Sinta percaya ia menikah dengan lelaki sederhana bernama Arga—teknisi yang jujur, setia, dan penuh ketulusan. Tiga tahun hidup di rumah kontrakan membuatnya yakin cinta sejati tak butuh kemewahan. Namun perlahan, retakan muncul. Telepon rahasia, paket misterius berisi jam tangan berinisial A.M., hingga berkas laptop yang mengungkap identitas asli suaminya: Aditya Mahendra, pewaris keluarga bisnis raksasa. Kebohongan demi kebohongan memaksa Sinta mempertanyakan siapa sebenarnya pria di sisinya. Apalagi ketika nama Maya, mantan tunangan Arga, kembali muncul membawa ancaman. Arga terhimpit antara masa lalu dan cintanya pada Sinta, sementara Sinta terjebak antara bertahan atau pergi. Saat bayangan Mahendra Group dan Maya kian mendekat, satu pertanyaan menggantung: apakah cinta mampu bertahan di atas fondasi kebohongan?
Lihat lebih banyakAku terbangun bukan karena mimpi buruk, melainkan suara berbisik dari dapur. Rumah kontrakan kami kecil, jadi setiap bunyi mudah merambat. Itu suara Arga.
“Iya, Pak. Saya ngerti. Tapi jangan bawa-bawa dia dulu. Saya belum siap.”
Aku tercekat. Dia? Siapa yang dimaksud? Dan siapa orang yang ia panggil “Pak”? Saat langkah kakinya kembali ke kamar, aku buru-buru memejamkan mata. Kasur tipis bergetar ketika ia rebah. Napasnya panjang, seperti seseorang yang baru saja menelan sesuatu yang pahit. Aku ingin bertanya, tetapi lidahku kelu. Malam berlalu dalam hening.
Pagi, aku menumis bawang merah di dapur mungil yang menyatu dengan ruang tamu. Bau harum bercampur minyak goreng mengisi ruangan. Dinding triplek bergetar tiap kali truk besar lewat di jalan utama. Begitulah rumah kami, sempit, bising, tapi hangat. Arga keluar dengan rambut basah. “Sayang, nasinya udah mateng?” tanyanya sambil tersenyum tipis, seolah malam tadi tak pernah ada. Aku pun pura-pura tak tahu.
Malamnya kami makan di depan televisi kecil yang suaranya lebih sering berdesis daripada jernih. Aku bercerita tentang murid les yang menang lomba puisi. Arga mendengarkan, mengangguk, tersenyum tipis. Ia memang pendengar yang baik, tapi kadang aku curiga ia terlalu pandai menyimpan isi kepalanya.
Belakangan, sesuatu makin terasa ganjil. Ia sering pulang larut malam, beralasan lembur atau panggilan servis. Matanya bukan sekadar letih, melainkan seperti menanggung rahasia. Kadang ia duduk di teras, menatap hujan dalam diam. Aku menepis rasa curiga, tapi benih itu terus tumbuh.
Dua minggu kemudian, sebuah paket datang. Kecil, rapi, tanpa nama pengirim. Arga menerimanya dengan gugup, lalu langsung membawanya ke kamar. Bukan kebiasaannya. Biasanya paket kami buka bersama di ruang tengah, sekadar bercanda soal barang kebutuhan rumah tangga. Kali ini tidak.
Saat ia mandi, aku tak tahan lagi. Kubuka laci tempat ia menyimpannya. Di dalamnya, sebuah jam tangan perak berkilau. Bukan jam murahan. Berat, dinginnya menusuk telapak tanganku. Di punggung jam itu terukir inisial: A.M.
Aku buru-buru mengembalikannya ke dalam laci, menutup kotaknya rapat-rapat seakan ingin menghapus apa yang baru kulihat. Tapi malam itu aku tidak bisa tidur. Gambar jam perak dengan inisial A.M. terus menari di kepalaku.
Untuk pertama kalinya sejak menikah, aku menangis dalam diam. Bukan karena jam itu mahal, melainkan karena benda kecil itu menyimbolkan sesuatu yang asing di antara kami. Aku teringat kata-katanya saat menolak cincin emas di hari pernikahan: “Bukan cincinnya yang penting, tapi niat dan kesetiaan.” Lalu kenapa kini ia menyembunyikan kemewahan yang tak pernah ia ceritakan padaku?
