Anneth menyerahkan kunci mobil pada satpam kemudian menganggukkan kepala pada karyawan yang menyapa. Menjadi seorang bos membuatnya harus memberi contoh yang baik dengan selalu datang tepat waktu ke kantor. Hal ini membuat para karyawan begitu hormat dan juga segan terhadapnya.
"Selamat pagi, Nona Anneth," sapa seorang karyawan yang bertugas di meja resepsionis. Senyumnya ramah. Dilengkapi juga dengan pakaian yang rapi serta bersih.
"Pagi," sahut Anneth tak ramah.
"Nona, seseorang menitipkan bunga untuk diberikan kepada Anda."
Sebelah alis Anneth terangkat ke atas. Dia lalu melirik ke arah meja di mana ada sebuket bunga lili tergeletak di sana. Menyebalkan. Lagi-lagi dia mendapat hadiah seperti ini. Sampai kapan?
"Pengirimnya masih orang yang sama?"
"Benar, Nona. Malah tadi orang itu bersikeukeuh ingin memberikannya langsung kepa
Bab 8Sean berjalan santai sambil memainkan kunci mobil saat menuju ruangan ayahnya. Saat ini dia tengah berada di perusahaan, menepati janjinya yang akan melakukan serah-terima sebagai bos besar di sini."Selamat datang, Tuan Arsean!" sapa beberapa karyawan sambil membungkuk hormat ke arah bos baru mereka yang baru saja datang.Yang pertama kali dilakukan Sean ketika mendengar sapaan tersebut adalah menarik nafas. Dia sungguh tak senang dengan keadaan ini. Keberadaan orang-orang tersebut membuat lehernya seperti tercekik. Terbayang dipelupuk mata bagaimana nanti dia akan berkutat dengan tumpukan berkas yang tiada habisnya. Astaga, hanya membayangkan saja sudah membuat perut Sean terasa mual. Lalu apa yang akan terjadi nanti saat dia mulai menjalani?"Selamat siang. Duduklah," ucap Sean mempersilahkan orang-orang untuk kembali duduk. Setelah itu dia menghampiri ayahnya yang terlihat
"Kau serius akan benar-benar menikah dengan pria yang Bibi Merly pilihkan?" tanya Sofia seraya menatap seksama ke arah sahabatnya yang tengah mengaduk minuman. Mereka sekarang tengah berada di cafe setelah Sofia memaksanya meninggalkan pekerjaan yang tiada habisnya."Tidak ada pilihan lain, Sof. Hatiku sakit melihat Ibu tidak bahagia.""Lalu kau sendiri? Apa kau bahagia dengan keputusan tersebut?""Aku tidak tahu,"Kepala Anneth tertunduk dalam. Bahagia? Kata ini sungguh sangat jauh dari pikirannya. Hanya saja dia tak kuasa melihat raut sedih yang terus menghiasi wajah ibunda tercinta. Anneth tahu betul kalau kesedihan itu berasal dari kekhawatiran sang ibu akan masa depannya. Jadi sekarang sudah tidak ada pilihan lain selain menerima perjodohan yang telah diatur untuknya. Meski sebenarnya hati sangat ingin menolak."Coba pikirkan dulu masak-masak, Ann. Menikah
["Sayang, besok malam jangan lupa datang ke alamat ini ya. Ibu dan teman Ibu sudah mengatur pertemuan untuk kalian. Maaf jika keputusan ini terkesan memaksa dan terburu-buru. Ibu hanya terlalu menyayangimu. Ibu ingin yang terbaik untukmu, Ann. Tolong jangan benci Ibu ya,"] Anneth hanya bisa termangu diam seusai membaca pesan dari ibunya. Perasaannya sekarang sungguh sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Jujur, jika menuruti keinginan hati rasanya ingin sekali dia menolak perjodohan tersebut. Akan tetapi kembali lagi pada rasa tak tega yang Anneth rasakan ketika melihat raut sedih di wajah ibunda tercinta. "Hahhhh, semangat Anneth. Kau pasti bisa melewati semua ini dengan baik. Tak apa mengalah. Demi kebahagiaan ibumu," gumam Anneth menyemangati dirinya sendiri. Sejak Anneth meninggalkan Sofia berdua dengan Sean di cafe, sejak saat itu dia tak membiarkan sahabatnya datang mengacau. Anneth dengan sengaja memblokir nomor Sofia dari ponselnya dan berpesan pada security agar mengus
"Kita bertemu lagi, Nona manis!" ucap Sean seraya menatap penuh kagum pada wanita dingin yang tengah duduk di hadapannya. "Melihatmu yang cantik ini serasa menemukan harta karun yang luar biasa banyak. Sungguh!"Alih-alih menjawab, Anneth malah melayangkan tatapan membunuh ke arah Sofia. Giginya saling menggeretak, jengkel karena lagi-lagi bertemu dengan Sean. Dia berani bertaruh kalau Sofia pasti ada hubungannya dengan kemunculan pria mesum tersebut. "Oh, sorry. Aku sama sekali tak ada hubungannya dengan kemunculan Sean di sini, Ann!" ucap Sofia sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Dia langsung tanggap akan arti tatapan galak sahabatnya. "Kau pikir aku akan percaya begitu saja pada ucapanmu?" "Ayolah, Ann. Kaulah yang mengajakku datang kemari. Jadi mustahil aku dan Sean bersekongkol untuk mengerjaimu. Iya, kan?"Anneth mendengus kasar. Niat hati ingin menyegarkan pikiran, dia malah harus bertemu dengan pria yang sangat luar biasa menjengkelkan. Ingin rasanya dia mengusir Sea
