Catleya berpikir dalam. Kedua pilihan dari Rajendra sangat sulit. Jika ia datang ke desa tempat pria itu tinggal, artinya secara tidak langsung Catleya telah menyetujui perjodohan sepihak yang dibuat oleh Nyonya Nandini. Sebaliknya, bila tak ke sana, maka Catleya akan kehilangan kesempatan untuk mencari tahu kebenaran dari kematian ibunya.
Hanya saja … entah bagaimana, Catleya yakin bila ucapan Rajendra tadi bukanlah omong kosong atau bualan semata. Tidak mungkin ‘kan pemuda itu berani berujar demikian, bila tidak memiliki sesuatu yang bisa ia andalkan?
“Aku belum bisa memberikan jawaban sekarang, Jendra,” jujur Catleya pada akhirnya.
Diambilnya secarik kertas dan pulpen dari rak buku di samping sofa, lalu memberikannya kepada Rajendra.“Tapi, tolong tuliskan alamat tempat tinggalmu di sini, aku akan menyimpannya.”
Rajendra mengangguk meski jawaban Catleya masih ambigu.Pria itu segera menuliskan alamat tempat tinggal beserta nomer ponselnya secara lengkap. Kemudian, dia melipat kertas di tangannya menyerupai sepucuk surat.
“Kalau nanti Mbak Leya kesulitan untuk mencari alamat saya, Mbak Leya bisa menelepon saya atau bertanya kepada penduduk desa. Mereka pasti mengenal Jendra si peternak ayam.”
Sontak, Catleya mengerutkan dahi mendengar ucapan Rajendra. Sebegitu terkenalnya ‘kah pria ini sebagai peternak ayam? Namun, ia tak berani mendengar jawaban Rajendra. Jadi, Catleya pun bergegas meninggalkan Rajendra.
“A-aku panggil Mama Nandini dulu,” pamitnya.
Buru-buru dia pergi ke ruang tengah untuk menemui ibu tirinya yang tengah berbincang dengan Bi Ijah.
“Ma, aku sudah selesai bicara dengan Jendra.”
“Lalu bagaimana hasilnya, Leya? Kalian sudah sepakat untuk menikah, kan?” tuntu Nyonya Nandini cepat.
Catleya sontak menggeleng. “Aku belum mengambil keputusan, Ma. Aku akan memikirkannya besok setelah Jendra pulang ke desa.”
Kelopak mata Nyonya Nandini melebar seketika. Dengan ekspresi kesal, perempuan paruh baya itu menoleh kepada Bi Ijah.
“Bi Ijah, bukannya rencana kita tidak seperti ini? Kita sepakat akan menikahkan Jendra dan Leya. Setelahnya, baru Jendra memboyong Leya ke desa.”
Kini giliran Catleya yang dibuat terkejut oleh ucapan Nyonya Nandini. Dia tidak menyangka bila ibu sambungnya itu berniat untuk memindahkan dirinya ke desa yang terpencil.
“Maaf, Nyonya, saya juga tidak tahu menahu tentang keputusan yang diambil Jendra. Saya akan menanyakannya kepada Jendra sekarang.”
Melihat Bi Ijah yang pergi tergopoh-gopoh, Catleya menjadi curiga. Dia berpikir bahwa mungkin Nyonya Nandini dan Bi Ijah telah membuat kesepakatan tertentu tanpa sepengetahuannya dan mungkin Rajendra? Namun, Catleya sudah terlalu lelah untuk berdebat. Dia lebih memilih untuk berlalu ke kamar dan merenungkan semuanya sendiri.
‘Sepertinya tidak ada satu pun orang di sekitarku yang bisa dipercaya,’ gumamnya, ‘lalu bagaimana dengan Rajendra?’
Hanya saja, insting Catleya mengalahkan akal sehatnya. Sambil menenteng tas kopernya, Catleya kini memasuki bus bersama dengan para penumpang lain, menuju Desa Purwabinangun. Catleya pun mencari-cari nomer kursi yang tertera pada tiket. Ternyata, dia duduk bersebelahan dengan seorang bapak tua yang membawa banyak barang.