Air mataku turun tanpa suara, membawa rasa kecewa, takut, dan dikhianati sekaligus. Seolah seluruh fondasi rumah sederhana yang kami bangun perlahan retak di bawah telapak kakiku.
Aku teringat pertemuan pertama kami. Arga datang memperbaiki kipas anginku yang rusak. Baju lusuh, tangan berminyak, tapi senyumnya menenangkan. Ketulusan itu membuatku yakin ia tak akan membohongiku. Kami menikah tanpa pesta, tanpa resepsi, hanya dengan keyakinan bahwa kebersamaan bisa menggantikan segalanya.
Tapi kini, keyakinan itu terguncang. Rumah kontrakan kami masih berdiri, tetapi aku mulai melihat retaknya.
Keesokan paginya aku pura-pura masih tidur. Dari balik bantal, mataku mengintip. Arga bangun terburu-buru, mandi cepat, lalu berpakaian rapi. Tapi bukan kemeja lusuh pekerja servis. Ia mengenakan kemeja putih dan jas abu-abu. Aku hampir tak mengenalinya.
Ia membuka laci, mengenakan jam itu. Lama ia menatap dirinya di cermin. Bukan sekadar merapikan kerah. Tatapannya dalam, seperti mencari sosok lain di balik refleksi kaca.
“Maaf,” bisiknya lirih.
Satu kata. Ringan di bibir, berat di hatiku. Maaf untuk apa? Untuk siapa?
“Halo, Sinta. Aku Maya. Kita perlu bicara. Tanpa Arga.”Suara itu dingin, tenang, namun penuh kuasa. Begitu telepon terputus, Sinta masih memegang ponsel dengan tangan gemetar. Jantungnya berpacu, dadanya sesak. Nama itu Maya selama ini hanya muncul sebagai bisikan di tengah malam, bayangan di balik rahasia Arga. Kini, suara nyata itu menembus telinganya, menghantam rasa penasaran sekaligus ketakutannya.Sinta terduduk di tepi ranjang kamar tamu rumah Rani. Ia menatap layar ponselnya yang gelap, seolah berharap suara itu kembali, memberi penjelasan. Tapi heninglah yang menyahut. Satu hal pasti: pertemuan itu tidak bisa dihindari.Di pagi itu, Rani menemukan Sinta di meja makan, wajahnya pucat, matanya sembab.“Kamu nggak tidur semalaman, ya?” tanya Rani sambil menuangkan teh hangat.Sinta hanya menggeleng. “Maya menelponku.”Rani membeku, cangkir hampir tumpah dari tangannya. “Maya? Maksudmu… perempuan itu?”“Dia bilang kami harus bicara. Tanpa Arga.”Rani menaruh cangkir, menatap ser
Hujan tipis masih membasahi jalanan ketika Sinta tiba di rumah Rani. Lampu teras menyala, memantulkan bayangan samar tubuhnya yang gemetar karena lelah dan bimbang. Rani, sahabat sejak kuliah, membukakan pintu dengan wajah terkejut.“Sin? Astaga, kamu kenapa? Mukamu pucat sekali,” Rani menariknya masuk tanpa banyak tanya.Sinta hanya mengangguk pelan, menyerahkan tas ke lantai. Rumah Rani jauh lebih besar dan nyaman daripada kontrakan sempitnya, tapi kehangatan itu terasa asing. Ada ruang kosong dalam dirinya yang tak bisa diisi oleh sofa empuk atau aroma kopi segar dari dapur.“Aku... butuh tempat tinggal sebentar,” ucap Sinta lirih. “Boleh kan?”“Ya ampun, tentu saja boleh. Kamu itu sahabatku. Duduk sini, ceritain semuanya.”Sinta menelan ludah. Ada bagian dirinya ingin membuka semua, tapi lidahnya kelu. Bagaimana menjelaskan bahwa suami yang selama ini ia kenal ternyata bukan teknisi biasa, melainkan bagian dari keluarga bisnis besar yang namanya hanya ia dengar di berita?Ia hanya
Pagi datang tanpa tidur. Matahari menembus celah tirai rumah kontrakan, tapi cahaya itu terasa dingin. Sinta duduk di kursi ruang tamu, menatap kosong pada meja di mana surat berlogo Mahendra Group masih tergeletak, kusut oleh genggaman tangan Arga semalam.Arga keluar dari kamar dengan mata merah, rambut acak-acakan. Ia menatap istrinya lama, tapi Sinta tidak berpaling.“Sin, kita harus bicara,” ucapnya akhirnya.Sinta mendengus pelan. “Akhirnya kamu sadar kalau kita memang perlu bicara? Setelah semua yang kamu sembunyikan?”Arga menarik kursi, duduk berhadapan dengannya. “Aku memang salah. Aku takut kehilanganmu. Tapi sumpah, aku hanya ingin melindungimu.”“Melindungi?” Sinta menatapnya tajam. “Kamu pikir dengan menyembunyikan semua ini aku jadi terlindungi? Tidak, Ga. Aku jadi sasaran mereka sekarang. Nama aku tertulis di surat itu. Ancaman itu untuk kita berdua!”Arga tertunduk, wajahnya menegang. “Aku janji, aku akan menyelesaikan ini. Aku akan pastikan mereka nggak akan menyentu
