"Aaarrkkh!" teriak Maya dengan cukup lantang. Kemudian dengan cepat dia menyambar handuk dan menutupi tubuhnya dengan terburu-buru.Sementara itu, Adrian memejamkan matanya lalu berbalik badan. Pria itu menutup kembali pintu kamar mandi dan berjalan cepat menuju ruang tengah. Sungguh, Adrian benar-benar terkejut dengan kejadian yang di luar nalar itu.Di saat yang bersamaan, Adrian juga bertanya-tanya siapa wanita yang baru saja dia lihat. Kenapa dia bisa berada di dalam rumahnya, bahkan memakai kamar mandi dengan bebas? Mencoba berpikir positif, Adrian menebak bila wanita tadi adalah gadis desa yang dibicarakan oleh Meliana.Pria itu pun berusaha mencari keberadaan istrinya di ruangan lain, tetapi usahanya tidak membuahkan hasil, Meliana memang tidak ada di rumah. Akhirnya, Adrian memutuskan untuk bertanya baik-baik kepada wanita misterius itu.Di sisi lain, Maya sedikit ragu untuk keluar dari kamar mandi, dia merasa begitu malu. Rasanya ia ingin bersembunyi saja, tetapi mau tak mau
Langkah Meliana terdengar memasuki rumah. Ia sudah selesai melakukan ritual perawatan dan juga makan malam di kafe. Sungguh, tak ada yang lebih menyenangkan daripada memanjakan diri bersama dengan teman-temannya.Namun, kebahagiaan Meliana langsung pudar saat ia mendengar suara laki-laki dan perempuan yang sedang mengobrol dengan akrab.“Jadi, anak muda di desamu banyak yang merantau ke Jakarta?” tanya Adrian pada Maya.“Iya, Mas. Rata-rata mereka ingin mencari pekerjaan yang lebih baik. Ada juga yang pergi untuk menghindari perjodohan. Di desa kami, masih ada tradisi menikah muda sebelum usia dua puluh tahun. Dulu, teman saya sampai pura-pura pingsan supaya tidak dijodohkan dengan juragan Surya yang berumur lima puluh tahun,” jelas Maya dengan mata berbinar.Adrian terkikik geli mendengar cerita Maya. Dari sorot matanya, nampak jelas bahwa perempuan itu sangat polos dan lugu. “Kalau kamu lebih suka di desa atau di kota?” tanya Adrian.“Uhm, saya belum tahu, Mas, karena baru beberapa
Catleya baru saja membuka matanya, bersamaan dengan itu Rajendra juga terbangun. Mereka dalam posisi berhadapan, kemudian saling melempar senyum. Tangan Rajendra terulur untuk menyelipkan anak rambut Catleya ke belakang telinga."Selamat pagi," sapa Rajendra dengan suara khas bangun tidur."Pagi juga, Hubby," balas Catleya tersenyum manis.“Aku masih ingat bagaimana malam pengantin kita di desa. Kamu terus mendesakku ke tepi ranjang, sampai tidak bisa bergerak. Akhirnya, badanku pegal semua,” kata Rajendra mengenang masa lalu mereka.“Hah, apa benar? Seingatku kamu sudah pergi ke peternakan sewaktu aku bangun,” balas Catleya.“Justru aku ke peternakan pagi-pagi, karena tidak bisa tidur setelah subuh. Tapi, ada untungnya juga kamu mendekati aku. Selama beberapa jam, aku bisa memandangi wajahmu yang cantik.”Mendengar penjelasan Rajendra, Catleya menenggelamkan wajahnya di bantal. Merasa malu dengan tingkah lakunya sendiri. Rajendra pun merasa gemas sendiri. Dia bergeser merapat pada Ca
“Halo, selamat siang Oma,” sapa Catleya dengan nada bicara yang sangat sopan.“Halo, Catleya. Bagaimana kabarmu dan Jendra? Apa kamu sedang bekerja di kantor?” tanya Nyonya Tiara dari seberang sana.“Kabar kami baik, Oma. Iya, saya ada di kantor sekarang,” jawab Catleya.“Baguslah. Aku cuma ingin bertanya apakah kalian berdua sudah memeriksakan diri ke dokter?” tanyanya lagi.Kini, Catleya pun tahu maksud dari Nyonya Tiara meneleponnya adalah untuk menanyakan soal pemeriksaan kesuburan.“Saya dan Jendra belum sempat ke dokter, karena kami baru kembali dari Surabaya. Tapi, kami usahakan dalam minggu ini ke dokter, Oma,” jawab Catleya. Jujur, ia selalu gugup setiap berbincang dengan Nyonya Tiara, walau hanya dari balik telepon.“Begini saja, besok kamu tidak usah masuk kerja. Aku akan menjemputmu di apartemen, lalu kita langsung ke rumah sakit. Aku memiliki teman baik yang anaknya seorang dokter kandungan terkenal di Jakarta,” putus Nyonya Tiara.Catleya menahan napas sebentar. Kalau su
