Masuk"Pak Erwin, sudah lama menunggu?" Tanyaku setelah turun dari mobil.
"Oh tidak, baru sekitar lima belas menit," jawab Pak Erwin yang saat itu mengenakan hem biru langit. "Perkenalkan ini asisten saya namanya Jesika" jawab Pak Erwin. Aku pun tersenyum sopan pada perempuan cantik di samping Pak Erwin dan menyalaminya. Sementara pada Pak Erwin sendiri, aku hanya menelungkupkan kedua telapak tangan di depan dada sambil sedikit menunduk.
Ibu membuka pintu rumah sedangkan ayah menurunkan barang dari mobil. Setelah pintu rumah terbuka, aku mempersilahkan Pak Erwin dan Jesika masuk, kemudian duduk di ruang tamu. Pak Erwin membuka percakapan, "Indira, kami turut prihatin atas menghilangnya Farhan. Dia adalah karyawan kami yang baik, pekerja keras, dan selalu menunjukan kinerja yang memuaskan."
"Terima kasih Pak," Indira menjawab pelan. "Saya juga masih tak percaya Mas Farhan menghilang begitu saja."Jesika membuka tablet di pangkuanya, sesekali memandang layar dan mencatat sesuatu.
"Begini," lanjut Pak Erwin, "kami perlu tahu apakah sebelum menghilang Farhan mengucapkan sesuatu yang aneh, mencurigakan, atau berbeda dari biasanya? Kami butuh informasi, sekecil apapun mungkin bisa membantu."
Indira menggeleng pelan. "Tidak ada tanda-tanda aneh Pak. Pada hari itu dia bersikap sangat baik, mengelus dan mencium perutku sebelum berangkat kerja dan berjanji akan mengantar saya ke dokter sore harinya..."
Indira menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh setiap kali dia mengingat hari terakhir bersama suaminya.
Pak Erwin bertukar pandang sejenak dengan Jesika, lalu berkata lebih serius "Kami sedang menyelidiki sesuatu lebih sensitif" ucapnya, lalu menghentikan kalimatnya menunggu respon Indira.
Indira mengangkat wajahnya, seolah bersiap mendengar apa yang ingin disampaikan Pak Erwin.
"Beberapa hari sebelum Farhan menghilang, ia sempat menarik dana dari perusahaan. Dana itu seharusnya dibayarkan pada vendor, tapi justru vendor mengkonfirmasi bahwa mereka belum menerima pembayaran tersebut."
Indira membeku mendengar ucapan Pak Erwin. Tenggorokanya terasa kering, namun sulit untuk menelan ludah. "Maksud Bapak... Mas Farhan membawa uang perusahaan?"
"Kami tidak ingin menyimpulkan terlalu cepat," jawab Pak Erwin. "Bisa saja, Farhan memiliki alasan lain. Tapi fakta bahwa dia menghilang dengan membawa dana perusahaan membuat kami khawatir."
"Kalau boleh tau, berapa jumlahnya?" Tanya Indira, ia tak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Jumlahnya menurut kami cukup banyak... dua ratus lima pulu juta" jawab Jesika dengan hati-hati.
Indira menahan napas panjang. Kepalanya kembali terasa berat. Belum cukup dengan rasa kehilangan, ia harus menghadapi fakta bahwa kemungkinan suaminya terlibat masalah besar. Meskipun hatinya selalu menolak, bahwa suaminya tak mungkin melakukan perbuatan seperti itu.
Jesika menambahkan, "Kami berharap Farhan bisa segera ditemukan agar semuanya bisa dijelaskan. Kami juga tidak datang untuk menyudutkan siapapun, kami hanya bertanggung jawab terhadap kelancaran operasional perusahaan.
Indira memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan gemuruh yang seolah memberontak dalam dadanya. "Kalau benar Mas Farhan membawa uang itu... Kenapa dia tak bilang apa-apa padaku?" Gumamnya lirih.
Seingat Indira, mereka tak pernah memiliki masalah keuangan walau kehidupan mereka sederhana. Berapapun jumlah uang yang diberikan Farhan, Indira selalu mencukupkan dan membantu memenuhinya dari hasil usahanya berjualan baju. Jika benar Farhan membawa uang perusahaan sebesar itu, untuk apa?
Berbagai pertanyaan yang muncul di benak Indira membuat kepalanya ngilu.
"Saya tidak percaya Mas Farhan berbuat sejauh itu tanpa alasan, dia bukan orang yang ceroboh." Ucap Indira lirih. "Selama ini dia bekerja dengan baik. Selama ini kami tak memiliki masalah keuangan, bahkan kami tak mempunyai utang maupun cicilan apapun."
Pak Erwin mengangguk pelan. "Kami pun berfikir demikian Indira. Selama ini kinerja Farhan sangat baik, dia sangat berdedikasi dan loyal. Itu sebabnya kami datang kesini, agar menemukan petunjuk yang mungkin bisa membantu menemukan Farhan dan menjernihkan semuanya."
Indira memandangi kedua tamunya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya seolah dicabik dari segala arah. Tanganya meremas ujung jilbabnya tanpa sadar, berusaha menenangkan guncangan di dadanya yang terasa mau meledak.
Ia ingin menyangkal dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua itu hanya salah paham. Tapi ekspresi serius Pak Erwin dan Jesika justru mengatakan kebalikanya. Dalam hati dia masih berharap farhan akan kembali, tersenyum padanya, mengelus perutnya, dan menjelaskan bahwa semuanya hanyalah salah paham.
Sayangnya, kenyataan tak selembut itu. Hingga Indira harus mengambil keputusan tegas, jika memang suaminya bersalah maka dia harus mempertanggung jawabkan kesalahanya.
"Saya akan bantu," ucap Indira akhirnya dengan suara serak. "Saya masih yakin Mas Farhan tak bermaksud buruk dengan membawa kabur uang perusahaan. Tapi jika dia sudah ditemukan, saya akan segera beritahukan pada Pak Erwin dan Bu Jesika, agar semuanya bisa dijelaskan" Indira berucap dengan tegas.
Pak Erwin dan Jesika saling berpandangan. Mereka bisa melihat kesedihan mendalam di hati Indira, sekaligus keteguhan hati.
"Terimakasih Indira" ucap Pak Erwin dengan suara tenang. "Kami tidak akan menyebarkan informasi ini ke publik. Kami hanya berharap Farhan bisa segera kembali dan menjelaskan semuanya, itulah yang terbaik bagi semua pihak."
Jesika bangkit dari duduknya, begitu juga dengan Pak Erwin, diikuti Indira.
"Terimakasih sudah datang ke sini, saya berharap kita bisa menemukan jawabanya."
Mereka bertiga berjalan menuju pintu. Saat Pak Erwin dan Jesika melangkah keluar, Indira tak langsung menutup pintu. Ia berdiri di ambang pintu, menatap langit yang mulai menggelap.
Angin bertiup pelan, membawa udara dingin yang menyesap hingga ke tulangnya. "Mas pulanglah..." Ucap Indira sambil mengelus perutnya. "Anak kita butuh ayahnya... Dan aku... Butuh jawaban."
Dua tahun kemudian.Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Di dalam butik kecil bernuansa pastel itu, Indira tampak sibuk melayani seorang klien yang datang untuk memesan gaun pengantin muslimah. Perutnya yang mulai membuncit tak sedikit pun mengurangi keanggunannya. Tak tampak lelah di wajahnya—justru senyum cerah dan gerakannya yang lincah menunjukkan betapa bahagianya ia kini.Tak lama kemudian, Aksara datang. Baru saja ia menyelesaikan shift di rumah sakit, dan seperti biasa, tujuannya hanya satu: menjemput istrinya pulang. Ia berdiri di dekat pintu, memperhatikan Indira yang masih berbincang dengan kliennya, lalu memilih menunggu dengan sabar.Begitu tamu itu pergi, Aksara melangkah mendekat dan berbicara lembut, “Sudah sore, Sayang. Saatnya pulang dan istirahat di rumah.”Indira menoleh sambil tersenyum kecil. “Butik lagi ramai, Mas. Aku pulang setelah Maghrib, ya?”Indira menoleh sambil tersenyum kecil. “Butik lagi ramai, Mas. Aku pulang setelah Maghrib, ya?”Aksara menggelen
Akibat kondisi mental Mayangsari yang terguncang, Indira tidak mendapatkan informasi apa pun tentang Ikhsan, meski naluri keibuannya menjerit ingin menolong anak yang tak berdosa itu. Dengan langkah berat, Indira bersama Aksara dan Randy meninggalkan kantor polisi. Namun baru saja mereka melangkah keluar dari gerbang, seorang perempuan tua berkerudung lusuh tampak tergopoh menghampiri. Napasnya terengah, tangannya gemetar memegangi tas kecil yang disampirkan di bahu. “Indira... tunggu, Nak... Ibu mau bicara!” serunya dengan suara serak, nyaris tercekik oleh usia dan kelelahan. Indira spontan berhenti, menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya menunjukkan keheranan sekaligus simpati saat melihat sosok renta itu berjalan tertatih mendekat. “Ada apa, Bu?” tanyanya lembut, menahan diri untuk tidak membuat perempuan itu semakin gugup. Perempuan tua itu menatap Indira dengan mata berkaca-kaca. Garis-garis usia di wajahnya semakin jelas di bawah cahaya sore yang redup. “Nak Indira...” suar
“Kondisi Mayangsari saat ini tidak memungkinkan untuk menjalani proses hukum." Ucap seorang perempuan paruh baya dengan seragam polisi. Petugas tersebut menatap Indira dengan tatapan lembut namun serius. "Setelah kami lakukan pemeriksaan fisik dan psikis, hasil sementara menunjukkan kemungkinan besar ia mengalami gangguan mental. Kami berencana merujuknya ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih lanjut,” ujarnya dengan nada penuh empati.Indira menatapnya tak percaya. Suaranya bergetar saat bertanya, “Maksud Ibu... Mayangsari sakit jiwa?”Polisi wanita itu mengangguk perlahan. “Benar. Tapi kami masih menunggu hasil diagnosa resmi dari dokter. Sementara ini, dia kami amankan agar tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”Indira terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, antara marah, kasihan, dan hampa yang sulit dijelaskan. Semua luka dan amarah yang sempat membara, kini bercampur dengan rasa iba yang tiba-tiba menyergap.“Apa saya diizinkan untuk bertemu dengannya?”
"Siapa... siapa yang melakukannya?" Suara Aksara terdengar bergetar, nyaris tak bisa menyembunyikan kepanikan yang menyesakkan dadanya."Mayangsari. Tapi perempuan itu sudah ditangkap." Randi menjawab dengan nada menahan emosi. Wajahnya tampak tegang, seperti menanggung beban rasa bersalah yang berat.Aksara mengepalkan tangan. “Sudah kubilang, jaga dia, Randy! Aku tahu ada orang yang ingin mencelakainya!” Nada suaranya meninggi, bukan karena marah semata, tapi karena takut kehilangan. Tatapan matanya menusuk penuh kekecewaan.Randy menunduk dalam, suaranya nyaris berbisik. “Maaf... aku lengah. Aku kira aman membiarkannya berjalan sendiri.” Pandangannya tertuju ke lantai klinik yang dingin, tempat Indira masih terbaring dengan perban di tangan dan lututnya.Beberapa detik kemudian, kelopak mata Indira bergerak pelan. Ia membuka matanya, pandangannya buram sebelum akhirnya fokus pada dua sosok pria yang berdiri di hadapannya.“Kak Aksa... Randy... ada apa?” suaranya lirih, serak, seola
“Selamat pagi, nama saya Randy. Saya diminta Pak Aksara untuk menjaga Bu Indira selama beraktivitas di luar rumah,” ucap seorang pria bertubuh tinggi dan berwajah tegas.Bu Fathimah yang baru saja membuka pintu menatapnya dengan dahi berkerut. “Menjaga Indira?” tanyanya, separuh kaget, separuh bingung. Sejak kapan putrinya perlu dijaga segala? batinnya.“Iya, Bu. Indira-nya ada di rumah?” tanya pria itu lagi dengan nada sopan dan ramah.“Sebentar ya, saya panggilkan dulu.” Bu Fathimah segera masuk ke dalam rumah, masih dengan ekspresi heran di wajahnya.Indira yang sedang bersiap di kamar langsung menoleh saat ibunya datang. “Nak, ada laki-laki di luar. Katanya namanya Randy, disuruh Aksara buat jagain kamu. Emangnya benar begitu?” tanya Bu Fathimah, nadanya penuh rasa ingin tahu.Indira menghela napas panjang, lalu melepasnya dengan satu hembusan berat. “Iya, Bu. Kak Aksa yang maksa. Katanya supaya Indira aman, jadi disuruhlah bodyguard itu datang.” jawabnya jujur.Tepat saat itu, po
"Kak Aksa, terima kasih… sudah datang tepat waktu," ucap Indira lirih, suaranya masih bergetar, meski mobil sudah melaju perlahan meninggalkan tempat penuh keributan akibat ulah Mayangsari.Aksara menatapnya sekilas dari balik kemudi, ekspresinya penuh khawatir. “Lain kali jangan pergi sendirian, Indira. Dunia ini nggak seaman yang kamu kira, apalagi setelah semua yang kamu alami.” Suaranya tegas, tapi nadanya lembut dan penuh perhatian.Indira hanya menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam di pangkuan. “Aku… aku nggak menyangka Mayangsari akan kembali menyerangku,” katanya pelan. “Setelah kejadian di pengadilan itu, aku pikir semuanya sudah selesai…”Aksara menarik napas dalam, menoleh sekilas lagi ke arahnya. “Jadi ini bukan pertama kalinya dia menyerangmu?” tanyanya, nada suaranya berubah kali ini ada kemarahan yang ditahan di sana.Indira mengangguk pelan, matanya menerawang ke luar jendela. “Iya, Kak. Entahlah, kenapa dia bisa sebegitu tega. Dia sudah mengambil segalan