Hujan masih turun, menetes deras di atap seng yang berisik. Sinta berdiri kaku di ruang tengah, jantungnya menghentak lebih keras daripada bunyi ketukan yang baru saja terdengar di pintu. Arga mendekat, langkahnya berat, tangannya terulur ke gagang.Tok. Tok. Tok.Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seakan seseorang di luar benar-benar tak sabar.“Jangan dibuka,” bisik Sinta dengan suara parau.Arga menoleh, menatap mata istrinya yang penuh rasa takut. Tapi di wajahnya sendiri, ada ketegangan bercampur tekad. “Kalau aku tidak buka, mereka akan terus datang. Lebih baik aku hadapi sekarang.”Tangannya memutar kunci. Pintu berderit, membuka celah ke malam basah di luar.Di ambang pintu, berdiri seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam basah oleh hujan. Wajahnya dingin, matanya tajam, seperti tidak terpengaruh cuaca yang menusuk. Ia tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih mirip ejekan.“Selamat malam, Tuan Mahendra,” katanya datar.Arga mengepal tangan di balik pintu. “Ja
Telepon itu masih bergetar di tangan Arga ketika suara Maya terputus. Ruang tamu seketika menjadi sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi itu menekan dada Sinta seperti beban berat. Ia berdiri tegak di depan suaminya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.“Apa maksudnya tadi?” suaranya pelan, tapi menusuk. “Kenapa dia sebut ayahmu? Dan kenapa terdengar seperti ancaman?”Arga mengusap wajahnya kasar, napasnya tersengal. “Maya tahu kelemahanku. Dia tahu aku nggak akan diam kalau Ayah dijadikan taruhan. Itu cara dia memaksaku kembali.”Sinta menatapnya tak percaya. “Jadi dia akan terus mengejarmu? Menekanmu sampai kamu menyerah?”Arga menunduk, suaranya berat. “Sepertinya begitu.”Belum sempat mereka bicara lebih jauh, ponsel itu kembali berdering. Nama yang sama terpampang jelas: Maya. Sinta menegang. Rasanya darahnya mendidih hanya dengan melihat huruf-huruf itu.“Angkat,” desaknya, tatapannya tajam. “Aku mau dengar sendiri.”Arga ragu. Jemarinya bergetar di atas layar. Tapi
Pagi itu meja makan dipenuhi keheningan. Sinar matahari menembus tirai tipis, tapi suasana di dalam rumah justru lebih dingin daripada sisa hujan malam. Sinta duduk di seberang Arga, piringnya terhidang tapi belum disentuh. Matanya menatap kosong, hanya sesekali berpindah ke wajah suaminya yang muram.“Aku tunggu ceritamu,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, tapi tegas, seolah tak memberi ruang lagi untuk pengalihan.Arga menunduk, jemarinya mengusap sendok yang tak bergerak. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka suara.“Maya... dia bukan sekadar mantan. Dia tunanganku. Pilihan keluarga. Semua diatur oleh Ayah, pernikahan, bisnis, masa depan. Aku hanya boneka di rumah itu.”Sinta mengernyit, dadanya terasa sesak.“Aku mengikuti semuanya karena aku takut. Tapi aku nggak pernah cinta sama dia,” lanjut Arga, suaranya bergetar. “Maya lebih mencintai nama Mahendra daripada aku. Segala tindakanku harus sesuai dengan citra keluarga. Sampai akhirnya aku merasa terpenjara.”Ia berhenti s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen