LOGINKalimat itu membuat waktu di sekeliling mereka berhenti sejenak. Meira terpaku. Menatap Rangga seolah mencari kebohongan di matanya.
"Mas ... suka sama aku?" tanyanya nyaris berbisik. Rangga mengangguk pelan. "Iya. Bahkan Jauh sebelum acara pertunangan itu direncanakan. Saya udah suka sama kamu di waktu pertama kita bertemu." Meira langsung menelan ludah. Ia ingat dengan jelas pertemuan malam itu. Keduanya bertemu pada saat acara makan malam perusahaan. Rangga yang hangat, penuh perhatian dan penyabar itu tentu membuat para orang tua ingin memiliki menantu seperti dirinya. Nyaris tidak ada celah. Hidupnya hampir sempurna. "Meira?" Panggilan Rangga membalikkan kesadarannya. Meira menoleh. "Maaf, Mas. Aku cuma kaget aja." Diakhiri senyum tipis yang terlihat rapuh. Rangga menatapnya lama, seolah mengerti apa yang dipikirkan perempuan itu.. "Saya nggak minta jawaban sekarang. Tapi, tolong beri saya kesempatan buat nunjukin perasaan ini." Namun, selain tidak memiliki perasaan apa pun pada Rangga, Meira punya alasan sendiri mengapa ia menolak pertunangan tersebut. Netranya menatap bunga mawar di atas meja dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Bunga yang indah, juga menyakitkan. Salah sedikit menggenggam, duri tajam kapan saja bisa melukai. "Aku nggak bisa janji apa-apa, Mas." Meira terdiam sejenak. "Yang aku pikirkan waktu kabur dari pertunangan malam itu, aku hanya mau hidupku bebas." Ia menarik napas dalam. "Aku nggak mau kehidupanku terus menerus diatur mereka." "Saya ngerti maksud kamu, Meira." Rangga lagi dan lagi tersenyum simpul. Tidak lama pelayan pun datang, memecah keheningan di antara keduanya. Malam itu berlalu dengan percakapan kecil. Sesekali tersenyum dan tertawa pelan. Berbincang hangat dengan perasaan saling memahami. Sementara itu, di luar restoran terlihat Damian memantau dari dalam mobil. Dua orang yang tengah berbincang asik di balik kaca transparan dengan seikat bunga mawar yang cukup menyorot perhatian. *** Pagi hari di kampus masih seperti biasa. Langit cerah, udara lembut dan suasana fakultas yang sudah ramai. Para mahasiswa terlihat berlalu-lalang dengan berbagai buku tebal di tangan, juga kaca mata yang bertengger di hidung. Akan tetapi, bagi Meira semuanya terasa berbeda. Kekosongan terus menyelimuti hingga langkahnya memasuki gedung Fakultas Manajemen. Rambut yang terurai rapi itu seirama dengan jejak kaki yang terlihat gontai. Sisa perbincangan tadi malam bersama Rangga masih terngiang jelas di telinga. Kalimat di mana pria itu menyatakan perasaannya seakan menghantui kehidupan Meira. "Meira!" Suara Shelly memanggil dari jauh, ia berlari kecil menghampiri Meira dengan napas sedikit terengah. "Gimana kabar kamu, Mei? Aman setelah pulang ke rumah?" tanya Shelly dengan tingkat penasaran setinggi langit. Meira mendesah pelan. "Kacau. Please jangan bahas itu di sini. Aku nggak mood, Shell." "Oke, fine. Tapi aku sedikit penasaran sama hubungan kamu dan Pak Damian. Aku butuh penjelasan, Mei." Keduanya berjalan menelusuri lorong fakultas dengan perbincangan panas di pagi yang cerah. "Ceritanya panjang, Mei. Aku bingung jelasin dari mana," sahut Meira. Shelly menyipitkan matanya. "Jangan bilang kamu sama .... " Meira langsung menatap tajam. "Stttt! Jangan ngomong