LOGINMalam itu hening, hanya detak jam dinding yang terdengar. Angka menunjukkan pukul 01.37 ketika Sinta terbangun. Bukan oleh suara keras, melainkan kegelisahan yang tiba-tiba menusuk dada. Ia meraba sisi ranjang kosong. Arga belum pulang.
Sinta duduk, memandangi tempat tidur yang rapi di sebelahnya. Ia bangkit, berjalan perlahan ke ruang tengah. Saat hendak menyalakan lampu, telinganya menangkap suara dari luar rumah. Suara Arga.
“Iya... aku akan urus semuanya. Tapi jangan ganggu dia. Jangan sampai Sinta tahu.”
Sinta menahan napas. Urat di lehernya menegang. Dia? Siapa yang dimaksud? Ia mendekat ke tirai jendela, mengintip dengan hati berdegup.
Arga berdiri di teras, ponsel menempel di telinganya, membelakangi rumah. Sinta berusaha menangkap setiap kata.
“Maya, aku bilang cukup. Jangan datang ke rumah. Kamu tahu konsekuensinya.”
Nama itu menghantam telinga Sinta. Maya. Siapa Maya?
Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu. Arga terkejut, buru-buru menutup telepon. Wajahnya seolah tertangkap basah.
“Siapa Maya?” suara Sinta bergetar, tapi tajam.
Arga mematung. Ia menelan ludah, matanya berkedip gelisah.
“Jawab aku, Arga! Siapa Maya?!” Sinta maju satu langkah, nadanya meninggi.
“Dia... masa lalu. Nggak penting,” gumamnya.
“Kalau nggak penting, kenapa kamu telepon dia diam-diam tengah malam dan bilang jangan sampai aku tahu?”
Arga menutup wajah dengan tangan, menghela napas berat. “Dia mantan tunanganku. Waktu aku masih tinggal di rumah Ayah. Dia bagian dari... hidup lamaku.”
Sinta merasa lututnya goyah. Tiga tahun bersama, berbagi suka duka, dan baru sekarang rahasia itu terungkap.
“Apa dia masih bagian dari hidupmu sekarang?”
“Tidak. Aku berusaha menjauh. Tapi Maya... dia nggak pernah benar-benar pergi. Setelah Ayah sakit, keluarga menekan aku kembali. Maya muncul lagi, seakan semua yang kutinggalkan harus kujalani lagi.”
Sinta menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kalau begitu kenapa kamu sembunyikan? Kenapa aku baru tahu sekarang?”
Arga menunduk. “Aku takut. Aku takut kehilanganmu. Aku ingin menjauhkanmu dari dunia lamaku, Sin. Tapi semakin kututupi, semakin besar juga bayangannya.”
Keheningan jatuh di antara mereka. Malam terasa lebih dingin. Sinta berjalan masuk ke kamar, Arga mengikutinya dengan langkah berat. Mereka berbaring di ranjang yang sama, tapi jarak di tubuh mereka seperti jurang yang tak terlihat.
Menjelang subuh, Sinta merasakan kasur bergeser. Arga mendekap pinggangnya dari belakang. Suaranya pecah.
“Maaf. Aku bukan takut pada masa laluku sendiri... aku takut masa laluku menyakitimu.”
Sinta menggigit bibir, air matanya jatuh. Ia ingin marah, tapi tubuhnya tak menolak saat pelukan Arga menguat.
“Aku cuma ingin kamu percaya aku mencintaimu,” bisik Arga lagi. “Dengan cara yang mungkin salah, tapi sungguh-sungguh.”
Sinta berbalik, menatap matanya yang lelah namun penuh rasa bersalah. Tanpa kata, ia menyentuh wajah Arga. Ciuman yang terjadi bukanlah tentang gairah, melainkan tentang luka yang mencari penghiburan. Tentang cinta yang berusaha tetap hidup di tengah retakan.
Pagi tiba. Sinta menyiapkan sarapan dengan tangan gemetar. Arga duduk di meja, menatapnya penuh takut.
