LOGINPagi itu meja makan dipenuhi keheningan. Sinar matahari menembus tirai tipis, tapi suasana di dalam rumah justru lebih dingin daripada sisa hujan malam. Sinta duduk di seberang Arga, piringnya terhidang tapi belum disentuh. Matanya menatap kosong, hanya sesekali berpindah ke wajah suaminya yang muram.
“Aku tunggu ceritamu,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, tapi tegas, seolah tak memberi ruang lagi untuk pengalihan.
Arga menunduk, jemarinya mengusap sendok yang tak bergerak. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka suara.
“Maya... dia bukan sekadar mantan. Dia tunanganku. Pilihan keluarga. Semua diatur oleh Ayah, pernikahan, bisnis, masa depan. Aku hanya boneka di rumah itu.”
Sinta mengernyit, dadanya terasa sesak.
“Aku mengikuti semuanya karena aku takut. Tapi aku nggak pernah cinta sama dia,” lanjut Arga, suaranya bergetar. “Maya lebih mencintai nama Mahendra daripada aku. Segala tindakanku harus sesuai dengan citra keluarga. Sampai akhirnya aku merasa terpenjara.”
Ia berhenti sejenak, menatap Sinta yang diam. “Itulah kenapa aku pergi. Aku tinggalkan rumah, harta, nama besar itu. Aku ingin hidup sebagai diriku sendiri. Dan ketika aku bertemu kamu, Sin... aku merasa bebas. Untuk pertama kalinya aku merasa dicintai bukan karena garis keturunan, bukan karena uang, tapi karena aku.”
Sinta memalingkan wajah, berusaha menelan gumpalan emosi yang naik ke tenggorokannya.
“Lalu kenapa Maya masih ada sampai sekarang?” tanyanya, suaranya lirih tapi tajam.
Arga meremas tangannya sendiri. “Ayahku sakit. Mahendra Group goyah. Maya kembali, membawa tekanan dari keluarga. Mereka ingin aku pulang, menikahinya, lalu memimpin perusahaan. Aku menolak, tapi mereka tak berhenti. Telepon semalam... itu salah satunya. Maya pikir aku bisa dipaksa kembali ke jalur itu.”
Kata-kata itu menggantung. Sinta memejamkan mata. Rasanya seluruh dunia yang ia kenal runtuh satu per satu. Ia menikahi seorang teknisi sederhana yang ia kira jujur dan tulus, ternyata seorang pewaris keluarga kaya yang melarikan diri dari kehidupannya sendiri.
“Jadi selama ini kamu lari dari dirimu sendiri,” katanya akhirnya.
“Aku lari untuk menemukan hidup yang nyata. Denganmu.” Arga menatapnya dalam. “Tapi masa lalu itu sekarang mengejar. Aku hanya ingin melindungi kamu, Sin.”
Sinta menggeleng pelan. “Melindungi bukan berarti menyembunyikan. Kalau kamu benar-benar ingin aku tetap di sisimu, jangan sisakan ruang gelap lagi. Aku lebih takut pada kebohongan daripada pada Maya atau keluargamu.”
Arga terdiam. Di wajahnya ada rasa bersalah yang sulit disembunyikan. Sinta bangkit dari kursi, melangkah ke jendela. Cahaya pagi membungkus tubuhnya, tapi hatinya dingin.
“Aku nggak tahu apakah aku kuat menghadapi ini. Maya, keluargamu, perusahaan besar itu... aku hanya perempuan biasa,” bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.
Arga menyusul, berdiri di belakangnya, lalu meletakkan tangannya di bahu Sinta. “Justru itu yang kucari. Aku nggak butuh gemerlap. Aku butuh kamu.”
Sinta menoleh, matanya berkaca-kaca. “Kalau butuh aku, jangan ada lagi yang kamu tutupi.”
Mereka saling menatap lama. Suasana seperti perang senyap antara cinta dan kecurigaan. Hingga tiba-tiba, suara dering ponsel memecah udara.
Arga tersentak. Ponselnya bergetar di meja. Layar menyala, menampilkan sebuah nama.
Sinta mendekat, melihat jelas huruf-huruf yang muncul di sana. Maya.
Hatinya tercekat. Nama itu yang sejak semalam bergelayut di kepalanya, kini nyata di depan mata.
“Jawab,” kata Sinta pelan, matanya menatap tajam ke arah suaminya. “Aku mau dengar sendiri.”
