Telepon itu masih bergetar di tangan Arga ketika suara Maya terputus. Ruang tamu seketika menjadi sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi itu menekan dada Sinta seperti beban berat. Ia berdiri tegak di depan suaminya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.
“Apa maksudnya tadi?” suaranya pelan, tapi menusuk. “Kenapa dia sebut ayahmu? Dan kenapa terdengar seperti ancaman?”
Arga mengusap wajahnya kasar, napasnya tersengal. “Maya tahu kelemahanku. Dia tahu aku nggak akan diam kalau Ayah dijadikan taruhan. Itu cara dia memaksaku kembali.”
Sinta menatapnya tak percaya. “Jadi dia akan terus mengejarmu? Menekanmu sampai kamu menyerah?”
Arga menunduk, suaranya berat. “Sepertinya begitu.”
Belum sempat mereka bicara lebih jauh, ponsel itu kembali berdering. Nama yang sama terpampang jelas: Maya. Sinta menegang. Rasanya darahnya mendidih hanya dengan melihat huruf-huruf itu.
“Angkat,” desaknya, tatapannya tajam. “Aku mau dengar sendiri.”
Arga ragu. Jemarinya bergetar di atas layar. Tapi akhirnya ia menyerah pada tatapan istrinya. Sambungan tersambung.
“Arga.” Suara Maya terdengar dingin dan penuh kuasa, seakan ruangan kecil itu mendadak terhubung dengan dunia asing yang menakutkan. “Kamu harus ke Jakarta besok. Dewan sudah menunggu. Kursimu masih kosong. Jangan buat mereka menilai kamu pengecut.”
Arga mengepalkan tangan. “Aku sudah bilang, aku nggak mau kembali. Hidupku bukan di sana lagi.”
Tawa sinis terdengar dari seberang. “Kamu pikir bisa lari selamanya? Ayahmu butuh kamu. Mahendra Group membutuhkanmu. Dan aku... aku masih punya semua yang kamu tinggalkan. Nama Mahendra, bisnis, koneksi. Sedangkan kamu cuma punya... apa? Rumah kontrakan reyot dan seorang istri yang bahkan tidak tahu siapa kamu sebenarnya.”
Sinta menahan napas, hatinya perih mendengar kata-kata itu.
“Maya, cukup!” Arga bersuara keras. “Ini hidupku. Aku yang memilih.”
“Kalau begitu,” suara Maya mendadak tenang, “aku akan memilih untuk membuka semua rahasia. Bukan hanya soal perusahaan, tapi juga tentangmu. Dan jangan salahkan aku kalau seseorang terluka. Ayahmu... atau istrimu.”
Sinta terdiam. Ancaman itu menghantam keras. Tubuhnya dingin, jemarinya kaku. Ia menatap Arga, mencari jawaban di matanya, tapi yang ia lihat hanya rasa takut.
“Maya, jangan bawa-bawa mereka!” teriak Arga. “Ini antara aku dan kamu.”
Namun Maya hanya tertawa kecil sebelum menutup telepon. Sambungan terputus.
Sinta menatap suaminya, suaranya pecah. “Jadi sekarang aku juga dijadikan ancaman?”
Arga mencoba mendekat, tapi Sinta mundur selangkah. “Kenapa semua ini baru aku tahu setelah tiga tahun menikah, Ga? Kenapa kamu nggak percaya kalau aku bisa menghadapi ini bersamamu?”
“Aku cuma mau melindungimu,” Arga menunduk, wajahnya hancur. “Aku kira kalau aku diam, semua aman. Aku salah. Aku bodoh.”
Sinta menggeleng, air mata jatuh. “Yang membuatku sakit bukan karena kamu pewaris Mahendra, bukan karena Maya. Tapi karena kamu memilih untuk menyembunyikan. Kamu pikir aku butuh istana? Tidak. Aku cuma butuh kejujuran.”
Arga menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku takut... takut kalau kamu tahu siapa aku, kamu akan pergi.”
Sinta mendekat, suaranya gemetar tapi tegas. “Bukan siapa kamu yang membuatku ingin pergi. Tapi bagaimana kamu terus berbohong.”
Kata-kata itu menggantung lama. Arga terdiam, tubuhnya lemas. Ia jatuh terduduk di kursi, wajahnya pucat.
