Dinar menatap uang yang kemarin di berikan Yuda padanya. Cukup lama ia terdiam dengan pikiran berkecamuk.
"Orang sekarang tidak melihat benar atau tidak perbuatan seseorang. Kebanyakan orang melihat kekayaan yang dimiliki orang tersebut, melalui apa yang ia punya saat ini."Begitulah kata Yuda kemarin. Dinar dalam keadaan bimbang. Apa ia pakai saja uang ini untuk membeli pakaian baru?Tapi, apa halal uang yang Yuda berikan padanya? Pria itu bahkan enggan mengakui dari mana ia dapat uang sebanyak itu. Ia terus bilang kalau itu hasil ia markir. Orang bodoh mana yang mau percaya?Dinar memasukkan uang itu ke dalam dompet lagi. Sepertinya ia perlu berfikir panjang sebelum menggunakan uang itu.Setelahnya ia pergi ke dapur saja untuk memasak."Kalian serasi banget.""Iya. Semoga masa depan kalian cerah."Netra Dinar menangkap kedatangan orang tua Danu. Mereka sedang memuji pasangan yang dianggap serasi itu.Keduanya sama-sama menggunakan baju dinas, sepertinya baru pulang kerja.Bu Halimah, mantan calon mertuanya, sedang memuji menantu kesayangannya itu. Tapi, Bu Halimah tetap mertuanya bukan? Gimanapun juga ia tetap menikah dengan anak keluarga mereka. Cuma saja, Yuda hanya anak tiri dari Bu Halimah."Eh, kamu masih numpang di sini?" tanya Bu Halimah ketus saat melihat Dinar.Dinar tersenyum simpul. "Emang orang yang kasih uang bulanan buat rumah tuh, namanya numpang ya, Bu? Terus yang tinggal di sini gak ngasih apa-apa?"Dinar sengaja melirik Sania dengan terang-terangan menekan kata tidak memberi apa-apa lalu tersenyum penuh kemenangan."Ngasih uang 3 juta aja bangga! Kamu gak punya masa depan sebagus kita berdua! Gak akan jadi PNS!" sambar Sania."Gak ada juga kali yang jamin kamu bisa jadi PNS. Ada jutaan orang di luar sana yang berkompetisi untuk dapat itu.""Heh?! Gak usah ngiri ya? Kalau nanti aku sama mas Danu jadi PNS, Kita bisa langsung pindah ke rumah bagus terus pakai mobil bagus! Gak kayak kamu yang sampai kapan aja bakal tetap jadi istri tukang parkir!" bentaknya dengan emosi memuncak."Udah, Sayang." Bu Halimah menarik Sania yang berdiri menghadap Dinar penuh amarah. "Gak ada gunanya kamu debat sama orang yang gak berpendidikan. Dia gak akan ngerti masalah orang-orang berpendidikan seperti kalian berdua."Tatapan tajam Bu Halimah menghunus Dinar. "Kamu bakalan nangis darah nantinya. Kamu jangan ngerasa hebat ya!" hardik Bu Halimah."Kita liat aja siapa yang bakalan nangis darah!" tantang Dinar.Bu Halimah kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini buat mantu kesayangan sama calon cucu ibu."Selembar amplop diselipkan beliau di tangan Sania."Maaf ya, Dinar. Saya cuma bisa kasih uang sama Sania. Soalnya dia pasti bisa balikin uang dihari tua saya nanti. Kalau kamu, paling cuma bisa nyusahin nantinya." Tawa meremehkan ditunjukkan beliau dengan sangat yakin.Dinar tersenyum singkat membalas Bu Halimah.