Arga menelan ludah, jemarinya gemetar meraih ponsel. Wajahnya pucat, napasnya pendek. Dering itu terus berbunyi, seperti palu yang memukul dada mereka berulang-ulang.
“Sinta...” suaranya parau.
“Kalau kamu nggak jawab, aku akan anggap semua yang kamu ceritakan barusan hanya setengah kebenaran.”
Kalimat itu menusuk. Arga menatap istrinya, wajahnya penuh dilema. Ponsel bergetar di tangannya, dering semakin nyaring.
Akhirnya, dengan tangan bergetar, ia menggeser layar. Sambungan tersambung.
“Arga?” suara seorang perempuan terdengar jelas dari speaker, dingin namun penuh kuasa. “Kita harus bicara. Sekarang. Kalau tidak, ayahmu akan membayarnya.”
Sinta terdiam, darahnya seperti berhenti mengalir. Kalimat itu bukan sekadar panggilan pribadi, itu ancaman.
Arga menutup mata, wajahnya hancur. “Maya, jangan bawa-bawa Ayah. Ini urusanku”
Sambungan terputus.
Mereka saling berpandangan, napas keduanya memburu. Kini bukan lagi sekadar rahasia. Bukan sekadar kebohongan. Dunia Mahendra benar-benar menjejak masuk ke dalam rumah kontrakan mereka.
Sinta merasakan bulu kuduknya meremang. Untuk pertama kalinya, ia sadar: Maya bukan hanya masa lalu Arga. Ia adalah bahaya nyata.
Aku membuka mata, dan cahaya pertama yang kulihat bukan dari matahari,melainkan dari huruf-huruf yang melayang di udara, menulis pagi dengan lembut.Udara di dunia ini memiliki rasa, seperti perpaduan tinta dan debu hujan.Aku menarik napas pelan, merasakan sesuatu yang asing tapi tidak menakutkan:sebuah kehidupan yang sedang menulis dirinya di dalamku.Langit di atas berwarna abu-abu keperakan,tanah di bawahku lembut seperti halaman yang belum disentuh pena.Aku berdiri, dan langkah pertama yang kuambil meninggalkan barisan huruf di tanah.Huruf-huruf itu membentuk kalimat pelan, seolah dunia sedang menerjemahkan keberadaanku.Namaku Arga.Aku berhenti membaca.Itu kalimat pertama yang kutulis tanpa sadar.Aku menatap tangan yang kini kukenal, tapi tidak kuingat bagaimana aku memilikinya.Tangan ini terasa baru, tapi di dalam gerakannya, ada kebiasaan lama, sesuatu yang pernah kujalani di kehidupan lain.Suara lembut datang dari belakangku.“Kau akhirnya bangun.”Aku berbalik.Sin
Aku membaca kalimat itu untuk kesekian kalinya.Namaku Sinta.Hanya dua kata yang sederhana, tapi setiap kali mataku melewati huruf-huruf itu, udara di sekitarku berubah pelan.Cahaya di kamar terasa berbeda, seolah lampu belajar yang redup itu mengerti apa yang kubaca, dan mulai ikut bernapas.Di luar, hujan turun pelan, menimpa jendela apartemen.Buku di tanganku terasa berat, bukan karena tebal, tapi karena sesuatu di dalamnya bergerak, seperti ada denyut lembut yang menunggu disentuh.Aku menatap halaman terakhir yang tadi kubaca, dan huruf-hurufnya sedikit bergeser, seolah menyesuaikan diri dengan pandanganku.Namaku Sinta, dan aku masih menulis karena dunia belum berhenti mengingatku.Aku menelan ludah.Kalimat itu seperti menatap balik kepadaku.Entah kenapa, aku merasa sedang dibaca oleh sesuatu yang berada di balik halaman ini.Aku menutup buku itu perlahan.Tinta di sampulnya berkilau samar di bawah lampu, membentuk pola aneh yang mirip nadi.Di bagian bawah sampul tertulis