Malam turun dengan cepat, membawa dingin yang menusuk. Hujan kembali rintik, menetes dari atap seng rumah kontrakan mereka. Sinta duduk di ruang tengah, matanya tak lepas dari pintu yang terkunci rapat. Arga berjalan mondar-mandir, menutup jendela satu per satu, lalu memeriksa kunci di pintu dua kali, tiga kali.
“Menurutmu... Maya bisa benar-benar melakukan sesuatu?” tanya Sinta, suaranya hampir berbisik.
Arga berhenti, menatap istrinya dengan wajah berat. “Kalau aku mengenalnya... iya. Dia bisa melakukan apa saja demi apa yang dia mau.”
Keheningan kembali menelan ruangan. Hanya suara hujan yang menetes di luar, menambah rasa mencekam.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu.
Tok. Tok. Tok.
Sinta terlonjak. Arga menoleh cepat, tubuhnya tegang. Mereka saling berpandangan, jantung berdetak liar. Siapa yang datang di tengah malam basah begini?
Tok. Tok. Tok.
Ketukan terdengar lagi, kali ini lebih keras, lebih mendesak.
Arga mendekat perlahan, setiap langkahnya terasa berat. Tangannya terulur ke gagang pintu. Sinta menahan napas, berdiri di belakangnya dengan tubuh bergetar.
Ketukan berubah menjadi hentakan.
Dug! Dug! Dug!
Sinta memejamkan mata sejenak. Dalam hatinya, ia tahu: bayangan dari masa lalu Arga kini tidak lagi sekadar ancaman di telepon. Mereka benar-benar berdiri di depan pintu rumah kontrakan ini.
“Halo, Sinta. Aku Maya. Kita perlu bicara. Tanpa Arga.”Suara itu dingin, tenang, namun penuh kuasa. Begitu telepon terputus, Sinta masih memegang ponsel dengan tangan gemetar. Jantungnya berpacu, dadanya sesak. Nama itu Maya selama ini hanya muncul sebagai bisikan di tengah malam, bayangan di balik rahasia Arga. Kini, suara nyata itu menembus telinganya, menghantam rasa penasaran sekaligus ketakutannya.Sinta terduduk di tepi ranjang kamar tamu rumah Rani. Ia menatap layar ponselnya yang gelap, seolah berharap suara itu kembali, memberi penjelasan. Tapi heninglah yang menyahut. Satu hal pasti: pertemuan itu tidak bisa dihindari.Di pagi itu, Rani menemukan Sinta di meja makan, wajahnya pucat, matanya sembab.“Kamu nggak tidur semalaman, ya?” tanya Rani sambil menuangkan teh hangat.Sinta hanya menggeleng. “Maya menelponku.”Rani membeku, cangkir hampir tumpah dari tangannya. “Maya? Maksudmu… perempuan itu?”“Dia bilang kami harus bicara. Tanpa Arga.”Rani menaruh cangkir, menatap ser
Hujan tipis masih membasahi jalanan ketika Sinta tiba di rumah Rani. Lampu teras menyala, memantulkan bayangan samar tubuhnya yang gemetar karena lelah dan bimbang. Rani, sahabat sejak kuliah, membukakan pintu dengan wajah terkejut.“Sin? Astaga, kamu kenapa? Mukamu pucat sekali,” Rani menariknya masuk tanpa banyak tanya.Sinta hanya mengangguk pelan, menyerahkan tas ke lantai. Rumah Rani jauh lebih besar dan nyaman daripada kontrakan sempitnya, tapi kehangatan itu terasa asing. Ada ruang kosong dalam dirinya yang tak bisa diisi oleh sofa empuk atau aroma kopi segar dari dapur.“Aku... butuh tempat tinggal sebentar,” ucap Sinta lirih. “Boleh kan?”“Ya ampun, tentu saja boleh. Kamu itu sahabatku. Duduk sini, ceritain semuanya.”Sinta menelan ludah. Ada bagian dirinya ingin membuka semua, tapi lidahnya kelu. Bagaimana menjelaskan bahwa suami yang selama ini ia kenal ternyata bukan teknisi biasa, melainkan bagian dari keluarga bisnis besar yang namanya hanya ia dengar di berita?Ia hanya
