"Mau sampai kapan kau main-main begini, Sean? Lupa ya kalau kau itu sudah tua? Perlu dituliskan di kening tidak berapa usiamu sekarang?"
Tepat ketika waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, Sean akhirnya sampai di rumah. Dan begitu dia masuk, sebuah ejekan langsung menyapa indra pendengarannya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan wanita cantik yang telah berbesar hati melahirkannya ke dunia ini. Nyonya Sinclair, Safina.
"Jangan diam saja. Cepat jawab Ibu!" sentak Safina sambil berkacak pinggang.
"Bu, ayolah. Sekarang jam tiga pagi, bisa tidak marah-marahnya ditunda besok saja?" sahut Sean dengan santainya. Dia kemudian terbatuk saat tenggorokannya terasa kering. "Uhh, alkohol di negara ini tidak sebaik di tempat tinggalku dulu. Alangkah baiknya jika aku bisa kembali lagi ke sana. Hmmm,"
Rasa-rasanya kepala Safina seperti mendidih saat mendengar perkataan putra semata wayangnya. Kesal, dia melepas alas kaki lalu dilemparkan ke arah pria bengal yang malah tertawa melihatnya murka.
"Ckck, aku tidak menyangka kalau seorang Nyonya Sinclair bisa sebrutal ini. Kasihan Ayah. Dia pasti sangat tersiksa sekali selama ini," olok Sean sembari memainkan alas kaki milik ibunya.
"Bisa tutup mulutmu tidak? Kalau kau masih berani bicara asal, bukan hanya alas kaki saja yang akan Ibu lemparkan padamu. Tapi semua barang yang ada di rumah ini juga. Mau?"
"Astaga, seram sekali. Aku jadi takut."
Setelah berkata seperti itu Sean berjalan mendekati ibunya. Dipeluknya wanita ini penuh sayang sebelum Sean mengajaknya duduk bersama.
"Aku masih perlu menyesuaikan diri dengan keadaan di sini, Ibu. Tolong mengertilah. Oke?" ucap Sean dengan lembut. Kali ini dia serius, tidak main-main seperti tadi.
"Tapi sampai kapan, Sean. Ayahmu terus mengeluh pada Ibu kalau dia sudah lelah memimpin perusahaan. Kasihanlah sedikit," sahut Safina setengah memelas. "Dan juga usiamu sekarang sudah tiga puluh empat tahun. Kapan kau akan memberikan cucu pada Ayah dan Ibu?"
(Haih, lagi-lagi soal cucu. Bosan sekali mendengarnya.)
"Kalau aku tidak kasihan pada kalian aku tidak mungkin ada di sini sekarang. Lagipula di luar negeri sana aku juga ikut memantau perkembangan perusahaan. Aku tidak hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang saja di sana. Ibu tahu itu, kan?"
"Iya Ibu tahu, tapi tetap saja Ayahmu ingin kau turun langsung ke lapangan. Ambil alih perusahaan lalu buatlah gebrakan baru yang bisa membuat Ayahmu merasa bangga. Bisa?"
"Aku tidak bisa berjanji, tapi aku akan berusaha demi kalian. Sekarang tolong biarkan aku tidur. Biji mataku seperti mau copot rasanya."
Sean beranjak. Akan tetapi dia dibuat bingung saat tangan sang ibu memegang sebelah kakinya.
"Apalagi?" tanya Sean sembari menautkan kedua alisnya. Bingung.
"Masih ada hal lain yang ingin Ibu bicarakan denganmu," jawab Safina. "Dan ini sangat penting."
"Lagi?"
Safina mengangguk cepat. Dan kali ini ekpresi wajahnya terlihat sangat bersemangat. Hal itu membuat Sean merasa penasaran. Alhasil dia memutuskan untuk kembali duduk demi mencari tahu hal penting apa yang membuat sang ibu terlihat begitu senang.
"Ibu sudah menemukan calon istri yang tepat untukmu!" ucap Safina sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada. Matanya berbinar, terlalu kentara kalau dia bahagia dengan apa yang baru saja dia katakan.
