BUKANNYA senang, Evan terus mengatupkan mulut sejak bergabung dengan Raffa. Awalnya, Evan menyambut Riri dengan senyum semringah, tapi ketika Riri membawanya pada Raffa, entah kenapa senyumannya menguap ke udara.
"Jadi, calon istrinya Om Raffa itu Tante?" tanyanya, sewaktu ia dan Riri duduk berdua di kursi belakang.
"Siapa yang bilang?"
"Daddy, Om Raffa juga bilang mau jemput Evan bareng sama calon istriya."
Raffa melirik melalui kaca spion, ekspresi keponakannya benar-benar mengusik. Apa Evan tidak suka Riri dan dirinya menikah?
"Hm." Riri memegangi dagunya seraya mendongak, ekspresi berpikir yang sukses membuat Raffa menatapnya dengan tatapan aneh. "Gimana bilangnya, ya?"
Evan menatap penuh tuntutan, dia ingin mendengarnya secara langsung, atau dia akan membenci om-nya mulai sekarang.
"Tante dilamar, sih, tapi Tante belum bilang iya, jadi, status Tante s
"EVAN Sayang!" teriak Riri begitu Evan dan Nayla kembali, di tangan mereka ada kantung plastik yang ia yakini berisi es krim. Riri hafal betul apa kesukaan bocah laki-laki itu."Tante udah balik?"Riri mengernyitkan dahinya tak mengerti, dia menatap Nayla yang juga tengah menatapnya penasaran. "Emang Tante abis dari mana?""Katanya mau kencan?" Evan melengos, dia mengabaikan Riri dan hal itu berhasil membuat dada wanita itu sesak bukan main."Siapa juga yang kencan, orang nggak jadi, tadi Om kamu itu langsung balik kanan maju jalan.""Apaan deh, Ri, kayak tentara aja bahasa lo." Nayla menggeleng-geleng, sebelum kembali menatap putranya. "Mommy kerja dulu, ya? Kalau kamu mau apa-apa, panggil Mommy, atau minta tolong aja sama Tante Riri, lo nggak ke mana-mana, kan, Ri?"Riri menggeleng. "Gue laper, Kak, bikinin apa gitu. Si Raffa nggak jadi ngajakin makan, gue kelaperan ini belum
MALAM paling haram untuk para kaum jomlo seperti dirinya. Hanya bisa diam di rumah dan memejamkan mata, berharap bisa lebih cepat tidur dan esok segera menyapa, nyatanya tidak bisa.Riri bangun dari posisi rebahan dan mulai mendekati laptop. Daripada pusing mikirin malam minggu penuh kejomloan, lebih baik dia pergi berkencan dengan kekasih dari dunia lainnya.Ah ... para kekasihnya yang tampan.Layar menyala, jari siap mengetik kelanjutan cerita, saat ponselnya berdering. Nomor tak dikenal membuatnya curiga kalau itu nomor Raffa, daripada mengangkat, dia lebih suka mengabaikan.Sudah cukup hari-harinya dikelilingi Raffa terus menerus. Belum genap satu minggu, dia sudah terbiasa dengan lelaki playboy satu itu, karena Raffa terus mencari cara agar mereka bertemu, bersama, berdua, entah ngobrol apa saja bahkan nyari masalah hingga mereka bertengkar."Ck, si Kadal ini apa nggak bisa
"YAKIN enggak mau ganti baju dulu?" tanya Raffa sewaktu Riri masuk ke mobilnya."Ngapain?"Raffa mendesah kasar, entah hanya perasaannya saja atau memang Riri sedang berusaha mengabaikannya. "Baju lo tipis, Ri, celananya juga pendek.""Namanya juga baju tidur, ya, gini.""Baju tidur juga ada yang panjang, kan?"Riri mendelik. "Gue lebih suka yang kayak gini." Padahal dalam hati, dia tidak bisa membeli pakaian yang lebih bagus daripada pakaian yang sedang ia pakai sekarang.Dia bisa saja meminta uang pada kedua orang tuanya, tapi sekali lagi, dia merasa gengsi bukan main. Riri anak yang mandiri sejak ia kuliah, semua uang yang ia pakai, dia dapat dari hasil kerja kerasnya menulis. Walau tidak banyak, tapi semuanya sudah cukup untuknya.Raffa mendesah kasar, dia mulai menjalankan mobilnya menuju bandara sesuai yang dikatakan Riri sebelumnya. Mereka ha
