Share

BAB 4 - Selingkuh

Marcel! Nanti Jovan denger gimana?” sentakku berbisik, walaupun begitu kiranya pipiku sudah seperti tomat.

Aku lihat Marcel tertawa dengan manisnya sembari ikut membantuku menuntun Jovan menuju ranjang.

Lekas kami merebahkan Jovan di ranjang, aku dan Marcel saling menatap satu sama lain. Mata Marcel yang tak goyah menatap diriku membuatku terpaku. Larut malam, berdua, di kamar.

“Ah, tidak-tidak . Apa yang ada di otakku? Marcel itu teman suamiku, sadarlah Ayu!” ucapku dalam hati merasa gemas dengan pikiran kotorku sendiri.

“Hayo, mikirin apa?” tanya Marcel tersenyum jahil padaku.

Lelaki itu berniat mendekat, tapi dengan sigap aku raih tangannya untuk keluar dari kamar. Aku menutup pintu kamar rapat-rapat dengan jantung berdegup cepat, seakan takut Jovan terbangun lalu melihat kami.

“Emm ... makasih ya, udah anterin Jovan. Ayo aku antar ke depan,” ucapku dengan cepat sembari melangkahkan kaki menuju teras.

Namun, sebuah tangan kekar tiba-tiba mendekapku dari belakang, menghirup dalam-dalam aroma tubuhku yang mungkin memabukkan baginya.

“Marcel ....”

Marcel tanpa malu mengendus tengkukku dengan sungguh, membuat bulu kudukku merinding. Lelaki yang menyentuhku hanyalah Jovan, mendapat sentuhan intim dari laki-laki lain membuatku bergidik ngeri.

“Biarkan seperti ini dulu,” cicit Marcel yang bersembunyi di tengkukku.

Sial, aku juga menyukainya.

Semakin aku diam, Marcel mengira itu adalah tanda setuju. Tangannya dengan nakal memanjat perutku, mencari-cari titik sensitif yang sekiranya akan membuatku terbuay oleh sentuhannya.

Namun, dengan sigap aku melepas Marcel. “Cukup. Kamu keterlaluan Marcel, aku ini sudah bersuami. Apa pantas kamu melakukan hal itu pada istri temanmu sendiri?” tanyaku dengan tegas.

Raut muka Marcel nampak kecewa, dia tertunduk sedih melihat aku yang memarahinya. Seketika pertahananku roboh, Marcel nampak sangat imut.

“Maksudku ... sudah malam. Lebih baik kamu pulang,” kataku.

Wajah Marcel kembali tenang, dia tersenyum tipis menatapku dengan lembut. “Iya, maaf ya. Aku ... mungkin kelewatan. Aku tidak tahan.”

Kata-kata Marcel sangat ambigu, tapi aku tidak mau berpikir lebih. Aku hanya mengangguk dan segera mengantar Marcel pergi.

“Aku pulang ya.”

“Hati-hati.”

Lekas setelahnya Marcel menarik pintu mobilnya, tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Marcel, tunggu!”

Marcel berhenti, menungguku berbicara lagi. Ada satu hal yang sangat membuatku penasaran. Mungkin jika aku tanyakan, aku akan dapat jawaban dari semua hal yang tiba-tiba ini.

“Sebenarnya, kenapa kamu seperti ini? Kenapa kamu seolah seperti orang yang mencintaiku?” tanyaku.

Benar, tidakkah aneh yang terjadi hari ini? Aku dan Marcel tiba-tiba dekat, terlalu cepat sampai Marcel berani untuk menyentuh tanpa seizinku. Namun, bukannya menjawab Marcel justru berkata, “Jika kamu mau jawabannya, datanglah minggu ini ke apartemenku. Aku sensitif jika di tempat ramai. Dah, sampai bertemu nanti.”

Setelahnya mobil Marcel melaju membelah keheningan malam dan diriku yang terdiam.

“Apartemen? Haruskah aku datang?”

-

Malam yang begitu dingin, aku Kembali masuk ke kamar untuk melihat keadaan Jovan. Berantakan. Kata itu mungkin dapat mendeskripsikan penampilan Jovan sekarang.

“Hah … melihat kamu seperti ini, rasa marah dan kesalku tiba-tiba meluap begitu saja.” Aku yang paling tahu seberapa Jovan mencintaiku, tetapi lelaki itu masih kekanakkan sehingga sikapnya kadang membuatku menyesal menikahinya. Tentu saja didukung faktor kami jatuh miskin.

Semasa Keluarga Wicaksono masih tajir melintir, aku tidak ada waktu untuk mengeluh akan tingkah Jovan. Hari-hariku aku habiskan berbelanja dengan kedua sahabatku. “Ayu, kamu menyedihkan. Sejak kapan kamu jadi sematerialistis ini?”

Aku mengelap badan Jovan dengan air hangat pelan-pelan setelahnya mengganti pakaiannya. Jovan termasuk orang yang susah untuk terbangun dari tidurnya, lihat saja bagaimana nyenyaknya dia Ketika aku membersihkan badannya.

“Hah, selesai juga,” ucapku sedikit lelah karena ini sudah hampir pagi. Aku ingin tidur.

