Share

Disebut Murahan

Seminggu kemudian, Noah, Arzi, dan Diko akhirnya pulang setelah cukup lama berada di luar kota. Ketiganya segera mencari keberadaan orang-orang tersayang mereka.

Arzi tampaknya sangat paham dan tahu jika putrinya tidak sedang baik-baik saja. Untuk kali ini, ia segera menarik gadis itu menjauh dari sana.

"Ada apa, Sayang? Kamu sedang ada masalah apa, coba jelasin ke ayah sekarang..."

Pria itu mengelus puncak kepala Ai yang tengah menghadap ke arahnya. Seketika ia teringat akan pertanyaan Ian satu minggu yang lalu. 'Bagaimana dengan ayahmu?'

"Tidak ada, Ayah. Aku hanya sangat rindu pada Ayah. Dua minggu bukan waktu yang singkat loh, Yah."

Arzi tersenyum tipis sekarang. Sungguh, ia sangat merasa prihatin akan rasa rindu yang dirasakan oleh Ai sebab mereka tidak pernah berpisah selama itu sebelumnya. Dalam hati kecilnya, yang selalu ia khawatirkan setiap harinya adalah ketika ia meninggal nanti. Entah akan semenderita apa Ai tanpanya.

Oleh karena itu, tak jarang ia juga berusaha untuk segera mendapatkan pasangan hidup yang baik bagi gadis itu.

Ana tampak mendekat sekarang. Hal itu membuat jantung Ai berdetak sangat kencang. Bunyi detakan itu bahkan terdengar oleh Arzi yang merasa keheranan. Ia juga semakin bingung tatkala Ai terus menggeleng, berusaha menahan Ana.

"Om, ini undangannya," kata gadis itu yang dengan senang hati segera diterima oleh Arzi.

Tatkala ia benar-benar membaca, keningnya segera mengerut. Ia mencari keberadaan Ana yang tak lagi ada di dekatnya.

"Ai ... namamu kenapa ada di sini, Sayang? Ada nama Ian juga. Ini maksudnya apa?" tanyanya dengan nada yang sedikit meninggi tatkala panik menekan.

"Iya, Om. To the point saja, aku dan Ian sudah tidak ada hubungan lagi. Ai dan Ian yang akan menikah. Semoga bahagia setelah ini," ucap gadis itu masih terkesan bercanda.

"Ana, sudah bercandanya? Hentikan," ucap Noah yang tidak begitu senang akan apa yang baru saja ia dengar.

"Papa, aku serius. Tidak ada judul bercanda di ini. Aku bicara sesungguh-sungguhnya."

Arzi menatap Ai yang segera menitikkan air mata sekarang. Gadis itu berusaha memeluk sang ayah. Lidahnya bahkan terasa kelu, tak sanggup berkata-kata.

"Ai, apa ini?" tanya Arzi sekarang.

Noah yang juga merasa penasaran segera meraih kertas yang menjadi masalah sejak tadi. Ia memastikan sendiri.

"Ana, jelaskan pada papa, apa yang terjadi?!" Ia membentak anak gadisnya itu.

"Pa, aku juga bingung kenapa Ai selalu mendapatkan apa yang aku suka. Kalau memang dia mau, kenapa tidak sejak dulu saja? Kenapa setelah sedalam ini?" Ana angkat suara dengan nada yang sangat menyedihkan.

Noah segera membawa Ana pergi dari sana sekarang. Ia memang belum cukup paham akan apa yang tengah terjadi. Namun, membiarkan putrinya terus mengoceh dan berada di sana akan memperkeruh keadaan.

"Ai, apa itu benar?" tanya Arzi sekarang.

Bagi ayahnya, sebuah jawaban hanya tentang iya dan tidak. Pria itu tidak pernah menerima alasan apa pun sebelum mendengar jawaban kepastian.

"Iya, Ayah." Menjawab dengan nada suara yang sangat pelan.

Plakk! Tamparan itu mendarat di pipi kanan Ai.

Tak peduli seberapa kerasnya, yang paling menyakitkan saat ini adalah kenyataan jika Arzi benar-benar melakukan itu padanya. Untuk pertama kalinya selama ia hidup sebagai putri kesayangan ayahnya.

"Ayah sungguh tidak menyangka, Ai. Urus sendiri masalahmu. Jangan temui aku sampai hari itu," ujar Arzi merujuk ke hari pernikahan putrinya.