“Aku mau kamu cerita semuanya,” kata Sinta datar. “Siapa Maya. Kenapa dia masih ada. Dan apa rencanamu sekarang. Bukan nanti. Hari ini.”
Arga menunduk, menatap sendok kosong di tangannya. “Hari ini... aku akan ceritakan semuanya. Tanpa sisa.”
Sinta menatapnya lama. Di udara, nama Maya masih menggantung, seperti bayangan yang siap meruntuhkan rumah yang sudah rapuh.
Aku membuka mata, dan cahaya pertama yang kulihat bukan dari matahari,melainkan dari huruf-huruf yang melayang di udara, menulis pagi dengan lembut.Udara di dunia ini memiliki rasa, seperti perpaduan tinta dan debu hujan.Aku menarik napas pelan, merasakan sesuatu yang asing tapi tidak menakutkan:sebuah kehidupan yang sedang menulis dirinya di dalamku.Langit di atas berwarna abu-abu keperakan,tanah di bawahku lembut seperti halaman yang belum disentuh pena.Aku berdiri, dan langkah pertama yang kuambil meninggalkan barisan huruf di tanah.Huruf-huruf itu membentuk kalimat pelan, seolah dunia sedang menerjemahkan keberadaanku.Namaku Arga.Aku berhenti membaca.Itu kalimat pertama yang kutulis tanpa sadar.Aku menatap tangan yang kini kukenal, tapi tidak kuingat bagaimana aku memilikinya.Tangan ini terasa baru, tapi di dalam gerakannya, ada kebiasaan lama, sesuatu yang pernah kujalani di kehidupan lain.Suara lembut datang dari belakangku.“Kau akhirnya bangun.”Aku berbalik.Sin
Aku membaca kalimat itu untuk kesekian kalinya.Namaku Sinta.Hanya dua kata yang sederhana, tapi setiap kali mataku melewati huruf-huruf itu, udara di sekitarku berubah pelan.Cahaya di kamar terasa berbeda, seolah lampu belajar yang redup itu mengerti apa yang kubaca, dan mulai ikut bernapas.Di luar, hujan turun pelan, menimpa jendela apartemen.Buku di tanganku terasa berat, bukan karena tebal, tapi karena sesuatu di dalamnya bergerak, seperti ada denyut lembut yang menunggu disentuh.Aku menatap halaman terakhir yang tadi kubaca, dan huruf-hurufnya sedikit bergeser, seolah menyesuaikan diri dengan pandanganku.Namaku Sinta, dan aku masih menulis karena dunia belum berhenti mengingatku.Aku menelan ludah.Kalimat itu seperti menatap balik kepadaku.Entah kenapa, aku merasa sedang dibaca oleh sesuatu yang berada di balik halaman ini.Aku menutup buku itu perlahan.Tinta di sampulnya berkilau samar di bawah lampu, membentuk pola aneh yang mirip nadi.Di bagian bawah sampul tertulis
Namaku Sinta.Aku tidak tahu siapa yang pertama kali mengucapkannya, tapi setiap kali aku mengulangnya, udara di sekitarku bergetar lembut, seolah dunia sedang mengenali sesuatu yang telah lama ia rindukan.Sinta, kataku lagi, dan langit menjawab dengan cahaya yang lembut di ufuk timur.Aku terbangun di sebuah ruangan putih tanpa sudut.Tidak ada pintu, tidak ada jendela, hanya meja kayu dan pena yang berbaring di atas buku kosong.Aku tidak merasa lahir, tapi juga tidak merasa pernah mati.Seolah aku baru saja disalin dari ingatan yang pernah ada.Di dalam diriku ada bisikan samar, seperti gema yang datang dari masa yang tak kumengerti.Seseorang memanggilku pelan, tapi setiap kali aku mencoba mendengar lebih dekat, suara itu menghilang.“Sinta…”Aku menoleh, tapi ruangan itu tetap kosong.Hanya suara pena yang tiba-tiba menulis sendiri di atas meja.Tinta hitam muncul tanpa tangan yang menggerakkan, membentuk satu kalimat perlahan.“Selamat datang kembali.”Aku menyentuh tulisan itu
