“Ayu! Lama banget sih, mana bubur saya!” teriak Ibu mertuaku nyaring.
Ini adalah hari pertamaku tinggal di rumah Keluarga Wicaksono. Ditinggal Jovan bekerja, aku tidak menyangka Ibu mertua dan kakak iparku benar-benar menyiksaku segininya.
Aku berlari bolak balik dari dapur ke ruang keluarga untuk sekedar meladeni permintaan konyol mereka. “Ini, Mah, buburnya,” ucapku dengan napas tersenggal-senggal.
Sementara itu dua orang yang membuatku menderita ini justru bertumpang kaki sembari memakan camilan yang sengaja Jovan beli untuk aku makan di sini. Itu adalah cemilan favoritku. Granola manis rasa blueberry.
“Kak, itu kan punya aku.” Aku memberanikan diri untuk menyuarakan hakku.
“Halah, terus kenapa kalo punya kamu? Lagian itu kan Jovan yang beli. Pelit banget sih jadi orang? Pantes miskin!” cercanya.
Aku mengepalkan tanganku menahan amarah. Dasar orang tidak tahu diri! Merampas hak orang tetapi
“Hah!” aku menenggak segelas minuman keras untuk kesekian kali. Sungguh, ini pertama kalinya aku minum-minum seperti ini. Aku menyamar sedemikian rupa agar tidak terciduk oleh Jovan ataupun orang yang aku kenal. Namun, sepertinya aku gagal menipu satu pemuda yang kini tersenyum melihatku mabuk. “Kamu lucu banget kalo mabuk gini,” kata Marcel sembari menguyel-uyel pipiku. Mataku yang sedikit kabur masih menangkap raut wajahnya yang semakin riang melihatku hampir kehilangan kesadaran. Aku dituntun menuju ruangan privat Marcel agar bisa melepaskan stressku dengan leluasa. “Aku rasa iblis bukan ada di neraka, melainkan di rumah itu! Bisa gila aku jika terus-terusan tinggal di sana,” gerutuku. Hampir satu jam Marcel mendengarkan celotehanku mengenai keluarga Jovan. Awalnya tujuanku ke sini memang untuk mabuk, tetapi sekaligus ingin memberi tahu sesuatu pada lelaki di depanku. “Oh iya, Marcel.” Aku memusatkan seluruh atensiku pada Marcel. Pelan-pelan aku mengembalikan kesadaranku walau
“Huwek … Mhh.” Pagi-pagi aku berlari menuju wastafel entah untuk memuntahkan apa. Tidak ada yang keluar dari mulutku, tetapi rasanya perutku mual luar biasa. “Ayu? Kamu kenapa?” tanya Jovan bergegas berlari menghampiriku yang masih berusaha memuntahkan sesuatu.Apakah aku salah makan sesuatu? pikirku. Aku sendiri heran mengapa tiba-tiba seolah ada hal menggelitik di dalam sana yang membuatku ingin muntah. Rasa aneh yang belum pernah aku rasakan, sekaligus aku merasa kesal sebab ini melelahkan.Tengkukku dielus-elus Jovan berharap muntahku akan tuntas. Cukup lama aku seakan berakting muntah, benar-benar tidak ada buahnya. Aku membasuh mulutku yang masih kering, menatap wajah suamiku yang cemas sekaligus bingung. “Yu, jangan-jangan … kamu hamil?” tanya Jovan yang membuatku hampir menamparnya ke dinding. Aku memasang wajah datar sebagai respon perkataan Jovan. Bagiku itu tidak
“Ayu, jawab. Aku tanya sama kamu kan?” Jovan kembali melayangkan tanya padaku yang tak kunjung menjawab. Pikiranku buntu, apa yang harus aku katakan? “Jovan … maaf. Akhir-akhir ini pikiranku sedang kacau, aku terpaksa minum-minum untuk meredakan stressku,” jawabku takut-takut, lagi pula jika aku menjawab jujur memang apa yang akan Jovan lakukan? Aku stress karena keluarganya, apakah dia akan menentang keluarganya untukku? Jovan membuang napas gusar, sepertinya dia sedang mengontrol amarahnya. Mengingat aku sedang hamil dan dokter berkata aku tengah stress, dia tidak mungkin membentakku hanya karena aku minum-minum. Lagi pula itu sudah berlalu. “Sudahlah, lain kali jangan diulangi lagi. Aku tidak tahu kamu memikirkan apa sampai sesetress itu. Apa kamu tidak mau cerita sama aku? Apa aku bukan pendengar yang baik bagi kamu?” tanya Jovan dengan wajah kecewanya. Ah, aku benar-benar goyah. Aku memeluk suamiku itu dengan sayang. Benar, kenapa aku tidak berce
“Sudah kubilang bukan? Kamu pasti akan datang padaku.” Marcel duduk menyilangkan kakinya sembari menyesap wine di tangannya. Aku tidak percaya, aku benar-benar datang ke apartemen Marcel untuk menyetujui ajakan menjadi kekasih gelapnya. Rasanya semua harga diri yang sudah aku bangun tinggi roboh begitu saja. “Apa kamu tidak bisa berhenti saja? Aku yakin semua ini adalah ulahmu,” ujarku mencerca lelaki itu. Ada rasa kesal tak terbendung pada pria di depanku ini. 1 bulan setelah Jovan mendapatkan gaji pertamanya, tiba-tiba Jovan di PHK dengan alasan yang tak masuk akal dari perusahaannya. Selama lebih dari 2 bulan aku tidak pernah bertemu dengan Marcel, dia bahkan benar-benar tidak datang pada perayaan kehamilanku. “Apa maksud kamu? Aku tidak berbuat apapun,” jawab Marcel dengan santai. Dia memandangiku dengan raut nakal yang kentara. Menunjukkan keangkuhan sekaligus kemenangan akan pembala