Merasa kasihan, Catleya membantu bapak tua itu meletakkan salah satu tasnya.
“Terima kasih, Non.”
“Sama-sama, Pak.”
Setelah tersenyum singkat, Catleya lantas duduk di sebelah bapak tua itu. Tak lama kemudian, bus tersebut berangkat. Untuk mengusir rasa bosan, Catleya melemparkan pandangannya ke jendela.
Hingga detik ini, Catleya tidak mengerti kenapa dirinya rela menempuh perjalanan setengah hari hanya untuk menemui Rajendra.Namun, ibarat orang yang menyeberangi lautan, dirinya sudah berada di tengah pusaran ombak. Maju maupun mundur, dia tetap akan terkena imbasnya. Karena itu, Catleya memutuskan untuk terus melangkah sampai batas akhir. Dia akan melihat siapa sosok Rajendra yang sebenarnya, dan apakah pemuda itu terlibat dengan permainan rahasia yang dilakukan oleh Nyonya Nandini. Demi mencapai tujuannya ini, Catleya memutuskan berangkat seorang diri ke desa tanpa memberitahu Rajendra.
***
“Non, bangun, kita sudah sampai!”
Mendengar suara parau yang memanggilnya, Catleya berjengit kaget. Sontak perempuan berkulit putih itu terbangun dari tidurnya. Tak terasa Catleya terlelap di kursi sepanjang perjalanan. Alhasil, dia tidak sadar bila bus yang ditumpanginya sudah berhenti.
“Pak, kita sudah sampai di Desa Purwabinangun?” tanya Catleya masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Bapak tua itu mengerutkan kedua alisnya dalam-dalam, seolah terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Catleya.
“Jadi Non mau ke Desa Purwabinangun?”
“Iya, Pak. Ini pertama kalinya saya akan ke sana, jadi saya masih bingung,” ungkap Catleya.
“Kalau begitu Non ikut saya saja, kebetulan saya juga akan ke Purwabinangun. Setelah ini, kita harus naik angkot sekitar dua jam lagi,” kata Bapak tua itu.
Catleya mengangguk. Dia merasa sangat lega karena memiliki teman seperjalanan. Dengan demikian, dia tidak akan menjadi seperti pengembara yang tersesat di tengah hutan belantara.
“Kita belum berkenalan, nama saya Leya, Pak. Terima kasih karena Bapak mau menolong saya,” ujar Catleya mengulurkan tangan.
“Saya Pak Warno, Non. Mari kita segera mencari angkot supaya tidak kemalaman.”
Sembari berjalan beriringan dengan Pak Warno, Catleya menuju ke mobil berwarna hijau kusam yang ada di tepi jalan. Dari sebagian catnya yang terkelupas, terlihat jelas bahwa angkot tersebut tidak terawat. Namun mau tak mau, Catleya harus menaiki mobil tersebut.
Setelah Catleya dan Pak Warno membayar sejumlah uang untuk ongkos, sang supir bergegas menjalankan mobilnya. Di dalam angkot, Catleya merasa sangat kepanasan. Apalagi cara supir itu mengemudi telah membuat kepala Catleya pusing tujuh keliling. Untung saja, Pak Warno memberikan permen jahe, sehingga Catleya bisa mengatasi rasa mualnya.Sempat terpikir oleh Catleya untuk melompat turun dari angkot itu. Namun, hal itu mustahil untuk dilakukan karena saat ini dia sedang terjebak di dunia antah berantah. Sejauh mata memandang hanya ada pepohonan besar, rerumputan dan jalan aspal yang berkelok-kelok.
Meski begitu, Catleya melihat sejumlah truk yang berlalu-lalang. Ada yang mengangkut sayuran segar, ayam, telur, dan beberapa hasil pertanian. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Rajendra bahwa penduduk desanya sibuk melakukan aktivitas perdagangan.
“Nah, itu Non, Desa Purwabinangun,” tunjuk Pak Warno ke arah gapura besar di depannya.