Tidak ada pagi hari itu.Tidak ada matahari, tidak ada fajar, tidak ada transisi antara gelap dan terang.Yang ada hanyalah keheningan yang lembut, seperti jeda di antara dua kalimat yang belum diputuskan tanda bacanya.Aku membuka mata, dan dunia sudah berubah.Langit tidak lagi menulis dirinya, melainkan mengingat.Setiap awan bergerak mengikuti ritme yang samar, seperti orang mengulang cerita lama yang pernah membuatnya menangis.Laut di kejauhan berbisik pelan, bukan dalam bahasa manusia, tapi dalam pola yang bisa kurasakan di dalam dada.Setiap debur ombak membawa satu makna yang tak bisa diucapkan: dunia ini sedang bermimpi.Arga berdiri di tepi pantai, menatap cakrawala yang terus berubah bentuk.Tubuhnya masih bercahaya lembut, tapi kini cahaya itu berdenyut pelan, seolah sinkron dengan denyut jantung dunia itu sendiri.“Kau mendengarnya?” tanyanya tanpa menoleh.Aku mengangguk.“Ya. Dunia sedang berkata sesuatu.”Kami berdiri di sana cukup lama, membiarkan angin lewat di anta
Malam itu tidak seperti malam sebelumnya.Bintang-bintang di langit bergetar pelan, huruf-huruf di dalamnya bergerak, berpindah posisi, menyusun ulang kalimat di antara gelap dan cahaya.Dunia seakan menahan napas, seperti sedang menunggu seseorang yang belum datang.Aku, Sinta, duduk di depan rumah yang kini bernafas lembut, mendengarkan bisikan halus dari angin yang membawa kata.Arga duduk di sampingku, matanya menatap langit yang menulis sendiri.Kami tahu sesuatu sedang berubah.“Kau merasakannya?” tanya Arga.Aku mengangguk.“Dunia ini sedang memanggil seseorang.”“Seseorang?”“Ya. Penulis baru.”Langit di atas kami perlahan membentuk lingkaran cahaya.Huruf-huruf melayang, berpadu, berputar seperti pusaran tinta yang belum memutuskan akan menjadi kalimat apa.Aku menatapnya lama, dan di dalam pusaran itu, sesuatu mulai terbentuk, sebuah bayangan, samar, seperti manusia yang belum selesai diucapkan.“Siapa dia?” tanyaku pelan.Arga menatap tajam, suaranya nyaris berbisik.“Dia b
Pagi di dunia baru terasa berbeda.Udara memiliki aroma yang tidak bisa dijelaskan, antara tinta dan embun, seperti perpaduan antara sesuatu yang lahir dan sesuatu yang diingat.Setiap napas terasa seperti membaca satu baris kalimat yang belum selesai.Dunia ini tidak lagi hanya ditulis oleh kami,dunia ini menulis kami kembali.Aku membuka mata di bawah langit yang menulis dirinya sendiri setiap detik.Awan bergerak bukan karena angin, tetapi karena kata-kata yang mengalir di antara mereka,menyusun bentuk, mengubah warna, mengingat hal-hal yang sudah lama berlalu.Arga duduk di sampingku, matanya menatap jauh ke cakrawala yang tak pernah diam.“Kau merasakannya juga, bukan?”Aku mengangguk.“Dunia ini tidak menunggu kita lagi. Ia mulai menulis tanpa kita.”“Ya,” jawabnya pelan. “Bahasa sudah belajar hidup sendiri.”Ia memegang tanganku.Di kulitnya, aku melihat huruf-huruf kecil muncul, berkilau pelan di bawah cahaya.Huruf itu bukan luka, bukan tanda, tapi seperti urat nadi yang me