sembarangan." "Nggak seperti yang aku pikirin 'kan, Mei?" Shelly menduga-duga. Ia tidak mau menjawab, itu mengapa langkahnya setengah berlari meninggalkan Shelly di belakang sana dengan perasaan menerka-nerka. "Meira, tunggu!" Perempuan itu mengejar. "Kalian nggak mungkin pacaran 'kan?" Pertanyaan itu sontak membuat Meira membalikkan badan dengan cepat. Mulut ember Shelly memang tidak bisa dikontrol. Dalam hitungan detik, ketegangan makin menjadi-jadi ketika orang yang mereka gosipkan tengah berjalan mendekat dengan rahang tegas dan sorot mata tajam. Kompak menahan napas, Meira dan Shelly langsung merasa lega sendiri setelah pria itu masuk ke dalam ruang dosen di seberang. Ia menggunakan kemeja hitam yang digulung hingga siku. Shelly berbisik, "Kayanya tadi dia liatin kamu, Mei." "Shell! Diem, deh!" seru Meira. Tidak tahukah bahwa jantungnya hampir copot? Namun, belum tenang secara penuh. Suara bariton milik Damian terdengar jelas di telinga. Shelly mundur perlahan, beberapa mahasiswa yang melihat itu merasa aneh sendiri. "Meira." Perempuan itu terpaku di tempat, tetapi batinnya mejerit hebat. Meira menelan ludah pelan. Tersenyum paksa, entah apa yang harus ia lakukan saat ini. "Ada apa, Pak?" tanya Meira sangat gugup. "Saya butuh bicara sebentar. Di ruang saya. Sekarang." Damian berkata penuh penekanan. Ia lantas menoleh pada Shelly, memberikan tatapan paling melas. Sayang, sang sahabat pun tidak bisa membantu. Hanya mampu memasang senyum mengenaskan sebagai balasan. Ruang Dosen. Meira mengikuti langkah Damian sampai dalam. Pria itu duduk di kursinya, sedangkan Meira berdiri di depan dengan kepala menunduk seraya memainkan jari-jemarinya di bawah sana. "Duduk," perintah Damian. Ia sedikit mengangkat kepalanya, lalu menarik kursi dan duduk dengan jantung yang terus berdegup kencang. Ruangan ber-AC tersebut membuat suhu tubuhnya mendadak panas dingin. "Kamu makan malam sama Rangga semalam?" Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Meira bahkan sampai mengerutkan kening. "Bapak tau dari mana?" "Mas," koreksi Damian. "Ini di kampus, Pak. Kalau ada yang dengar bisa salah paham." Tatapan dalam itu terasa menusuk. "Di ruangan ini cuma ada kamu dan saya. Nggak ada orang lain." Meira pun mengalah. "Iya, saya memang semalam makan malam sama Mas Rangga. Lalu, masalahnya sama Mas apa?" "Jadi, kamu mulai dekat sama dia?" "Nggak juga," balasnya sedikit cuek. "Kami cuma ngobrol biasa. Lagipula, saya perlu minta maaf soal masalah pertunangan kemarin." "Selain itu, ada lagi?" tuntutnya. "Nggak ada." Meira menatap penuh pria di depannya. "Kenapa jadi bahas masalah pribadi di kampus, si, Mas?" Damian terdiam lama. Tatapannya tidak lepas dari Meira. Ada rasa aneh, ingin marah, tetapi tertahan. Tindakan spontan ini, ia pun tidak tahu alasannya apa. "Mulai besok, semua orang di kampus harus tau kalau kamu pacar saya," ujar Damian setelah lama berpikir. "A—apa?" Meira nyaris berdiri dari kursinya. "Saya nggak mau, ya, Mas. Jangan asal ambil keputusan. Saya nggak setuju!" Damian mencondongkan tubuhnya. Menatap Meira penuh makna. "Kalau kamu mundur sekarang, pertunangan kamu dan Rangga bisa aja berlangsung bulan depan." Senyap. Kata-kata itu seakan menggantung di udara. Apakah ini jalan terbaik? Meira, takut. "Ini