"Oh."
Hanya seperti itu tanggapan Sean setelah mendengar perkataan ibunya. Jengah, teramat sangat jengah karena lagi-lagi dia akan dijodohkan. Haihh.
"Kenapa oh? Kau tidak suka apa bagaimana?" cecar Safina mulai kesal.
"Lalu Ibu berharap aku bagaimana? Mendesah? Ah uh ah uh, begitu?"
Plaaakk
Tangan Safina dengan entengnya menggeplak bibir Sean saat kata-kata vulgar terlontar keluar dari mulutnya. Sungguh, dia benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan putranya ini. Akibat terlalu lama tinggal di luar negeri, sekarang bedebah ini jadi tak bisa jauh dari yang namanya wanita dan ranjang. Menjengkelkan sekali, bukan?
"Sekali lagi Ibu mendengar kau bicara seperti itu, Ibu akan meminta Ayahmu agar mengebiri barang kebanggaanmu. Biar saja tidak mempunyai cucu. Yang penting Ibu tidak harus melihatmu bergonta-ganti wanita terus. Tahu?!" omel Safina dengan kejamnya.
"Jahat sekali. Memangnya Ibu sanggup menghancurkan masa depan anak Ibu sendiri?" sahut Sean. Tangannya bergerak mengusap bibir yang terasa sedikit kebas setelah menerima kekerasan dalam rumah tangga. Nyonya Sinclair sangat brutal. Dia harus berhati-hati saat berada didekatnya.
"Kenapa harus tidak sanggup? Ibu yang mengandungmu selama sembilan bulan. Lalu mempertaruhkan nyawa agar kau terlahir selamat ke dunia. Belum lagi dengan semua peluh dan air mata yang mengalir keluar saat merawat dan membesarkanmu hingga sekarang. Lalu kau dengan santainya bicara kurang ajar dihadapan Ibu? Hah, omong kosong. Begini caramu membalas semua kasih sayang yang telah Ibu berikan?"
(Hehe, bedebah ini pasti tidak bisa berkutik jika aku berpura-pura sedih begini. Pokoknya Sean harus mau menikah dengan wanita pilihanku. Harus.)
Sadar sikapnya telah menyakiti hati dan perasaan wanita ini, segera Sean bersimpuh di lantai kemudian menggenggam tangannya dengan erat. Tidak bisa, dia paling tidak bisa jika ibunya sudah mengungkit masalah ini. Hati Sean langsung melemah seperti jeli. Sungguh.
"Maaf, Ibu. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Tadi itu aku hanya bercanda saja. Sungguh," ucap Sean meminta maaf dengan sepenuh hati. "Jangan sedih ya. Hatiku hancur jika melihat Ibu seperti ini. Sorry,"
"Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu, Sean. Kau tahukan kalau Ayah dan Ibu tidak bisa selamanya menemanimu hidup di dunia? Ada masanya kami harus pergi meninggalkanmu sendirian. Dan hal inilah yang kami khawatirkan," sahut Safina dengan lancarnya mendramatisir keadaan. Biar saja. Toh memang hanya dengan cara ini dia bisa membujuk putranya agar bersedia menikah. Hehe.
"Iya aku tahu. Ya sudah, sekarang apa yang Ibu inginkan?"
"Kau pergi menemui anak dari teman Ibu. Jika kalian sama-sama cocok, segera nikahi dia. Ibu berani jamin kalau hidupmu akan sangat bahagia jika bersamanya."
"Seyakin ini?"
"Wanita itu adalah anak dari teman Ibu, Sean. Mustahil Ibu memilihkan wanita sembarangan untuk bergabung di keluarga Sinclair. Bibit, bebet, dan juga bobotnya tentu saja harus diperhitungkan. Dan wanita itu sangat pas dengan selera Ayah dan Ibu!"
Kedua alis Sean saling bertaut. Dia merasa janggal dengan perkataan ibunya barusan.
"Aku yang akan dijodohkan, tapi kenapa malah Ayah dan Ibu yang menyesuaikan selera? Apa ini tidak kebalik, Bu?" tanya Sean terheran-heran sendiri.