Memandang gapura megah berwarna cokelat keemasan, Catleya sontak tercengang. Tak disangka Desa Purwabinangun bisa memiliki gerbang masuk sebagus ini. Tadinya, Catleya mengira bahwa desa itu akan sehoror yang ada di dalam film. Namun ternyata Desa Purwabinangun sangat maju, terutama dari segi bangunan dan kondisi pemukiman para penduduk.
“Ayo, Non, kita turun,” ajak Pak Warno mendahului Catleya.
“I-iya, Pak, mari saya bantu membawa tas.”
Catleya sedikit memperlambat langkahnya agar bisa menyesuaikan diri dengan Pak Warno. Begitu melewati gapura, Pak Warno langsung bertegur sapa dengan warga setempat. Mereka semua membalas sapaan Pak Warno dengan ramah. Namun, terang-terangan melihat Catleya penasaran. Dalam pemikiran mereka, Catleya adalah keturunan bule atau Asia Timur yang baru pertama kali menginjakkan kaki di desa.
“Warno, piye kabarmu?” tanya salah seorang perempuan tua menghampiri Bapak di sampik Catleya itu.
Kedua lansia itu bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya. Otomatis Catleya jadi berpikir, mengapa gaya bicara Rajendra sangat berbeda dengan penduduk desanya? Namun belum mendapat jawaban, Pak Warno tiba-tiba berhenti bicara dan beralih menatap Catleya.
“Non Leya, mau bertemu siapa di sini? Saya dan Mbok Lasti akan membantu mencarikan orangnya,” tanyanya.
“Saya ingin bertemu dengan Rajendra, peternak ayam.”
Anehnya, ketika Catleya mengucapkan hal itu, kedua lansia di hadapannya tertegun untuk sesaat. Perempuan tua yang bernama Mbok Lasti bahkan langsung maju ke depan untuk bertanya ulang kepada Catleya, “Non yakin mau ketemu Pak Jendra?”
“Iya, Mbok, memangnya kenapa?” tanya Catleya heran karena wanita yang jauh lebih tua itu malah menyebutkan nama Rajendra dengan penuh hormat.
“Setahu Mbok, Pak Jendra jarang sekali mau ditemui orang lain. Jika ada yang nekat bertamu ke rumahnya tanpa izin, dia akan marah besar,” pungkas Mbok Lasti, “apa Non tidak takut?”
Mendengar itu, Catleya semakin bingung. Kenapa perjalanannya menemui Rajendra jadi horor begini? Terlebih, respon warga terhadap Rajendra terkesan sangat berlebihan, seakan pemuda itu adalah orang sakti atau penguasa negri yang sangat disegani.“Saya berkunjung ke sini karena Jendra sendiri yang mengundang saya, Mbok,” jawabnya berusaha tenang.Seketika Mbok Lasti dan Pak Warno saling melempar pandang dengan tatapan bingung. Begitu pula dengan beberapa orang warga di sekitar mereka yang berbisik-bisik. Catleya pun merasa risih karena diamati oleh Mbok Lasti dari pucuk kepala hingga ke ujung kaki. Setelah memindai Catleya dengan seksama, Mbok Lasti melihat ke sekeliling dan memanggil seorang pemuda yang sedang mengangkut peti telur.“Danar, ke sini sebentar!”“Ada apa, Mbok?” tanya pemuda berambut gondrong itu.“Tolong antar Mbak Leya ke rumahnya Pak Jendra sekarang.”Kini giliran Danar yang menatap heran kepada Catleya, seolah-olah dia baru saja bertemu dengan makhluk dari luar angka