Sean duduk melamun sambil memutar-mutarkan wine yang ada di dalam gelas. Posisinya sekarang tengah berada di sebuah klab. Dia memutuskan untuk datang kemari seusai menemui sepupunya, Oliver."Perkataan Oliver begitu menggantung. Kira-kira dia sengaja menyembunyikan sesuatu dariku atau memang benar dia tidak tahu ya?" gumam Sean bertanya-tanya sendiri. "Oliver sudah dua tahun menjalin hubungan dengan Sofia. Harusnya sih dia tahu banyak hal yang berhubungan dengan hidup sahabat dari kekasihnya. Terutama tentang penyebab mengapa sikap Anneth bisa menjadi sangat dingin. Tetapi kenapa Oliver tidak?"Flashback"Hanya itu yang aku ketahui tentang Anneth. Sungguh!" ucap Oliver sembari memainkan pena di tangan."Masa hanya itu saja yang kau ketahui sih. Kau tidak sedang mempermainkan aku, kan?" cecar Sean tak puas akan jawaban sepupunya."Untuk apa aku memp
Anneth tak henti mend*sah saat orang yang dia tunggu tak kunjung datang. Posisinya sekarang tengah berada di sebuah restoran, tempat di mana dia dan calon suaminya akan bertemu. ["Kau jangan sampai salah mengenali orang, Ann. Pria yang akan kau temui memiliki paras yang sangat tampan dan tubuh yang tinggi menjulang. Kepribadiannya juga sopan dan rapi. Pokoknya Ibu jamin kau akan langsung jatuh hati begitu bertemu dengannya. Oke?"]"Jatuh hati?" Anneth tersenyum getir. "Aku bahkan sudah lupa bagaimana cara untuk jatuh hati pada lawan jenis, Bu. Aku sudah mati rasa. Di mataku tidak ada yang namanya cinta selain mencintai Ibu dan almarhum Ayah."Gumaman tersebut menjadi kata terakhir yang keluar dari mulut Anneth sebelum akhirnya dia diam menundukkan kepala. Jika boleh memilih, ingin rasanya Anneth pergi saja dari sana. Terlalu enggan untuknya bertemu dengan lelaki yang entah seperti apa wataknya. Namun ketika pemikiran ini terbersit di dalam hati, bayangan kesedihan di wajah ibunya lan
"Apa yang ingin kau ketahui?""Siapa yang sedang kau tunggu?" ucap Sean menjawab pertanyaan Anneth. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sean sangat berharap kalau Anneth bukan sedang menantikan seorang pria. "Kau di sini seorang diri. Tidak mungkin adalah suatu kesengajaan biasa. Apa benar?""Haruskah aku menjawab?" Bebal sekali. Sebegitu tidak tahu malunya pria ini memaksa untuk mengetahui urusannya. Ingin marah, tapi tubuhnya seakan menolak untuk beranjak. Alhasil Anneth hanya bisa bersabar menghadapi cecaran Sean."Ya. Aku bahkan tidak keberatan kalau kau bersedia bicara jujur."Terdengar decakan pelan dari mulut Anneth saat mendengar jawaban Sean yang sarat akan paksaan, tapi dilakukan dengan cara lembut. Aneh saja. Dia merasa pria ini tengah bersikap posesif kepadanya. Padahal kan mereka hanya orang asing yang baru beberapa kali bertemu, tapi entah mengapa Sean bisa sebegini memaksanya untuk menj
"Kita sudah sampai, tuan putri. Silahkan keluar!" ucap Sofia seraya membungkukkan badan setelah membukakan pintu mobil. Gerak tubuhnya sangat luwes. Mirip sekali dengan gaya seorang pelayan yang tengah melayani ratunya."Jangan sok perhatian. Aku tahu kau sedang menginginkan sesuatu," cibir Anneth langsung paham akan maksud tujuan sahabatnya yang tiba-tiba bersikap manis. Dia keluar dari dalam mobil kemudian menatapnya datar. "Kali ini tentang apa?"Sofia meringis lebar. Sahabatnya memang yang paling tahu tentang dirinya. Terbaik."Aku penasaran dengan hasil pertemuanmu semalam. Bagaimana? Apa orangnya baik? Tampan tidak? Emm penampilannya tidak kolot seperti orang-orang yang baru datang dari pedesaan, kan?" cecar Sofia penuh rasa ingin tahu."Kau masih bernafas, kan?""Maksudnya?""Bicaramu sepanjang kereta api. Aku takut kau henti nafas ka