"Ayah? Ayah, dengarkan aku dulu," pinta Ai yang segera ditinggal pergi oleh Arzi.

Entah akan ke mana pria itu pergi, tapi yang pasti pikirannya begitu kacau sekarang. Hidupnya seolah sangat berantakan.

"Andai Ayah tau jika aku tidak pernah melakukannya," gumamnya sekarang.

***

Di sebuah taman, tampak jika Ai tampak sedang bersama seorang pria yang entah itu siapa. Hal itu menjadi bumerang bagi gadis itu ketika Ian mendekat.

Pria itu berdeham sebelum akhirnya mendekat menghampiri gadis itu. Ai terkesiap ketika menyadari kedatangan Ian.

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan segera.

"Hah? Kenapa bertanya seperti itu? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, kenapa ada di taman di jam segini bersama seorang pria pula. Siapa dia?"

"E-eh ... dia ... dia temanku." Ai buru-buru mendorong tubuh Ian untuk menjauh dari sana.

"Jangan begini, Ai. Seharusnya kamu juga memikirkan masalah kita sekarang. Bukannya malah sibuk pacaran di taman malam-malam begini. Memang dari dulu, kamu tuh sudah negatif vibes, yaa ... jangan sampai Ana mengulangi sebutan itu lagi padamu."

"Apa maksudmu?" tantang Ai yang merasa kesal.

"Murahan..."

"Berani-beraninya kamu berkata seperti itu!" teriak pria yang ditemui oleh Ai. Lelaki itu bahkan memberi pukulan yang tepat melukai pelipis Ian.

"Kenapa lagi ni bocah?" geram Ian yang menganggap lelaki itu masih dibawah umur tatkala ukuran tubuhnya yang lebih pendek dan memang kurus.

"Kenalin ... aku Danny Halburt, pacar Ai. Kita seumuran. Aku dosen di tempat kita kuliah dulu," terang pria itu setelah keduanya saling menjauh.

"Dan, sudah ... hentikan sampai di sini saja. Seperti yang sudah aku bilang di awal. Aku mau mengakhiri hubungan ini. Maaf jika harus membuatmu sangat tersiksa, tapi itu bukanlah mauku. Kejadian itu..." Ai tak sanggup melanjutkan penjelasannya.

"Ai?" panggil Danny sungguh tidak rela jika harus ada perpisahan di antara mereka.

"Sudah, Dan. Tidak ada yang bisa dilakukan. Aku memang tak lagi bisa bersamamu." Ai segera melangkah pergi hendak pulang setelahnya.

Danny terduduk lemas. Ia bahkan tidak sanggup lagi untuk bergerak sekadar mengantarkan gadis itu pulang. Ian kemudian mendekat, membuat pria itu segera berusaha menepis.

"Aku tidak ingin baku hantam. Hanya ingin bertanya, apa tidak ingin mengantarkan Ai pulang?"

Danny segera menggeleng dengan pasti. Ia juga memberikan tatapan sendunya.

"Kamu saja yang antarkan dia. Aku tidak bisa melakukan itu untuknya."

"Apa kamu seyakin itu? Apa kamu sudah rela jika Ai harus menikah dengan orang lain?"

Danny menggeleng sebelum akhirnya menjambak kencang rambut di kepalanya.

"Ada beberapa hal yang tak bisa aku gapai dan mungkin ini salah satunya. Jika kamu ingin mengantarkan dia, antarkan saja. Jika tidak, kamu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan dia, taman ini miliknya."

Danny kemudian menyembunyikan kepalanya di tangan yang terlipat rapi, berusaha memeluk dirinya sendiri untuk mendapatkan ketenangan.

"Taman miliknya?" tanya Ian dengan nada pelan hingga tak terdengar oleh Danny. "Baiklah. Aku akan menghargaimu sebagai mantannya. Aku pulang sekarang dan selamat menggalau."

Tak memberikan jawaban, Ian malah terduduk di samping Danny. Untuk beberapa saat keduanya saling sibuk sebelum akhirnya Danny memberikan serangan secara tiba-tiba.

"Apa hubunganmu dengan Ai?" tanyanya dengan sorot mata tajam dan menakutkan.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Roziha Anwar
masa Ayahmu tnya enggak ceritain... bodoh amat si Ai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status