gila, Mas." Kalimat itu sangat pelan, nyaris tidak terdengar. "Ya, kamu benar. Kalau kamu pikir ini gila, lebih baik kita gila bersama." Damian tersenyum simpul. Ia kembali menegakkan tubuhnya. Mengangkat tangan dan mengisyaratkan agar perempuan itu segera keluar dari ruangan. "Kelas kamu lima menit lagi dimulai. Jangan sampai telat, Sayang." Meira menutup pintu dengan pacuan kencang. Sekilas melirik Damian. Ia berdiri, meninggalkan ruangan dengan perasaan bercampur aduk. Sejak saat itu, Meira menyakini semuanya tidak akan sama lagi.Pukul 8 malam.Malam itu hujan turun dengan rintik kecil, menciptakan bayangan tajam di jalanan basah. Lampu-lampu taman menyala redup, sedangkan mobil Damian berhenti dipekarangan besar milik keluarga Meira.Keduanya kompak turun dari mobil. Damian menuntun Meira dan menjadikan tangannya sebagai payung, lalu jalan beriringan menuju pintu utama. Menekan bel rumah dengan sopan.Pintu itu kemudian terbuka, menampilkan Tama dengan tatapan dingin yang mampu membekukan udara. Pria itu memang sudah menunggu sang anak pulang sedari tadi. "Silakan masuk," katanya tanpa senyum.Damian melangkah masuk dengan kepala sedikit menunduk sebagai tanda hormat, hal itu diikuti Meira di belakang sana. Di depan sana, tepat di sofa ruang tamu berwarna putih ia melihat sang Ibu tengah duduk dengan wajah cemas, tetapi berusaha tenang. "Papa sudah tahu semuanya," kata Tama membuka percakapan. Meira memainkan jari-jemarinya di bawah sana, gelisah tiba-tiba menyerang. Ia tahu karena tidak mungkin Ayahnya di
Ruang CEO. Damian masuk ke dalam ruangan dengan muka datarnya. Di sana terlihat sang Ayah tengah berdiri tegak menghadap ke luar jendela besar dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Putuskan hubungan kamu dengan perempuan itu," tegas Tristan langsung membalikkan badannya. Keduanya saling beradu tatap. Ruang ber-AC rupanya tidak bisa menyejukkan suasana hati sang Ayah. Sorot mata tajam penuh peringatan itu jelas terpancar di sana. "Reputasi perusahaan itu penting. Seharusnya kamu tau itu, Damian. Kalau kamu terus keras kepala, Ayah nggak bisa menjamin kenaikan jabatanmu."Damian pun protes dengan cepat. "Yah!"Tristan memutus kontak mata dan berjalan ke arah meja kerja, lalu memegang sebuah map hitam yang di dalamnya sudah dihiasi foto Damian dan Meira, lengkap dari mereka di kampus hingga bermalam di apartemen. "Jelaskan. Bagaimana kamu bisa menyelesaikan ini semua?!" Pria itu melemparnya di atas meja.Ia lantas membisu. Menatap foto itu dengan emosi yang ha
Apartemen. Damian menenteng kantong makanan yang sempat dibelinya dari luar. Kakinya berjalan menuju meja makan, menata beberapa hidangan lezat yang mereka pesan secara bersamaan. Meira duduk di kursi meja makan lebih dulu, fokusnya menatap Damian yang terlihat sibuk di sana. Tatapan kosong itu cukup ketara. Meira tampak tidak bersemangat. Siapa saja yang melihat pasti berpikir yang sama. Seolah masalah berputar di atas kepalanya.Damian berjalan, berdiri di samping Meira. "Kenapa?"Lima detik berlalu, pertanyaan itu berakhir tanpa jawaban."Meira?" Ia kembali menyadarkan. Lagi, panggilannya terabaikan. Damian mendekatkan diri, mengusap puncak rambut Meira, kemudian menariknya ke dalam pelukan. Sayangnya, pelukan itu bahkan hanya satu pihak saja. Meira tetap tidak ada pergerakan. Damian yang tidak tahu harus menghibur dengan cara apalagi pun malah makin kebingungan."Makan dulu. Ayo?" ajak Damian usai melepas dekapan itu.Meira akhirnya menurut. Mereka makan siang dengan keheninga