"Tentu saja tidak, sayang," jawab Safina penuh kemenangan.
"Kenapa seperti itu?"
"Karena kami adalah orangtuamu."
Sean menarik nafas panjang. Kini dia sadar kalau dirinya telah dijebak. Tak mau kalah, dia kembali melontarkan candaan.
"Wanita itu kakinya dua, kan?"
"Tidak. Wanita itu tidak mempunyai kaki," sinis Safina menjawab. Putranya mulai lagi. Haihh.
"Lalu matanya? Dia tidak mungkin bermata satu, kan?"
"Matanya ada tujuh. Dua di wajah, dua di kaki, dua di lengan, dan satu di kepala bagian belakang."
Safina geram.
"Puas?"
"Hahahahaaa!"
"Dasar anak kurang ajar kau, Sean. Usil sekali."
Sean dan ibunya masih terus bercanda sampai akhirnya mereka ditegur oleh Tuan Edgar, yang tak lain adalah kepala rumah tangga di keluarga Sinclair. Mereka kemudian masuk ke kamar masing-masing setelah mendapat omelan panjang dari pria tersebut.
***
Sean fokus membaca informasi yang dibawakan oleh orang suruhannya. Dia yang begitu penasaran akan kemunculan Maya alias Melinda, tak kaget begitu mengetahui motif wanita itu."Ingin menjadikanku tempat pelarian?" Sean menyeringai. "Mimpi. Kau terlalu jauh berkhayal, Mel. Aku tak sehina itu untuk kau jadikan tempat persinggahan."Wina diam tak bereaksi mendengar ucapan atasannya. Dia hanya diam-diam menebak ejekan tersebut ditujukan pada wanita yang kemarin datang ke kantor. Ini adalah kali pertama, dan besar kemungkinan akan adalagi wanita lain yang datang berkunjung. Hmmm, nasib menjadi sekertaris dari seorang mantan Casanova. Harus rela menghadapi jejeran wanita yang pernah menjadi pasangan one night stand pria tersebut."Meski aku bukan seorang cenayang, aku tahu kau sedang memikirkan hal buruk tentang diriku. Benar?""Anda terlalu pandai menilai seseorang, Tuan." Wina tak menampik. Dia hanya tersenyum kecil karena ketahuan sedang membatin."Itulah aku. Dan terkadang aku sedikit me
Tok tok tok"Selamat siang, Tuan Arsean. Ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda." Wina melapor. Dengan sabar dia menunggu saat atasannya acuh akan apa yang disampaikan. Salah satu tabiat buruk yang kini menjadi makanan sehari-hari sejak pemilik perusahaan berganti orang."Tuan Arsean?""Hmm, kau sangat mengganggu, Win." Akhirnya Sean merespon. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian berbalik menatap wanita cantik yang telah mengacaukan fantasi liarnya. "Sayang sekali kau adalah sekertaris pilihan ayahku. Jika bukan, aku pasti sudah menyeretmu ke ranjang sebagai bentuk hukuman. Tahu?""Anda terlalu berlebihan, Tuan. Orang seperti saya mana mungkin pantas berada di ranjang yang sama dengan anda," sahut Wina santai. Selain mempunyai perangai yang buruk, atasannya ini juga lumayan mesum."Kenapa tidak? Bukankah kau normal?""Tentu saja iya,""Kalau begitu apanya yang tidak pantas? Jangan terlalu naif, Wina. Aku tahu betul ucapanmu tak sinkron dengan isi hatimu. Benar tidak?"Wina hanya te