Sayangnya, lamunan Catleya terhenti kala bulu kuduknya merinding. Ia kembali menyadari bahwa dirinya sendirian di rumah serba hijau ini. Bagaimana jika tengah malam nanti ada tangan tak terlihat yang mencekik lehernya? Ah, daripada pikirannya semakin melantur, Catleya memutuskan untuk mandi saja. Toh, ia merasa gerah sehabis menempuh perjalanan jauh. Awalnya, Catleya merasa was-was untuk menggunakan toilet yang ada di kamarnya, tetapi keraguannya lenyap saat melihat kamar mandi itu cukup nyaman. Segera saja Catleya melepas bajunya, lalu menyiram seluruh tubuhnya dengan air dingin. Hanya saja, pikirannya berkecamuk dengan banyak hal sekaligus, terutama tentang sosok Rajendra sesungguhnya….Apabila dilihat dari fasilitas rumah ini, sepertinya Rajendra memang bukan pemuda desa biasa. Apalagi penampilan, tutur kata, serta fitur wajahnya yang tampan lebih mirip dengan seorang lelaki muda dari kota metropolitan. Bisa jadi, Rajendra dan Bi Ijah sebenarnya tidak memiliki hubungan kekerabata
“Leya kenapa malah melamun? Rajendra sudah menunggumu dari tadi?” tegur Nyonya Nandini. Catleya sontak tersadar dari lamunannya.Ingin rasanya dia melarikan diri, tetapi sudah terlambat baginya untuk mundur dari pernikahan ini. Alhasil, Catleya hanya bisa pasrah saat Nyonya Nandini membimbingnya untuk duduk di samping Rajendra. Catleya langsung menundukkan kepala, tak berani menatap Rajendra maupun orang-orang yang ada di hadapannya. Namun, ia merasakan pandangan Rajendra yang sekilas melirik ke arahnya. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki muda yang akan menjadi suaminya itu. Yang jelas, Catleya khawatir bila Rajendra menganggap riasannya terlalu mencolok. “Saya terima nikah dan kawinnya Catleya Wiryawan binti Andi Wiryawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Rajendra dalam satu tarikan napas. “Bagaimana para saksi? Apakah sah?” “SAH!” Rajendra menarik napas lega, karena bisa mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Semua yang hadir terlarut dalam lantunan doa yang
“Terima kasih,” lirih Catleya. Berkat bantuan dari Rajendra, sanggulnya kini sudah terlepas dengan sempurna. Tanpa diminta, Rajendra juga membukakan kancing di bagian belakang kebaya Catleya. Setelahnya, pria itu memilih duduk di tepian ranjang sembari mengecek ponselnya. Suasana di dalam kamar begitu sangat canggung. Baik Rajendra maupun Catleya tidak tahu harus membuat obrolan seperti apa. Terlebih, jantung Catleya sama sekali tidak bisa berdetak dengan normal. Dari balik kaca rias, ia merasa setiap gerakannya seakan diperhatikan oleh Rajendra. “Emmm, Jendra, aku mandi dulu,” ucap Catleya memecah keheningan. Karena tak tahan dengan kecanggungan yang ada, Catleya memutuskan untuk membersihkan diri dan berganti baju di dalam kamar mandi. “Iya, saya juga pamit ke peternakan ayam dulu, Mbak,” pamit Rajendra. "Kenapa?" tanya Catleya bingung. Kenapa juga harus ke peternakan di kala matahari sudah tenggelam. "Memang sudah seharusnya begitu, peternakan harus tetap dipantau meskipun ma
“Tenang saja, Mbak, itu pasti salah satu pegawai saya. Mbak tunggu di sini, saya akan periksa ke depan,” ucap Rajendra lantas melangkah pergi. Dengan wajah tegang, Catleya pun menunggu Rajendra kembali. Perempuan itu baru bisa bernapas lega tatkala melihat Rajendra datang bersama seorang pria berusia empat puluh tahunan. Dari gestur tubuhnya, tampak bahwa lelaki tersebut sudah mengenal Rajendra dengan baik. “Ini Pak Yadi, pengawas kandang. Dia kemari untuk tugas jaga malam,” kata Rajendra memperkenalkan pria itu kepada Catleya. “Selamat malam, Bu, maaf kalau kedatangan saya buat Ibu kaget. Saya baru saja selesai membersihkan balai desa bersama warga,” kata Pak Yadi sembari menunduk hormat. “I-iya, Pak, tidak apa-apa,” jawab Catleya merasa malu sendiri. Memang dirinya yang terlalu penakut hingga berpikiran macam-macam. “Pak, tolong jaga kandang. Besok sebelum jam tujuh pagi, saya akan datang,” titah Rajendra. Setelah memberikan arahan kepada pegawainya, Rajendra berpaling untuk
