang kerja.

Bu Halimah, mantan calon mertuanya, sedang memuji menantu kesayangannya itu. Tapi, Bu Halimah tetap mertuanya bukan? Gimanapun juga ia tetap menikah dengan anak keluarga mereka. Cuma saja, Yuda hanya anak tiri dari Bu Halimah.

"Eh, kamu masih numpang di sini?" tanya Bu Halimah ketus saat melihat Dinar.

Dinar tersenyum simpul. "Emang orang yang kasih uang bulanan buat rumah tuh, namanya numpang ya, Bu? Terus yang tinggal di sini gak ngasih apa-apa?"

Dinar sengaja melirik Sania dengan terang-terangan menekan kata tidak memberi apa-apa lalu tersenyum penuh kemenangan.

"Ngasih uang 3 juta aja bangga! Kamu gak punya masa depan sebagus kita berdua! Gak akan jadi PNS!" sambar Sania.

"Gak ada juga kali yang jamin kamu bisa jadi PNS. Ada jutaan orang di luar sana yang berkompetisi untuk dapat itu."

"Heh?! Gak usah ngiri ya? Kalau nanti aku sama mas Danu jadi PNS, Kita bisa langsung pindah ke rumah bagus terus pakai mobil bagus! Gak kayak kamu yang sampai kapan aja bakal tetap jadi istri tukang parkir!" bentaknya dengan emosi memuncak.

"Udah, Sayang." Bu Halimah menarik Sania yang berdiri menghadap Dinar penuh amarah. "Gak ada gunanya kamu debat sama orang yang gak berpendidikan. Dia gak akan ngerti masalah orang-orang berpendidikan seperti kalian berdua."

Tatapan tajam Bu Halimah menghunus Dinar. "Kamu bakalan nangis darah nantinya. Kamu jangan ngerasa hebat ya!" hardik Bu Halimah.

"Kita liat aja siapa yang bakalan nangis darah!" tantang Dinar.

Bu Halimah kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini buat mantu kesayangan sama calon cucu ibu."

Selembar amplop diselipkan beliau di tangan Sania.

"Maaf ya, Dinar. Saya cuma bisa kasih uang sama Sania. Soalnya dia pasti bisa balikin uang dihari tua saya nanti. Kalau kamu, paling cuma bisa nyusahin nantinya." Tawa meremehkan ditunjukkan beliau dengan sangat yakin.

Dinar tersenyum singkat membalas Bu Halimah.

****

Yuda yang baru pulang sore ini di sambut wajah berbinar Dinar. Balutan baju cantik dan mahal menyelimuti tubuhnya.

Wajah yang biasa tak mengenakan apa-apa itu juga terlihat berias bahkan kini ia menggunakan parfum.

"Gimana?" tanya Dinar.

"Cantik," puji Yuda. "Gitu dong. Itu maksud saya. Tampilkan kalau kamu tidak perlu calon PNS untuk terlihat bahagia."

"Memangnya ukuran bahagia dari penampilan?" tanya Dinar.

Yuda terkekeh. "Kebanyakan orang berfikir begitu. Saya sih gak maksa kalau kamu kurang nyaman sama penampilan mewah."

"Emangnya kalau kayak gini, aku keliatan kayak orang kaya?"

Yuda mengangguk. "Kamu kelihatan di rawat. Suami yang baik adalah suami yang merawat istrinya. Itu biasanya tanda tolak ukur menurut pandangan manusia. Kalau kamu tampil begitu cantik setelah menikah, itu artinya kamu sukses mendapatkan suami yang baik."

"Jadi orang-orang akan berhenti gosipin aku?"

"Orang-orang akan mengganti kalimat gosip mereka. Tapi bertahap. Kamu yang sabar dan nikmati apa yang ada untuk saat ini."

Dinar tidak tau harus bersyukur atau bingung dengan situasinya. Di satu sisi, ia merasa sangat bahagia diperlakukan baik oleh Yuda. Tapi di sisi lain, ia merasa seperti orang bodoh yang tidak tau menahu apa dan bagaimana Yuda di luar sana.

Ia hanya tau Yuda habis merantau di Bali. Dia jadi tukang parkir dan kembali ke kota kelahirannya untuk menghadiri pernikahan Danu, adiknya. Namun justru Yuda lah yang pada akhirnya menikahi calon istri adiknya.

"Malam ini, mas boleh tidur di ranjang gak? Badan mas sakit-sakit nih habis kerja," katanya setelah kembali dari kamar mandi.

Dinar tampak ragu. "Mas kerja apa?" tanyanya.

Gak mungkinkan Yuda tadi markir? Yah mungkin aja sih, tapikan lapak markirnya dia di Bali.

"Adalah. Nanti mas cerita kalau udah waktunya."

Yuda masih menanti jawabannya. "Emh, tapi. . . . Aku takut. . ."

Dinar ragu harus menjelaskan bagaimana. Ia takut, bahkan belum yakin untuk lebih dekat dengan Yuda.

"Saya cuma tidur aja. Janji," kata Yuda meyakinkan.

"Y-ya sudah."

Walau sedikit terpaksa, akhirnya ia dan Yuda sama-sama berbaring di kasur yang sama. Berbaring telentang menatap langit-langit.

"Maaf ya. Aku kayaknya jadi istri yang jahat," tutur Dinar.

Entah bagaimana, ada sebuah perasaan menyelesak dalam hatinya. Yuda berusaha menjadi suami yang baik dengan mencukupi kebutuhannya. Tapi ia tidak memberikan hak pada lelaki itu.

"Saya akan menunggu sampai kamu yakin," balas Yuda. "Tapi kalau boleh, saya mau diberikan celah agar bisa mengenal kamu lebih jauh."

Dinar menoleh untuk memastikan Yuda lah yang berkata hal itu.

"Saya tidak ingin main-main. Dan kalau boleh ingin saling menerima dalam pernikahan ini," ungkap Yuda.

"Mas serius?"

Bagi Dinar itu hal yang sangat berat. Luka hatinya akan lelaki belum sembuh, bahkan rasanya luka itu masih menganga. Mereka lakukan pernikahan ini karena tidak ada pilihan lain. Juga karena ada rasa ingin balas dendam pada orang-orang yang sudah menyakitinya.

Untuk menjalani pernikahan yang sesungguhnya, Dinar masih takut.

"Kamu tidak perlu khawatir soal apapun. Yang saya mau kamu cuma membuka hati saja. Masalah kewajiban dan hak, saya tidak menuntut apapun."

Hening

"Kamu keberatan ya?"

"Dinar mau. Tapi sepertinya butuh waktu."

"Saya tunggu selama apapun itu, Dinar.

Bersambung. . . .

Comments (25)
goodnovel comment avatar
Irnawati
nggak bisa baca loncat episodeny yaa
goodnovel comment avatar
Sandi Hadi
ceritanya samgat menarik
goodnovel comment avatar
Wati Ati
lanjut dong bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status