"Ann, coba kau pikirkan sekali lagi. Aku tidak mau sahabat ku menjadi janda hanya karena sebuah perjodohan. Itu tidak lucu!""Terserah kau mau bicara apa. Aku tidak peduli.""Tapi aku peduli. Apalagi kalau kau menjadi jandanya Sean. Otomatis kau akan menjadi lebih kaya lagi. Aku tidak mau orang-orang mengejarmu yang berstatus sebagai janda kaya raya. Itu mengerikan."Fokus Anneth terpecah setelah mendengar ocehan Sofia yang tidak masuk akal. Dia lalu mendengus, kesal. Untung sahabat. Kalau bukan, Anneth pasti sudah merujaknya sejak tadi. Benar-benar membuang waktu saja."Oke, aku tahu alasan dibalik kau menerima perjodohan ini adalah karena demi kesehatan Bibi Merly. Tapi Ann, pernikahan tanpa cinta itu apa artinya? Bagaimana jika nanti setelah menikah Sean berubah menjadi bajingan dan memperlakukanmu dengan kasar?" ucap Sofia sembari menggigit ujung jari. Sahabatnya yang ingin menikah, tapi dia yang kebakaran jenggot. Sofia tentu saja ingin yang terbaik untuk Anneth, tapi Sean? Olive
Ponsel di tangan Sean langsung terjatuh begitu karyawan butik membuka tirai. Tampak di hadapannya sosok cantik bak peri kayangan berdiri anggun dengan gaun pengantin berwarna putih menghias tubuhnya. Indah, sangat luar biasa indah. Gaun dengan ekor panjang menjuntai, menampilkan bagian bahu yang dibiarkan terbuka, membuat Sean ternganga seperti idiot."Very beautifull. Luar biasa," puji Sean setengah tak sadar. Saking terpesona, dia sampai tak menyadari kalau reaksinya sedang menjadi bahan tertawaan karyawan butik."Kendalikan tampang bodohmu itu, Sean. Jangan membuatku malu," tegur Anneth. Tapi jujur, reaksi pria ini membuatnya bahagia. Padahal saat di dalam tadi Anneth sempat merasa khawatir apakah Sean akan menyukai gaun pilihan ibu mertuanya atau tidak. Dan hasilnya ... pria ini langsung kicep seraya menampilkan mimik seorang idiot. Anneth kesal, tapi gembira."Honey, kaukah ini?"
"Berhenti menatapku. Aku risih.""Hon, tolong jangan meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ku lakukan. Itu menyakitkan. Tahu?""Masih ada pemandangan lain yang bisa kau lihat. Jangan tak tahu diri.""Tidak ada yang lebih indah dari pesona kecantikan calon istriku. Itu valid, tak bisa didebat.""Keras kepala,""Terima kasih atas pujiannya. Aku tersanjung."Sean menyeringai puas setelah menang debat dari Anneth. Tanpa mengalihkan pandangan, dia membali melontarkan kalimat bualan yang mana membuat wanita ini mendesah jengah. "Kalau saja aku tahu di kota ini ada wanita secantik dirimu, aku pasti sudah kembali sejak dulu. Untungnya aku tidak terlambat datang. Lengah sedikit, kau pasti sudah menjadi milik orang lain."Tak ada respon apapun yang muncul di diri Anneth saat Sean kembali membual. Seperti sudah kebal, padahal mereka baru beberapa
Anneth tak menghiraukan keberadaan pria yang saat ini tengah duduk di sofa. Tangan dan matanya sibuk memeriksa berkas di meja."Hon, mau sampai kapan kau mengacuhkanku?"Tak ada respon. Sean lalu mend*sah pelan. Calon istrinya benar-benar sangat dingin. Ketampanannya seolah tak berarti apa-apa di mata wanita ini.(Sebenarnya apa yang telah membuat Anneth menjadi sedingin ini? Aku jadi semakin penasaran. Haruskah aku bertanya langsung padanya? Tetapi kalau dia marah bagaimana? Astaga, rumit sekali hubungan percintaanku. Padahal aku sudah sangat ingin bermanja-manja padanya. Sedih sekali,)"Kemarilah. Berkasnya sudah selesai ku tandatangani." Anneth menutup panggilan. Ekor matanya melirik ke arah Sean yang masih betah menunggu di sana. Mendapati pria tersebut tengah asik melamun, Anneth memutuskan untuk tidak mengusiknya. Tidak diusik saja sudah membuat kesal, apalagi jika sengaja memulainy