Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya.
"Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak, menatap tak percaya. Dari sudut matanya, ia melihat bukit yang tak jauh dari tempatnya berada—arah rumahnya. Sebuah bayangan kecil di kejauhan, memegang senapan. Aezar tersenyum samar dan mengangkat tangan memberi hormat. "Kerja bagus, gadis pintar." Tapi ini belum selesai. Ia segera memutar tongkat di tangannya dan kembali menghajar zombie yang tersisa. --- "Aw!" Jeritan Ara menggema di atas balkon saat tubuhnya terjatuh ke lantai dengan keras. Ia meringis, memegangi bokongnya yang kini terasa nyeri akibat hentakan senapan yang baru saja ia tembakkan. "Aduh! Kenapa tidak ada peringatan kalau senapan itu tidak semudah di game!" keluhnya sambil mendudukkan diri. Ia menghela napas panjang, merasakan rasa sakit yang menyebar ke punggungnya. "Huft… sial, hukum Newton Tiga benar-benar nyata." Ara memandang senapan yang tergeletak tak jauh darinya. Dengan susah payah, ia merangkak mengambilnya, lalu bersandar di dinding, mencoba kembali menyesuaikan tubuhnya yang ringkih dengan senjata itu. Ia memposisikan lutut kanannya di lantai, sementara kaki kirinya dimajukan ke depan sebagai penyangga. Dengan hati-hati, ia menempelkan mata kanannya ke teleskop senapan. "Pria itu benar-benar gila... Lihat itu, zombie makin banyak!" gumamnya sambil menyesuaikan bidikannya. Ara menggigit bibir, merasa cemas melihat Aezar terus dihimpit oleh gerombolan mayat hidup. "Huft..." Setelah menarik napas dalam, Ara bergumam lagi dengan suara gemetar, "Aku harus membantu. Tidak ada pilihan lain." Namun, rasa nyeri di tubuhnya memaksa Ara untuk mengubah posisinya lagi. Kali ini, ia memilih tengkurap di lantai, menumpu senapan dengan siku-sikunya. "Lebih stabil... Anggap saja seperti main game," katanya kepada dirinya sendiri, mencoba menyemangati. "Lagipula, aku tidak mau jatuh lagi seperti tadi." Ara menggeser senapan, membidik zombie yang paling mendekati Aezar. Matanya terfokus, mengikuti gerakan makhluk itu. "Menurut perhitunganku, dia akan sampai ke titik ini..." Ia menyesuaikan bidikannya, tubuhnya benar-benar diam seakan ia menyatu dengan senapan. "Huft..." Ara menarik napas panjang, menahan udara di paru-parunya. Saat zombie itu masuk dalam garis tembak, ia menarik pelatuk dengan yakin. "Rasakan ini!" serunya dengan suara penuh tekad. Dor! Peluru melesat dengan presisi sempurna, menembus kepala zombie itu. Kepala makhluk itu meledak seperti melon yang dihantam keras, dan tubuhnya langsung ambruk tanpa perlawanan. "Yes! Headshot!" Ara berteriak penuh kemenangan, namun ia tak punya waktu untuk merayakan lama. Zombie-zombie lain masih datang, dan pria gilanya itu masih bertarung di lapangan. Ara meraih senapan kembali, melanjutkan usahanya memberikan perlindungan dari jauh. "Ayo, Aezar... Jangan mati di sana!" gumamnya dengan cemas, matanya kembali fokus pada bidikan teleskop. "Arrrghhh!" Aezar berteriak, urat-urat di lengannya menegang saat ia berusaha menahan mulut zombie yang menganga lebar dengan tongkat baseball di tangannya. Makhluk busuk itu terus mendesak, giginya yang tajam berkilat menunggu kesempatan untuk mencabik kulit Aezar. Namun, sejenak konsentrasinya pecah. Matanya membelalak melihat ke arah salah satu zombie yang muncul di hadapannya. "Apa-apaan ini... Zombie itu... Ke-kenapa dia membawa barbel?" pikirnya, napasnya memburu. Zombie bertubuh raksasa dengan otot kekar dan postur yang menjulang tinggi mendekatinya, menyeret sebuah barbel panjang di tangan. Tanpa peringatan, zombie itu mengayunkan barbel dengan kekuatan penuh ke arah kepala Aezar. Dor! Sebelum barbel itu mengenai sasaran, sebuah peluru meluncur dari kejauhan, tepat menembus kepala zombie raksasa tersebut. Cipratan darah dan potongan otak membanjiri udara, dan tubuh besar itu ambruk dengan suara debuman keras, mengguncang aspal di bawahnya. Menyadari kesempatan, Aezar langsung mencabut tongkat baseball dari mulut zombie yang masih ia tahan. Dengan gerakan cepat dan kasar, ia membalik tongkat itu, memegangnya terbalik seperti