SETELAH Verga turun, entah kenapa Riri bisa menghela napas lega. Jantungnya terasa tidak keruan setiap kali berada di sekitar pria itu. Verga juga tidak banyak berubah, kecuali fisiknya yang semakin ... hot.Pipi perempuan itu memerah, membayangkan tubuh atletis Verga yang sering dilihatnya dulu, kini menjadi semakin indah. Dia jadi tidak sabar, ingin melihat Verga berenang seperti dulu.Raffa yang melirik perempuan itu dari samping dibuat penasaran bukan main. Pipinya yang memerah jelas-jelas menandakan kebalikan dari sifatnya pada Verga sebelum ini.Tunggu dulu, sepertinya Raffa telah melupakan sesuatu ...."Gila, gue penasaran, lo ngerayu dia pakai cara apa sampai dia bilang kalau udah punya calon suami?" Nayla berkata, lalu kembali terbahak-bahak. "Padahal, selama ini gebetannya aja dikacangi, tapi berani bilang sama playboy kayak lo aja kalau udah punya calon suami." Nayla tertawa lagi. "Gue penas
RIRI baru ingat, kalau semalam ia memakai jaket Raffa dan lupa mengembalikannya. Dia terlalu senang mendapat pinjaman jaket malam itu, karena, untuk pertama kalinya ada seorang laki-laki yang bersikap manis padanya.Pipinya sontak bersemu. Mengingat kejadian semalam sungguh membuatnya senang, tapi sayangnya, mengapa harus Raffa yang melakukannya? Kenapa harus pria itu? Kenapa bukan lelaki lain, misal Verga, mungkin?Riri menghela napas kasar, dia baru saja mandi dan mengenakan pakaian rumahnya yang kurang bahan. Kaus kekecilan dan celana pendek memperlihatkan paha. Tolong maklum, karena Riri memang missqueen.Dia sudah bersiap membuka laptop dan mulai menghibur diri sambil bekerja, saat pintu kamarnya terbuka begitu saja."Ri, gambar di pintu lo ini nggak bisa diganti sama gambar gue aja gitu?"Riri menoleh cepat, kepala dan wajah Raffa di hadapannya sukses membuat ide yang
JUJUR saja, Raffa sudah terbiasa memasuki mal bersama kekasihnya atau perempuan yang sedang ia kencani. Dia tidak akan kaget begitu mereka mengambil tas, baju, sepatu branded yang bisa menguras isi kantongnya.Raffa tidak pernah keberatan akan hal itu, karena akhir dari ceritanya pasti berada di atas ranjang. Uang-uang yang ia keluarkan pun hanya beberapa persen dari tabungannya sendiri untuk masa depan.Raffa bukan pria boros, juga bukan tipe pria yang suka mencari pelacur setiap malam. Dia hanya pria biasa yang suka berfoya-foya dengan sedikit hartanya, tak lupa membawa serta perempuan-perempuannya dan meniduri mereka like a bastard. Namun, Riri sedikit berbeda ... benar-benar berbeda."Ri, keranjangnya udah hampir penuh ini, bisa berhenti, nggak?"Riri berhenti, dia mendelik ke arah Raffa yang kini tampak lelah mengikutinya belanja. "Nggak boleh beli banyak-banyak emangnya?"
"HABIS ini, kita mau ke mana, Raffa?" Riri menoleh, matanya yang berbinar-binar membuat Raffa ingin menciumnya, terlebih bibirnya benar-benar terlihat menggoda baginya."Lo pengin ke mana?" tanya Raffa balik."Hm, ke mana, ya?" Perempuan itu tampak berpikir sejenak. "Kalau nonton gimana?""Mau nonton film apa?"Raffa mendesah kasar. Satu-satunya hiburan yang tidak bisa ia nikmati adalah menonton film. Dia sendiri tidak tahu alasannya, tapi setiap kali menonton film, Raffa pasti tertidur, jika dia menonton dengan cewek-ceweknya, pria itu akan berusaha menahan kantuk dan menanggapi semuanya dengan balasan singkat.Kalau perempuannya bertanya kenapa atau marah padanya, Raffa hanya tinggal membungkam bibirnya dengan ciuman.
ANGIN berembus kencang menebarkan udara panas dari mentari yang bersinar terik di atas sana. Riri melangkah keluar, sedang Raffa mengikuti di belakang. Di sana tidak ada apa pun, hanya ada atap biasa tanpa sedikit pun kejutan yang mengikutinya.Riri menoleh ke belakang. "Apa maksudnya?"Raffa berdiri di hadapannya. Riri mendongak, senyum di bibir pria itu membuat Riri menatapnya tak mengerti. Apa yang Raffa rencanakan? Bukannya sebelum ini dia menghubungi seseorang untuk memberinya kejutan, lalu mana? Di mana semua kejutannya."Gue bukan cowok yang romantis, walaupun gue playboy, bukan berarti gue sering nembak cewek dengan kata-kata manis."Riri tersedak ludahnya sendiri."Hubungan kita pasti akan sampai akhir, tapi sebelum semua itu terjadi ...," Raffa tiba-tiba berlutut, tangannya meraih tangan Riri dan menggenggamnya erat, "lo mau nggak jadi pacar gue?"Riri