LOGIN"Kami akan menikah bulan depan," putus Meira dengan satu tarikan napas.
Raut wajah Tama tampak marah. "Papa nggak setuju. Kamu harus menikah dengan Rangga." "Pa ... Meira nggak mau menikah sama Mas Rangga," tolaknya sekali lagi. Pria itu menatap Meira dan Damian silih berganti. Ada rasa takut di hati mengingat bagaimana hancurnya rumah tangga putri pertamanya, di mana wanita itu harus mengasingkan diri sampai ke luar negeri. Tama, tentu tidak ingin kejadian menyakitkan tersebut dirasakan oleh Meira. Ia benar-benar khawatir dengan masa depan sang anak. "Sayang, kamu dan Rangga sudah kenal lama. Rangga juga kelihatan sayang sekali sama kamu. Mama sama Papa yakin kamu pasti bahagia jika menikah dengan dia." "Tapi Mas Rangga bukan orang yang Meira cintai, Ma." Meira berkata dengan sungguh-sungguh. Sang Ibu kemudian membalas, "Lantas, siapa lelaki yang kamu cintai itu?" Matanya dengan sengaja melirik ke arah Damian. Namun, Tama tidak mau kalah. Ia membuka suara setelah berpikir panjang tentang apa yang seharusnya ia lakukan sebagai kepala rumah tangga. "Papa akan pantau hubungan kalian. Jika Damian lebih baik dibandingkan Rangga, Papa akan kasih restu." Setelah kalimat itu terucap, Tama langsung berdiri meninggalkan ruang tamu dengan keheningan mendalam. Ini sebuah anugerah atau musibah? Meira menerka-nerka di sana. *** Di luar rumah. Damian sudah berdiri di depan mobilnya dengan ditemani Meira yang terus memasang wajah penuh pikiran. "Kamu kenapa, Meira?" tanya Damian karena sudah lima menit berlangsung perempuan itu mendiamkannya. "Saya bingung, Pak. Kalau kita gagal, berarti nanti saya harus nikah sama Mas Rangga, dong?" ujarnya gelisah sendiri. Ia mendekat. Mengikis jarak membuat Damian refleks menegang. "Pak Damian beneran single, 'kan? Bukan duda atau suami orang?" "Kalau saya udah menikah, kamu mau jadi yang kedua?" Damian ikut memajukan tubuhnya, membuat jarak tersebut tidak terlihat. Meira dengan sigap menjauh. "Ya, nggak mau lah, Pak! Mending saya nikah sama Mas Rangga kalau gitu. Meski nggak cinta, dia juga lumayan ganteng dan kaya." "Tadi kamu manggil Rangga apa?" Ia pun mengulang. "Mas Rangga. Dia senior saya di kampus. Anak fakultas kedokteran." "Saya juga mau dipanggil itu." Damian langsung membuang wajahnya ke arah lain. Gengsi sekali. "Dipanggil gimana?" Meira tentu tidak mengerti. "Pakai sebutan 'Mas'?" tanyanya. "Iya. Bukannya awal ketemu kamu manggil saya kaya gitu? Kenapa sekarang berubah jadi 'Pak'? Saya bukan Bapak kamu." "Kan Pak Damian dosen saya di kampus," bela Meira. Damian langsung memasang wajah horor. "Coba sekali lagi bilang." "Pak Damian—" Belum sempat selesai, kalimat itu terputus begitu saja. Satu detik setelah kecupan singkat mendarat di bibir perempuan itu. Meira mendadak terdiam sejenak dengan raut wajah terkejut. "Jangan panggil saya 'Pak', kecuali di kampus." Damian kemudian menarik pinggang Meira dan berbisik, "Papa kamu sedang mantau ke sini." Tiba-tiba bibirnya langsung tersenyum lebar. Ia pura-pura membenarkan kemeja milik Damian, mata penuh binar itu ia berikan pada pria di depannya. Berpura-pura romantis adalah jalan ninja kedua pasangan itu. "Mas mau langsung pergi, 'kan?" tanya Meira sengaja tidak melepas senyumannya. Bahkan panggilan nama pun ikut berubah. Damian pun mengangguk pelan. Entah mengapa kedua bibirnya ikut terangat sempurna. Tangannya merapikan sedikit helaian rambut Meira yang terlihat menutupi mata, sedangkan satu lagi masih setia melingkar di pinggang kekasih sandiwaranya. "Saya pergi dulu," katanya sambil mengecup kening perempuan yang kini sudah ia nobatkan sebagai miliknya. Pelukan itu terurai. Damian memasuki mobil, tidak lupa memberi klakson pelan sebagai tanda perpisahan. Meira membalas dengan lambaian tangan dibarengi anggukan kepala ringan. "Mereka terlihat saling mencintai, Pa." Tama pun melihat hal yang sama, tetapi hatinya masih ragu. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketakutan seorang Ayah terhadap putrinya begitu besar. Tidak lama Meira membalikkan badan. Netranya menangkap pria itu pergi dengan langkah tegas, tetapi di sisi lain sang Ibu tetap di sana dengan senyum tipis. "Malam ini kamu ada makan malam berdua dengan Rangga. Minta maaflah sama Rangga, Sayang. Mungkin kalian bisa bicarakan masalah pertunangan kemarin," ujar wanita itu setelah Meira sampai di depannya. *** Pukul delapan malam. Restoran bintang lima kawasan Jakarta Selatan. "Maaf, kamu nunggu lama, ya?" ujar Rangga datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. "Ah, nggak, Mas." Meira menjawab dengan kikuk. Rangga tersenyum simpul. "Buat kamu." Ia menyodorkan bunga tersebut. Ragu-ragu Meira menerima bunga dengan kelopak berwarna merah itu. "Makasih, Mas." Sungguh, Meira tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Rangga ... pria itu bahkan terlalu baik. Tidak ada amarah. Nada tinggi, bahkan sorot mata tajam. Ia datang dengan senyum rekah seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka. "Gimana kabar kamu?" tanya Rangga setelah duduk saling berhadapan. Meira terdiam sejenak. "Mas ... soal masalah kemarin, aku benar-benar minta maaf." "Itu bukan sepenuhnya salah kamu. Karena orang tua kita yang merencanakan semuanya, saya tau mungkin kamu belum siap. Makanya saya minta kita bertemu malam ini," jelasnya. Ia menegakkan tubuhnya. Tidak. Ia tetap salah. Ia mengakui bahwa tindakan semberono itu merugikan banyak pihak, termasuk pihak dari keluarga Rangga, terlepas hal tersebut kedua orang tuanya yang mengatur. "Aku tetap merasa bersalah, Mas. Aku minta maaf dengan tulus sama Mas Rangga dan keluarga, kalau .... " "Meira." Rangga kemudian memotong. "Saya udah bicarakan ini dengan keluarga saya. Kita memang butuh waktu. Mungkin sebelum ke tahap yang lebih serius, lebih baik kita mengenal lebih jauh dulu." Kedua mata lentik itu tidak berkedip sama sekali. "M-maksudnya, Mas?" Tunggu, di sini bukannya kami sepakat membicarakan perihal pembatalan tunangan tersebut? Jangan bilang .... "Saya sebenarnya sudah lama menyukai kamu," ungkap pria itu.Pukul 8 malam.Malam itu hujan turun dengan rintik kecil, menciptakan bayangan tajam di jalanan basah. Lampu-lampu taman menyala redup, sedangkan mobil Damian berhenti dipekarangan besar milik keluarga Meira.Keduanya kompak turun dari mobil. Damian menuntun Meira dan menjadikan tangannya sebagai payung, lalu jalan beriringan menuju pintu utama. Menekan bel rumah dengan sopan.Pintu itu kemudian terbuka, menampilkan Tama dengan tatapan dingin yang mampu membekukan udara. Pria itu memang sudah menunggu sang anak pulang sedari tadi. "Silakan masuk," katanya tanpa senyum.Damian melangkah masuk dengan kepala sedikit menunduk sebagai tanda hormat, hal itu diikuti Meira di belakang sana. Di depan sana, tepat di sofa ruang tamu berwarna putih ia melihat sang Ibu tengah duduk dengan wajah cemas, tetapi berusaha tenang. "Papa sudah tahu semuanya," kata Tama membuka percakapan. Meira memainkan jari-jemarinya di bawah sana, gelisah tiba-tiba menyerang. Ia tahu karena tidak mungkin Ayahnya di
Ruang CEO. Damian masuk ke dalam ruangan dengan muka datarnya. Di sana terlihat sang Ayah tengah berdiri tegak menghadap ke luar jendela besar dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Putuskan hubungan kamu dengan perempuan itu," tegas Tristan langsung membalikkan badannya. Keduanya saling beradu tatap. Ruang ber-AC rupanya tidak bisa menyejukkan suasana hati sang Ayah. Sorot mata tajam penuh peringatan itu jelas terpancar di sana. "Reputasi perusahaan itu penting. Seharusnya kamu tau itu, Damian. Kalau kamu terus keras kepala, Ayah nggak bisa menjamin kenaikan jabatanmu."Damian pun protes dengan cepat. "Yah!"Tristan memutus kontak mata dan berjalan ke arah meja kerja, lalu memegang sebuah map hitam yang di dalamnya sudah dihiasi foto Damian dan Meira, lengkap dari mereka di kampus hingga bermalam di apartemen. "Jelaskan. Bagaimana kamu bisa menyelesaikan ini semua?!" Pria itu melemparnya di atas meja.Ia lantas membisu. Menatap foto itu dengan emosi yang ha
Apartemen. Damian menenteng kantong makanan yang sempat dibelinya dari luar. Kakinya berjalan menuju meja makan, menata beberapa hidangan lezat yang mereka pesan secara bersamaan. Meira duduk di kursi meja makan lebih dulu, fokusnya menatap Damian yang terlihat sibuk di sana. Tatapan kosong itu cukup ketara. Meira tampak tidak bersemangat. Siapa saja yang melihat pasti berpikir yang sama. Seolah masalah berputar di atas kepalanya.Damian berjalan, berdiri di samping Meira. "Kenapa?"Lima detik berlalu, pertanyaan itu berakhir tanpa jawaban."Meira?" Ia kembali menyadarkan. Lagi, panggilannya terabaikan. Damian mendekatkan diri, mengusap puncak rambut Meira, kemudian menariknya ke dalam pelukan. Sayangnya, pelukan itu bahkan hanya satu pihak saja. Meira tetap tidak ada pergerakan. Damian yang tidak tahu harus menghibur dengan cara apalagi pun malah makin kebingungan."Makan dulu. Ayo?" ajak Damian usai melepas dekapan itu.Meira akhirnya menurut. Mereka makan siang dengan keheninga
Pukul 12 siang.Hari ini hanya ada dua mata kuliah. Meira seorang diri selama pembelajaran berlangsung. Shelly duduk di bangku paling pojok seakan memperlihatkan jarak di antara keduanya. Meira mencoba tersenyum, tetapi perempuan itu bahkan tidak menoleh.Usai kelas selesai, Meira mulai merapikan buku-bukunya. Rumor itu masih meninggalkan bekas hebat di dalam sana. Orang-orang terus membicarakan tanpa henti. Shelly berjalan lebih dulu. Ia menatap punggung Meira sebelum benar-benar meninggalkan kelas. Namun, egonya masih terlalu tinggi. Ia memilih tidak peduli meski terdengar jelas para mahasiswa mulai mencemooh sang sahabat. "Shelly," panggil Rangga mencegahnya di luar. "Meira masih di dalam?" Perempuan itu tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Rangga. Shelly merasa sesak di dalam dada, sebab ia tidak bisa meyangkal fakta bahwa Rangga yang ia kagumi selama ini ternyata menyukai Meira, sahabatnya sendiri. Rangga kembali menyadarkan. "Shelly?""Dia masih di dalam," jawa
Kabar itu meyebar lebih cepat dari embusan angin pagi. Baru satu hari Damian mengajaknya pulang, tetapi satu kampus sudah tahu. Segala sudut fakultas heboh membicarakan keduanya. Postingan paparazzi milik akun official lambe turah kampus itu kini sudah menjadi trending topik di grup percakapan mahasiswa. Meira masih terlelap indah ketika cahaya matahari mulai menembus tirai jendela, menyentuh kulitnya hangat. Namun, tidurnya terusik dengan suara notifikasi yang terus berdenting tanpa henti dari ponselnya di atas meja.Dengan mata setengah terbuka, Meira meraih ponselnya yang terus bergetar. Layar menyala. Di sana sudah banyak orang-orang menyebut dirinya melalui postingan di media sosial, kontan ia langsung terduduk. Bola matanya membesar.Berita di portal kampus terpampang jelas.[Hubungan Tak Terduga: Dosen Muda Jatuh Cinta Pada Mahasiswi Tingkah Akhir, Mereka Terlihat Pulang Bersama] Ia masih mematung di tempat tidur. Menggulir layar ponsel dengan perasaan cemas. Membaca berbagai
Sore hari setelah menyelesaikan tiga mata kuliah, Meira berjalan dengan isi pikiran penuh. Kejadian di kantin tadi pagi membuat hubungannya dengan Shelly mendadak renggang. Perempuan itu menghindar. Seperti saat ini, pulang lebih dulu.Masih dengan tekanan yang sama, sang bodyguard sudah menunggu di depan sana tepat di depan mobil berwarna hitam. Lagi dan lagi Meira menarik napas panjang. Cukup menyebalkan, pikirnya."Hari ini kita pulang bersama," kata Damian mencegah Meira. Perempuan itu menoleh. Apalagi ini Tuhan? Bisakah semesta lebih adil? Ia lelah. Bahkan tidak ada energi untuk bicara."Saya udah dijemput," tunjuk Meira dengan dagunya.Damian menatap ke depan. Pria yang tidak asing itu terlihat memantau ke sini. Ia kemudian berpikir, apakah hidup Meira memang tidak bebas seperti perempuan seusianya? Seolah penuh kekangan."Nggak masalah. Ayo?" Ia menarik pergelangan tangan sang kekasih.Meira justru diam tidak bergerak. "Kenapa?" tanyanya.Ia melepas cekalan itu, menatap Damian