tombak. "Saatnya kau diam selamanya," gumamnya dengan suara rendah, penuh amarah. Ia menghujamkan tongkat itu kembali ke mulut zombie yang terus menganga, mendorongnya semakin dalam hingga suara gemeretak tulang terdengar. Darah segar mengucur deras dari mulut makhluk itu, bercampur dengan suara geraman yang perlahan melemah. Aezar mencabut tongkat itu dengan kekuatan penuh, membuat cipratan darah berhamburan, lalu melempar tongkatnya dengan presisi. Bug! Bug! Tongkat itu menghantam kepala dua zombie yang mendekat, membuat mereka terjatuh bersamaan, kepala mereka remuk seketika. "Sekali aksi, dua tiga zombie teratasi," gumam Aezar sambil menghela napas. "Tapi ini belum selesai." Mata Aezar tertuju pada barbel yang tergeletak tak jauh darinya. Ia berjongkok cepat, meraihnya, lalu mengangkatnya dengan satu tangan. "Hmm, lumayan juga untuk senjata." Aezar tersenyum miring, merasakan bobot barbel itu di tangannya. Tapi, seperti tak memberinya jeda, lima zombie sekaligus berlari ke arahnya dengan kecepatan brutal, mengeluarkan suara geraman yang mengerikan. Aezar tak gentar. Dengan lincah, ia mulai memutar-mutar barbel seperti seorang mayoret, menggunakannya untuk menjaga jarak. "Het!" serunya sambil mendorong zombie-zombie itu dengan ujung bola barbel, menghantam tubuh mereka hingga terdorong mundur. Satu persatu mereka terpental seperti boneka kain, namun mereka terus kembali bangkit dengan gerakan lamban tapi mematikan. Tanpa mengendurkan serangan, Aezar mengubah pola serangannya. Ia memutar barbel lebih cepat, menghasilkan suara desingan tajam saat udara terbelah. Dengan satu ayunan penuh, ia memukul kepala dua zombie yang mendekat. Bug! Bug! Kepala mereka pecah bersamaan, tubuhnya roboh tanpa sempat mendekat lebih jauh. "Masih mau coba lagi?" tantangnya kepada zombie-zombie lain yang tersisa. Matanya menyala penuh determinasi. Aezar melangkah maju, barbel di tangannya kini berubah menjadi senjata penghancur maut. Ia bersiap menghadapi apapun yang datang berikutnya.Langit masih kelam ketika mobil mereka akhirnya mencapai perbatasan luar kota. Garis polisi yang sebelumnya mengisolasi area kini telah terbuka lebar, menandakan berakhirnya mimpi buruk yang sempat mengancam kota.Di kejauhan, siluet mayat-mayat zombie yang telah dimusnahkan berserakan di jalanan. Tim kepolisian sibuk membersihkan sisa-sisa kekacauan—mengangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa, menyapu noda darah yang membanjiri aspal, dan memastikan tidak ada ancaman yang tersisa.Namun, Aezar tidak tertarik untuk terlibat lebih jauh.Dengan santai, ia menancapkan gas, menerobos jalan tanpa sedikit pun niat untuk berhenti.Beberapa petugas sempat melirik, tapi begitu menyadari mobil itu milik salah satu anggota mafia, mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya memilih mengabaikan. Mereka tahu lebih baik untuk tidak ikut campur.Setelah menempuh perjalanan tanpa hambatan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah apartemen megah, berdiri kokoh di tengah kota.Aezar membuka pintu dan
Aezar meraung.Suara itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang setiap jiwa yang mendengarnya. Aura merah menyelimuti tubuhnya, bergolak seperti lautan api yang siap membakar siapa pun yang menghalangi jalannya.Kecepatannya meningkat.Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah melesat ke arah kawanan werewolf. Dengan brutal, taringnya menancap satu per satu ke leher mereka, meneguk darah hangat yang mengalir deras. Para werewolf bahkan tak sempat menghindar, hanya bisa melolong sebelum kekuatan mereka disedot hingga ke titik nol.Aezar semakin kuat. Nafsu membunuhnya semakin meluap.Aether menyadari bahaya ini. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, mencoba menghadang kakaknya.Namun Aezar tak peduli.Tanpa ragu, ia menangkap tubuh Aether dengan satu tangan, lalu menariknya dengan kasar sebelum membantingnya ke dinding sekeras mungkin.Brakkk!Dinding itu retak, tubuh Aether terhuyung sebelum jatuh tersungkur. Ia meringis, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia masih cukup sadar un