Aku naik ke atas ranjang, tidur di sebelah Jovan yang tiba-tiba memelukku dengan erat. Aku diam-diam tersenyum melihat sikapnya yang seperti anak kecil. Tanganku naik ke puncak kepalanya, mengelus rambut-rambutnya yang halus.

“Maaf ya, sedari tadi aku denial tetapi faktanya aku mungkin memang berselingkuh. Aku yakin itu hanya perasaan sesaat saja, hatiku tetap mencintaimu.” Ku kecup kening Jovan dengan lembut, lalu kami berpelukan hingga terlelap dengan damai.

Namun, sebelum itu pikiranku berkelana pada awal dari permasalahan ini, yaitu saat Jovan mengajakku menikah. Sebenarnya pun kali ini bukanlah pertengkaran pertama kami, hanya saja kali ini aku sampai meledak-ledak dibuatnya.

Dulu ….

Menikah muda. Awalnya tak pernah terpikirkan olehku untuk menikah muda, apalagi saat aku masih belum punya apa-apa. Namun, rasanya aku sudah terlalu lelah untuk berjuang sendiri di dunia yang kejam ini. Jadi, saat Jovandi mengajakku untuk menikah tanpa pikir panjang aku menyetujuinya.

“Kita nikah, yuk!” ajak Jovandi padaku yang baru kemarin selesai wisuda.

“Hmm? Kenapa tiba-tiba? Kita kan masih muda,” balasku.

“Aku hanya bosan dengan pacaran yang itu-itu saja. Aku ingin menikah, aku ingin setiap hari bisa melihat wajahmu yang cantik ini,” ucap Jovandi dengan manis.

Kita baru menjalani hubungan selama setahun, masih terlalu dini sepertinya untuk langsung beranjak ke jenjang yang serius. Kami juga masih sama-sama muda, apalagi Jovandi adalah adik tingkatku yang bahkan masih belum lulus kuliah.

“Tapi kan kita masih belum punya apa-apa. Aku baru lulus kuliah dan kamu masih sedang sibuk membuat skripsi. Apakah keputusan yang tepat untuk kita menikah di waktu sekarang ini?” tanyaku mencoba bersikap realistis.

“Kita tidak usah memikirkan itu! Menikah itu kapan saja asal ada uang. Keluargaku bisa memenuhi semuanya, aku adalah kesayangan keluargaku. Jadi, apa yang aku mau pasti mereka turuti. Jadi, ayo menikah!” ajak Jovandi lagi dengan semangat.

Apa yang Jovandi katakan tidak sepenuhnya salah. Jovandi sangat mencintaiku dan aku juga begitu mencintainya, kata-kata yang dia ucapkan membuatku goyah pada prinsipku. Banyak orang yang bilang aku adalah wanita beruntung karena bisa dicintai oleh seorang Jovandi.

Di kampusku ini, siapa yang tidak mengenal Jovandi Brata Wicaksono? Keluarga diningrat yang tajir melintir itu banyak diperbincangkan masyarakat terkait bisnis real estatenya yang sukses. Tentu saja banyak yang mengidam-idamkan menjadi menantu dari keluarga itu.

“Sayang! Apa yang kamu pikirkan? Kesemapatan ini tidak akan datang dua kali bukan? Kamu akan menjadi wanita paling beruntung karena menjadi istri dari anaknya Brata Wicaksono. Hidup kamu akan terjamin, kamu tidak perlu bekerja, kamu hanya cukup menyayangiku setiap saat,” jelas Jovandi.

Sial, kata-katanya memang tak pernah gagal membuat aku bimbang. Aku yang saat itu tergoda akan perkataan Jovandi memutuskan untuk mengiyakannya.

“Hmm, baiklah! Aku tidak mau kamu direbut wanita lain, jadi mari kita menikah!” ucapku dengan semangat.

“Nah, begitu! Aku akan bicara dengan kedua orang tuaku nanti.”

Begitulah berakhirnya percakapan kami saat itu. Setelahnya Jovandi mengantarkanku pulang dengan mobil mewah milik orang tuanya. Kini aku sedang memikirkan bagaimana aku memberi tahu kedua orang tuaku. Berbeda dengan keluarga Jovandi yang kaya, keluargaku hanyalah PNS kelas menengah yang gajinya cukup untuk makan saja.

Dengan latar belakang tersebut tentu saja akan bodoh rasanya bila aku menolak ajakan Jovandi. Benar bukan? Dari pada lelah bekerja menjadi guru yang gajinya tidak seberapa, lebih baik menjadi istri Jovandi dan hidup dengan uang keluarganya yang takkan habis.

“Nah, sudah sampai. Maaf Sayang aku tidak bisa mampir, aku ada urusan dengan teman-temanku. Tidak apa-apa ya?” tanya Jovandi.

“Oh, begitu. Iya tidak apa-apa. Hati-hati, ya,” kataku.

Lekas itu Jovandi mencium keningku dengan lembut dan pergi ketika aku turun dari mobil. Aku memasuki rumah orang tuaku yang biasa-biasa saja itu.

“Assalamualaikum,” salamku pada ibu dan bapak yang tengah duduk di ruang tamu.

“Waalaikumsalam, Jovan nggak mampir, Yu?” tanya Ibuku, Ratna.

“Nggak Buk, katanya ada perlu.” Aku menyalami mereka dan lekas duduk di kursi.

“Ada yang mau aku bicarain, Pak, Buk,” lanjutku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status