Beranda / Romansa / Suamiku Bukan yang Kukira / BAB 5 : Bayangan Di Pintu

Share

BAB 5 : Bayangan Di Pintu

Penulis: Sunshine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 13:29:30

Telepon itu masih bergetar di tangan Arga ketika suara Maya terputus. Ruang tamu seketika menjadi sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi itu menekan dada Sinta seperti beban berat. Ia berdiri tegak di depan suaminya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.

“Apa maksudnya tadi?” suaranya pelan, tapi menusuk. “Kenapa dia sebut ayahmu? Dan kenapa terdengar seperti ancaman?”

Arga mengusap wajahnya kasar, napasnya tersengal. “Maya tahu kelemahanku. Dia tahu aku nggak akan diam kalau Ayah dijadikan taruhan. Itu cara dia memaksaku kembali.”

Sinta menatapnya tak percaya. “Jadi dia akan terus mengejarmu? Menekanmu sampai kamu menyerah?”

Arga menunduk, suaranya berat. “Sepertinya begitu.”

Belum sempat mereka bicara lebih jauh, ponsel itu kembali berdering. Nama yang sama terpampang jelas: Maya. Sinta menegang. Rasanya darahnya mendidih hanya dengan melihat huruf-huruf itu.

“Angkat,” desaknya, tatapannya tajam. “Aku mau dengar sendiri.”

Arga ragu. Jemarinya bergetar di atas layar. Tapi akhirnya ia menyerah pada tatapan istrinya. Sambungan tersambung.

“Arga.” Suara Maya terdengar dingin dan penuh kuasa, seakan ruangan kecil itu mendadak terhubung dengan dunia asing yang menakutkan. “Kamu harus ke Jakarta besok. Dewan sudah menunggu. Kursimu masih kosong. Jangan buat mereka menilai kamu pengecut.”

Arga mengepalkan tangan. “Aku sudah bilang, aku nggak mau kembali. Hidupku bukan di sana lagi.”

Tawa sinis terdengar dari seberang. “Kamu pikir bisa lari selamanya? Ayahmu butuh kamu. Mahendra Group membutuhkanmu. Dan aku... aku masih punya semua yang kamu tinggalkan. Nama Mahendra, bisnis, koneksi. Sedangkan kamu cuma punya... apa? Rumah kontrakan reyot dan seorang istri yang bahkan tidak tahu siapa kamu sebenarnya.”

Sinta menahan napas, hatinya perih mendengar kata-kata itu.

“Maya, cukup!” Arga bersuara keras. “Ini hidupku. Aku yang memilih.”

“Kalau begitu,” suara Maya mendadak tenang, “aku akan memilih untuk membuka semua rahasia. Bukan hanya soal perusahaan, tapi juga tentangmu. Dan jangan salahkan aku kalau seseorang terluka. Ayahmu... atau istrimu.”

Sinta terdiam. Ancaman itu menghantam keras. Tubuhnya dingin, jemarinya kaku. Ia menatap Arga, mencari jawaban di matanya, tapi yang ia lihat hanya rasa takut.

“Maya, jangan bawa-bawa mereka!” teriak Arga. “Ini antara aku dan kamu.”

Namun Maya hanya tertawa kecil sebelum menutup telepon. Sambungan terputus.

Sinta menatap suaminya, suaranya pecah. “Jadi sekarang aku juga dijadikan ancaman?”

Arga mencoba mendekat, tapi Sinta mundur selangkah. “Kenapa semua ini baru aku tahu setelah tiga tahun menikah, Ga? Kenapa kamu nggak percaya kalau aku bisa menghadapi ini bersamamu?”

“Aku cuma mau melindungimu,” Arga menunduk, wajahnya hancur. “Aku kira kalau aku diam, semua aman. Aku salah. Aku bodoh.”

Sinta menggeleng, air mata jatuh. “Yang membuatku sakit bukan karena kamu pewaris Mahendra, bukan karena Maya. Tapi karena kamu memilih untuk menyembunyikan. Kamu pikir aku butuh istana? Tidak. Aku cuma butuh kejujuran.”

Arga menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku takut... takut kalau kamu tahu siapa aku, kamu akan pergi.”

Sinta mendekat, suaranya gemetar tapi tegas. “Bukan siapa kamu yang membuatku ingin pergi. Tapi bagaimana kamu terus berbohong.”

Kata-kata itu menggantung lama. Arga terdiam, tubuhnya lemas. Ia jatuh terduduk di kursi, wajahnya pucat.