Aezar menatap musuh-musuh di depannya dengan tajam. Pupil merahnya bersinar seperti bara api, taringnya memanjang, dan aura haus darahnya semakin pekat. Dengan suara rendah, hampir seperti gumaman kepada dirinya sendiri, dia berbisik, "Kemarilah, minumanku..."Tanpa peringatan, tubuhnya melesat secepat bayangan, menerjang pasukan werewolf yang mengepungnya. Dalam satu gerakan cepat, dia menangkap seorang werewolf yang terlihat lebih lemah dari yang lain. Taringnya langsung menancap ke leher makhluk itu, merobek kulit dan dagingnya dengan mudah.Darah hangat mengalir deras ke tenggorokannya."Ahhh..." Aezar mendesah puas, matanya semakin menyala. Energi dan kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya, membuat luka-luka kecil yang tersisa menutup lebih cepat.Sementara itu, Ara dan Dharma hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Wajah Ara dipenuhi kekhawatiran. "Bagaimana, Papa?" bisiknya lirih.Dharma menatap istrinya yang masih terbaring lemah bersama kedua putrinya di atas ranjang beroda. Wajah
Ara akhirnya berhasil melepaskan ikatan di tubuh Dharma. Dengan tangan gemetar, dia mencengkeram lengan ayahnya dan menariknya untuk segera berlari keluar dari tempat itu. Nafasnya memburu, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya jauh lebih kuat."Sial!" geram Darius, ekspresi ganasnya semakin menyeramkan di bawah cahaya remang-remang laboratorium. Dia baru hendak melangkah mengejar, namun sepasang tangan yang penuh darah mencengkeram pergelangan kakinya dengan erat.Aezar.Meski tubuhnya telah babak belur, meski darah terus mengalir dari luka-luka di tubuhnya, dia tetap tidak melepaskan cengkeramannya. Matanya yang merah berkilat, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan."Lawanmu adalah aku," gumamnya lirih, namun suaranya terdengar seperti lonceng kematian di telinga Darius.Darius menyeringai marah. "Sialan!" Dengan kekuatan penuh, dia menendang rahang Aezar, membuat kepala vampir itu terhentak ke belakang dengan keras. Tulang-tulangnya berderak, darah segar mengalir dari sudut bibirny
"Di mana Mama dan adik-adikku?!"Suara Ara menggema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan kemarahan yang tak terbendung. Sorot matanya membara, penuh dengan amarah dan tekad. Ia menatap tajam ke arah Darius, tubuhnya menegang dalam ketidakberdayaan. "Lepaskan Papa dan kembalikan keluargaku!"Darius menanggapinya dengan seringai lebar. Dalam kegelapan ruangan, perlahan telinga serigala mulai muncul di kepalanya, mencuat di antara helaian rambutnya yang cokelat tua. Sebuah ekor berbulu lebat menembus bagian belakang celananya, bergerak dengan liar seiring dengan geliat tubuhnya yang berubah."Kalau aku tidak mau, apa yang ingin kau lakukan, gadis kecil?" suaranya rendah, parau, penuh ejekan.Tiba-tiba, Darius menghilang dari tempatnya berdiri. Hanya dalam sekejap, dia telah melesat ke arah Ara, begitu cepat hingga nyaris tak kasat mata. Udara bergemuruh saat tubuhnya melayang, cakarnya yang tajam melesat dengan kecepatan mematikan, siap mencabik tubuh Ara."Ara!!"Teriakan Dharma me
Setelah seminggu penuh Aezar merawatnya dengan sabar, akhirnya tubuh Ara mulai pulih. Meski langkahnya masih sedikit tertatih dan belum sepenuhnya normal, rasa sakit yang dulu mencengkeram setiap inci tubuhnya kini mulai berkurang. Tenaganya sudah kembali, dan semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Ara menatap Aezar dengan mata berbinar, penuh harapan. "Sekarang, kita bisa menyelamatkan Papa, Mama, dan adik-adikku!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Namun, alih-alih ikut bersemangat, Aezar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua alisnya bertaut, dan matanya yang merah menyala memancarkan keraguan yang dalam. "Apa kau yakin akan baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu lagi. Bagaimana jika kau menunggu di sini saja?"Ara terdiam. Ia tidak ingin ditinggalkan sendirian. Tidak lagi. Pikirannya berputar cepat, mencari alasan yang cukup masuk akal agar Aezar tidak bersikeras meninggalkannya. Lalu, sebe