Pagi datang tanpa tidur. Matahari menembus celah tirai rumah kontrakan, tapi cahaya itu terasa dingin. Sinta duduk di kursi ruang tamu, menatap kosong pada meja di mana surat berlogo Mahendra Group masih tergeletak, kusut oleh genggaman tangan Arga semalam.Arga keluar dari kamar dengan mata merah, rambut acak-acakan. Ia menatap istrinya lama, tapi Sinta tidak berpaling.“Sin, kita harus bicara,” ucapnya akhirnya.Sinta mendengus pelan. “Akhirnya kamu sadar kalau kita memang perlu bicara? Setelah semua yang kamu sembunyikan?”Arga menarik kursi, duduk berhadapan dengannya. “Aku memang salah. Aku takut kehilanganmu. Tapi sumpah, aku hanya ingin melindungimu.”“Melindungi?” Sinta menatapnya tajam. “Kamu pikir dengan menyembunyikan semua ini aku jadi terlindungi? Tidak, Ga. Aku jadi sasaran mereka sekarang. Nama aku tertulis di surat itu. Ancaman itu untuk kita berdua!”Arga tertunduk, wajahnya menegang. “Aku janji, aku akan menyelesaikan ini. Aku akan pastikan mereka nggak akan menyentu
Hujan masih turun, menetes deras di atap seng yang berisik. Sinta berdiri kaku di ruang tengah, jantungnya menghentak lebih keras daripada bunyi ketukan yang baru saja terdengar di pintu. Arga mendekat, langkahnya berat, tangannya terulur ke gagang.Tok. Tok. Tok.Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seakan seseorang di luar benar-benar tak sabar.“Jangan dibuka,” bisik Sinta dengan suara parau.Arga menoleh, menatap mata istrinya yang penuh rasa takut. Tapi di wajahnya sendiri, ada ketegangan bercampur tekad. “Kalau aku tidak buka, mereka akan terus datang. Lebih baik aku hadapi sekarang.”Tangannya memutar kunci. Pintu berderit, membuka celah ke malam basah di luar.Di ambang pintu, berdiri seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam basah oleh hujan. Wajahnya dingin, matanya tajam, seperti tidak terpengaruh cuaca yang menusuk. Ia tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih mirip ejekan.“Selamat malam, Tuan Mahendra,” katanya datar.Arga mengepal tangan di balik pintu. “Ja
Telepon itu masih bergetar di tangan Arga ketika suara Maya terputus. Ruang tamu seketika menjadi sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi itu menekan dada Sinta seperti beban berat. Ia berdiri tegak di depan suaminya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.“Apa maksudnya tadi?” suaranya pelan, tapi menusuk. “Kenapa dia sebut ayahmu? Dan kenapa terdengar seperti ancaman?”Arga mengusap wajahnya kasar, napasnya tersengal. “Maya tahu kelemahanku. Dia tahu aku nggak akan diam kalau Ayah dijadikan taruhan. Itu cara dia memaksaku kembali.”Sinta menatapnya tak percaya. “Jadi dia akan terus mengejarmu? Menekanmu sampai kamu menyerah?”Arga menunduk, suaranya berat. “Sepertinya begitu.”Belum sempat mereka bicara lebih jauh, ponsel itu kembali berdering. Nama yang sama terpampang jelas: Maya. Sinta menegang. Rasanya darahnya mendidih hanya dengan melihat huruf-huruf itu.“Angkat,” desaknya, tatapannya tajam. “Aku mau dengar sendiri.”Arga ragu. Jemarinya bergetar di atas layar. Tapi
Pagi itu meja makan dipenuhi keheningan. Sinar matahari menembus tirai tipis, tapi suasana di dalam rumah justru lebih dingin daripada sisa hujan malam. Sinta duduk di seberang Arga, piringnya terhidang tapi belum disentuh. Matanya menatap kosong, hanya sesekali berpindah ke wajah suaminya yang muram.“Aku tunggu ceritamu,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, tapi tegas, seolah tak memberi ruang lagi untuk pengalihan.Arga menunduk, jemarinya mengusap sendok yang tak bergerak. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka suara.“Maya... dia bukan sekadar mantan. Dia tunanganku. Pilihan keluarga. Semua diatur oleh Ayah, pernikahan, bisnis, masa depan. Aku hanya boneka di rumah itu.”Sinta mengernyit, dadanya terasa sesak.“Aku mengikuti semuanya karena aku takut. Tapi aku nggak pernah cinta sama dia,” lanjut Arga, suaranya bergetar. “Maya lebih mencintai nama Mahendra daripada aku. Segala tindakanku harus sesuai dengan citra keluarga. Sampai akhirnya aku merasa terpenjara.”Ia berhenti s