"Ann, kau baik-baik saja?" tanya Merly sembari memperhatikan putrinya yang terlihat tidak bersemangat menikmati sarapan. Sekarang dia tengah berada di apartemen Anneth. Sengaja datang kemari karena sudah lebih dari dua hari tidak bertemu dengan anak gadis kesayangannya.
"Hah? Ibu bilang apa barusan?"
Anneth yang sedang melamun langsung terhenyak kaget saat ibunya tiba-tiba membuka suara. Pikirannya tengah melayang mengingat satu kejadian perih yang membuat hidupnya berubah drastis.
"Sejak tadi Ibu perhatikan kau terlihat lesu sekali. Ada apa? Apa terjadi sesuatu di kantor?" tanya Merly dengan lembut. Manik matanya terus memperhatikan gerak tubuh putrinya yang terlihat seperti orang kebingungan.
"Tidak, Bu. Keadaan kantor baik-baik saja kok. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Semuanya aman terkendali," jawab Anneth.
"Lalu?"
"Lalu ... ya tidak ada apa-apa. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?"
Merly menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia tahu, sangat amat tahu kalau putrinya sedang bicara bohong. Dari sorot mata gadis ini Merly bisa melihat kalau ada suatu masalah yang tengah mengusik pikirannya. Namun, Merly tak memikirkan niatan untuk mendesak Anneth agar mau bicara jujur. Biar sajalah. Tunggu sampai putrinya ini mau bicara sendiri.
"Bu, ada apa? Ibu sakit?" tanya Anneth cemas melihat sikap ibunya yang terkesan aneh.
"Ann, jika ada masalah ceritakan saja pada Ibu. Atau kau merasa terbebani dengan perjodohan yang ingin Ibu lakukan untukmu?"
Kening Anneth mengerut mendengar perkataan sang ibu. Sadar sikapnya telah membuat wanita ini merasa bersalah, Anneth pun segera menjelaskan. Diraihnya kedua tangan sang ibu lalu digenggamnya dengan sangat erat.
"Bu, apa yang terjadi padaku sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjodohan yang Ibu maksudkan. Aku begini karena sedang merindukan Ayah. Tak terasa sudah tujuh tahun Ayah pergi meninggalkan kita berdua. Andai Ayah masih hidup, saat ini kita bertiga pasti sedang sarapan bersama. Benar tidak?"
Tepat ketika Anneth berulang tahun yang ke 23, Anneth harus rela menerima kenyataan pahit di mana sang ayah meninggal dunia saat melakukan perjalanan bisnis. Dia yang kala itu baru saja lulus dari menempuh pendidikan di luar negeri dipaksa oleh keadaan untuk menggantikan posisi sang ayah di perusahaan. Belum juga hilang luka kehilangan di hati Anneth, dia kembali dihadapkan pada fakta menyakitkan lainnya yang menjadi sebab mengapa sikapnya berubah menjadi sedingin batu es.
Berbekal ilmu seadanya dan luka hati yang menganga, Anneth bekerja keras memimpin perusahaan milik mendiang sang ayah hingga berhasil menjadi salah satu perusahaan besar di kota tempat dia tinggal. Namun, hal tersebut tak membuat Anneth merasa bahagia. Hatinya kosong. Dia butuh seseorang yang bisa dijadikan sandaran. Tapi siapa? Sedang cinta pertamanya telah lama pergi menghadap Tuhan.
"Ibu juga sangat merindukan Ayahmu, Ann. Kalau tidak memikirkan dirimu, Ibu akan memilih untuk pergi menyusul Ayahmu di surga sana. Hidup ini serasa pincang. Tanpa kehadiran Ayahmu, hari yang Ibu lewati terasa begitu sunyi. Hanya kau, sayang. Hanya kau satu-satunya harapan Ibu tetap bertahan hidup di dunia ini. Tolong bahagia ya?" ucap Merly dengan mata berkaca-kaca. Rasanya sungguh sakit setiap kali mengenang suaminya yang telah tiada.
"Kebahagiaanku bersumber dari senyum Ibu. Jadi kalau Ibu ingin melihatku bahagia, maka Ibu harus selalu tersenyum." Anneth menyeka cairan bening yang menetes keluar dari sudut mata ibunya. "Jangan menangis. Di dunia ini kita harus saling menguatkan, bukan?"
"Tentu saja harus. Itulah mengapa kita berdua bisa duduk di sini sekarang."
"Jadi?"
"Uhhh, sayang."
Merly beranjak dari kursi tempat dia duduk kemudian menghampiri Anneth dan memeluknya. Mereka lalu menangis bersama. Sama-sama tersiksa rindu karena kehilangan tempat bersandar.
"Maafkan Ibu ya Ann karena tak bisa membantumu mengurus perusahaan. Dulu saat Ayahmu masih hidup, Ibu tidak diperkenankan ikut andil dalam urusan kantor. Ayahmu bilang seorang ratu hanya harus duduk di singgsana menikmati hasil yang ada. Andai saja tahu akan ada kejadian seperti ini, Ibu pasti akan memaksa untuk ikut turun ke lapangan. Dengan begitu keberadaan Ibu bisa sedikit berguna untukmu sekarang. Sekali lagi Ibu minta maaf ya, Nak."
"Jangan selalu menyalahkan diri, Bu. Yang sudah terjadi ya sudah biarkan saja. Toh aku juga pasti tidak akan rela membiarkan Ibu kelelahan mengurus pekerjaan yang tiada habisnya. Biar aku saja yang menjadi tulang punggung. Ibu cukup tersenyum dan selalu memberikan semangat untukku. Oke?" sahut Anneth sembari mengelus punggung ibunya yang gemetar karena menahan tangis.
Perusahaan milik Anneth bergerak dibidang pembuatan perhiasan berlian, properti, perhotelan, dan juga persahaman. Hal ini membuat Anneth memiliki jadwal kerja yang sangat luar biasa padat. Waktunya selalu dia habiskan untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Hanya ketika Sofia mengganggunya, Anneth baru akan menikmati kebebasan di luar kantor. Itupun dilakukan dengan perasaan hampa. Dunia ini sudah tak terlihat indah di matanya. Semua sama. Mengecewakan.
"Hah, kenapa kita jadi sedih begini ya, Bu. Harusnya kan kita bahagia karena kita mampu bertahan sampai sejauh ini tanpa Ayah. Benar tidak?" ucap Anneth sambil mengelap wajah dengan tisu. Kedua matanya tampak sembab, sedang ujung hidungnya memerah. Hal serupa juga terjadi pada ibunya. Lebih parah malah. Dibanding rasa sakit yang Anneth rasa, hati dan perasaan ibunya seribu kali jauh lebih sakit lagi. Kepergian ayahnya benar-benar membuat ibunya terpuruk. Bahkan beberapa kali harus dilarikan ke rumah sakit karena ketahuan melakukan percobaan bunuh diri.
"Mau bagaimana lagi, Ann. Sebelum Tuhan memanggil Ayahmu, kita berdua sangat bergantung padanya. Tetapi tujuh tahun lalu keadaan memaksa kita untuk bertahan di atas kaki sendiri. Hal yang sangat wajar jika sesekali kita menumpahkan air mata. Karena pada dasarnya wanita diciptakan sebagai makhluk yang lemah akan perasaan," sahut Merly.
"Lemah dengan perasaan, tapi kuat dalam menerjang badai. Itu kita, Bu."
"Kau benar sekali. Kita adalah wanita-wanita kuat yang tahan banting."
"Sudah ah jangan sedih-sedih lagi. Nanti Ayah ikut menangis di sana. Kan kasihan Tuhan jadi bingung cara untuk membujuknya."
Merly tertawa. Namun, tawanya sarat akan kepalsuan. Ingin menjerit, tapi takdir telah menggariskan nasib seperti ini. Mau tidak mau sekarang dia harus kuat demi masa depan putrinya.
"Hari sudah semakin siang. Kau harus segera berangkat ke kantor. Cepat habiskan sarapanmu!" perintah Merly sembari mengelus pipi Anneth yang terlihat semakin tirus. Putrinya kurang istirahat. Betapa kasihannya.
"Siap laksanakan, Nyonya!" sahut Anneth. Tak lupa dia membuat pose sedang melakukan hormat pada bendera yang mana membuat sang ibu tertawa renyah. Baru setelahnya dia kembali melanjutkan sarapan yang sempat tertunda.
(Darius, tolong bantu kuatkan aku dari surga sana ya. Kita memang telah terpisah alam, tapi aku selalu bisa merasakan kehangatan cintamu di hatiku. Do'akan istrimu ini agar kuat menahan sepi sampai putri kita menemukan tambatan hati yang tepat ya. I miss you ....)
***
Sean fokus membaca informasi yang dibawakan oleh orang suruhannya. Dia yang begitu penasaran akan kemunculan Maya alias Melinda, tak kaget begitu mengetahui motif wanita itu."Ingin menjadikanku tempat pelarian?" Sean menyeringai. "Mimpi. Kau terlalu jauh berkhayal, Mel. Aku tak sehina itu untuk kau jadikan tempat persinggahan."Wina diam tak bereaksi mendengar ucapan atasannya. Dia hanya diam-diam menebak ejekan tersebut ditujukan pada wanita yang kemarin datang ke kantor. Ini adalah kali pertama, dan besar kemungkinan akan adalagi wanita lain yang datang berkunjung. Hmmm, nasib menjadi sekertaris dari seorang mantan Casanova. Harus rela menghadapi jejeran wanita yang pernah menjadi pasangan one night stand pria tersebut."Meski aku bukan seorang cenayang, aku tahu kau sedang memikirkan hal buruk tentang diriku. Benar?""Anda terlalu pandai menilai seseorang, Tuan." Wina tak menampik. Dia hanya tersenyum kecil karena ketahuan sedang membatin."Itulah aku. Dan terkadang aku sedikit me
Tok tok tok"Selamat siang, Tuan Arsean. Ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda." Wina melapor. Dengan sabar dia menunggu saat atasannya acuh akan apa yang disampaikan. Salah satu tabiat buruk yang kini menjadi makanan sehari-hari sejak pemilik perusahaan berganti orang."Tuan Arsean?""Hmm, kau sangat mengganggu, Win." Akhirnya Sean merespon. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian berbalik menatap wanita cantik yang telah mengacaukan fantasi liarnya. "Sayang sekali kau adalah sekertaris pilihan ayahku. Jika bukan, aku pasti sudah menyeretmu ke ranjang sebagai bentuk hukuman. Tahu?""Anda terlalu berlebihan, Tuan. Orang seperti saya mana mungkin pantas berada di ranjang yang sama dengan anda," sahut Wina santai. Selain mempunyai perangai yang buruk, atasannya ini juga lumayan mesum."Kenapa tidak? Bukankah kau normal?""Tentu saja iya,""Kalau begitu apanya yang tidak pantas? Jangan terlalu naif, Wina. Aku tahu betul ucapanmu tak sinkron dengan isi hatimu. Benar tidak?"Wina hanya te
"Ann, coba kau pikirkan sekali lagi. Aku tidak mau sahabat ku menjadi janda hanya karena sebuah perjodohan. Itu tidak lucu!""Terserah kau mau bicara apa. Aku tidak peduli.""Tapi aku peduli. Apalagi kalau kau menjadi jandanya Sean. Otomatis kau akan menjadi lebih kaya lagi. Aku tidak mau orang-orang mengejarmu yang berstatus sebagai janda kaya raya. Itu mengerikan."Fokus Anneth terpecah setelah mendengar ocehan Sofia yang tidak masuk akal. Dia lalu mendengus, kesal. Untung sahabat. Kalau bukan, Anneth pasti sudah merujaknya sejak tadi. Benar-benar membuang waktu saja."Oke, aku tahu alasan dibalik kau menerima perjodohan ini adalah karena demi kesehatan Bibi Merly. Tapi Ann, pernikahan tanpa cinta itu apa artinya? Bagaimana jika nanti setelah menikah Sean berubah menjadi bajingan dan memperlakukanmu dengan kasar?" ucap Sofia sembari menggigit ujung jari. Sahabatnya yang ingin menikah, tapi dia yang kebakaran jenggot. Sofia tentu saja ingin yang terbaik untuk Anneth, tapi Sean? Olive
Ponsel di tangan Sean langsung terjatuh begitu karyawan butik membuka tirai. Tampak di hadapannya sosok cantik bak peri kayangan berdiri anggun dengan gaun pengantin berwarna putih menghias tubuhnya. Indah, sangat luar biasa indah. Gaun dengan ekor panjang menjuntai, menampilkan bagian bahu yang dibiarkan terbuka, membuat Sean ternganga seperti idiot."Very beautifull. Luar biasa," puji Sean setengah tak sadar. Saking terpesona, dia sampai tak menyadari kalau reaksinya sedang menjadi bahan tertawaan karyawan butik."Kendalikan tampang bodohmu itu, Sean. Jangan membuatku malu," tegur Anneth. Tapi jujur, reaksi pria ini membuatnya bahagia. Padahal saat di dalam tadi Anneth sempat merasa khawatir apakah Sean akan menyukai gaun pilihan ibu mertuanya atau tidak. Dan hasilnya ... pria ini langsung kicep seraya menampilkan mimik seorang idiot. Anneth kesal, tapi gembira."Honey, kaukah ini?"