Pukul 12 siang.Hari ini hanya ada dua mata kuliah. Meira seorang diri selama pembelajaran berlangsung. Shelly duduk di bangku paling pojok seakan memperlihatkan jarak di antara keduanya. Meira mencoba tersenyum, tetapi perempuan itu bahkan tidak menoleh.Usai kelas selesai, Meira mulai merapikan buku-bukunya. Rumor itu masih meninggalkan bekas hebat di dalam sana. Orang-orang terus membicarakan tanpa henti. Shelly berjalan lebih dulu. Ia menatap punggung Meira sebelum benar-benar meninggalkan kelas. Namun, egonya masih terlalu tinggi. Ia memilih tidak peduli meski terdengar jelas para mahasiswa mulai mencemooh sang sahabat. "Shelly," panggil Rangga mencegahnya di luar. "Meira masih di dalam?" Perempuan itu tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Rangga. Shelly merasa sesak di dalam dada, sebab ia tidak bisa meyangkal fakta bahwa Rangga yang ia kagumi selama ini ternyata menyukai Meira, sahabatnya sendiri. Rangga kembali menyadarkan. "Shelly?""Dia masih di dalam," jawa
Kabar itu meyebar lebih cepat dari embusan angin pagi. Baru satu hari Damian mengajaknya pulang, tetapi satu kampus sudah tahu. Segala sudut fakultas heboh membicarakan keduanya. Postingan paparazzi milik akun official lambe turah kampus itu kini sudah menjadi trending topik di grup percakapan mahasiswa. Meira masih terlelap indah ketika cahaya matahari mulai menembus tirai jendela, menyentuh kulitnya hangat. Namun, tidurnya terusik dengan suara notifikasi yang terus berdenting tanpa henti dari ponselnya di atas meja.Dengan mata setengah terbuka, Meira meraih ponselnya yang terus bergetar. Layar menyala. Di sana sudah banyak orang-orang menyebut dirinya melalui postingan di media sosial, kontan ia langsung terduduk. Bola matanya membesar.Berita di portal kampus terpampang jelas.[Hubungan Tak Terduga: Dosen Muda Jatuh Cinta Pada Mahasiswi Tingkah Akhir, Mereka Terlihat Pulang Bersama] Ia masih mematung di tempat tidur. Menggulir layar ponsel dengan perasaan cemas. Membaca berbagai
Sore hari setelah menyelesaikan tiga mata kuliah, Meira berjalan dengan isi pikiran penuh. Kejadian di kantin tadi pagi membuat hubungannya dengan Shelly mendadak renggang. Perempuan itu menghindar. Seperti saat ini, pulang lebih dulu.Masih dengan tekanan yang sama, sang bodyguard sudah menunggu di depan sana tepat di depan mobil berwarna hitam. Lagi dan lagi Meira menarik napas panjang. Cukup menyebalkan, pikirnya."Hari ini kita pulang bersama," kata Damian mencegah Meira. Perempuan itu menoleh. Apalagi ini Tuhan? Bisakah semesta lebih adil? Ia lelah. Bahkan tidak ada energi untuk bicara."Saya udah dijemput," tunjuk Meira dengan dagunya.Damian menatap ke depan. Pria yang tidak asing itu terlihat memantau ke sini. Ia kemudian berpikir, apakah hidup Meira memang tidak bebas seperti perempuan seusianya? Seolah penuh kekangan."Nggak masalah. Ayo?" Ia menarik pergelangan tangan sang kekasih.Meira justru diam tidak bergerak. "Kenapa?" tanyanya.Ia melepas cekalan itu, menatap Damian