Malam turun dengan cepat, membawa dingin yang menusuk. Hujan kembali rintik, menetes dari atap seng rumah kontrakan mereka. Sinta duduk di ruang tengah, matanya tak lepas dari pintu yang terkunci rapat. Arga berjalan mondar-mandir, menutup jendela satu per satu, lalu memeriksa kunci di pintu dua kali, tiga kali.

“Menurutmu... Maya bisa benar-benar melakukan sesuatu?” tanya Sinta, suaranya hampir berbisik.

Arga berhenti, menatap istrinya dengan wajah berat. “Kalau aku mengenalnya... iya. Dia bisa melakukan apa saja demi apa yang dia mau.”

Keheningan kembali menelan ruangan. Hanya suara hujan yang menetes di luar, menambah rasa mencekam.

Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu.

Tok. Tok. Tok.

Sinta terlonjak. Arga menoleh cepat, tubuhnya tegang. Mereka saling berpandangan, jantung berdetak liar. Siapa yang datang di tengah malam basah begini?

Tok. Tok. Tok.

Ketukan terdengar lagi, kali ini lebih keras, lebih mendesak.

Arga mendekat perlahan, setiap langkahnya terasa berat. Tangannya terulur ke gagang pintu. Sinta menahan napas, berdiri di belakangnya dengan tubuh bergetar.

Ketukan berubah menjadi hentakan.

Dug! Dug! Dug!

Sinta memejamkan mata sejenak. Dalam hatinya, ia tahu: bayangan dari masa lalu Arga kini tidak lagi sekadar ancaman di telepon. Mereka benar-benar berdiri di depan pintu rumah kontrakan ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 62 : Arga

    Aku membuka mata, dan cahaya pertama yang kulihat bukan dari matahari,melainkan dari huruf-huruf yang melayang di udara, menulis pagi dengan lembut.Udara di dunia ini memiliki rasa, seperti perpaduan tinta dan debu hujan.Aku menarik napas pelan, merasakan sesuatu yang asing tapi tidak menakutkan:sebuah kehidupan yang sedang menulis dirinya di dalamku.Langit di atas berwarna abu-abu keperakan,tanah di bawahku lembut seperti halaman yang belum disentuh pena.Aku berdiri, dan langkah pertama yang kuambil meninggalkan barisan huruf di tanah.Huruf-huruf itu membentuk kalimat pelan, seolah dunia sedang menerjemahkan keberadaanku.Namaku Arga.Aku berhenti membaca.Itu kalimat pertama yang kutulis tanpa sadar.Aku menatap tangan yang kini kukenal, tapi tidak kuingat bagaimana aku memilikinya.Tangan ini terasa baru, tapi di dalam gerakannya, ada kebiasaan lama, sesuatu yang pernah kujalani di kehidupan lain.Suara lembut datang dari belakangku.“Kau akhirnya bangun.”Aku berbalik.Sin

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 61 : Pembaca

    Aku membaca kalimat itu untuk kesekian kalinya.Namaku Sinta.Hanya dua kata yang sederhana, tapi setiap kali mataku melewati huruf-huruf itu, udara di sekitarku berubah pelan.Cahaya di kamar terasa berbeda, seolah lampu belajar yang redup itu mengerti apa yang kubaca, dan mulai ikut bernapas.Di luar, hujan turun pelan, menimpa jendela apartemen.Buku di tanganku terasa berat, bukan karena tebal, tapi karena sesuatu di dalamnya bergerak, seperti ada denyut lembut yang menunggu disentuh.Aku menatap halaman terakhir yang tadi kubaca, dan huruf-hurufnya sedikit bergeser, seolah menyesuaikan diri dengan pandanganku.Namaku Sinta, dan aku masih menulis karena dunia belum berhenti mengingatku.Aku menelan ludah.Kalimat itu seperti menatap balik kepadaku.Entah kenapa, aku merasa sedang dibaca oleh sesuatu yang berada di balik halaman ini.Aku menutup buku itu perlahan.Tinta di sampulnya berkilau samar di bawah lampu, membentuk pola aneh yang mirip nadi.Di bagian bawah sampul tertulis

