Share

Dianggap Sebagai Pembawa Sial

Pagi itu, Ana bangun dan segera bergerak untuk menemui sang ayah. Tampak jika Noah menunjukkan sikap yang tak jauh berbeda dengan Arzi. Tentu saja, ia tak menyangka jika putrinya menyembunyikan masalah sebesar ini darinya.

Gadis itu memang sangat andal dalam masalah mengambil hati sang ayah. Dengan segera, ia memeluk lelaki itu sambil sedikit tersenyum.

"Maaf, Papa. Tapi, sampai aku sedewasa sekarang, tak seharusnya kan semua masalah aku limpahkan padamu."

Ucapan itu tak segera dibalas oleh Noah. Ia malah memilih diam dan menjauh.

"Pa, kalau Mama masih ada, aku akan menjelaskan semuanya padanya. Memangnya, sampai sekarang, apa ada yang bisa menggantikan posisi pekerjaan di hidupmu?"

Ucapan itu seketika membuat Noah tertegun. Ia mengingat bagaimana sakitnya ia ketika ditinggal mati sang istri. Ah, tak seharusnya gadis ini mengulang kenangan itu lagi. Rasa sakitnya masih tak kunjung hilang sampai sekarang.

"Ana, keluarlah dari ruangan papa. Tidak ada lagi, kan, yang mau dijelaskan sekarang?"

"Pa, apa papa bisa merasakan sakit yang aku rasakan sekarang? Seharusnya papa ada di sisiku ketika kondisinya seperti ini. Aku sudah hampir gila!"

"Gila?" balas Noah membuat keadaan menjadi hening dan diam selama beberapa saat lamanya.

Noah memilih untuk sibuk dengan bacaan komiknya. Beberapa buku yang ia bawa dari luar kota segera ia unboxing. Tak terasa, buku itu telah memenuhi lemari buku yang padahal ukurannya sangat besar.

Tersadar dan teringat akan keberadaan putrinya, ia pun memastikan.

"Ternyata masih di sana," ujar Noah menatap Ana yang tengah terduduk lemas di pintu kamarnya. Gadis itu bahkan sengaja duduk di lantai, entah apa maksudnya.

Masih diam sampai akhirnya, Noah kembali buka suara, "Apa yang mau kamu sampaikan? Papa tau kok, dari tadi kamu mau bicara sesuatu, kan?"

Ana segera memasang wajah sedihnya. Dengan segera, ia bangkit dan duduk di sisi pria itu sekarang. Perlahan, air matanya menetes, ia memeluk erat sang ayah.

"Pa, aku tidak menyangka jika masalahnya akan sangat rumit seperti ini. Pa, tolong bantu aku."

"Hm?" balas Noah yang merasa bingung sekarang.

"Awalnya, aku hanya bercanda. Aku hanya ingin nge-prank Ai dan Ian. Aku hanya ingin menguji kesetiaan Ian. Tante Ica ... dia malah benar-benar mengirim undangan itu ke banyak orang. Bagaimana ini, Pa?"

Tangisan gadis itu semakin kencang membuat Noah segera tersadar jika cerita Ana sekarang ini adalah sungguh-sungguh.

"Tunggu, tunggu, maksudnya?"

"Pa, Ai dan Ian tidak harus menikah. Mereka tidak pernah berkhianat padaku. Aku yang membuat permainan ini terjadi. Pa, tolong bantu dan selamatkan aku," rengeknya.

Plakk! Tamparan itu mendarat di pipi kanan gadis itu. Sama seperti yang dilakukan oleh Arzi. Ini adalah pengalaman pertama juga bagi Ana.

Gadis itu sungguh terkejut dan tak habis pikir sekarang. 'Sungguh?' pekiknya dalam hati.

"Kapan pernikahan itu akan berlangsung?" tanya Noah dalam panik sambil membuka undangan konyol yang pada akhirnya akan menjadi kenyataan. Kertas itu bahkan menjadi koyak.

"Besok?" pekiknya lagi.

"Pa, tolong bantu aku," pinta Ana sambil mengatupkan kedua tangannya.

"Bodoh kamu! Gila kamu, Ana. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Setelah skandal yang kamu buat seperti itu, tidak mudah bagi Ai untuk bisa membersihkan nama buruknya. Dan, kalau sampai kamu membuat pernikahan ini gagal, itu akan berpengaruh buruk bagi perusahaan."