****Yuda yang baru pulang sore ini di sambut wajah berbinar Dinar. Balutan baju cantik dan mahal menyelimuti tubuhnya.Wajah yang biasa tak mengenakan apa-apa itu juga terlihat berias bahkan kini ia menggunakan parfum."Gimana?" tanya Dinar."Cantik," puji Yuda. "Gitu dong. Itu maksud saya. Tampilkan kalau kamu tidak perlu calon PNS untuk terlihat bahagia.""Memangnya ukuran bahagia dari penampilan?" tanya Dinar.Yuda terkekeh. "Kebanyakan orang berfikir begitu. Saya sih gak maksa kalau kamu kurang nyaman sama penampilan mewah.""Emangnya kalau kayak gini, aku keliatan kayak orang kaya?"Yuda mengangguk. "Kamu kelihatan di rawat. Suami yang baik adalah suami yang merawat istrinya. Itu biasanya tanda tolak ukur menurut pandangan manusia. Kalau kamu tampil begitu cantik setelah menikah, itu artinya kamu sukses mendapatkan suami yang baik.""Jadi orang-orang akan berhenti gosipin aku?""Orang-orang akan mengganti kalimat gosip mereka. Tapi bertahap. Kamu yang sabar dan nikmati apa yang ada untuk saat ini."Dinar tidak tau harus bersyukur atau bingung dengan situasinya. Di satu sisi, ia merasa sangat bahagia diperlakukan baik oleh Yuda. Tapi di sisi lain, ia merasa seperti orang bodoh yang tidak tau menahu apa dan bagaimana Yuda di luar sana.Ia hanya tau Yuda habis merantau di Bali. Dia jadi tukang parkir dan kembali ke kota kelahirannya untuk menghadiri pernikahan Danu, adiknya. Namun justru Yuda lah yang pada akhirnya menikahi calon istri adiknya."Malam ini, mas boleh tidur di ranjang gak? Badan mas sakit-sakit nih habis kerja," katanya setelah kembali dari kamar mandi.Dinar tampak ragu. "Mas kerja apa?" tanyanya.Gak mungkinkan Yuda tadi markir? Yah mungkin aja sih, tapikan lapak markirnya dia di Bali."Adalah. Nanti mas cerita kalau udah waktunya."Yuda masih menanti jawabannya. "Emh, tapi. . . . Aku takut. . ."Dinar ragu harus menjelaskan bagaimana. Ia takut, bahkan belum yakin untuk lebih dekat dengan Yuda."Saya cuma tidur aja. Janji," kata Yuda meyakinkan."Y-ya sudah."Walau sedikit terpaksa, akhirnya ia dan Yuda sama-sama berbaring di kasur yang sama. Berbaring telentang menatap langit-langit."Maaf ya. Aku kayaknya jadi istri yang jahat," tutur Dinar.Entah bagaimana, ada sebuah perasaan menyelesak dalam hatinya. Yuda berusaha menjadi suami yang baik dengan mencukupi kebutuhannya. Tapi ia tidak memberikan hak pada lelaki itu."Saya akan menunggu sampai kamu yakin," balas Yuda. "Tapi kalau boleh, saya mau diberikan celah agar bisa mengenal kamu lebih jauh."Dinar menoleh untuk memastikan Yuda lah yang berkata hal itu."Saya tidak ingin main-main. Dan kalau boleh ingin saling menerima dalam pernikahan ini," ungkap Yuda."Mas serius?"Bagi Dinar itu hal yang sangat berat. Luka hatinya akan lelaki belum sembuh, bahkan rasanya luka itu masih menganga. Mereka lakukan pernikahan ini karena tidak ada pilihan lain. Juga karena ada rasa ingin balas dendam pada orang-orang yang sudah menyakitinya.Untuk menjalani pernikahan yang sesungguhnya, Dinar masih takut."Kamu tidak perlu khawatir soal apapun. Yang saya mau kamu cuma membuka hati saja. Masalah kewajiban dan hak, saya tidak menuntut apapun."Hening"Kamu keberatan ya?""Dinar mau. Tapi sepertinya butuh waktu.""Saya tunggu selama apapun itu, Dinar.Bersambung. . . .“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks