Home / Rumah Tangga / Suamiku Hilang saat Aku Hamil / 7. Kedatangan Pak Erwin dan Jesika

Share

7. Kedatangan Pak Erwin dan Jesika

Author: Rinda
last update Last Updated: 2025-07-22 11:51:34

"Pak Erwin, sudah lama menunggu?" Tanyaku setelah turun dari mobil. 

"Oh tidak, baru sekitar lima belas menit," jawab Pak Erwin yang saat itu mengenakan hem biru langit. "Perkenalkan ini asisten saya namanya Jesika" jawab Pak Erwin. Aku pun tersenyum sopan pada perempuan cantik di samping Pak Erwin dan menyalaminya. Sementara pada Pak Erwin sendiri, aku hanya menelungkupkan kedua telapak tangan di depan dada sambil sedikit menunduk.

Ibu membuka pintu rumah sedangkan ayah menurunkan barang dari mobil. Setelah pintu rumah terbuka, aku mempersilahkan Pak Erwin dan Jesika masuk, kemudian duduk di ruang tamu. Pak Erwin membuka percakapan, "Indira, kami turut prihatin atas menghilangnya Farhan. Dia adalah karyawan kami yang baik, pekerja keras, dan selalu menunjukan kinerja yang memuaskan."

"Terima kasih Pak," Indira menjawab pelan. "Saya juga masih tak percaya Mas Farhan menghilang begitu saja."

Jesika membuka tablet di pangkuanya, sesekali memandang layar dan mencatat sesuatu.

"Begini," lanjut Pak Erwin, "kami perlu tahu apakah sebelum menghilang Farhan mengucapkan sesuatu yang aneh, mencurigakan, atau berbeda dari biasanya? Kami butuh informasi, sekecil apapun mungkin bisa membantu."

Indira menggeleng pelan. "Tidak ada tanda-tanda aneh Pak. Pada hari itu dia bersikap sangat baik, mengelus dan mencium perutku sebelum berangkat kerja dan berjanji akan mengantar saya ke dokter sore harinya..." 

Indira menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh setiap kali dia mengingat hari terakhir bersama suaminya.

Pak Erwin bertukar pandang sejenak dengan Jesika, lalu berkata lebih serius "Kami sedang menyelidiki sesuatu lebih sensitif" ucapnya, lalu menghentikan kalimatnya menunggu respon Indira.

Indira mengangkat wajahnya, seolah bersiap mendengar apa yang ingin disampaikan Pak Erwin.

"Beberapa hari sebelum Farhan menghilang, ia sempat menarik dana dari perusahaan. Dana itu seharusnya dibayarkan pada vendor, tapi justru vendor mengkonfirmasi bahwa mereka belum menerima pembayaran tersebut."

Indira membeku mendengar ucapan Pak Erwin. Tenggorokanya terasa kering, namun sulit untuk menelan ludah. "Maksud Bapak... Mas Farhan membawa uang perusahaan?"

"Kami tidak ingin menyimpulkan terlalu cepat," jawab Pak Erwin. "Bisa saja, Farhan memiliki alasan lain. Tapi fakta bahwa dia menghilang dengan membawa dana perusahaan membuat kami khawatir."

"Kalau boleh tau, berapa jumlahnya?" Tanya Indira, ia tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

"Jumlahnya menurut kami cukup banyak... dua ratus lima pulu juta" jawab Jesika dengan hati-hati.

Indira menahan napas panjang. Kepalanya kembali terasa berat. Belum cukup dengan rasa kehilangan, ia harus menghadapi fakta bahwa kemungkinan suaminya terlibat masalah besar. Meskipun hatinya selalu menolak, bahwa suaminya tak mungkin melakukan perbuatan seperti itu.

Jesika menambahkan, "Kami berharap Farhan bisa segera ditemukan agar semuanya bisa dijelaskan. Kami juga tidak datang untuk menyudutkan siapapun, kami hanya bertanggung jawab terhadap kelancaran operasional perusahaan.

Indira memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan gemuruh yang seolah memberontak dalam dadanya. "Kalau benar Mas Farhan membawa uang itu... Kenapa dia tak bilang apa-apa padaku?" Gumamnya lirih.

Seingat Indira, mereka tak pernah memiliki masalah keuangan walau kehidupan mereka sederhana. Berapapun jumlah uang yang diberikan Farhan, Indira selalu mencukupkan dan membantu memenuhinya dari hasil usahanya berjualan baju. Jika benar Farhan membawa uang perusahaan sebesar itu, untuk apa?

Berbagai pertanyaan yang muncul di benak Indira membuat kepalanya ngilu.

"Saya tidak percaya Mas Farhan berbuat sejauh itu tanpa alasan, dia bukan orang yang ceroboh." Ucap Indira lirih. "Selama ini dia bekerja dengan baik. Selama ini kami tak memiliki masalah keuangan, bahkan kami tak mempunyai utang maupun cicilan apapun."

Pak Erwin mengangguk pelan. "Kami pun berfikir demikian Indira. Selama ini kinerja Farhan sangat baik, dia sangat berdedikasi dan loyal. Itu sebabnya kami datang kesini, agar menemukan petunjuk yang mungkin bisa membantu menemukan Farhan dan menjernihkan semuanya."

Indira memandangi kedua tamunya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya seolah dicabik dari segala arah. Tanganya meremas ujung jilbabnya tanpa sadar, berusaha menenangkan guncangan di dadanya yang terasa mau meledak.

Ia ingin menyangkal dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua itu hanya salah paham. Tapi ekspresi serius Pak Erwin dan Jesika justru mengatakan kebalikanya. Dalam hati dia masih berharap farhan akan kembali, tersenyum padanya, mengelus perutnya, dan menjelaskan bahwa semuanya hanyalah salah paham. 

Sayangnya, kenyataan tak selembut itu. Hingga Indira harus mengambil keputusan tegas, jika memang suaminya bersalah maka dia harus mempertanggung jawabkan kesalahanya.

"Saya akan bantu," ucap Indira akhirnya dengan suara serak. "Saya masih yakin Mas Farhan tak bermaksud buruk dengan membawa kabur uang perusahaan. Tapi jika dia sudah ditemukan, saya akan segera beritahukan pada Pak Erwin dan Bu Jesika, agar semuanya bisa dijelaskan" Indira berucap dengan tegas.

Pak Erwin dan Jesika saling berpandangan. Mereka bisa melihat kesedihan mendalam di hati Indira, sekaligus keteguhan hati.

"Terimakasih Indira" ucap Pak Erwin dengan suara tenang. "Kami tidak akan menyebarkan informasi ini ke publik. Kami hanya berharap Farhan bisa segera kembali dan menjelaskan semuanya, itulah yang terbaik bagi semua pihak."

Jesika bangkit dari duduknya, begitu juga dengan Pak Erwin, diikuti Indira. 

"Terimakasih sudah datang ke sini, saya berharap kita bisa menemukan jawabanya." 

Mereka bertiga berjalan menuju pintu. Saat Pak Erwin dan Jesika melangkah keluar, Indira tak langsung menutup pintu. Ia berdiri di ambang pintu, menatap langit yang mulai menggelap.

Angin bertiup pelan, membawa udara dingin yang menyesap hingga ke tulangnya. "Mas pulanglah..." Ucap Indira sambil mengelus perutnya. "Anak kita butuh ayahnya... Dan aku... Butuh jawaban."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   44. Luka yang kembali berdarah

    Plak!Tamparan itu mendarat telak di pipi Indira—keras, tiba-tiba, dan penuh amarah. Suara tamparan menggema di parkiran yang sepi, membuat beberapa orang menoleh heran. Indira tertegun. Rasa panas menjalar di pipinya, diikuti perasaan campur aduk antara kaget dan marah yang nyaris meledak.“Kurang ajar kau, gundik!” seru Indira dengan suara bergetar, bukan karena takut, tapi karena menahan amarah yang memuncak. Tangannya terangkat, lalu balas menampar pipi kiri Mayangsari dengan keras—bunyi tamparan itu sama nyaringnya.“Berani-beraninya kau menamparku!”Mayangsari terhuyung setengah langkah, rambutnya terurai menutupi wajah. Pipi kirinya memerah, tapi yang lebih menyala adalah matanya—mata seorang perempuan yang dikuasai kemarahan.“Kau tega, Indira!” jeritnya, suaranya pecah, penuh emosi. “Kau tega memisahkan ayah dari anaknya! Anak yang bahkan baru berusia dua tahun!”“Kau tega, Indira!” jerit Mayangsari, suaranya pecah dan menggema di area parkiran yang mulai dipenuhi tatapan her

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   43. Apa yang diinginkan Mayangsari?

    "Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu Indira..." suara Aksara terdengar lembut, nyaris berbisik. Tatapannya menelusuri wajah Indira dengan penuh perhatian, seolah mencoba membaca isi hatinya tanpa perlu bertanya lagi.Indira menunduk, merasakan debaran kuat di jantungnya. Namun satu sisi hatinya merasa bersalah, ia masih menjadi istri orang walaupun sedang dalam proses perceraian. Seharusnya tidak terlalu dekat dengan Aksara.“Seperti yang Kak Aksa lihat,” ucapnya lirih, mencoba tersenyum. “Aku baik.”Aksara mengangguk pelan. “Kamu sudah yakin dengan keputusanmu untuk berpisah dengan Farhan? Aku cuma takut kamu terburu-buru… mungkin karena masih emosi.”Indira terdiam. Matanya tak menatap Aksara, melainkan tertuju pada taman kecil di depan rumah. Sinar matahari sore menyusup di antara daun, menciptakan kilau keemasan di kelopak bunga. Seekor kupu-kupu kuning hinggap, lalu terbang pelan seolah menari di udara."Wanita mana yang masih akan terus bertahan, setelah ditinggalkan dalam

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   42. Kecanggungan yang hangat