Catleya samat-samar teringat akan sosok lelaki misterius tersebut, meski sosoknya tak terlalu jelas di bawah sorotan lampu temaram. Memang pada waktu itu listrik tiba-tiba padam, lalu menyala dengan cahaya yang remang-remang, sehingga Catleya tidak dapat mengenalinya. Apalagi, lelaki itu mengenakan topeng full face dengan kostum serba hitam. Namun bila diingat lebih dalam, postur tubuhnya begitu mirip dengan Rajendra, terutama dari segi tinggi badan.Melihat istrinya bengong membuat Rajendra penasaran. "Ada apa, Sayang?" tanyanya.Lamunan Catleya pun buyar, wanita itu menggeleng lalu tersenyum. "Tidak, tidak ada apa-apa, kok" jawabnya berbohong.Sebenarnya Catleya sedikit penasaran dan ingin menanyakan apakah lelaki itu benar adalah Rajendra. Hanya saja, dia takut tebakannya salah. Lagi pula, selama ini Rajendra tidak pernah bercerita apa pun mengenai pertemuan mereka, selain perjodohan yang diatur oleh Nyonya Nandini."Kamu yakin tidak apa-apa? Kelihatannya kamu sedang memikirkan ses
Catleya kembali meremas tangannya sendiri. Jujur, ia masih belum ingin berhenti menjadi sekretaris Rajendra karena merasa masih sanggup melakukan pekerjaannya. Apalagi, ia tidak mengalami gejala kehamilan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Rencananya, ia baru akan mengundurkan diri bila usia kandungannya sudah memasuki trimester ketiga.Namun, Nyonya Tiara sepertinya bersikukuh untuk memintanya berhenti, sehingga mau tak mau ia harus menurut.“Saya akan mengundurkan diri setelah Jendra mendapatkan sekretaris baru. Paling lama dua bulan lagi, Oma,” jawab Catleya meminta waktu.Nyonya Tiara terdiam sejenak, nampak sedang menimbang-nimbang permintaan Catleya.“Kalau bisa lebih cepat dari dua bulan, itu lebih baik. Minta saja ke bagian HRD agar memasang lowongan pekerjaan sekretaris CEO di website resmi perusahaan,” imbuh Nyonya Tiara."Baik, Oma," ucap Catleya dengan senang hati. Akhirnya, ia berhasil meminta kelonggaran waktu dari Nyonya Tiara.Sepanjang perjalanan, wanita tua itu t
Nyonya Nandini dan Adrian duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan gelisah. Wajah Nyonya Nandini penuh harapan, meskipun terasa agak tegang menunggu hasil pemeriksaan dokter. Dia terus memanjatkan doa agar Maya dinyatakan cocok untuk menjadi ibu pengganti. Saat ini, Maya adalah harapan satu-satunya harapan bagi perempuan paruh baya itu.“Bagaimana perasaanmu, Adrian?” tanya Nyonya Andini pada sang menantu. Sejak tadi, Adrian mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Lelaki itu sepertinya ikut tegang dengan apa yang sedang terjadi.“Aku agak khawatir, Ma,” jawab Adrian apa adanya.Meski dalam hati ia belum setuju sepenuhnya dengan proses inseminasi, tetapi sedikit demi sedikit ia telah tenggelam dalam jurang permainan istri dan ibu mertuanya. Ia tidak bisa lagi keluar dari lubang yang telah disediakan untuknya, sehingga ia terpaksa mengikuti keinginan Meliana.“Semuanya akan berjalan lancar, harus lancar. Kandungan Maya pasti sehat,” ucap Nyonya Nandini pada dirinya sendiri.Adrian men
Nyonya Nandini dan Adrian keluar dari ruangan dokter dengan senyum yang dipaksakan. Mereka berusaha keras untuk menutupi raut kebimbangan di wajah mereka. Mau tak mau, mereka harus berpura-pura di hadapan Meliana bahwa semua baik-baik saja.“Ada masalah apa, Ma? Kenapa Mama dan Adrian menemui dokter di ruangan lain?” tanya Meliana begitu melihat ibu dan suaminya telah kembali.“Tidak ada masalah, Mel. Dokter bilang kamu dan Adrian bisa melakukan inseminasi,” ucap Nyonya Nandini mencoba menyembunyikan ketakutannya dari sang putri. Jangan sampai Meliana mengetahui rencananya yang di luar nalar.“Bagus kalau begitu. Jadi, kapan inseminasi akan dilakukan?” tanya Meliana, wajahnya penuh harap.“Dua atau tiga hari lagi, Sayang,” jawab Nyonya Nandini menepuk-nepuk pelan bahu putrinya itu.Meliana mengangguk, “Baiklah, aku akan datang lagi ke rumah sakit sesuai jadwal.”Nyonya Nandini buru-buru menggeleng pelan, “Tidak perlu, Mel. Maya dan Adrian saja yang akan pergi. Begitu kata Dokter,” kat