Beberapa hari sebelumnya ... “Hari ini hari terakhir kamu bekerja ya. Silakan ke bagian SDM untuk mendapat pesangon kamu. Saya kasih pesangon karena kamu anak dari Brata,” ucap Bos Perusahaan Jovan. Pagi ini tiba-tiba dia dipanggil ke ruangan direktur. Jovan kira dia akan mendapatkan insentif karena strategi marketing yang dia usulkan berdampak pada profit perusahaan. Namun, mengapa justru dia mendapat pemecatan sepihak? “T-tunggu-tunggu pak, ini saya nggak salah denger? Kenapa saya dipecat?” tanya Jovan. Dia harap dia salah dengar, pasalnya ini sangat tidak masuk akal. 1 bulan berjalan dengan damai dan dia sering mendapatkan pujian. Lantas apakah Jovan harus terima begitu saja pada keputusan tidak masuk akal yang dia dapatkan? “Kita kelebihan karyawan. Alasan mendetail silakan tanya ke SDM, kamu liat kan saya lagi sibuk?” kata Rendra, Pemilik dari Start up Real Estate. Apa yang dimaksud Rendra sibuk adalah dengan memainkan game angry bird di saat jam kerja? Namun, percuma saja
Lagi-lagi aku ditugaskan untuk mengantar Marcel ke depan. Jovan ingin membicarakan terkait kepulangan kami ke rumah dengan Jessica. Saat ini aku justru sangat ingin kabur, di saat seperti ini aku begitu menyesali awal mula aku dan Marcel bertemu. Mengapa hal tidak perlu seperti itu harus terjadi? Lihatlah dampaknya pada masa depanku saat ini.Aku mendengus kesal, sedari tadi Marcel terus memandangiku dengan senyuman menjengkelkannya. Dia seolah berkata, kali ini kamu tidak bisa menolakku lagi. Aku tahu itu!“Berhenti senyum-senyum nggak jelas dan pulanglah. Aku harap kamu tidak datang di pesta nanti seperti biasanya,” tukasku.Kata-kata dinginku tidak berpengaruh pada pemuda yang satu ini. “Eiy, bagaimana aku bisa tidak datang di pesta perayaan menyambut anakku?” tanyanya.Aku sontak melotot, apa yang dia katakan? Bagaimana jika ada yang mendengar? Ini masih di depan rumah Jessica!“Hati-hati dengan ucapanmu itu Marcel
“Sial! Aku harus merelakan uang hasil dari gajiku bersusah payah jadi guru hanya untuk kasih hadiah buat dua orang itu,” gerutu Ayu.Dia kini sudah membawa sebuah hadiah yang tentunya tidak murah untuk diberikan pada dua temannya, Elisa dan Ayu yang menagih janji pada Ayu atas kehamilannya. Perempuan itu berjalan dengan muka malas, apakah dia balik lagi saja dan membelikan yang lebih murah? 5 juta untuk sebuah jam tangan, walaupun itu tipe yang paling murah dari seri yang Ayu beli. Tetap saja, ada rasa tidak Ikhlas dalam dirinya.“Apa aku kasih yang KW aja kali ya?”Ah, Elisa dan Utami rasanya tidak sebodoh itu dengan tidak bisa membedakan mana yang asli dan palsu. Selama berteman dengan Ayu, tangan mereka mungkin sudah handal dalam merasakan keaslian dari barang mewah yang mereka beli.“Eh, Ayu! Sini, sini!” kata Elisa melambai-lambaikan tangannya.Ayu membuang napasnya berat setelah sebelumnya tersenyum palsu pada Elisa. Dia sudah tidak
“Gimana hari ini?” tanya Ayu pada Jovan yang baru pulang dari interviewnya untuk Perusahaan baru. Melihat wajah Jovan yang murung membuat Ayu bisa menebak agaknya apa jawaban Jovan untuk pertanyaannya. Gelengan kepala dijadikan balasan oleh suaminya itu. Ini sudah yang keberapa kali Jovan ditolak Perusahaan baru. Rasanya aneh, kenapa tidak ada satupun yang berhasil. “Kalo kayak gini terus … gimana nasib kita?” tanya Ayu dengan suara pelan. “Nggak tahu, aku udah capek,” celetuk Jovan. Rupanya lelaki itu mendengar perkataan Ayu, sontak Perempuan itu terkejut. Bisa-bisanya Jovan mengatakan tidak tahu dan dia sudah lelah, masa depan keduanya seakan disepelekan begitu saja. Jovan berbaring dan bersembunyi di bawah selimut, seperti yang biasanya dia lakukan setiap harinya. Ayu jengah melihatnya, bukannya dia tidak menghargai usaha suaminya. Namun, sikapnya mencerminkan seorang pecundang. Mana janjinya yang akan berusaha untuk keluarga kecil mereka ketika akhirnya Ayu sedang hamil? “Jov