    “Jadi… kalian berdua akan menikah?” tanya Indira dengan nada getir.Aksara dan Livia sontak saling berpandangan, sama-sama kebingungan.“Aku?” Aksara menunjuk dirinya sendiri dengan dahi berkerut, jelas tak paham maksudnya.Livia yang lebih cepat menangkap arah pikiran Indira langsung terkekeh pelan. “Oh, bukan, Indira!” katanya sambil menggeleng cepat. “Bukan aku dengan Aksara… tapi aku dengan Adrian!”“Adrian?” Indira berkedip, tampak malu sendiri. “Oh… aku kira kalian…” ia tak melanjutkan, tapi kalimatnya menggantung cukup jelas.Livia langsung menepuk lututnya sambil tertawa geli. “Astaga, Indira! Dari mana bisa kepikiran begitu? Mana mungkin aku dan Aksara!” katanya sambil melirik pria itu dengan ekspresi geli. “Kami cuma bersahabat sejak kuliah, iya kan, Aksa?”Aksara hanya tersenyum, menggeleng kecil. “Iya Indira, kedekatanku dan Livia lebih seperti sepasang sahabat, jika lebih dekat dari itu maka kami adalah saudara..."Indira ikut tersenyum malu, pipinya memanas, tapi ada kel

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   41. Kejutan dari Livia

    Sore itu, cahaya matahari yang hangat menembus sela-sela dedaunan, memantul di wajah Indira yang tengah memangkas daun-daun kering di pot milik Bu Fatma. Jemarinya lincah memotong satu per satu ranting, sampai suara mesin mobil yang berhenti di depan pagar rumah membuat gerakannya terhenti.Ia menoleh spontan. Sebuah mobil hitam mengilap terparkir di halaman. Dari balik kaca, ia mengenali sosok yang sangat familiar—Aksara.“Kak Aksa…” gumamnya lirih. Hatinya berdetak tak karuan. Gunting tanaman di tangannya terlepas begitu saja ke tanah. Ada senyum kecil yang tak sempat ia tahan, seolah tubuhnya lebih dulu bereaksi sebelum pikirannya sempat menimbang.Namun senyum itu perlahan memudar begitu pintu sisi penumpang terbuka. Livia keluar menyusul, menutup pintu mobil dengan senyum ramah yang menyilaukan.Indira terpaku. Ada jeda aneh di dadanya—antara malu, kaget, dan sesuatu yang seperti tertusuk pelan.Angin sore yang tadi terasa hangat kini seolah dingin dan kering.Dia menelan ludah,

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   40. Terkurung oleh dosamu sendiri

    Selepas kepergian Fani, Farhan meringkuk di sudut sel yang lembap. Punggungnya menempel pada dinding semen dingin yang mulai berjamur. Lampu di langit-langit berkedip lemah, menyorot wajahnya yang pucat dan mata cekungnya yang penuh kegelisahan. “Indira…” bisiknya parau, hampir tak terdengar. Napasnya berat, dada naik turun cepat seolah menahan sesak yang tak mau reda. “Seharusnya kamu datang menemuiku… kamu istriku, Indira… masih sah istriku.” Ia menatap kosong ke arah jeruji besi yang kini tampak seperti dinding tak berujung. Suara langkah petugas dari kejauhan terdengar samar, diselingi bunyi rantai pintu yang beradu, mengingatkannya bahwa kebebasan kini hanya sebatas mimpi. “Selama ini kamu yang selalu membelaku,” lanjutnya lirih, suaranya bergetar di antara isak tertahan. “Kamu rela membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan jualan baju secara online, kamu menjadi ibu rumah tangga yang seluruhnya melayaniku… Kamu pasti masih peduli padaku, kan?” Farhan menunduk, menatap

  • Suamiku Hilang saat Aku Hamil   39. Harapan terakhir yang pergi

    “Polisi menghubungiku… katanya kamu ada di sini, Farhan.”Kalimat pertama yang keluar dari bibir Mbak Fani terdengar tenang, tapi tajam seperti pisau yang menyayat perlahan tanpa ampun.Farhan menunduk, tenggorokannya terasa kering. Ia berusaha bicara, namun suaranya nyaris tak terdengar.“Maafkan aku, Mbak… aku selalu merepotkanmu.”Mbak Fani terkekeh pelan, tapi tawa itu getir dan pahit.“Merepotkan? Kamu bukan cuma merepotkan, Farhhan. Kamu menghancurkan segalanya!”Suaranya meninggi di akhir kalimat, membuat beberapa petugas menoleh sekilas. Namun ia tak peduli. Air matanya menumpuk di pelupuk mata, tapi ia menahannya dengan paksa.“Berbulan-bulan Indira mencarimu sampai kehilangan bayinya… berbulan-bulan Ibu menunggumu pulang, berharap kamu masih hidup, masih waras. Tapi kamu? Kamu malah hilang bersama perempuan lain, pakai uang orang, dan bikin nama keluarga hancur!”Napasnya tersengal, suaranya pecah di tengah kalimat. “Ibu jatuh sakit karena stres, Han. Dia nggak kuat lagi… da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status