Namaku Sinta.Aku tidak tahu siapa yang pertama kali mengucapkannya, tapi setiap kali aku mengulangnya, udara di sekitarku bergetar lembut, seolah dunia sedang mengenali sesuatu yang telah lama ia rindukan.Sinta, kataku lagi, dan langit menjawab dengan cahaya yang lembut di ufuk timur.Aku terbangun di sebuah ruangan putih tanpa sudut.Tidak ada pintu, tidak ada jendela, hanya meja kayu dan pena yang berbaring di atas buku kosong.Aku tidak merasa lahir, tapi juga tidak merasa pernah mati.Seolah aku baru saja disalin dari ingatan yang pernah ada.Di dalam diriku ada bisikan samar, seperti gema yang datang dari masa yang tak kumengerti.Seseorang memanggilku pelan, tapi setiap kali aku mencoba mendengar lebih dekat, suara itu menghilang.“Sinta…”Aku menoleh, tapi ruangan itu tetap kosong.Hanya suara pena yang tiba-tiba menulis sendiri di atas meja.Tinta hitam muncul tanpa tangan yang menggerakkan, membentuk satu kalimat perlahan.“Selamat datang kembali.”Aku menyentuh tulisan itu
Tidak ada pagi hari itu.Tidak ada matahari, tidak ada fajar, tidak ada transisi antara gelap dan terang.Yang ada hanyalah keheningan yang lembut, seperti jeda di antara dua kalimat yang belum diputuskan tanda bacanya.Aku membuka mata, dan dunia sudah berubah.Langit tidak lagi menulis dirinya, melainkan mengingat.Setiap awan bergerak mengikuti ritme yang samar, seperti orang mengulang cerita lama yang pernah membuatnya menangis.Laut di kejauhan berbisik pelan, bukan dalam bahasa manusia, tapi dalam pola yang bisa kurasakan di dalam dada.Setiap debur ombak membawa satu makna yang tak bisa diucapkan: dunia ini sedang bermimpi.Arga berdiri di tepi pantai, menatap cakrawala yang terus berubah bentuk.Tubuhnya masih bercahaya lembut, tapi kini cahaya itu berdenyut pelan, seolah sinkron dengan denyut jantung dunia itu sendiri.“Kau mendengarnya?” tanyanya tanpa menoleh.Aku mengangguk.“Ya. Dunia sedang berkata sesuatu.”Kami berdiri di sana cukup lama, membiarkan angin lewat di anta
Malam itu tidak seperti malam sebelumnya.Bintang-bintang di langit bergetar pelan, huruf-huruf di dalamnya bergerak, berpindah posisi, menyusun ulang kalimat di antara gelap dan cahaya.Dunia seakan menahan napas, seperti sedang menunggu seseorang yang belum datang.Aku, Sinta, duduk di depan rumah yang kini bernafas lembut, mendengarkan bisikan halus dari angin yang membawa kata.Arga duduk di sampingku, matanya menatap langit yang menulis sendiri.Kami tahu sesuatu sedang berubah.“Kau merasakannya?” tanya Arga.Aku mengangguk.“Dunia ini sedang memanggil seseorang.”“Seseorang?”“Ya. Penulis baru.”Langit di atas kami perlahan membentuk lingkaran cahaya.Huruf-huruf melayang, berpadu, berputar seperti pusaran tinta yang belum memutuskan akan menjadi kalimat apa.Aku menatapnya lama, dan di dalam pusaran itu, sesuatu mulai terbentuk, sebuah bayangan, samar, seperti manusia yang belum selesai diucapkan.“Siapa dia?” tanyaku pelan.Arga menatap tajam, suaranya nyaris berbisik.“Dia b
Pagi di dunia baru terasa berbeda.Udara memiliki aroma yang tidak bisa dijelaskan, antara tinta dan embun, seperti perpaduan antara sesuatu yang lahir dan sesuatu yang diingat.Setiap napas terasa seperti membaca satu baris kalimat yang belum selesai.Dunia ini tidak lagi hanya ditulis oleh kami,dunia ini menulis kami kembali.Aku membuka mata di bawah langit yang menulis dirinya sendiri setiap detik.Awan bergerak bukan karena angin, tetapi karena kata-kata yang mengalir di antara mereka,menyusun bentuk, mengubah warna, mengingat hal-hal yang sudah lama berlalu.Arga duduk di sampingku, matanya menatap jauh ke cakrawala yang tak pernah diam.“Kau merasakannya juga, bukan?”Aku mengangguk.“Dunia ini tidak menunggu kita lagi. Ia mulai menulis tanpa kita.”“Ya,” jawabnya pelan. “Bahasa sudah belajar hidup sendiri.”Ia memegang tanganku.Di kulitnya, aku melihat huruf-huruf kecil muncul, berkilau pelan di bawah cahaya.Huruf itu bukan luka, bukan tanda, tapi seperti urat nadi yang me