Mendengar pengakuan spontan dari Rajendra membuat Catleya tidak dapat menahan tawa. Catleya tidak menyangka masih ada pria sepolos Rajendra di muka bumi. Mana mungkin laki-laki seusia Rajendra tidak mengetahui mengenai hal-hal yang berbau dewasa, kecuali dia benar-benar seorang yang alim. Walaupun tidak pernah melakukan, paling tidak seseorang memiliki pengetahuan lewat buku, artikel maupun film. Di samping itu, Catleya juga tidak percaya bila Rajendra belum pernah berpacaran. Dengan didukung paras tampan dan kantong yang tebal, rasanya mustahil bila tak ada gadis yang berusaha untuk menarik perhatian Rajendra. Merasa ditertawakan, Rajendra menatap heran kepada Catleya. "Apa ucapan saya tadi lucu, Mbak?" Catleya tidak langsung menjawab, karena wanita itu masih berupaya mengendalikan tawanya. Beginilah resiko bila menikah dengan lelaki yang masih bocah biarpun secara fisik sudah terlihat dewasa. Sebagai pihak yang lebih tua, ia harus bisa memahami sisi kekanak-kanakan dalam diri
“Jendra….” lirih Catleya. Sengaja Catleya memanggil Rajendra dengan suara lirih untuk mengetes apakah suaminya itu sudah tidur atau belum. Tak ada sahutan yang terdengar dari lelaki itu, pertanda bahwa ia telah terbang ke alam mimpi. Ternyata Rajendra termasuk tipe orang yang mudah sekali terlelap hanya dalam hitungan menit. Berbeda dengan dirinya yang sulit memejamkan mata bila di sebelahnya ada orang lain. “Sebenarnya dia tidur atau hanya pura-pura?” gumam Catleya bermonolog.Merasa penasaran, Catleya beringsut mendekat kepada Rajendra. Dengan bertumpu pada sikunya, perempuan itu mengintip sang suami. Kedua kelopak mata pemuda itu terkatup rapat tanpa adanya pergerakan sama sekali. Catleya mencoba untuk mengamati Rajendra lebih dekat. Namun, ia malah menjadi gagal fokus saat memperhatikan bentuk wajah, alis, hidung, dan bibir suaminya. Sungguh, seorang lelaki tampan dalam kondisi apa pun tetaplah tampan, bahkan saat ia memejamkan mata. Barangkali jika Catleya bisa melukis, maka
Mendengar itu, Meliana justru memasang ekspresi prihatin sembari melipat tangannya di depan dada. "Kami datang jauh-jauh untuk memberimu ucapan selamat, Kak. Setahuku pengantin baru biasanya penuh kebahagiaan, tetapi kenapa wajahmu masam begitu? Apa kamu mengalami stress berat setelah menjadi wanita desa?” sarkasnya. Sekilas Catleya melihat Adrian menyenggol lengan Meliana agar berhenti bicara. Tindakan Adrian tidak membuat Catleya tersentuh sama sekali. Justru ia ingin menunjukkan kepada lelaki itu bahwa seorang Catleya Wiryawan bisa membela diri tanpa membutuhkan bantuan dari siapapun. “Aku tadi bangun pagi dengan wajah berseri-seri. Tetapi mood-ku langsung hancur saat ada dua lalat pengganggu yang beterbangan di rumahku. Selain bau busuk, lalat itu terus mendengung di telingaku. Aku berencana untuk menggeplaknya dengan raket listrik supaya lalat itu berhenti mengganggu kebahagiaanku,” tandas Catleya menekan setiap kalimatnya. Kini wajah Meliana memanas. Namun, perempuan itu