"Pa, di saat penting seperti ini, tidak bisakah lebih mementingkan aku daripada perusahaan?" tanya dengan nada pasrah dan sangat menyesalnya.

"Perusahaan menanggung jalan hidup banyak orang. Jadi, kamu terima saja. Jika memang kamu dan Ian berjodoh, maka akan ada jalan untuk mereka berpisah secepatnya." Noah memberi jawaban yang sangat tidak menguntungkan bagi Ana, namun harus tetap diterima dengan lapang dada.

***

"Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanya Ai.

Ian hanya terus menyeret paksa tangan gadis itu dan mendorongnya hingga terjatuh di hadapan Mario dan Rainy. Gadis itu merasa sangat terhina sekarang. Segera saja ia bangkit dan ingin pergi dari sana, namun langkahnya segera dihentikan.

"Sejak kecil ditinggal pergi oleh sang ibu karena dianggap sebagai pembawa sial, setelah besar baru tau kebenaran jika Ana adalah saudarimu, dan sekarang harus merebut putraku darinya karena merasa iri. Detik ini mau kabur dari sini? Kamu mau menghancurkan nama baik ayahmu lagi? Kalau kami sekeluarga sih, santai saja. Segalanya bisa dibeli dengan uang. Tinggal bilang saja kalau kamu sudah hamil dengan orang lain."

Celotehan Mario sungguh membuat Ai murka dan benar-benar tidak terima. Tangan kanannya mengepal. Seketika ia teringat akan masa kecilnya bersama Ana. Sang kakak yang selalu melindunginya. Berbeda dengan sekarang, mereka seolah telah berubah menjadi musuh dan saling membenci satu sama lain.

Ia juga terbayang akan masa-masa damai dan bahagianya beberapa saat yang lalu. Ia yang dihancurkan malah dituduh telah menghancurkan.

"Kemarin, kekasihmu juga memukuli putraku hingga terluka seperti ini. Memangnya sehebat apa kamu sampai-"

"Hentikan, Om. Jangan bicara lebih banyak lagi. Katakan saja apa maumu, dan iya ... jangan sesekali membawa-bawa nama ayahku atau kamu akan habis di tanganku!"

Ucapan Ai yang terdengar begitu serius dan sorot matanya yang tajam tentu saja membuat pria itu ciut. Bagaimana pun, ia masih harus tau jika setiap manusia punya sisi kelam masing-masing.

"Demi menjaga nama baik, mari kita buat kesepakatan," kata Ian.

Ai hanya terdiam.

"Kalian akan menikah, benar-benar menikah. Jika dalam dua tahun, kamu tidak berhasil memberikan keturunan untuk putraku, maka kamu akan diceraikan." Mario kembali angkat suara.

"Kamu juga tidak berhak mengurusi urusanku, begitu juga dengan aku yang tidak akan peduli sama sekali. Kamu juga harus sadar diri jika aku masih mencintai Ana dan akan terus begitu."

Ai merasa pusing sekali sekarang. Ia merasa malas jika harus dituntut dan dituntut. Jika pembahasannya adalah hal yang sama dan malah memanjang, lebih baik dituruti saja sesegera mungkin.

"Baiklah. Aku permisi sekarang."

"Untuk urusan restu dan kehadiran Om Arzi, aku yang akan mengurusnya. Kamu kembalilah ke rumahmu dan beristirahat." Ian memberi sahutan, hanya dia.

Berbeda dengan Mario dan Rainy yang bahkan segera bergerak juga dan pindah ke meja makan.

"Jangan terlalu memikirkan ucapan mereka. Aku juga terpaksa. Setelah aku dihantam habis-habisan oleh pacarmu, mereka yang menyelamatkan aku. Lihatlah wajahku, masih lebam seperti ini," terang Ian sembari melangkahkan kaki bersama Ai.

Gadis itu sama sekali tak berkomentar.

"Itu adalah kesepakatan yang terpaksa aku setujui. Maaf. Sekarang pulanglah. Maaf tidak bisa mengantarmu."

Ian melangkah masuk ke mobilnya dan diikuti oleh Ai.

"Kan, aku sudah bilang tidak bisa mengantarmu dan memang tidak mau."

"Bagaimana dengan kesepakatannya, apa itu sungguh-sungguh?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status