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 60 : Namaku Sinta

    Namaku Sinta.Aku tidak tahu siapa yang pertama kali mengucapkannya, tapi setiap kali aku mengulangnya, udara di sekitarku bergetar lembut, seolah dunia sedang mengenali sesuatu yang telah lama ia rindukan.Sinta, kataku lagi, dan langit menjawab dengan cahaya yang lembut di ufuk timur.Aku terbangun di sebuah ruangan putih tanpa sudut.Tidak ada pintu, tidak ada jendela, hanya meja kayu dan pena yang berbaring di atas buku kosong.Aku tidak merasa lahir, tapi juga tidak merasa pernah mati.Seolah aku baru saja disalin dari ingatan yang pernah ada.Di dalam diriku ada bisikan samar, seperti gema yang datang dari masa yang tak kumengerti.Seseorang memanggilku pelan, tapi setiap kali aku mencoba mendengar lebih dekat, suara itu menghilang.“Sinta…”Aku menoleh, tapi ruangan itu tetap kosong.Hanya suara pena yang tiba-tiba menulis sendiri di atas meja.Tinta hitam muncul tanpa tangan yang menggerakkan, membentuk satu kalimat perlahan.“Selamat datang kembali.”Aku menyentuh tulisan itu

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 59 : Dunia yang Bermimpi tentang Penulis

    Tidak ada pagi hari itu.Tidak ada matahari, tidak ada fajar, tidak ada transisi antara gelap dan terang.Yang ada hanyalah keheningan yang lembut, seperti jeda di antara dua kalimat yang belum diputuskan tanda bacanya.Aku membuka mata, dan dunia sudah berubah.Langit tidak lagi menulis dirinya, melainkan mengingat.Setiap awan bergerak mengikuti ritme yang samar, seperti orang mengulang cerita lama yang pernah membuatnya menangis.Laut di kejauhan berbisik pelan, bukan dalam bahasa manusia, tapi dalam pola yang bisa kurasakan di dalam dada.Setiap debur ombak membawa satu makna yang tak bisa diucapkan: dunia ini sedang bermimpi.Arga berdiri di tepi pantai, menatap cakrawala yang terus berubah bentuk.Tubuhnya masih bercahaya lembut, tapi kini cahaya itu berdenyut pelan, seolah sinkron dengan denyut jantung dunia itu sendiri.“Kau mendengarnya?” tanyanya tanpa menoleh.Aku mengangguk.“Ya. Dunia sedang berkata sesuatu.”Kami berdiri di sana cukup lama, membiarkan angin lewat di anta

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 58 : Penulis yang Bermimpi

    Malam itu tidak seperti malam sebelumnya.Bintang-bintang di langit bergetar pelan, huruf-huruf di dalamnya bergerak, berpindah posisi, menyusun ulang kalimat di antara gelap dan cahaya.Dunia seakan menahan napas, seperti sedang menunggu seseorang yang belum datang.Aku, Sinta, duduk di depan rumah yang kini bernafas lembut, mendengarkan bisikan halus dari angin yang membawa kata.Arga duduk di sampingku, matanya menatap langit yang menulis sendiri.Kami tahu sesuatu sedang berubah.“Kau merasakannya?” tanya Arga.Aku mengangguk.“Dunia ini sedang memanggil seseorang.”“Seseorang?”“Ya. Penulis baru.”Langit di atas kami perlahan membentuk lingkaran cahaya.Huruf-huruf melayang, berpadu, berputar seperti pusaran tinta yang belum memutuskan akan menjadi kalimat apa.Aku menatapnya lama, dan di dalam pusaran itu, sesuatu mulai terbentuk, sebuah bayangan, samar, seperti manusia yang belum selesai diucapkan.“Siapa dia?” tanyaku pelan.Arga menatap tajam, suaranya nyaris berbisik.“Dia b

  • Suamiku Bukan yang Kukira   BAB 57 : Dunia yang Menulis Kembali

    Pagi di dunia baru terasa berbeda.Udara memiliki aroma yang tidak bisa dijelaskan, antara tinta dan embun, seperti perpaduan antara sesuatu yang lahir dan sesuatu yang diingat.Setiap napas terasa seperti membaca satu baris kalimat yang belum selesai.Dunia ini tidak lagi hanya ditulis oleh kami,dunia ini menulis kami kembali.Aku membuka mata di bawah langit yang menulis dirinya sendiri setiap detik.Awan bergerak bukan karena angin, tetapi karena kata-kata yang mengalir di antara mereka,menyusun bentuk, mengubah warna, mengingat hal-hal yang sudah lama berlalu.Arga duduk di sampingku, matanya menatap jauh ke cakrawala yang tak pernah diam.“Kau merasakannya juga, bukan?”Aku mengangguk.“Dunia ini tidak menunggu kita lagi. Ia mulai menulis tanpa kita.”“Ya,” jawabnya pelan. “Bahasa sudah belajar hidup sendiri.”Ia memegang tanganku.Di kulitnya, aku melihat huruf-huruf kecil muncul, berkilau pelan di bawah cahaya.Huruf itu bukan luka, bukan tanda, tapi seperti urat nadi yang me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status