Share

Bab 6

"Ann, kau baik-baik saja?" tanya Merly sembari memperhatikan putrinya yang terlihat tidak bersemangat menikmati sarapan. Sekarang dia tengah berada di apartemen Anneth. Sengaja datang kemari karena sudah lebih dari dua hari tidak bertemu dengan anak gadis kesayangannya. 

"Hah? Ibu bilang apa barusan?"

Anneth yang sedang melamun langsung terhenyak kaget saat ibunya tiba-tiba membuka suara. Pikirannya tengah melayang mengingat satu kejadian perih yang membuat hidupnya berubah drastis. 

"Sejak tadi Ibu perhatikan kau terlihat lesu sekali. Ada apa? Apa terjadi sesuatu di kantor?" tanya Merly dengan lembut. Manik matanya terus memperhatikan gerak tubuh putrinya yang terlihat seperti orang kebingungan. 

"Tidak, Bu. Keadaan kantor baik-baik saja kok. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Semuanya aman terkendali," jawab Anneth. 

"Lalu?"

"Lalu ... ya tidak ada apa-apa. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?"

Merly menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia tahu, sangat amat tahu kalau putrinya sedang bicara bohong. Dari sorot mata gadis ini Merly bisa melihat kalau ada suatu masalah yang tengah mengusik pikirannya. Namun, Merly tak memikirkan niatan untuk mendesak Anneth agar mau bicara jujur. Biar sajalah. Tunggu sampai putrinya ini mau bicara sendiri. 

"Bu, ada apa? Ibu sakit?" tanya Anneth cemas melihat sikap ibunya yang terkesan aneh. 

"Ann, jika ada masalah ceritakan saja pada Ibu. Atau kau merasa terbebani dengan perjodohan yang ingin Ibu lakukan untukmu?"

Kening Anneth mengerut mendengar perkataan sang ibu. Sadar sikapnya telah membuat wanita ini merasa bersalah, Anneth pun segera menjelaskan. Diraihnya kedua tangan sang ibu lalu digenggamnya dengan sangat erat. 

"Bu, apa yang terjadi padaku sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjodohan yang Ibu maksudkan. Aku begini karena sedang merindukan Ayah. Tak terasa sudah tujuh tahun Ayah pergi meninggalkan kita berdua. Andai Ayah masih hidup, saat ini kita bertiga pasti sedang sarapan bersama. Benar tidak?"

Tepat ketika Anneth berulang tahun yang ke 23, Anneth harus rela menerima kenyataan pahit di mana sang ayah meninggal dunia saat melakukan perjalanan bisnis. Dia yang kala itu baru saja lulus dari menempuh pendidikan di luar negeri dipaksa oleh keadaan untuk menggantikan posisi sang ayah di perusahaan. Belum juga hilang luka kehilangan di hati Anneth, dia kembali dihadapkan pada fakta menyakitkan lainnya yang menjadi sebab mengapa sikapnya berubah menjadi sedingin batu es. 

Berbekal ilmu seadanya dan luka hati yang menganga, Anneth bekerja keras memimpin perusahaan milik mendiang sang ayah hingga berhasil menjadi salah satu perusahaan besar di kota tempat dia tinggal. Namun, hal tersebut tak membuat Anneth merasa bahagia. Hatinya kosong. Dia butuh seseorang yang bisa dijadikan sandaran. Tapi siapa? Sedang cinta pertamanya telah lama pergi menghadap Tuhan. 

"Ibu juga sangat merindukan Ayahmu, Ann. Kalau tidak memikirkan dirimu, Ibu akan memilih untuk pergi menyusul Ayahmu di surga sana. Hidup ini serasa pincang. Tanpa kehadiran Ayahmu, hari yang Ibu lewati terasa begitu sunyi. Hanya kau, sayang. Hanya kau satu-satunya harapan Ibu tetap bertahan hidup di dunia ini. Tolong bahagia ya?" ucap Merly dengan mata berkaca-kaca. Rasanya sungguh sakit setiap kali mengenang suaminya yang telah tiada. 

"Kebahagiaanku bersumber dari senyum Ibu. Jadi kalau Ibu ingin melihatku bahagia, maka Ibu harus selalu tersenyum." Anneth menyeka cairan bening yang menetes keluar dari sudut mata ibunya. "Jangan menangis. Di dunia ini kita harus saling menguatkan, bukan?"

"Tentu saja harus. Itulah mengapa kita berdua bisa duduk di sini sekarang."

"Jadi?"

"Uhhh, sayang."

Merly beranjak dari kursi tempat dia duduk kemudian menghampiri Anneth dan memeluknya. Mereka lalu menangis bersama. Sama-sama tersiksa rindu karena kehilangan tempat bersandar.

"Maafkan Ibu ya Ann karena tak bisa membantumu mengurus perusahaan. Dulu saat Ayahmu masih hidup, Ibu tidak diperkenankan ikut andil dalam urusan kantor. Ayahmu bilang seorang ratu hanya harus duduk di singgsana menikmati hasil yang ada. Andai saja tahu akan ada kejadian seperti ini, Ibu pasti akan memaksa untuk ikut turun ke lapangan. Dengan begitu keberadaan Ibu bisa sedikit berguna untukmu sekarang. Sekali lagi Ibu minta maaf ya, Nak."

"Jangan selalu menyalahkan diri, Bu. Yang sudah terjadi ya sudah biarkan saja. Toh aku juga pasti tidak akan rela membiarkan Ibu kelelahan mengurus pekerjaan yang tiada habisnya. Biar aku saja yang menjadi tulang punggung. Ibu cukup tersenyum dan selalu memberikan semangat untukku. Oke?" sahut Anneth sembari mengelus punggung ibunya yang gemetar karena menahan tangis. 

Perusahaan milik Anneth bergerak dibidang pembuatan perhiasan berlian, properti, perhotelan, dan juga persahaman. Hal ini membuat Anneth memiliki jadwal kerja yang sangat luar biasa padat. Waktunya selalu dia habiskan untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Hanya ketika Sofia mengganggunya, Anneth baru akan menikmati kebebasan di luar kantor. Itupun dilakukan dengan perasaan hampa. Dunia ini sudah tak terlihat indah di matanya. Semua sama. Mengecewakan. 

"Hah, kenapa kita jadi sedih begini ya, Bu. Harusnya kan kita bahagia karena kita mampu bertahan sampai sejauh ini tanpa Ayah. Benar tidak?" ucap Anneth sambil mengelap wajah dengan tisu. Kedua matanya tampak sembab, sedang ujung hidungnya memerah. Hal serupa juga terjadi pada ibunya. Lebih parah malah. Dibanding rasa sakit yang Anneth rasa, hati dan perasaan ibunya seribu kali jauh lebih sakit lagi. Kepergian ayahnya benar-benar membuat ibunya terpuruk. Bahkan beberapa kali harus dilarikan ke rumah sakit karena ketahuan melakukan percobaan bunuh diri. 

"Mau bagaimana lagi, Ann. Sebelum Tuhan memanggil Ayahmu, kita berdua sangat bergantung padanya. Tetapi tujuh tahun lalu keadaan memaksa kita untuk bertahan di atas kaki sendiri. Hal yang sangat wajar jika sesekali kita menumpahkan air mata. Karena pada dasarnya wanita diciptakan sebagai makhluk yang lemah akan perasaan," sahut Merly. 

"Lemah dengan perasaan, tapi kuat dalam menerjang badai. Itu kita, Bu."

"Kau benar sekali. Kita adalah wanita-wanita kuat yang tahan banting."

"Sudah ah jangan sedih-sedih lagi. Nanti Ayah ikut menangis di sana. Kan kasihan Tuhan jadi bingung cara untuk membujuknya."

Merly tertawa. Namun, tawanya sarat akan kepalsuan. Ingin menjerit, tapi takdir telah menggariskan nasib seperti ini. Mau tidak mau sekarang dia harus kuat demi masa depan putrinya. 

"Hari sudah semakin siang. Kau harus segera berangkat ke kantor. Cepat habiskan sarapanmu!" perintah Merly sembari mengelus pipi Anneth yang terlihat semakin tirus. Putrinya kurang istirahat. Betapa kasihannya. 

"Siap laksanakan, Nyonya!" sahut Anneth. Tak lupa dia membuat pose sedang melakukan hormat pada bendera yang mana membuat sang ibu tertawa renyah. Baru setelahnya dia kembali melanjutkan sarapan yang sempat tertunda. 

(Darius, tolong bantu kuatkan aku dari surga sana ya. Kita memang telah terpisah alam, tapi aku selalu bisa merasakan kehangatan cintamu di hatiku. Do'akan istrimu ini agar kuat menahan sepi sampai putri kita menemukan tambatan hati yang tepat ya. I miss you ....) 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status