"Berhenti menatapku. Aku risih.""Hon, tolong jangan meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ku lakukan. Itu menyakitkan. Tahu?""Masih ada pemandangan lain yang bisa kau lihat. Jangan tak tahu diri.""Tidak ada yang lebih indah dari pesona kecantikan calon istriku. Itu valid, tak bisa didebat.""Keras kepala,""Terima kasih atas pujiannya. Aku tersanjung."Sean menyeringai puas setelah menang debat dari Anneth. Tanpa mengalihkan pandangan, dia membali melontarkan kalimat bualan yang mana membuat wanita ini mendesah jengah. "Kalau saja aku tahu di kota ini ada wanita secantik dirimu, aku pasti sudah kembali sejak dulu. Untungnya aku tidak terlambat datang. Lengah sedikit, kau pasti sudah menjadi milik orang lain."Tak ada respon apapun yang muncul di diri Anneth saat Sean kembali membual. Seperti sudah kebal, padahal mereka baru beberapa
Anneth tak menghiraukan keberadaan pria yang saat ini tengah duduk di sofa. Tangan dan matanya sibuk memeriksa berkas di meja."Hon, mau sampai kapan kau mengacuhkanku?"Tak ada respon. Sean lalu mend*sah pelan. Calon istrinya benar-benar sangat dingin. Ketampanannya seolah tak berarti apa-apa di mata wanita ini.(Sebenarnya apa yang telah membuat Anneth menjadi sedingin ini? Aku jadi semakin penasaran. Haruskah aku bertanya langsung padanya? Tetapi kalau dia marah bagaimana? Astaga, rumit sekali hubungan percintaanku. Padahal aku sudah sangat ingin bermanja-manja padanya. Sedih sekali,)"Kemarilah. Berkasnya sudah selesai ku tandatangani." Anneth menutup panggilan. Ekor matanya melirik ke arah Sean yang masih betah menunggu di sana. Mendapati pria tersebut tengah asik melamun, Anneth memutuskan untuk tidak mengusiknya. Tidak diusik saja sudah membuat kesal, apalagi jika sengaja memulainy
Ding dongSuara bel mengalihkan perhatian Anneth yang tengah asik dengan pekerjaannya. Dia menoleh, menatap sekilas ke arah pintu apartemen. Dari reaksinya, dia seperti enggan membukakan pintu untuk orang yang datang berkunjung. Mungkin orang salah kamar. Biasalah, mabuk.Ding dongSuara bel kembali terdengar saat Anneth tak kunjung membuka pintu. Sepertinya tamu yang datang begitu gigih ingin agar mereka bertemu. Karena setiap kali Anneth abaikan, orang tersebut akan kembali menekan bel. Hal ini tentu saja membuat si pemilik kamar menjadi kesal. Anneth meletakkan pena ke atas meja lalu mendengus kasar."Manusia mana yang tidak tahu diri bertamu di jam sepuluh malam? Heran!" gerutu Anneth sembari beranjak dari duduknya. Penampilannya cukup sederhana dengan hanya memakai kaos kebesaran disertai dengan hotpants pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam panjang diikat kuncir kuda. Tak lupa
"Mau sampai kapan kau menggangguku?" tanya Oliver. Dia tak henti menghela nafas panjang sambil menatap pria aneh yang sedang duduk di hadapannya. "Ini sudah hampir satu jam, Sean. Apa maumu sebenarnya?"Sean masih enggan membuka mulut. Pikirannya jauh menerawang. Menerka gerangan apa yang membuat calon istrinya menggumamkan kata penuh amarah saat mereka tidur bersama."Ayolah, Arsean. Jangan samakan aku dengan dirimu yang tidak terbebani dengan pekerjaan. Aku bisa gagal menikahi Sofia kalau kau menghambat waktu kerjaku. Tolonglah. Ya?""Siapa orangnya?""Hah?""Siapa orang yang telah lancang menyakiti calon istriku hingga meninggalkan luka mendalam di hatinya?" ucap Sean. Sedetik setelah itu dia mengusap dagu bawahnya, masih penasaran dengan apa yang terjadi. "Tidak mungkin Anneth pernah menjadi korban pelecehan. Aset-aset di tubuhnya masih begitu kencang dan juga kenyal. A
Anneth mendesah tertahan ketika Sean menghisap kuat kulit lehernya. Posisi mereka cukup intim di mana Anneth benar-benar duduk tepat di atas gundukan junior milik Sean."Ahhhhhhh," ....(So seksi .... )"Lepaskan saja, Hon. Jangan ditahan," bisik Sean sambil menelan ludah. Dia hampir gila hanya dengan mendengar suara desahan Anneth. Kelewat seksi, membuat tubuhnya seperti terbang melayang. "Kau seperti heroin, Hon. Suara desahanmu membuatku candu. Bagaimana ini?""K-kalau begitu hentikan," sahut Anneth setengah berbisik. Sayangnya respon tubuh tidak sesuai dengan kata yang terucap keluar. Bibir berkata agar berhenti, tapi tangan masih melingkar di leher pria yang tengah membuatnya terbuai sentuhan."No, tidak akan. Aku suka menjadi gila. Begitu juga dengan dirimu. Kau ingin sentuhan yang lebih dari ini, bukan?""Jangan gila, Sean. Ini